Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN PADA

PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS


“MASTITIS”
DI RUANG BERSALIN RSUD GENTENG

OLEH:
RIA SUKMAWATI
2019.04.059

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
TAHUN 2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA
“MASTITIS”
DI RUANG BERSALIN RSUD GENTENG

Telah di setujui pada tanggal : .... April 2020

Oleh:

(RIA SUKMAWATI)

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(..................................................) (..................................................)

Mengetahui
Kepala Ruangan

(……………..…………………...)
LAPORAN PENDAHULUAN
MASTITIS
A. Definisi
Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara. Biasanya
terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri biasanya masuk
melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka. Pada infeksi yang berat atau tidak
diobati, dapat terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara).
Mastitis adalah reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan
sebagai komplikasi sumbatan saluran air susu (Masjoer, 2011).
Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai
infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis
laktasional atau mastitis puerperalis. Kadang-kadang keadaan ini dapat menjadi fatal
bila tidak diberikan tindakan yang adekuat. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal
di dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis. Keadaan inilah yang
menyebabkan beban penyakit bertambah berat (Sally I, Severin V.X, 2003 dalam
Anonim, 2013).
Sumber lain menyebutkan bahwa mastitis adalah infeksi dan peradangan pada
payudara yang terjadi melalui luka pada puting, dapat berasal dari peredaran darah.
Tanda–tanda mastitis yang dirasakan ibu adalah rasa panas dingin disertai kenaikan
suhu, ibu merasa lesu, tidak nafsu makan, payudara membesar, nyeri perabaan,
mengkilat dan kemerahan pada payudara, dan terjadi pada 3–4 minggu masa nifas. Hal
ini dapat diatasi dengan membersihkan puting sebelum dan sesudah menyusui;
menyusui pada payudara yang tidak sakit; kompres dingin sebelum
menyusui;menggunakan BH untuk menyokong payudara, berikan antibiotik dan
analgetik, istirahat yang cukup dan banyak minum (USU, 2010).
Mastitis adalah infeksi yang disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus
hingga puting susu mengalami sumbatan. Mastitis paling sering terjadi pada minggu
kedua dan ketiga pasca kelahiran.Penyebab penting dari mastitis ini adalah pengeluaran
ASI yang tidak efisien akibat teknik menyusui yang buruk.Untuk menghambat
terjadinya mastitis ini dianjurkan untuk menggunakan bra atau pakaian dalam yang
memiliki penyangga yang baik pada payudaranya (Sally I, 2003 dalam Anonim, 2013).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat di tarik suatu kesimpulan
mastitis adalah suatu infeksi atau peradangan pada jaringan payudara yang diakibatkan
karena adanya bakteri (staphylococcus aureus) yang masuk melalui puting susu yang
pecah-pecah atau terluka.
B. Klasifikasi
Mastitis diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu: mastitis puerparalis epidemic,
mastitis aninfeksosa, mastitis subklinis dan mastitis infeksiosa. Dimana keempat jenis
tersebut muncul dalam kondisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah sebagai berikut
(Bertha, 2002 dalam Djamudin, 2011):

1. Mastitis Puerparalis Epidemik


Mastitis puerparalis epidemic ini biasanya timbul apabila pertama kali bayi dan
ibunya terpajan pada organisme yang tidak dikenal atau verulen. Masalah ini paling
sering terjadi di rumah sakit, yaitu dari infeksi silang atau bekesinambungan strain
resisten.
2. Mastitis Noninfesiosa
Mastitis moninfeksiosa terjadi apabila ASI tidak keluar dari sebagian atau
seluruh payudara, produksi ASI melambat dan aliran terhenti. Namun proses ini
membutuhkan waktu beberapa hari dan tidak akan selesai dalam 2–3 minggu. Untuk
sementara waktu, akumulasi ASI dapat menyebabkan respons peradangan.
3. Mastitis Subklinis
Mastitis subklinis telah diuraikan sebagai sebuah kondisi yang dapat disertai
dengan pengeluaran ASI yang tidak adekuat, sehingga produksi ASI sangat
berkurang yaitu kira-kira hanya sampai di bawah 400 ml/hari (<400 ml/hari).
4. Mastitis Infeksiosa
Mastitis infeksiosa terjadi apabila siasis ASI tidak sembuh dan proteksi oleh
faktor imun dalam ASI dan oleh respon–respon inflamasi. Secara normal, ASI segar
bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

