Anda di halaman 1dari 1

Min, Kerusakan Lingkungan Bukan Mutlak Salah Arsitek

Beberapa waktu lalu aku menyampaikan keinginanku untuk pindah ke Malang kepada teman baikku, sebut
saja Mimin karena sering didapuk sebagai admin. Mimin menyambutku dengan senang, karena pastinya
intensitas kami bertemu ngerumpik bisa semakin sering. Kami cocok satu sama lain, karena memang kami
teman senasib, sama-sama jomlo.

Aku berencana membantu seniorku untuk mengurus usaha konsultannya di Malang. Ya, profesiku arsitek
muda yang nyambi sebagai desainer grafis lepas. Aku dan Mimin yang profesinya adalah guru SMA ini sering
berdiskusi tentang apapun, termasuk merk bedak, masalah kerjaan, hingga parenting… meskipun anak dan
suaminya masih mau inden.

Beberapa bulan terakhir kami sering mendiskusikan tentang isu lingkungan, ini karena kami sedang aktif di
Dunia Santri Community yang mengkampanyekan zero waste dengan tagar #TanpaPlastik, mulai dari
penggunaan tumbler saat bepergian, hingga bulan lalu Mimin menghadiahkan tumbler baru untuk kupakai
bergantian dengan tumbler lamaku. Kemarin ketika terjadi gempa (2/8) di Jakarta dan pihak BMKG
mengumumkan adanya potensi tsunami, kami terpanggil untuk berdiskusi tentang kondisi Jakarta. Aku pikir
bencana di Jakarta itu sangat mungkin terjadi, bukan karena azab, tapi karena banyak pemicu gempa seperti
lempeng yang rentan akan pergeseran dan banyak sesar aktif di Pulau Jawa, kondisi tanah di Jakarta sekarang
pun mendukung akan ketidaksehatan dirinya sendiri. Tanah Jakarta turun lebih dari 7cm/tahun, salah satu
penyebabnya karena berkurangnya air tanah akibat diserap oleh gedung-gedung pencakar langit di sana, Min.

Beberapa menit kemudian Mimin nyeletuk, “kamu nggak usah pindah ke Malang aja”. Batinku, orang ini
aneh, kemarin-kemarin dia girang, sekarang malah mau mengusirku. Usut punya usut, Mimin juga sedang
mengkhawatirkan perkembangan desanya, dengan indikator cuaca Malang semakin panas tiap tahun, dan
banyak lagi dampak pembangunan yang membuatnya menyalahkan para arsitek juga pengembang. Memang,
di daerah Mimin sudah banyak sawah, ladang, dan perkebunan yang disulap jadi perumahan-perumahan
bercluster. Tahun lalu harga tanah di daerahnya masih kurang dari 1,3jt/m 2, tapi harganya langsung melejit
hingga 2jt/m2 setelah adanya peresmian Tol Singosari oleh Jokowi, terlebih akan ada Tol baru yang turun
langsung ke Bandara Abdurahman Saleh.

Tidak bisa dipungkiri sektor pemukiman akan terus tumbuh dan berkembang. Banyak dari para petani yang
berbondong-bondong menjual lahannya kepada pengembang. Muncullah pertanyaan, apa ini salah
pengembang atau bahkan arsitek yang hanya sebagai perancang atas hilangnya sawah dan ladang, jika para
petani sendiri yang ingin menjual lahannya? Kenapa tidak bertanya apa yang membuat petani-petani itu rela
melepas ladang mata pencahariannya untuk ditukar dengan tumpukan rupiah kontan? Apa yang membuat
mereka terdesak? Sudah pantaskah upah berton-ton beras yang mereka hasilkan hingga bersedia menjual
sawahnya? Atau justru kalah dengan beras impor? Pertanyaan-pertanyaan kompleks lain yang membuatku
meyakini bahwa regulasi pemerintah sangat berperan penting dan kecakapan pemerintah mengatur Rencana
Tata Ruang Wilayah serta Rencana Detail Tata Ruang Kota (RTRW/RDTRK) di wilayahnya sebagai konsekuensi
lahan hijau yang telah hilang, selain itu kemampuan pihak-pihak terkait dalam urusan mengatur harga pokok
beras lokal hingga eksistensinya bisa bersaing dengan beras impor tanpa menekan para petani lokal.

Begitu Min, kamu nggak bisa langsung menyalahkan Arsitek atas kondisi Jakarta dan hilangnya sawah-sawah
di daerahmu… di samping Tol-tol yang juga memapras luasan sawah secara signifikan.

Ditulis oleh Masfufatul Qibtiyah Y

Anda mungkin juga menyukai