Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
Periode 04 Februari 2019 – 11 Maret 2019

Vinny Violita Aprilia, S.Ked 04054821820011


Amalia Dienanti Fadhillah, S.Ked 04084821820004
Jessica Jaclyn Ratnarajah, S.Ked 04084821820052

Pembimbing: dr. Bintang Arroyantri, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:


SKIZOFRENIA PARANOID

Oleh:

Vinny Violita Aprilia, S.Ked 04054821820011


Amalia Dienanti Fadhillah, S.Ked 04084821820004
Jessica Jaclyn Ratnarajah, S.Ked 04084821820052

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang periode 04 Februari 2019 – 11 Maret 2019.

Palembang, Februari 2019

dr. Bintang Arroyantri, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“SKIZOFRENIA PARANOID” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
dr. Bintang Arroyantri, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Februari 2019

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II LAPORAN KASUS 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 16

BAB IV ANALISIS KASUS 49

DAFTAR PUSTAKA 51

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau
pecah dan phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ ketidakserasian antara afek,
kognitif, dan perilaku. Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan
gangguan utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek
atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena
waham dan halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga muncul inkoherensi, afek
dan emosi inadekuat, serta psikomotor yang menunjukkan penarikan diri,
ambivalensi dan perilaku bizar.7,12 Kesadaran dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif dapat berkembang
dikemudian hari.13 Skizofrenia adalah gangguan yang berlangsung selama
minimal 6 bulan dan mencakup setidaknya 1 bulan gejala fase aktif. 2 Sementara
itu gangguan skizofrenia dikarakteristikan dengan gejala positif (delusi dan
halusinasi), gejala negatif (apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan
penurunan afek), dan gangguan kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah,
dan sosial).5,6 Terdapat beberapa tipe dari skizofrenia (Paranoid, hiberfrenik,
katatonik, undifferentiated, dan Residual).2,5,11 Gejala-gejala pada skizofrenia1,15:

Tabel 1. Gejala Skizofrenia


Positive Negative Cognitive
Hallucination Apathy Memory Impairment
Delusion Avolition Decrease in Attention
disorganized Thinking Alogia Impaired Executive Functioning
Suspiciousness Anhedonia

Berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ III, untuk mendiagnosa skizofrenia harus


ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): Thought echo = isi
pikiran dirinya sendiri yang bergema dan berulang dalam kepalanya (tidak keras)
dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda.

1
Thought insertion or withdrawal = isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal). Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. Delution of control = waham
tentang dirinya dikendalikan oleh sesuatu kekuatan tertentu dari luar. Delution of
influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan tertentu dari
luar. Delution of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap kekuatan dari luar. Delution of perception = pengalaman indrawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
Gejala-gejala lainnya adalah Halusinasi auditorik: suara halusinasi yang
berkomentar secara terus-menerus tentang perilaku pasien. Mendiskusikan perihal
pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. Waham-waham
menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan
sesuatu yang mustahil.17 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus
selalu ada secara jelas: halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja,
apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus. Arus pikiran yang
terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.17
Perilaku katatonik, seperti gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu, atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor. Gejala-gejala negatif, seperti
sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut
tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika. Gejala harus
berlangsung minimal 1 bulan. Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi.17

2
Sementara berdasarkan PPDGJ-III untuk memdiagnosis skizofrenia
paranoid harus memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahannya
terdapat: Halusinasi dan atau waham arus menonjol, suara-suara halusinasi yang
mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk
verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming) atau bunyi tawa
(laughing). Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain, perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of
control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity (delussion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling
khas. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/ tidak menonjol.13,17

3
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Tn. BSH
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum Menikah
Suku/Bangsa : Sumatera selatan
Pendidikan : SMA (tamat)
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Islam
Alamat : Indralaya, Sumatera Selatan
Datang ke RS : Sabtu, 9 Februari 2019
Cara ke RS : Di antar keluarga (Ibu)
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Asoka RSUD Ernaldi Bahar

II. ANAMNESIS
A. AUTOANAMNESIS
a. Keluhan utama
Os di antar ke RS Ernaldi Bahar karena mengamuk, memukuli ibunya
dan melempari batu ke tetangganya
b. Riwayat perjalanan penyakit
Kurang lebih 6 bulan yang lalu, os mulai terlihat tingkah lakunya
berubah, os tampak ketakutan, terlihat melamun. Os mulai bersikap seperti
ini semenjak ayahnya meninggal dunia, os mulai kurang tidur, os terlihat
sering bicara sendiri. Os sering berkeliling mondar mandir dilingkungan
rumahnya, os belum berobat. Os masih makan, minum dan mandi secara
teratur.
Kurang lebih 2 bulan yang lalu, os diajak ikut acara tahun baru,
keesokan harinya os tampak gelisah mengeluh sakit kepala sampai
4
membenturkan kepalanya didinding, karena merasa kesal dengan temannya
yang menipu dirinya. Os mengatakan di malam itu os minum arak putih. Os
mulai sering mengamuk dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya.
Kurang lebih 2 minggu yang lalu os mulai tampak gelisah, os sering
mondar-mandir dilingkungan rumahnya, os kadang mengamuk dengan
tetangganya, os melempari tetangganya dengan batu, os merasa bahwa
tetangganyalah yang membunuh ayahnya. Os juga merasa tetangganya
sering mengatakan hal buruk tentang dirinya.
2 hari yang lalu Os makin mudah tersinggung, teriak-teriak, dan sering
marah-marah pada orang disekitarnya. Os sering melihat sosok wanita
cantik berambut panjang, dan os sering mendengar bisikan suara dari loteng
kamarnya, yang membisikannya untuk memukul ibunya. Os mengaku sering
terbangun malam hari serta susah tidur lagi. Os tidak mau mandi jika tidak
dipaksa. Os tidak menghabiskan makananya. Os kemudian dibawa ke IGD
RS Ernaldi Bahar dan dirawat inap.

c. Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat kejang : tidak ada
- Riwayat trauma : tidak ada
- Riwayat diabetes mellitus : tidak ada
- Riwayat hipertensi : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada
- Riwayat alergi : tidak ada

d. Riwayat pengobatan
Os belum pernah berobat

e. Riwayat premorbid
- Lahir : lahir spontan, langsung menangis

- Bayi : tumbuh kembang baik

5
- Anak-anak : sosialisasi baik

- Remaja : sosialisasi baik

- Dewasa : sosialisasi baik

- Riwayat minum alkohol (+) sejak tahun 2009 dan terakhir konsumsi 40
hari yang lalu. Alkohol yang diminum berupa bir, tuak, dan vodka
sekitar 1-2 kali dalam seminggu.
- Riwayat NAPZA (+) tahun 2015. NAPZA yang pernah dikonsumsi
berupa sabu-sabu, inex, dan ganja. Os mengaku menggunakannya 1-2
kali dalam sebulan.

f. Riwayat keluarga
- Os merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Os memiliki satu
orang adik laki-laki dan satu orang adik perempuan.
- Anggota keluarga dengan gangguan jiwa disangkal.

- Riwayat pada keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.

