Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,


vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata
dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.1
SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema,
vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir
serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun
ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus.
mekanisme terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang
memicunya.1
Kelainanan mata yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis yaitu
peradangan pada konjungtivitis yang mengeluarkan sekret mukopurulen. Peradangan
konjungtiva selain memberi keluhan yang khas pada anamnesis seperti gatal, pedih, seperti
ada pasir, rasa panas juga memberi gejala yang khas di konjuntiva, ada sekret. Jika meluas ke
kornea akan timbul silau dan ada air mata berlebihan (epifora).2 Gejala objektif paling ringan
adalah hiperemi dan berair sampai berat dengan pembengkakan bahkan nekrosis. Bangunan
yang sering tampak khas lainnya adalah folikel, flikten dan sebagainya.1
Kelainan mata (80%), yang tersering konjungtivitis kataralis. Dapat terjadi
konjungtivitis purulen, perdarahan, simbefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Konjungtivitis, penyakit mata ini, disebabkan peradangan akibat infeksi lapisan lendir yang
menutupi mata putih. Penyebab paling umum yang sering dijumpai adalah kuman, virus,
dan bakteri.1
Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-75%. Data perkiraan jumlah
penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari seluruh golongan umur  penduduk per
tahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain menunjukkan bahwadari 10 penyakit
mata utama, konjungtivitis menduduki tempat kedua (9,7%) setelahkelainan refraksi
(25,35%).1

1
1.1 Tujuan Penulisan
Untuk dapat menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, perjalanan penyakit hingga
penatalaksanaan dan prognosis dari konjungtivitis kataralis.

1.3 Manfaat Penulisan


2.1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan sebagai
tambahan referensi dalam bidang Ilmu Kesehatan Mata terutama mengenai
konjungtivitis kataralis.
b. Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan karya ilmiah
selanjutnya.

2.2. Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari referat
ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan diterapkan di kemudian hari
dalam praktik klinik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan yang membungkus
permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola mata. Konjungtiva terbagi menjadi
3 bagian yaitu (1) konjungtiva palpebra, menutupi permukaan belakang palpebra (2)
konjungtiva bulbi, menutupi permukaan depan bola mata hingga berbatasan dengan kornea di
limbus (3) konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan
konjungtiva bulbi.2
Konjungtiva palpebra
Hubungannya dengan tarsus sangat erat. Gambaran dari gl. Meibom yang ada di
dalamnya tampak membayang sebagai garis sejajar berwarna putih. Permukaan licin, di celah
konjungtiva terdapat kelenjar Henle.
Histologis : terdiri dari sel epitel silindris. Di bawahnya, stroma dengan bentuk
adenoid dengan banyak pembuluh getah bening.2
Konjungtiva forniks
Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan
yang di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan dan juga mengandung
banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila
terdapat peradangan mata. Dengan berkelok-keloknya konjungtiva ini, pergerakan mata
menjadi lebih mudah. Di bawah konjungtiva forniks superior terdapat gl. lakrimal dari
Krause. Melalui konjungtiva forniks superior juga terdapat muara saluran air mata.2
Konjungtiva bulbi
Tipis dan tembus pandang, meliputi bagian anterior bulbus okuli. Dibawah
konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra,
tetapi tak mempunyai kelenjar. Dari limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai
epitel kornea. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang
mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar yang
disebut karunkula.2

Perdarahan :

3
Berasal dari A.konjungtiva posterior dan A.siliaris anterior. Yang berasal dari
A.siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m.rektus menembus sklera dekat limbus untuk
mancapai bagian dalam mata. Juga memberi cabang-cabang yang mengelilingi kornea dan
memberi makanan kepada kornea.2
Persarafan :
Berasal dari N.V (I), yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama
dibagian palpebra.2

2.2 Definisi Sindrom Steven-Johnson (SJS)


Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk
yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai
nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih
ringan, disebut sebagai eritema multiforme.3
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-
Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-
kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.3

2.3. Etiologi SJS


Hampir semua kasus SJS disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama
antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri,

4
termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling
umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang).
Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu.3
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa
faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat
(salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan
(coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen,
keganasan, kehamilan).3

2.4. Patofisiologi SJS


Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh
kompleks soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat
limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.4

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk
yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang
rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun
beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan
jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan
dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan

5
jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai
gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi
imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan
kerusakan epidermis.4

Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell).
Sasaran utama SSJ ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan
terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain.
CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis
mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit.
TNF alfa meningkat di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi
kerusakan kulit sehingga terjadi:4

a) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan.


b) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan
glukosuriat.
c) Kegagalan termoregulasi.
d) Kegagalan fungsi imun.
e) Infeksi
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat
berupa didahului panas tinggi, dan nyeri yang berkelanjutan. Erupsi timbul mendadak,
gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa
mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala
prodromal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat
menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata
permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas
ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada
bibir sering dijumpai krusta hemoragik.4

