Anda di halaman 1dari 2

Pernikahan Dini dan Peran Lintas Sektoral

Yovinus Guntur
Menikah adalah sebuah pilihan. Pilihan artinya setiap orang berhak menentukan
dengan siapa dia akan menikah. Dan, begitu memutuskan menikah, maka orang
lain, termasuk orang tua sekalipun bisa ikut campur dalam rumah tangga mereka.
Menikah bagi sebagian kalangan masyarakat mungkin hanya dianggap sebagai
gugur tugas saja. Salah satu ukuran menikah dikatakan gugur tugas adalah
semakin banyaknya pernikahan dini di Jawa Timur dari tahun ke tahun.
Data Pengadilan Agama Jawa Timur menyebutkan, di tahun 2015 lalu ada 3000
pasangan yang mengajukan permintaan dispensasi pernikahan. Untuk tahun 2016,
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKN) Jawa Timur masih terus
melakukan pendataan. Hanya saja, di bulan Januari Juni 2016, kabupaten Malang
dan Bondowoso tercatat sebagai wilayah dengan permintaan dispensasi pernikahan
tertinggi. Total di kabupaten Malang 200 permintaan dan di Bondowoso 100
permintaan.
Jumlah pernikahan dini yang terus meningkat, disebabkan oleh faktor tradisi,
ekonomi dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Dari tiga faktor tersebut bisa
disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat, terutama kaum muda tentang makna
pernikahan masih sangat minim. Dan tidak menutup kemungkinan menikah hanya
dipandang sebagai pelegalan seksualitas semata.
Meski menikah di bawah usia 18 tahun tidak melanggar UU No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, menikah di usia anak membawa resiko tersendiri. Mulai dari
kematangan emosi, manajemen keluarga hingga kesehatan reproduksi.
Kematangan emosi dan manajemen keluarga yang tidak tertata dengan baik, akan
bisa membawa pernikahan ke jurang perceraian. Untuk mengelola keduanya
diperlukan strategi khusus dan komunikasi yang baik diantara suami dan istri.
Terus meningkatnya angka pernikahan dini di Jatim, secara kebetulan juga dibarengi
dengan jumlah perceraian di Jawa Timur yang terus meningkat. Data Pengadilan
Agama Jawa Timur menyebutkan, di tahun 2015 ada 100 ribu kasus perceraian.
Jumlah perceraian ini meningkat dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Penyebab perceraian adalah faktor ekonomi, tidak harmonisnya hubungan suami
istri, serta kehadiran pihak ketiga.
Bagi mereka yang menikah di usia anak (dibawah usia 18 tahun), kaum perempuan
sebagian besar selalu menjadi korban. Terlebih jika mereka sudah memiliki anak.
Sekedar informasi, mereka yang menikah di usia anak, biasanya tidak memiliki
tingkat pendidikan yang baik.
Kaum perempuan yang bercerai tentunya akan bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan dirinya dan anak (jika ikut dengan ibu). Bagi mereka yang tidak memiliki
pendidikan baik, tentu akan bekerja ala kadarnya. Bahkan, ada juga yang bekerja di
tempat yang tidak semestinya.

Persoalan lainnya adalah sebutan janda. Bagi masyarakat Indonesia, janda selalu
dikonotasikan sebagi hal yang negatif serta menjadi bahan gunjingan dari
lingkungan sekitar.
Peran Semua Pihak
Saat ini yang bisa dilakukan adalah bagaimana cara untuk meminimalkan tingginya
angka pernikahan dini, terutama di daerah. Dalam hal ini, peran serta semua pihak
sangat diharapkan. Mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah dan media massa.
Dalam peran keluarga, orang tua merupakan sosok pertama yang harus memahami
tentang makna pernikahan. Mereka harus memahami bahwa pernikahan tidak
hanya sekedar legalitas semata atau sekedar menghindari aib dan perbincangan
lingkungan sekitar. Pernikahan harus dipahami sebagai perwujudan dari impian
anak-anak mereka.
Orang tua juga harus bisa memberikan pemahaman tentang makna pernikahan
kepada anak-anak mereka, karena menikah tidak hanya sekedar menghasilkan
keturunan semata.
Selain keluarga, peran sekolah juga sangat besar dalam hal ini. Guru harus lebih
berinovasi dalam memberikan pemahaman tentang seksualitas. Pemahaman ini
bisa dilakukan sejak usia Sekolah Dasar hingga SMA, dengan kadar pemahaman
yang berbeda. Seksualitas harus dinilai sebagai pengetahuan dan tidak lagi dinilai
sebagai hal yang tabu.
Pemerintah juga memiliki peran yang sangat besar dalam hal pernikahan dini.
Unsur pemerintah, mulai dari tingkat RT maupun perangkat desa harus mau
memberikan pemahaman dan sosialisasi tentang nilai-nilai pernikahan.
Langkah ini jika dilakukan akan bisa meminimalkan angka pernikahan dini dan
perceraian, sekaligus bisa mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT). Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung adalah salah
satu wilayah yang sukses mengurangi KDRT dan pernikahan dini. Minimnya KDRT
dan pernikahan dini di wilayah itu karena ketua RT mereka rajin melakukan
sosialisasi dan membuat peraturan yang harus ditaati semua warga.
Program 3 Ends yang digagas oleh Kementrian Pemberdayaan Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPPA) juga harus bisa dijalankan dengan baik. Melalui
program itu, negara harus bisa menjamin kesejahteraan perempuan, terlindunginya
perempuan dan kemandirian perempuan.
Peran yang tidak kalah pentingnya adalah media massa. Semakin pesatnya
pertumbuhan media massa di Indonesia, seharusnya bisa menjadi keuntungan
tersendiri dalam meminimalkan angka pernikahan dini. Media massa harus berani
dan mau memberi ruang untuk informasi terkait pernikahan dan segala
persoalannya.

Anda mungkin juga menyukai