- Hubungan dengan anggota keluarga terjalin baik sebelum ayahnya


meninggal.
- Ayah kandung sudah meninggal 1 tahun yang lalu.

- Ibu merupakan seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai tukang
cuci, ibunya sosok yang penyabar, penyayang, dan tidak pilih kasih
terhadap anak anaknya.
- Adik kandung lelaki Os adalah seseorang yang keras kepala, namun
Os mengakui bahwa adik kandung lelakinya tidak ada riwayat
penyakit yang sama seperti Os
- Adik kandung perempuan Os adalah seseorang yang pendiam dan
gemar membantu kedua orang tuanya. Adik kandung perempuan Os
masih tinggal bersama kedua orang tua Os. Os menyangkal bahwa
adik kandung perempuannya tidak ada riwayat penyakit yang sama.

6
Keterangan:
: Pasien

: : Laki-laki
alam
: Perempuan

7
g. Riwayat pendidikan
SMA (tamat).

h. Riwayat pekerjaan
Tidak bekerja.

i. Riwayat gaya hidup


Pasien merokok 1 bungkus perhari dan tidak gemar berolahraga.

j. Riwayat perkawinan
Pasien belum menikah.

k. Keadaan sosial ekonomi


Pasien tinggal bersama keluarganya di rumah milik almarhum ayahnya.
Rumahnya sederhana. Terdapat 1 ruang tamu, 1 kamar mandi, 1 dapur,
dan 2 kamar tidur. Ukuran rumah sekitar 6x13 m2. Os tidak bekerja,
pendapatan yang didapatkan oleh ibu Os sekitar Rp. 700.000 – Rp.
1000.000 per bulan.

8
III. PEMERIKSAAN
A. STATUS INTERNUS
1) Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Frekuensi nadi : 103 x/menit
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Suhu : 36,70 C
Frekuensi napas : 20 x/menit

B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Urat syaraf kepala (panca indera) : tidak ada kelainan
2) Gejala rangsang meningeal : tidak ada kelainan
3) Mata:
Gerakan : baik ke segala arah
Persepsi mata : baik, diplopia tidak ada, visus normal
Pupil : bentuk bulat, sentral, isokor, Ø

3mm/3mm
Refleks cahaya : +/+
Refleks kornea : +/+
Pemeriksaan oftalmoskopi : tidak dilakukan

4) Motorik
Fungsi Motorik Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal
Kekuatan
5/5
Tonus Eutonik Eutonik Eutonik Eutonik
Klonus - - - -
Refleks + + + +
fisiologis
Refleks - - - -
patologis
5) Sensibilitas : normal
6) Susunan syaraf vegetatif : tidak ada kelainan
7) Fungsi luhur : tidak ada kelainan
8) Kelainan khusus : tidak ada

C. STATUS PSIKIATRIKUS
KEADAAN UMUM
a. Sensorium : Compos Mentis
b. Perhatian : Atensi cukup
c. Sikap : Kooperatif
d. Inisiatif : Kurang
e. Tingkah laku motorik : Normal
f. Ekspresi fasial : Cenderung Marah
g. Cara bicara : Lancar
h. Kontak psikis : adekuat
i. Kontak fisik : adekuat
j. Kontak mata : adekuat
k. Kontak verbal : adekuat

KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)


a. Keadaan afektif
Afek : Sesuai
Mood : Distimik

10
b. Hidup emosi
Stabilitas : labil
Dalam-dangkal : dangkal
Pengendalian : kurang terkendali
Adekuat-Inadekuat : inadekuat
Echt-unecht : Echt
Skala diferensiasi : menyepit
Einfuhlung : bisa dirasakan
Arus emosi : cepat

c. Keadaan dan fungsi intelektual


Daya ingat : baik
Daya konsentrasi : kurang baik
Orientasi orang/waktu/tempat : baik
Luas pengetahuan umum : sulit dinilai
Discriminative judgement : terganggu
Discriminative insight : terganggu
Dugaan taraf intelegensi : sulit dinilai
Depersonalisasi dan derealisasi : tidak ada

d. Kelainan sensasi dan persepsi


Ilusi : tidak ada
Halusinasi : halusinasi auditorik (+) os mendengar suara dari loteng
kamarnya, menyuruh untuk memukul ibunya. Halusinasi visual (+) os
sering melihat sosok wanita cantik berambut panjang.

KEADAAN PROSES BERFIKIR


a. Arus pikiran
Flight of ideas : tidak ada
Inkoherensi : tidak ada
Sirkumstansial : tidak ada

11
Tangensial : tidak ada
Terhalang (blocking) : ada
Terhambat (inhibition) : tidak ada
Perseverasi : tidak ada
Verbigerasi : tidak ada

b. Isi Pikiran
Waham : ada
Pola Sentral : tidak ada
Fobia : tidak ada
Konfabulasi : tidak ada
Perasaan inferior : tidak ada
Kecurigaan : ada
Rasa permusuhan : ada
Perasaan berdosa : tidak ada
Hipokondria : ada
Ide bunuh diri : tidak ada
Ide melukai diri : ada
Lain-lain : tidak ada

Pemilikan pikiran
Obsesi : tidak ada
Aliensi : tidak ada

c. Keadaan dorongan instinktual dan perbuatan


Hipobulia : tidak ada
Vagabondage : tidak ada
Stupor : tidak ada
Pyromania : tidak ada
Raptus/Impulsivitas : ada
Mannerisme : tidak ada

12
Kegaduhan umum : ada
Autisme : tidak ada
Deviasi seksual : tidak ada
Logore : tidak ada
Ekopraksi : tidak ada
Mutisme : tidak ada
Ekolalia : tidak ada
Lain-lain : tidak ada

e. Kecemasan : ada

f. Dekorum
Kebersihan : cukup
Cara berpakaian : cukup
Sopan santun : cukup

g. Reality testing ability : RTA terganggu

D. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : tidak dilakukan
b. Pemeriksaan darah rutin : tidak dilakukan
c. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan
d. Pemeriksaan urin : tidak dilakukan
e. Pemeriksaan LCS : tidak dilakukan

IV. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Aksis I : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada kelainan
Aksis IV : Masalah keluarga dan ekonomi
Aksis V : GAF scale saat ini 60 - 51

13
V. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
1. F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
2. F30.2 Episode Manik dengan gejala psikotik

VI. TERAPI
a. Psikofarmaka
- Risperidone 2 x 2 mg

- THP 2 x 2 mg

b. Psikoterapi
Suportif
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.

- Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi


penyakit.
- Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur.

Kognitif
- Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara
berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap masalah
yang dihadapi.

Keluarga
- Memberikan pengertian kepada keluarga tentang penyakit pasien
sehingga diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung
kesembuhan pasien.

Religius

- Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai


ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu,

14
menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada
Allah SWT.