2.5. Manifestasi SJS pada mata


2.5.1 Konjungtivitis

6
Konjungtivitis pada sindrom Steven Johnson merupakan konjungtivitis yang
disebabkan karena proses alergi akibat reaksi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi
cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada
reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat
atau lambat, atau reaksi antibody humoral terhadap allergen.5
Pada keadaan yang berat merupakan bagian dari sindrom Steven Johnson, suatu
penyakit eritema multiforme berat akibat reaksi alergi pada orang dengan prediposisi
alergi obat-obatan. Pada pemakaian mata palsu atau lensa kontak juga dapat terjadi reaksi
alergi. Dengan gambaran klinis berupa mata merah, sakit, bengkak, panas, berair, gatal,
dan silau. Sering berulang dan menahun, bersamaan dengan rinitis alergi. Biasanya
terdapat riwayat atopi sendiri atau dalam keluarga.4,5
Pada pemeriksaan ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palbebra dan
bulbi serta papil besar pada konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan komplikasi pada
konjungtiva. Pada keadaan akut dapat terjadi kemosis berat. Terapi pada konjungtivitis
akibat reaksi alergi biasanya akan sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan untuk
menghindarkan penyebab dan menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan
misalnya vasokonstriktor local pada keadaan akut (epinefrin 1:1.000), astringen, steroid
topical dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. 4
Untuk pencegahan diberikan Natrium kromoglikat 2% topical 4 kali sehari
untuk mencegah degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin
dan steroid sistemik. Penggunaan steroid sistemik berkepanjangan hrus dihindari karena
bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin
sistemik hanya sedikit bemanfaat. Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan bersifat
sistomatik dengan pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan sekret,
mediatrik, steroid topical dan pencegahan simblefaron.3
Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan
dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis,
iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi
erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu

7
yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.4

Sindrom Steven Johnson

Konjungtivitis

2.6. Konjungtivitis Kataralis

2.6.1 Definisi

8
Konjungtivitis kataralis akut disebut juga konjungtivitis mukopurulenta,
konjungtivitis akut simplek (pink eyes). Pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak.

2.6.2 Etiologi

Menurut Michael Silverman (2007), berdasarkan beberapa penelitian, penyebab


terbanyak dari konjungtivitis mukopurulen adalah bakteri. Beberapa bakteri yang
palingumum sebagai penyebabnya adalah:5

 Kokus Gram Positif : Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pyogenes, dan


Streptococcus pneumonia.
 Kokus Gram Negatif : Neisseria meningitidis dan Moraxella lacunata.
 Batang Gram negatif: genus Haemophilus dan famili Enterobacteriaceae
Penyakit ini sangat menular. Penyebabnya bisa: Stafilokokus, Hemofilus aegiptius
atau kuman Koch-Weeks, pneumokokus, serta dapat terjadi pada anak yang terkena
campak (morbili).7

2.6.3 Klasifikasi

Konjungtivitis kataralis dibagi menjadi 3, yaitu:6

1. Konjungtiva Kataralis Akut

Disebut juga konjungtivitis mukopurulenta, konjungtivitis akut asimplek


(pink eye). Merupakan penyakit menular dengan penularan melalui kontak langsung
dengan secret konjungtiva. Dapat mengenai satu atau dua mata. Etiologi: Koch-Weeks,
Stafilokokus aureus, Streptokokus viridians, dan virus.7,8

9
Gejala subjektif biasanya serasa seperti ada pasir atau ada benda asing di mata,
fotofobia (takut melihat sinar), jika secret menempel di kornea menimbulkan
kemunduran visus, lakrimasi (keluar air mata terus menerus), blefarospasme.6

Gejala obyektif dapat berupa:6,7

 Palpebra udem,
 Konjungtiva palpebra merah, kasar, seperti beludru karena ada infiltrasi
 Konjungtiva bulbi : injeksi konjungtival banyak, kemosis, dapat
ditemukan pseudomembran pada infeksi dengan pneumokokus. Kadang-kadang
disertai perdarahan subkonjungtiva kecil-kecil baik di konjungtiva palpebra maupun
konjungtiva bulbi yang biasanya disebabkan oleh pneumokokus atau virus.
 Blefarospasme, secret mucous, atau mukopurulen, kadang-kadang dapat disertai
blefaritis. Kadang-kadang dapat sembuh sendiri oleh resistensi tubuh setelah 1-2
minggu.