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

15
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.7
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.14

3.2. Epidemiologi
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric
Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia
menderita skizofrenia. (Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden
pertahun dari skizofernia berkisar 0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi
geografis. Ditemukan di semua tempat di dunia, insiden dan prevalensinya secara
kasar sama.10
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2%-2,0%. Di Indonesia angka
prevalensi skizofrenia yang tercatat di Depkes berdasarkan survey di rumah sakit
(1983), antara 0,5%-0,15%, dengan perkiraan bahwa 90% dari penderita
skizofrenia mengalami halusinasi pada saat mereka sakit. Empat besar kasus
penderita yakni klien dengan paranoid sebanyak 359 orang, skizofrenia 290
orang, depresi 286 orang dan gangguan psikologis akut 269 orang. Penderita
lainnya mengalami neurosa, epilepsi, gangguan afektif, parafrenia, retardasi
mental, sindrom ketergantungan obat dan lainnya.6

17
Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala muncul pada lelaki
lebih awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25
tahun dan wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda
memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi
penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap
sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.16

3.3. Gejala dan Klinis


Seperti halnya berbagai macam penyakit, skizofrenia pun memiliki gejala-
gejala awal. Berikut ini adalah beberapa indikator premorbid (pra-sakit) pre-
skizofrenia:15
 Ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin,
jarang tersenyum, acuh tak acuh.
 Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah,
kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial).
 Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan,
mempertahankan, atau memindahkan atensi.
 Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas,
mengganggu dan tak disiplin.

Pada umumnya gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok


berikut:
1. Gejala-gejala Positif
Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang
dapat diamati oleh orang lain. Yang termasuk dalam gejala ini antara lain
adalah
- Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
- Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.
- Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya kacau.

18
- Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
- Merasa dirinya ’Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
- Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
- Menyimpan rasa permusuhan.

2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri
khas atau fungsi normal seseorang. Yang termasuk dalam gejala-gejala ini
antara lain adalah
- Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi.
- Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau bergaul
atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming)
- Kontak emosional amat ’miskin’, sukar diajak bicara, pendiam.
- Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
- Sulit untuk pikir abstrak
- Pola pikir stereotip.
- Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak ada
spontanitas, monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba malas.

3. Masalah kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir, inkoheren,


assosiasi longgar, neologisme, hendaya perhatian, hendaya dalam
meproses informasi.
4. Gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada diri sendiri (bunuh
diri), orang lain (menyerang), dan benda (menghancurkan), kasar,
buruknya kontrol impulse, dan akting out seksual.
5. Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia, seperti
rasa bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas.

19
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu:
- Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan,
menganggap semua orang sebagai musuh.
- Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu
bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.
- Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil,
afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada
perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan
ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh
dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala
skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan faktor genetik ataupun
penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-obatan terlarang.8

Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut ini:
a. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya
bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik
menjadi jelas. Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan,
fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah
keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang
dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
b. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat
pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu

20
saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan).
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
c. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal tetapi
gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang
terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan
peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).

3.4. Etiologi dan Patofisiologi


Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan
penyebab yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran
klinisnya, respon pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi.3,12

A. Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang
mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang, jika dikenai oleh
suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang paling umum
diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau keduanya. Komponen
lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis (sebagai
contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat).
Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh
epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma.

B. Faktor Biologis
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu
semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah
tertentu di otak, termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis.

21
Tentu saja ketiga daerah tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi
pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya.
 Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk
clozapine, khasiat dan potensi antipsikotik adalah berhubungan dengan
kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2
(D2). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling
jelas adalah amfetamin, yang merupakan salah satu psikotomimetik. Teori dasar
tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah karena terlalu
banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau
kombinasi keduanya. Teori dasar juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin
di otak mungkin terlibat, walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling
sering terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan
selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks
serebral.
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas.
Satu bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D 1) mungkin
memainkan peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam
menggunakan agonis D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut.
Reseptor dopamin tipe 5 (D5) yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan
reseptor D1 dan dapat meningkatkan penelitian. Dalam cara yang sama reseptor
dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4) adalah berhubungan dengan reseptor
D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena agonis dan antagonis spesifik
adalah dikembangkan untuk reseptor tersebut. Sekurangnya satu penelitian telah
melaporkan suatu peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak postmortem dari
pasien skizofrenik.
Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang
penelitian skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih merupakan
hipotesis neurokimiawi yang utama, hipotesis tersebut memiliki dua masalah.

22
Pertama, antagonis dopamin adalah efektif dalam mengobati hampir semua pasien
psikotik dan pasien yang teragitasi berat, tidak tergantung pada diagnosis. Dengan
demikian, adalah tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa hiperaktivitas
dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia. Sebagai contoh, antagonis dopamin
juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa data elektrofisiologis
menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan kecepatan
pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat
antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien
skizofrenia mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.
Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah
konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit
dopamin utama, yaitu homovanilic acid. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menyatakan bahwa, dalam kondisi eksperimental yang terkontrol cermat,
konsentrasi homovanilic acid plasma dapat mencerminkan konsentrasi
homovanilic acid di sistem saraf pusat. Penelitian tersebut telah melaporkan suatu
hubungan positif antara konsentrasi homovanilic acid praterapi yang tinggi dan
dua faktor: keparahan gejala psikotik dan respon terapi terhadap obat antipsikotik.
Penelitian homovanilic acid plasma juga telah melaporkan bahwa, setelah
peningkatan sementara konsentrasi homovanilic acid plasma, konsentrasi
menurun secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan
gejala pada sekurangnya beberapa pasien.
 Neurotransmitter Lainnya
Walaupun dopamin adalah neurotransmiter yang telah mendapatkan
sebagian besar perhatian dalam penelitian skizofrenia, meningkatnya perhatian
juga telah ditujukan pada neurotransmiter lainnya. Mempertimbangkan
neurotransmiter lain adalah diharuskan untuk sekurangnya dua alasan. Pertama,
karena skizofrenia kemungkinan merupakan suatu gangguan yang heterogen,
maka mungkin bahwa kelainan pada neurotransmiter yang berbeda menyebabkan
sindroma perilaku yang sama. Sebagai contoh, zat halusinogenik yang
mempengaruhi serotonin-sebagai contoh, lysergic acid diethylamide (LSD)- dan
dosis tinggi zat yang mempengaruhi dopamin-sebagai contoh, amfetamin-dapat

23
menyebabkan gejala psikotik yang sulit dibedakan dari intoksikasi. Kedua,
penelitian neurologi dasar telah jelas menunjukkan bahwa neuron tunggal dapat
mengandung lebih dari satu neurotransmiter dan mungkin memiliki reseptor
neurotransmiter untuk lebih dari setengah lusin neurotransmiter. Jadi, berbagai
neurotransmiter di otak adalah terlibat dalam hubungan interaksional kompleks,
dan fungsi yang abnormal dapat menyebabkan perubahan pada setiap zat
neurotranmiter tunggal.
 Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia
sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas berhubungan
dengan serotonin yang kuat (sebagai contoh, clozapine, risperidone, ritanserin).
Secara spesifik, antagonisme pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe
2 (5-HT2) telah disadari penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam
menurunkan perkembangan gangguan pergerakan berhubungan dengan
antagonisme-D2. Seperti yang juga telah dinyatakan dalam penelitian tentang
gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impulsif yang jug adapat ditemukan pada pasien skizofrenik.
 Norepinefrin
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik jangka
panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus sereleus dan bahwa
efek terapetik dari beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada
reseptor adrenergik-1 dan adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas
dopaminergik dan noradrenergik masih belum jelas, semakin banyak data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem dopamminergik
dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem noradrenergik mempredisposisikan
pasien untuk sering relaps.
 Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid (GABA)
juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah
konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami
kehilangan neuron GABA-ergik di dalam hipokempus. Hilangnya neuron

24
inhibitor GABA-ergik secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron
dopaminergik dan noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat
dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu rentang hipotesis telah diajukan
untuk glutamat, termasuk hipotesis hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis
neurotoksisitas akibat glutamat.

C. Neuropatologi
 Sistem limbik
Sistem limbik, karena peranannya dalam mengendalikan emosi, telah
dihipotesiskan terlibat dalam dasar patofisiologis untuk skizofrenia. Pada
kenyataannya, sistem limbik telah terbukti merupakan daerah yang paling subur
dalam penelitian neuropatologis unutk skizofrenia. Lebih dari setengah lusin
penelitian yang terkontrol baik pada sampel otak skizofrenik postmortemtelah
menemukan suatu penurunan ukuran daerah termasuk amigdala, hipokampus, dan
girus parahipokampus. Temuan neuropatologis tersebut mendukung pengamatan
serupa yang dilakukan dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik
(MRI) pada pasien skizofrenik yang hidup.
 Ganglia Basalis
Ganglia basalis telah merupakan perhatian teoritis dalam skizofrenia karena
sekurangnya dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenik yang mempunyai
pergerakan yang aneh, bahkan tanpa adanya gangguan pergerakan akibat medikasi
(sebagai contoh, tardive dyskinesia). Gerakan yang aneh dapat termasuk gaya
berjalan yang kaku, menyeringaikan wajah (facial grimacing), dan stereotipik.
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan, dengan
demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam patofisiologi skizofrenia.
Kedua, dari semua gangguan neurologis yang dapat memiliki psikosis sebagai
suatu gejala penyerta, gangguan pergerakan yang mengenai ganglia basalis
(sebagai contoh, penyakit Huntington) adalah salah satu yang paling sering
berhubungan dengan psikosis pada pasien yang terkena. Faktor lain yang
melibatkan ganglia basalis dalam patofisiologi skizofrenia adalah kenyataan

25
bahwa ganglia basalis berhubungan timbal balik dengan lobus frontalis, dengan
demikian meningkatkan kemungkinan bahwa kelainan pada fungsi lobus frontalis
yang terlihat pada beberapa pemeriksaan pencitraan otak mungkin disebabkan
oleh patologi di dalam ganglia basalis, bukan di dalam lobus frontalis itu sendiri.
Penelitian neuropatologis pada ganglia basalis telah menghasilkan berbagai
laporan yang tidak meyakinkan tentang hilangnya sel atau penuruan volume
globus palidus dan substansia nigra. Sebaliknya, banyak penelitian telah
menunjukkan suatu peningkatan jumlah reseptor D2 di dalam kaudatus, putamen,
dan nukleus akumbens; tetapi, pertanyaan adalah apakah peningkatan tersebut
sekunder karena pasien telah mendapatkan medikasi antipsikotik. Beberapa
peneliti telah mulai mempelajari sistem serotonergik dalam ganglia basalis, karena
peranan serotonin dalam gangguan psikologis dinyatakan oleh manfaat klinis obat
antipsikotik dengan aktivitas serotonergik (sebagai contoh, clozapine,
risperidone).

D. Genetika
Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik
Populasi Prevalensi (%)
Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik 12,0
Anak dari kedua orangtua skizofrenik 40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik 47,0
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian
pada kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang
diasuh oleh orang tuaangkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang
sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua
kandungnya. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi
pengaruh lingkungan. Untuk mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah

26
pengamatan bahwa semakin parah skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah
sama-sama menderita gangguan. Satu penelitian yang mendukung model diatesis-
stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi yang kemudian
menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang tidak sesuai
secara psikologis.

E. Faktor Psikososial
 Teori Psikoanalitik
Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi
dalam pekembangan yang terjadi lebih awal dari yang menyebabkan
perkembangan neurosis. Freud juga mendalilkan bahwa adanya defek ego juga
berperan dalam gejala skizofrenia. Disintegrasi ego adalah suatu pengembalian ke
suatu waktu saat efo masih belum ditegakkan atau baru mulai ditegakkan. Jadi,
konflik intrapsikis yang disebabkan dari fiksasi awal dan defek ego, yang
mungkin telah disebabkan oleh hubungan objek awal yang buruk, merupakan
bahan bakar gejala psikotik.
Pusat dari teori Freud tentang skizofrenia adalah suatu ”decathexis” objek
dan suatu regresi dalam respon terhadap frustasi dan konflik dengan orang lain.
Banyak gagasan Freud tentang skizofrenia diwarnai oleh tidak adanya keterlibatan
dirinya secara intensif dengan pasien skizofrenik. Sebaliknya, Harry Stack
Sulivan melibatkan diri dengan pasien skizofrenik dalam psikoanalisis intensif
dan menyimpulkan bahwa penyakit disebabkan oleh kesulitan interpersonal awal,
khususnya yang berhubungan dengan apa yang disebutnya pengasuhan anak yang
salah dan terlalu mencemaskan.
Pandangan psikoanalisis umum tentang skizofrenia menghipotesiskan
bahwa defek ego mempengaruhi interpretasi kenyataan dan pengendalian
dorongan-dorongan dari dalam (inner drives), seperti seks dan agresi. Gangguan
terjadi sebagai akibat dari penyimpangan dalam hubungan timbal balik antara bayi
dan ibunya. Seperti yang dijelaskan oleh Margaret Mahler, anak-anak adalah tidak
mampu untuk berpisah dan berkembang melebihi kedekatan dan ketergantungan
lengkap yang menandai hubungan ibu-anak di dalam fase oral perkembangan.

27
Orang skizofrenik tidak pernah mencapai ketetapan objek, yang ditandai oleh
suatu perasaan identitas yang pasti dan yang disebabkan oleh perlekatan erat
dengan ibunya selama masa bayi. Paul Federn menyimpulkan bahwa gangguan
mendasar pada skizofrenia adalah ketidakmampuan awal pasien untuk mencapai
perbedaan diri dan objek. Beberapa ahli psikoanalisis menghipotesiskan bahwa
defek dalam fungsi ego yang belum sempurna memungkinkan permusuhan dan
agresi yang hebat sehingga mengganggu hubungan ibu-bayi, yang menyebabkan
suatu organisasi kepribadian yang rentan terhadap stres. Onset gejala selama masa
remaja terjadi pada suatu saat jika orang memerlukan suatu ego yang kuat untuk
berfungsi secara mandiri, untuk berpisah dari orang tua, untuk mengidentifikasi
kewajiban, untuk mengendalikan dorongan internal yang meningkat, dan untuk
mengatasi stimulasi eksternal yang kuat.
Teori psikoanalitik juga mendalilkan bahwa berbagai gejala skizofrenia
mempunyai arti simbolik bagi pasien individual. Sebagai contoh, fantasi tentang
dunia yang akan berakhir mungkin menyetakan suatu perasaan bahwa dunia
internal seseorang telah mengalami kerusakan. Perasaan kebesaran dapat
mencerminkan narsisme yang direaktivasi, dimana orang percaya behwa mereka
adalah mahakuasa. Halusinasi mungkin menggantikan ketidakmampuan pasien
untuk menghadapi kenyataan objektif dan mungkin mencerminkan harapan atau
ketakutan dari dalam diri mereka. Waham, serupa dengan halusinasi, adalah usaha
regresif dan pengganti untuk menciptakan suatu kenyataan baru atau untuk
mengekspresikan rasa takut atau dorongan yang tersembunyi.
 Teori Psikodinamika
Freud memandang skizofrenia sebagai suatu respon regresif terhadap
frustasi dan konflik yang melanda seseorang di dalam lingkungan. Regresi
melibatkan suatu penarikan penanaman emosional (emotional investment) atau
cathexis dari perwakilan objek internal dan orang sebenarnya di dalam
lingkungan, yang menyebabkan kembali ke suatu stadium autoerotik dari
perkembangan. Keadaan cathexis pasien ditanamkan kembali ke dalam diri,
dengan demikian memberikan gambaran penarikan autistik. Freud selanjutnya
menambahkan bahwa, kalau neurosis melibatkan suatu konflik antara ego dan id,