 2. Konjungtivitis Kataralis Subakut

Merupakan lanjutan dari konjungtivitis akut atau oleh virus haemofilus influenza.
Manifestasi klinik: Palpebra udem, konjungtiva palpebra tak begitu infiltratif, injeksi
konjungtiva (+), tidak ada blefarospasme, secret cair.6

  3. Konjungtivitis Kataralis Kronis

Kelanjutan dari konjungtivitis kataralis akut atau disebabkan oleh kuman Koch-
Weeks, Stafilokokkus aureus, Moraxella Axenfeld, E. Coli, atau dapat juga disebabkan
oleh obstruksi duktus nasolakrimalis.7

Gejala subyektif: Gatal, ngeres, rasa berat dimata,terasa ada pasir, pagi keluar
kotoran banyak di mata.6

10
Gejala Obyektif : palpebra : tak  bengkak, margo palpebra : blefaritis, konjungtiva
palpebra: sedikit merah, licin, kadang-kadang hipertrofis, konjungtiva bulbi : injeksi
konjungtiva ringan, dapatmengenai 1/ 2 mata, sekret : mukoid.6

  Tingkat keparahan konjungtivitis kataral ada dua bentuk, yaitu:7

 Bentuk ringan, berupa reaksi kataral membran mukosa konjungtiva. Ditandai dengan
hiperemi disertai diskar (discharge) mukus yang menyebabkan mata dompetdi pagi
hari akibat penimbulan eksudat di malam hari.
 Pada derajat yang lebih berat, ditandai dengan seluruh konjungtiva menjadi merah
(pink eye). Seluruh vasa konjungtiva mengalami kongesti yang disebut injeksi
konjungtiva. Timbul sekret mukopurulen yang kemudian menjadi purulen di forniks
dan tepi palpebra, sehingga bulu mata melekat satu sama lain oleh krusta
kuning/adanya sekret purulen yang menempel di kornea menyebabkan efek pisma di
kornea sehingga pasien melihat warna pelangi (halo) di sekitar lampu menyala. Harus
dibedakan dengan halo glaukomatosa pada serangan glaukoma akut. Penyakit ini
mencapai puncaknya di hari ketiga atau keempat. Apabila tidak diobati gejalanya
akan berkurang sendiri, tetapi kemudian berkembang menjadi kronis. Komplikasinya
adalah adanya abrasi kornea (lecet kornea) yang kemudian berkembang menjadi
ulkus (borok kornea. Kadang-kadang terjadi keratitis superfisialis atau ulkus
marginalis (ulkus di tepi kornea).8

11
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan bakteriologik dilakukan dengan mengambil eksudat dan dicat


dengan pengecatan gram. Pembuatan kultur akan membantu memberi keterangan tentang
kepekaan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan.8

12
2.6.5 Komplikasi

Infeksi sekunder pada mata yang mudah adalah kelompok Pnemokokus, Stafilokokus:9

 H. aegyptus banyak menimbulkan perdarahan subkonjungtiva


 H. influenza memberi eksudat cair
 N. gonokokus akan memberi eksudat nanah diikuti perusakan jaringan kornea
 Kuman difteri akan memberi eksudat membranous yang akan berdarah kalau
dikelupas
 Jenis kokus akan memberi eksudat psedomembran
 Micobacterium tuberkulosis dan Treponema pallidum akan memberi eksudat
granulomatous di konjungtiva dengan diikuti pembengkakan yang terlihat dan teraba
dikelenjar pre uricular.

13
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun
terhadap obat.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa
konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,
kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan.
Konjungtivitis kataral akut disebut juga konjungtivitis mukopurulenta,
konjungtivitis akut simplek (pink eyes). Pink eye, yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva
atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih
pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata. Mikroorganisme (virus, bakteri,
jamur), bahan alergen, iritasi menyebabkan kelopak mata terinfeksi sehingga kelopak mata
tidak dapat menutup dan membuka sempurna, karena mata menjadi kering sehingga terjadi
iritasi menyebabkan konjungtivitis.
Pengobatan spesifik tergantung dari identifikasi penyebab. Konjungtivitis karena
bakteri dapat diobati dengan sulfonamide atau antibiotika. Penanganannya dimulai dengan
edukasi pasien untuk memperbaiki higiene kelopak mata. Pembersihan kelopak 2 sampai 3
kali sehari dengan artifisial tears dan salep dapat menyegarkan dan mengurangi gejala pada
kasus ringan. Pada kasus yang lebih berat dibutuhkan steroid topikal atau kombinasi
antibiotik-steroid.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002
2. Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993.
3. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004.
4. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2 nd edition. EGC.
Jakarta. 2004.
5. Al-Ghozi, M. 2002. Konjungtivitis, Buku Ajar Oftalmologi. FKUMY. Jogjakarta: 54-59
6. Anonym. 2006. Conjunctivitis. Mc Kinley Health Center.
7. Ivan, R., Schwab, MD., Chandler, R., dan Dawson, MD., 2012, General
Ophthalmology, Dalam, Vaughan, G., Asburg, T., Riordan, P., (eds), Oftalmology
Umum, 16th (ed), Widya Medika, Jakarta.
8. Rossawantari A. Diagnosis Konjungtivitis kataralis. Ilmu Penyakit Mata RSUD Salatiga,
2011.
9. Mansjoer AM. Kapita Selekta edisi-4 jilid-1. Media Aesculapius FKUI: Jakarta, 2010.

15

Anda mungkin juga menyukai