28
psikosis dapat dipandang sebagai suatu konflik antara ego dan dunia luar dimana
kenyataan diingkari dan selanjutnya dibentuk kembali (remodeled).
Pandangan psikodinamika tentang skizofrenia selanjutnya adalah berbeda
dari model kompleks Freud. Mereka cenderung menganggap hipersensitivitas
terhadap stimuli persepsi yang didasarkan secara konstitusional sebagai suatu
defisit. Malahan, suatu penelitian yang baik menyatakan bahwa pasien skizofrenia
menemukan adalah sulit untuk menyaring berbagai stimuli dan untuk memusatkan
pada satu data pada suatu waktu. Defek pada barier stimulus tersebut menciptakan
kesulitan pada keseluruhan tiap fase perkembangan selama masa anak-anak dan
menempatkan stres tertentu pada hubungan interpersonal. Pandangan
psikodinamika tentang skizofrenia sering dikelirukan sebagai menyalahkan orang
tua, walaupun sesungguhnya memusatkan pada kesulitan psikologis dan
neurofisiologis yang menciptakan masalah bagi kebanyakan orang di dalam
hubungan yang erat dengan pasien skizofrenik.
Terlepas tentang model teoritis mana yang dipilih, semua pendekatan
psikodinamika bekerja dari dasar pikiran bahwa gejala psikotik mempunyai arti
pada skizofrenia. Sebagai contoh, pasien mungkin menjadi kebesaran (grandiose)
setelah terjadi suatu kerusakan pada harga diri mereka. Demikian juga, semua
teori menyadari bahwa hubungan manusia mungkin menakutkan bagi seseorang
yang menderita skizofrenia. Walaupun penelitian pada manfaat psikoterapi pada
skizofrenia menunjukkan hasil yang bercampur, orang yang prihatin yang
menawarkan perasaan kasihan manusiawi dan perlindungan dari dunia yang
membingungkan harus menjadi inti dari seluruh rencana pengobatan. Penelitian
follow-up jangka panjang menemukan bahwa beberapa pasien yang menutupi
episode psikotik mungkin tidak mendapatkan manfaat dari psikoterapi eksplorasi,
tetapi mereka yang mampu mengintegrasikan pengalaman psikotik kedalam
kehidupan mereka mungkin mendapatkan manfaat dari pendekatan beorientasi
tilikan (insight-oriented).

 Teori Belajar

29
Menurut ahli teori belajar (learning theory), anak-anak yang kemudian
menderita skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir yang irasional dengan
meniru orangtuanya yang mungkin memiliki masalah emosionalnya sendiri yang
bermakna. Hubungan interpersonal yang buruk dari orang skizofrenia, menurut
teori belajar, juga berkembang karena dipelajarinya model yang buruk selama
anak-anak.
 Teori Tentang Keluarga
Tidak ada bukti-bukti terkontrol baik yang menyatakan bahwa pola keluarga
spesifik memainkan peranan kausatif dalam perkembangan skizofrenia. Hal
tersebut merupakan titik penting untuk dimengerti oleh klinisi, karena banyak
orang tua dari anak skizofrenik masih memendam kemarahan terhadap psikiatrik
komunitas, yang untuk waktu lama membicarakan hubungan antara keluarga yang
disfungsional dengan perkembangan skizofrenia. Beberapa pasien skizofrenik
memang berasal dari keluarga yang disfungsional, demikian juga banyak orang
sakit yang nonpsikiatrik berasal dari keluarga disfungsional. Tetapi, adalah dari
kepentingan klinis untuk mengenali perilaku keluarga patologis, karena perilaku
tersebut dapat secara bermakna meninggalkan stres emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenik yang rentan.
 Ikatan Ganda
Konsep ikatan ganda (double bind) dirumuskan oleh Gregory Betson untuk
menggambarkan suatu keluarga hipotetik dimana anak-anak mendapatkan pesan
yang bertentangan dari orangtuanya tentang perilaku, sikap, dan perasaan anak. Di
dalam hipotesis tersebut, anak menarik diri ke dalam keadaan psikotik mereka
sendiri untuk meloloskan dari kebingungan ikatan ganda yang tidak dapat
dipecahkan. Sayangnya, penelitian keluarga yang dilakukan untuk membuktikan
teori tersebut telah secara serius mengalami cacat metodologi dan tidak dapat
diambil untuk menunjukkan keabsahan teori tersebut.
 Keretakan dan Kecondongan Keluarga
Theodore Lidz menggambarkan dua pola perilaku yang abnormal. Dalam
satu tipe keluarga, terdapat keretakan yang menonjol antara orang tua, dan satu
orang tua sangat terlalu dekat dengan anak dari jenis kelamin yang berbeda. Pada

30
jenis keluarga lain, hubungan condong antara satu orang tua melibatkan suatu
perjuangan tenaga antara orang tua dan menyebabkan dominasi salah satu orang
tua.
 Keluarga yang Saling Mendukung Secara Semu dan Bermusuhan
Semu
Lymann Wynne menggambarkan keluarga di mana ekspresi emosional
ditekan oleh pemakaian konsisten komunikasi verbal yang saling mendukung
secara semu (pseudomutual) atau bermusuhan secara secara semu (pseudohostile).
Penekanan tersebut menyebabkan perkembangan komunikasi verbal yang unik
pada keluarga tersebut dan tidak dimengerti oleh orang di luar keluarga; masalah
timbul jika anak meninggalkan rumah dan berhubungan dengan orang lain.
 Emosi yang Diekspresikan
Emosi yang diekspresikan seringkali disingkat EE (expressed emotion)
biasanya didefinisikan sebagai kecaman, permusuhan, dan keterlibatan yang
berlebihan (overinvolvement) yang dapat menandai perilaku orang tua atau
pengasuh lain terhadap skizofrenia. Banyak penelitian telah menyatakan bahwa, di
dalam keluarga dengan emosi yang sangat diekspresikan, angka relaps untuk
skizofrenia adalah tinggi. Penilaian emosi yang diekspresikan termasuk
menganalisis apa yang dikatakan dan cara bagaimana hal tersebut dikatakan.
 Teori-teori Sosial
Beberapa ahli teori telah menyatakan bahwa industrialisasi dan urbanisasi
adalah terlibat dalam penyebab skizofrenia. Walaupun beberapa data mendukung
teori tersebut, stres sekarang dianggap menimbulkan efek utamanya dalam
menentukan waktu onset dan keparahan penyakit.10

3.5. Gejala Premorbid


Sebelum seseorang secara nyata aktif (manifes) menunjukan gejala-gejala
Skizofrenia, yang bersangkutan terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal
yang disebut gejala pradormal. Sebaliknya bila seseorang penderita Skizofrenia
tidak lagi aktif menunjukan gejal-gejala Skizofrenia, maka yang bersangkutan
menunjukan gejala-gejala sisa yang disebut gejala residual.8

31
Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak. Indikator
premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak
mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh.
Penyimpangan komunikasi: anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan
atensi: anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan
atensi. Pada anak perempuan tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara
sosial, tidak bisa menikmati rasa senang dan ekspresi wajah sangat terbatas.
Sedangkan pada anak laki-laki sering menantang tanpa alasan jelas, mengganggu
dan tak disiplin.
Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur kronis, tonus
otot lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau benda yang bergerak cepat.
Pada balita terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti
potong rambut, takut gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-
benda bergerak.
Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara seperti mendengar
bunyi letusan, bantingapintu atau bisikan, bisa juga halusinasi visual seperti
melihat sesuatu bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan
cahaya dengan latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum
sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan
berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian
skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang
lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku
atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran
magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa,
pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat
rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh
dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala

32
skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka
yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat
sehingga tak mampu mengatasi.16

3.6. Kriteria Diagnosis


Kriteria diagnosis Skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III13

Memenuhi salah satu perangkat gejala di bawah ini, yang berlangsung


selama setidaknya satu bulan (tidak termasuk gejala prodormal) dan
mengakibatkan penurunan kualitas hidup secara bermakna
Gejala Kuat (Sedikitnya satu) Gejala Lemah (Sedikitnya dua)
 Thought echo, thought  Halusinasi menetap lama, atau
insertion, thought withdrawal, bila ditemani oleh waham atau
atau thought broadcast overvalued idea
 Delusion of control, delusion  Arus pikiran yang terputus,
of influence, delusion of mengalami sisipan,
passivity, atau delusional inkoherensi, atau neologisme
perception  Perilaku katatonik
 Halusinasi komentar,  Gejala negatif, sikap apatis,
halusinasi diskusi, atau bicara jarang, atau respon
halusinasi dari anggota tubuh emosi yang menumpul atau
 Waham yang bizar tidak wajar

Kriteria diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR


Dua atau lebih gejala berikut yang muncul dalam satu bulan
 Waham (cukup satu bila waham bizar)
 Halusinasi (cukup satu bila halusinasi komentar atau diskusi)
 Bicara terdisorganisasi (kacau)
 Perilaku terdisorganisasi (kacau) atau katatonik
 Gejala negatif
Terdapat penurunan yang jelas dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau

33
mengurus diri
Lama gangguan setidaknya enam bulan, dengan satu bulan
menunjukkan gejala yang jelas
Kriteria untuk gangguan mood, gangguan mental organik, dan
gangguan akibat zat tidak dipenuhi

Kriteria diagnosis skizofrenia berdasarkan Kriteria Bleurer


Seperangkat gejala utama yang Seperangkat gejala pendukung
harus ada yang bisa ada
 Gangguan asosiasi berupa  Halusinasi
asosiasi longgar, inkoherensi,  Waham
atau neologisme  Ilusi
 Gangguan afek berupa afek  Gejala katatonik
tumpul, datar, atau tidak  Perilaku abnormal lainnya
sesuai (inappropriate)
 Autisme berupa penarikan
diri dari kehidupan nyata
 Ambivalensi pada emosi,
keinginan, atau pikiran

Kriteria Diagnosis Skizofrenia Paranoid


Berdasarkan PPDGJ-III Berdasarkan DSM-IV-TR

 Kriteria diagnosis skizofrenia  Preokupasi dengan waham


harus terpenuhi terlebih dahulu atau halusinasi auditorik yang
 Waham atau halusinasi menetap
merupakan gejala yang paling  Bicara kacau, perilaku kacau

34
menonjol: atau katatonik, afek datar atau
a) Suara-suara halusinasi tidak sesuai tidak menonjol
yang mengancam pasien
atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming),
atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau
pengecapan rasa, atau
bersifat seksual, atau lain-
lain perasaan tubuh;
halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa
hampir setiap jenis, tetapi
waham dikendalikan
(delusion of control),
dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity”
(delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar
yang beraneka ragam,
adalah yang paling khas
 Gangguan afektif, dorongan
kehendak dan pembicaraan,
serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata/tidak
menonjol

35
3.7. Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia Paranoid (F20.0)
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati,
dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien
skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka secara
adekuat didalam situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.13
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
 Sebagai tambahan :
- Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit,
mendengung, atau bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
“Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang
beraneka ragam, adalah yang paling khas.
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.
Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga disorganised, permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–25 tahun. Pada
Skizofrenia Hebefrenik kita dapat melihat tanda dan gejala yang khas, antara lain:
- Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya.
- Alam perasaan yang datar tanpa ekspresi serta tidak serasi atau.

36
- Perilaku dan tertawa kekenak-kanakan, senyum yang menunjukkan rasa
puas diri atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
- Waham yang tidak jelas dan tidak sistematik tidak terorganisasi sebagai
suatu kesatuan.
- Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisasi
sebagai satu kesatuan.
- Gangguan proses berfikir
- Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-
gerakan aneh, berkelakar, pengucapan kalimat yang diulang-ulang dan
cenderung untuk menarik diri secara ekstrim dari hubungan sosial.
Beberapa tanda dan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien-pasien
Skizofrenia Hebefrenik adalah,
 Waham
 Halusinasi
 Siar pikiran
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
 Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
 Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering
disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),
senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati

37
(lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli
secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan
kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. Menurut DSM-IV
TR Skizofrenia disebut sebagai Skizofrenia tipe terdisorganisasi
Skizofrenia Katatonik (F20.2)
Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya pertama kali
antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stres
emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
Skizofrenia Tak Terinci (F20.3)
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
 Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
Depresi Pasca-skizofrenia (F20.4)
 Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis
umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi

38
mendominasi gambaran klinisnya); dan
c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu.
 Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.
Skizofrenia Residual (F20.5)
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak
mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari
skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negative tersebut.
Skizofrenia Simpleks (F20.6)
Pedoman Diagnostik Berdasarkan Kriteria PPDGJ III :
 Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan

39
progresif dari :
- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik,
dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
 Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.
Skizofrenia Lainnya (F20.8)
Skizofrenia YTT (F20.9)

3.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan
psikotik lain, dapat berupa gangguan skizofreniform dan gangguan skizoafektif.
Pada gangguan skizofreniform, gejalanya sama dengan skizofrenia, namun
berlangsung sekurang-kurangnya 1 bulan, tetapi kurang dari 6 bulan. Pada pasien
dengan skizofreniform, akan kembali ke fungsi normal ketika gangguan hilang.
Bila suatu sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama
skizofrenia, maka hal itu adalah gangguan skizoafektif, yang mempunyai
gambaran baik skizofrenia maupun gangguan afektif (gangguan mood).14

3.9. Prognosis
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa
sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa
kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi mental).
Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu datang berobat
dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari
mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang
lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit

40
yang mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (social
recovery).
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala. Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam
waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan
10% meninggal karena bunuh diri. Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10
sampai 15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode
follow-up 20 tahun. Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin
untuk melakukan bunuh diri.10

Prognosis Baik Prognosis Buruk


Onset lambat Onset muda
Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan
pekerjaan pramorbid yang baik pekerjaan pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistik
gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia
(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk untuk
(terutama dari keluarga) untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif Gejala negative
Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam tiga tahun
Sering timbul relaps
Riwayat penyerangan
Tabel. Menunjukkan Prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia.15
3.10. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa

41
Obat-obatan anti-psikotik meliputi dopamine reseptor antagonis dan
serotonin-dopamin antagonis, seperti risperidon (Risperdal) dan clozapine
(Clozaril).
1. Obat Pilihan
a. Dopamin reseptor antagonis (tipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala positif pada skizofrenia. Dapat
menimbulkan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal, terutama pada
penggunaan haloperidol.
b. Serotonin-dopamin antagonis (atipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala negatif pada skizofrenia. Memiliki
efek samping gejala ekstrapiramidal yang minimal, terutama clozapine.
2. Dosis
Untuk gejala psikotik akut, pemberian obat diberikan selama 4-6
minggu, atau lebih pada kasus yang kronis. Dosis untuk terapi tipikal adalah
4-6 minggu risperidone 2-8 mg/hari, 10-20 mg dan Haloperidol 5-20
mg/hari.
3. Maintenance
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, dan pemberian terapi jangka
panjang sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah kekambuhan. Apabila
keadaan pasien sudah stabil selama 1 tahun, maka dosis pemberian obat
dapat diturunkan secara perlahan, sekitar 10-20% per bulan. Selama
penurunan dosis, pasien dan keluarga pasien diberikan edukasi agar
melaporkan bisa terjadi kekambuhan, termasuk insomnia, kecemasan,
withdrawal, dan kebiasaan yang aneh.
4. Obat lainnya
Apabila pengobatan standart dengan antipsikotik tidak berhasil,
beberapa obat lainnya telah dilaporkan dapat meningkatan keefektifan
pengobatan. Penambahan lithium dapat meningkatkan keefektifan
pengobatan pada sebagian besar pasien. propanolol (Inderal),
benzodiazepine, asam valproat (Depakene) atau divalproex (Depakote), dan
carbamazepine (Tegretol) telah dilaporkan dapat meningkatkan keefektifan

42
pengobatan pada beberapa kasus.

2. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat
karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit
jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini
tidak membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih
manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali
menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya,
intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai
cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat
bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang
sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipisatau pada pelipis yang
mengandung belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan
itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah
terjadinya kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa
menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan
pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan
kepada belahan otak yang tidak dominan (nondominan hemisphere).
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi
pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau
tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik.Kontra indikasi
Elektrokonvulsif terapi adalah Dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit
tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada
pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah
tumor otak.

43
3. Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah membuat situasi
pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton
dan menjemukan. Para psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk
menangani schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik (ECT).
Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah
dilakukan, karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap
muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa dengan cara
psikologis. Beberapa pakar psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku
tergantung pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak disadari.
1) Terapi Psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep Freud.
Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik yang tidak
disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk
mengendalikan kecemasannya. Hal yang paling penting pada terapi ini
adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita. Metode terapi
ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang tidak “kambuh”.
Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah Asosiasi Bebas.
Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk membebaskan pikiran dan
perasaan dan mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa
penyuntingan atau penyensoran. Pada teknik ini, penderita disupport untuk
bisa berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental dengan cara tidur
di sofa. Ketika penderita dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks,
maka pasien harus mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara
verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan segala macam
pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan penderita mengalami
blocking, maka hal itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi.
Hal yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti sexual dan agresi.
Repressi terhadap dorongan agresi menyangkut figur otorotas yang selalu

44
diwakili oleh father dan mother figure. Repressi anger dan hostile
merupakan salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking
pada individu. Akibat dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian
menjadi tidak baik, karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi bebas,
maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya dapat
menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking
bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya lebih
proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses penurunan
ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi
kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan
keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut dengan moment
chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-
uneg yang ia rasakan, sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi
dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam teknik asosiasi
bebas ini, juga terdapat proses transference, yaitu suatu keadaan dimana
pasien menempatkan therapist sebagai figur substitusi dari figur yang
sebenarnya menimbulkan masalah bagi penderita. Terdapat 2 macam
transference, yaitu transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan
figur yang disukai oleh penderita, transference negatif, yaitu therapist
menggantikan figur yang dibenci oleh penderita.
2) Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip pengkondisian klasik
dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist
mencoba menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan
kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan perilaku itu.
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh variabel
kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang situasi
menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah
mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu dengan prosedur

45
yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut. Pada kongres psikiatri di
Malaysia tahun 2000 ini, cognitif behavior therapy untuk pasien
schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika maupun dari
Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup baik, terutama untuk
kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif behavior therapy tersebut.
Rupanya ada gelombang besar optimisme akan kesembuhan schizophrenia
di dunia dengan terapi yang lebih komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara langsung
membentuk dan mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang
lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali berperan dalam
masyarakat. Paul dan Lentz menggunakan dua bentuk program psikososial
untuk meningkatkan fungsi kemandirian.

1) Social Learning Program


Social learning program menolong penderita skizofrenia untuk
mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini menggunakan token
economy, yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan memberikan
tanda tertentu (token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku
tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti
makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah millieu program
atau terapi komunitas. Dalam program ini, penderita dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk tugas-
tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama
dan saling membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan
masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini berusaha
memasukkan penderita schizophrenia dalam proses perkembangan untuk
mempersiapkan mereka dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan
melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing. Dalam penelitian,
social learning program mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan
yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana

46
yang efektif. Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan
faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah
program penguatan dengan tanda tersebut membantu perubahan perilaku
hanya selama tanda diberikan atau hanya dalam lingkungan perawatan.
2) Social Skills Training
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau keahlian sosial,
seperti kemampuan percakapan, yang dapat membantu dalam beradaptasi
dengan masyarakat. Social Skills Training menggunakan latihan
bermainsandiwara. Para penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam
situasi-situasi tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang
sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam panti-panti
rehabilitasin psikososial untuk membantu penderita agar bisa kembali
berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk
melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak, berbelanja, ataupun
utnuk berkomunikasi, bersahabat, dan sebagainya. Meskipun terapi ini
cukup berhasil, namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan
perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana dengan situasi-
situasi yang tidak diajarkan secara langsung.
3) Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain, yang dapat menyebabkan seseorang
berusaha menghindari relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri,
sehingga menyebabkan pola penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak
tepat dan tidak sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus
tersebut, terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan
klien, khususnya klien skizofrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi humanistik. Pada
terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist
berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara
peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang pikiran dan

47
perasaan yang dialami oleh mereka. Klien dihadapkan pada setting sosial
yang mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat
memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di
rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi kelompok ini
iklim interpersonal relationship yang konkrit akan tercipta, sehingga klien
selalu diajak untuk berpikir secara realistis dan menilai pikiran dan
perasaannya yang tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang tua serta anaknya
yang bertemu dengan satu atau dua terapist. Terapi ini digunakan untuk
penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama
keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali.
Keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif
dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.
Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang cara untuk
mendampingi, mengajari, dan melatih penderita dengan sikap penuh
penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan pengungkapan emosi anggota
keluarga diatu dan disusun sedemikian rupa serta dievaluasi.
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon ternyata
campur tangan keluarga sangan membantu dalam proses penyembuhan, atau
sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita,
dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

48
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. BSH, laki-laki, 27 tahun, datang dibawa oleh ibunya ke IGD RS Ernaldi
Bahar Palembang pada tanggal 9 Februari 2019. Wawancara dan observasi
dilakukan pada hari Sabtu, 9 Februari 2019 pukul 20.45 WIB di IGD RS Ernaldi
Bahar Palembang. Wawancara yang dilakukan berupa autoanamnesis karena
pasien kooperatif dan tenang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Palembang.
Berdasarkan autoanamnesis, pasien memiliki keluhan mengamuk, memukuli
ibunya dan melempari batu ke tetangganya. Kurang lebih 6 bulan yang lalu, os
mulai terlihat tingkah lakunya berubah, os tampak ketakutan, terlihat melamun.
Os mulai bersikap seperti ini semenjak ayahnya meninggal dunia, os mulai kurang
tidur, os terlihat sering bicara sendiri. Os sering berkeliling mondar mandir
dilingkungan rumahnya, os belum berobat. Os masih makan, minum dan mandi
secara teratur.

49
Kurang lebih 2 bulan yang lalu, os diajak ikut acara tahun baru, keesokan
harinya os tampak gelisah mengeluh sakit kepala sampai membenturkan
kepalanya didinding, karena merasa kesal dengan temannya yang menipu dirinya.
Os mengatakan di malam itu os minum arak putih. Os mulai sering mengamuk
dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya.
Kurang lebih 2 minggu yang lalu os mulai tampak gelisah, os sering
mondar-mandir dilingkungan rumahnya, os kadang mengamuk dengan
tetangganya, os melempari tetangganya dengan batu, os merasa bahwa
tetangganyalah yang membunuh ayahnya. Os juga merasa tetangganya sering
mengatakan hal buruk tentang dirinya.
2 hari yang lalu Os makin mudah tersinggung, teriak-teriak, dan sering
marah-marah pada orang disekitarnya. Os sering melihat sosok wanita cantik
berambut panjang, dan os sering mendengar bisikan suara dari loteng kamarnya,
yang membisikannya untuk memukul ibunya. Os mengaku sering terbangun
malam hari serta susah tidur lagi. Os tidak mau mandi jika tidak dipaksa. Os tidak
menghabiskan makananya. Os kemudian dibawa ke IGD RS Ernaldi Bahar dan
dirawat inap.
Status internus dan neurologikus dalam batas normal. Pada status
psikiatrikus, keadaan umum ditemukan inisiatif kurang dan pasien cenderung
marah. Pada keadaan khusus, afek sesuai dan mood distimik, emosi labil. Pada
keadaan dan fungsi intelektual, terdapat kelainan pada daya ingat dan daya
konsentrasi, daya ingat baik dan daya konsentrasi kurang baik, discriminative
judgement dan insight terganggu. Kelainan sensasi dan persepsi ditemukan ada
halusinasi auditorik dan halusinasi visual. Pada keadaan proses berpikir,
ditemukan adanya kecemasa. Arus pikiran ditemukan ada terhalang (blocking), isi
pikiran ditemukan ada waham, kecurigaan, rasa pemusuhan, hipokondria dan ide
melukai diri, pemilikan pikiran dalam batas normal, keadaan dorongan instinktual
dan perbuatan ditemukan ada impulsivitas dan kegaduhan umum. Dekorum cukup
dan RTA terganggu. Pemeriksaan lain tidak dilakukan pada pasien.

Penilaian diagnosis dinilai secara multiaksial menurut DSM V, yaitu:

50
Aksis I : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada kelainan
Aksis IV : Masalah keluarga dan ekonomi
Aksis V : GAF scale saat ini 60 - 51

DAFTAR PUSTAKA

1. Abidi S. Psychosis in children and youth: focus on early onset schizophrenia.


Pediatr Rev. 2013; 34(7):296-305.
2. American Psychiatric Association. Diagnosis dan statistical manual of
mental disorders (DSM IV TR). Washington DC: APA; 2000.
Hlm. 13-26.
3. Bosanac P, Castle DJ. Schizophrenia and depression. J University of
Melbourne. 2012; 1(4):36-9.
4. Buckley PF, Miller BJ, Lehrer DS, Castle DJ. Psychiatric comorbidities and
schizophrenia. Schizophrenia bulletin. 2009; 35:383-402.
5. Cantor-Graae E, Nordstrom LG, McNeil TF. Substance abuse in
schizophrenia: a review of the literature and a study of correlates in Sweden.
Schizophr Res. 2001; 48:69-82.

51
6. Donald I. Templer. The Decline of Hebephrenic Schizophrenia In:
Orthomolecular Psychiatry, Volume 11, Number 2, 1982, Pp. 100-102.
7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-
2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
8. Hawari, H. Dadang, dr. Pendekatan holistic pada gangguan
jiwaSKIZOFRENIA. Edisi 2. CetakanI. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.
9. Javit DC. Balancing therapeutic safety and efficacy to improve clinical and
economic outcomes in schizophrenia: a clinical overview. AJMC. 2014;
18(2):70-7.
10. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia 2000. p. 471-503.
11. Keefe RSE, Fenton WS. How should DSM-V criteria for schizophrenia
include cognitive impairment? Schizophr Bul. 2007; 33:912-20.
12. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press; 2009. Hlm. 356-60.
13. Maslim, R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa PPDGJ-III. Jakarta: Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya; 2001. Hlm. 53.
14. Sinaga Banhard Rudyanto. 2AA7. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
15. Skizofrenia. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Hal 156
16. Tandon R, Nasrallah HA, Keshavan MS. Schizophrenia: clinical features and
conceptualization. Schizophr. 2009; 110:1-23.
17. The Caring Family; Living with Chronic Mental Illness. Canada. 1982.
18. The ICD-10. Classification of mental and behavioural disorders clinical
descriptions and diagnostic guidelines. Geneva: World Health Organization;
1993.

52

Anda mungkin juga menyukai