C. Epidemiologi
Organisasi kesehatan dunia/WHO (2008) memperkirakan lebih dari 1,4 juta orang
terdiagnosis menderita mastitis. The American Society memperkirakan 241.240 wanita
Amerika Serikat terdiagnosis mastitis. Sedangkan di Kanada jumlah wanita yang
terdiagnosis mastitis adalah 24.600 orang dan di Australia sebanyak 14.791 orang. Di
Indonesia diperkirakan wanita yang terdiagnosis mastitis adalah berjumlah 876.665
orang dan di Sumatera Utara berkisar antara 40-60% wanita terdiagnostik mastitis
(Djamudin, 2011).
Berdasarkan hasil survei lapangan, ditemukan jumlah penderita mastitis di Klinik
Bidan Elfrida Fitri Simamora Periode Tahun 2008 (Januari-Desember) adalah sebanyak
30 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya pengetahuan ibu post partum
tentang mastitis terutama dalam teknik menyusui yang baik (Fitri, 2015).
Mastitis dan abses payudara terjadi hampir pada semua populasi. Insiden yang
dilaporkan bervariasi sampai 33% wanita menyusui, tetapi biasanya di bawah 10%.
Walaupun demikian, menurut beberapa laporan, terutama dari negara-negara
berkembang, suatu abses dapat terjadi tanpa didahului dengan mastitis yang nyata.
Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga pasca kelahiran, dengan
sebagian besar laporan menunjukkan bahwa 74% sampai 95% kasus terjadi dalam 12
minggu pertama. Namun, mastitis juga dapat terjadipada setiap tahap laktasi, termasuk
pada tahun kedua. Abses payudara juga paling sering terjadi pada 6 minggu pertama
pascakelahiran tetapi dapat timbul kemudian (Anonim, 2013).

D. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko mastitis (Prasetyo, 2010),
yaitu:
a. Umur
Wanita berumur 21-35 tahun lebih sering menderita mastitis dari pada wanita di
bawah usia 21 tahun atau di atas 35 tahun.
b. Serangan sebelumnya
Serangan mastitis pertama cenderung berulang, hal ini merupakan akibat teknik
menyusui yang buruk yang tidak diperbaiki.
c. Melahirkan
Komplikasi melahirkan dapat meningkatkan risiko mastitis, walupun penggunaan
oksitosin tidak meningkatkan resiko.
d. Gizi
Asupan garam dan lemak tinggi serta anemia menjadi faktor predisposisi
terjadinya mastitis. Wanita yang mengalami anemia akan beresiko mengalami
mastitis karena kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan
tubuh mengalami infeksi (mastitis). Antioksidan dari vitamin E, vitamin A dan
selenium dapat mengurangi resiko mastitis.
e. Faktor kekebalan dalam ASI
Faktor kekebalan dalam ASI dapat memberikan mekanisme pertahanan dalam
payudara.
f. Pekerjaan di luar rumah
Interval antar menyusui yang panjang dan kekurangan waktu dalam pengeluaran
ASI yang adekuat sehingga akan memicu terjadinya statis ASI.
g. Trauma
Trauma pada payudara yang disebabkan oleh apapun dapat merusak jaringan
kelenjar dan saluran susu dan hal tersebut dapat menyebabkan mastitis.
E. Etiologi
Infeksi payudara biasanya disebabkan oleh bakteri yang banyak ditemukan pada
kulit yang normal yaitu Staphylococcus aureus. Bakteri ini seringkali berasal dari mulut
bayi yang masuk ke dalam saluran air susu melalui sobekan atau retakan di kulit pada
puting susu. Mastitis biasanya terjadi pada wanita yang menyusui dan paling sering
terjadi dalam waktu 1-3 bulan setelah melahirkan. Sekitar 1-3% wanita menyusui
mengalami mastitis pada beberapa minggu pertama setelah melahirkan.
Soetjiningsih (1997) dalam Anonim, 2013 menyebutkan bahwa peradangan pada
payudara (Mastitis) di sebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Payudara bengkak yang tidak disusu secara adekuat, akhirnya tejadi mastitis.
b. Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadi payudara bengkak.
c. Penyangga payudara yang terlalu ketat, mengakibatkan segmental engorgement
sehingga jika tidak disusu secara adekuat bisa erjadi mastitis.
d. Ibu yang memiliki diet jelek, kurang istirahat, anemia akan mempermudah terkena
infeksi.
Pada wanita pasca menopause, infeksi payudara berhubungan dengan peradangan
menahun dari saluran air susu yang terletak di bawah puting susu.
Perubahan hormonal di dalam tubuh wanita menyebabkan penyumbatan saluran air
susu oleh sel-sel kulit yang mati. Saluran yang tersumbat ini menyebabkan payudara
lebih mudah mengalami infeksi. Dua penyebab utama mastitis adalah stasis ASI dan
infeksi. Stasis ASI biasanya merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau
berkembang menuju infeksi.Guther pada tahun 1958 menyimpulkan dari pengamatan
klinis bahwa mastitis diakibatkan oleh stagnasi ASI di dalam payudara, dan bahwa
pengeluaran ASI yang efisien dapat mencegah keadaan tersebut.Ia menyatakan bahwa
bila terjadi infeksi, bukan primer, tetapi diakibatkan oleh stagnasi sebagai media
pertumbuhan bakteri.
Thomsen,dkk pada tahun 1984 menghasilkan bukti tambahan tentang
pentingnya stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan bakteri dalam ASI dari
payudara dengan tanda klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut, yaitu:
a. Stasis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini
terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat jika bayi
tidak mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan yang
tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui, sumbatan pada saluran ASI,
suplai ASI yang sangat berlebihan dan menyusui untuk kembar dua/lebih. Statis ASI
dapat membaik hanya dengan terus menyusui, tentunya dengan teknik yang benar.
b. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis noninfeksiosa)
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut:Adanya bercak
panas/nyeri tekan yang akut, bercak kecil keras yang nyeri tekan, dan tidak terjadi
demam dan ibu masih merasa baik-baik saja.Mastitis non infeksiosa membutuhkan
tindakan pemerasan ASI setelah menyusui.
c. Mastitis infeksiosa
Mastitis jenis ini biasanya ditandai dengan gejala sebagai berikut: lemah, nyeri
kepala seperti gejala flu, demam suhu > 38,5 derajat celcius, ada luka pada puting
payudara, kulit payudara tampak menjadi kemerahan atau mengkilat, terasa keras
dan tegang, payudara membengkak, mengeras, dan teraba hangat, dan terjadi
peningkatan kadar natrium sehingga bayi tidak mau menyusu karena ASI yang terasa
asin. Mastitis infeksiosa hanya dapat diobati dengan pemerasan ASI dan antibiotik
sistemik. Tanpa pengeluaran ASI yang efektif, mastitis non infeksiosa sering
berkembang menjadi mastitis infeksiosa, dan mastitis infeksiosa menjadi
pembentukan abses.

F. Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala dari mastitis ini biasanya berupa:
a. Payudara yang terbendung membesar, membengkak, keras dan
kadang terasa nyeri.
b. Payudara dapat terlihat merah, mengkilat dan puting teregang menjadi
rata.
c. ASI tidak mengalir dengan mudah, dan bayi sulit mengenyut untuk
menghisap ASI sampai pembengkakan berkurang.
d. Ibu akan tampak seperti sedang mengalami flu, dengan gejala demam,
rasa dingin dan tubuh terasa pegal dan sakit.
e. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama
dengan payudara yang terkena.
Gejala yang muncul juga hampir sama dengan payudara yang membengkak
karena sumbatan saluran ASI antara lain :
a. Payudara terasa nyeri
b. Teraba keras
c. Tampak kemerahan
d. Permukaan kulit dari payudara yang terkena infeksi juga tampak seperti pecah–
pecah, dan badan terasa demam seperti hendak flu, bila terkena sumbatan tanpa
infeksi, biasanya di badan tidak terasa nyeri dan tidak demam. Pada payudara juga
tidak teraba bagian keras dan nyeri serta merah.
Namun terkadang dua hal tersebut sulit untuk dibedakan, gampangnya bila didapat
sumbatan pada saluran ASI, namun tidak terasa nyeri pada payudara, dan permukaan
kulit tidak pecah – pecah maka hal itu bukan mastitis. Bila terasa sakit pada payudara
namun tidak disertai adanya bagian payudara yang mengeras, maka hal tersebut bukan
mastitis (Pitaloka, 2001 dalam Anonim, 2013).

G. Patofisiologi
Secara garis besar, mastitis atau peradangan pada payudara dapat terjadi karena
proses infeksi ataupun noninfeksi. Namun semuanya bermuara pada proses infeksi.
Mastitis akibat proses noninfeksi berawal dari proses laktasi yang normal. Namun
karena sebab-sebab tertentu maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan pengeluaran
ASI atau yang biasa disebut sebagai stasis ASI.Hal ini membuat ASI terperangkap di
dalam ductus dan tidak dapat keluar dengan lancar.Akibatnya mammae menjadi
tegang.Sehingga sel epitel yang memproduksi ASI menjadi datar dan
tertekan.permeabilitas jaringan ikat meningkat, beberapa komponen(terutama protein
dan kekebalan tubuh dan natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan jaringan sekitar
sel memicu respon imun. Terjadi inflmasi hingga sehingga mempermudah terjadinya
infeksi.Kondisi ini membuat lubang duktus laktiferus menjadi port de entry bakteri,
terutama bakteri Staphylococcus aureus dan Strepcococcus sp.
Hampir sama dengan kejadian pada mastitis noninfeksi, mastitis yang terjadi
akibat proses infeksi terjadi secara langsung, yaitu saat timbul fisura/robekan/perlukaan
pada puting yang terbentuk saat awal laktasi akan menjadikanport de entry/tempat
masuknya bakteri. Proses selanjutnya adalah infeksi pada jaringan mammae (Anonim,
2013)

H. Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapat muncul karena mastitis.
a. Abses payudara
Abses payudaramerupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba
keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus memikirkan
kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut
menjadi abses.Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi
adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi
jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin
diperlukan aspirasi jarum secara serial/berlanjut. Pada abses yang sangat besar
terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan, ibu harus
mendapatkan terapi medikasi antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu
dikultur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

b. Mastitis berulang/kronis
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau tidak
adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, mengonsumsi
makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis
berulang karena infeksi bakteri biasanya diberikan antibiotik dosis rendah
(eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui.
c. Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur seperti
candida albicans.Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat terapi
antibiotik.Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa rasa
terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusui
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Pada
kasus ini, ibu dan bayi perlu mendapatkan pengobatan. Pengobatan terbaik adalah
mengoles nistatin krim yang juga mengandung kortison ke puting dan areola
setiap selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang
sama.

I. Pengobatan
Setelah diagnosa mastitis dipastikan, hal yang harus segera dilakukan adalah
pemberian susu kepada bayi dari mamae yang sakit dihentikan dan diberi antibiotik.
Dengan tindakan ini terjadinya abses seringkali dapat dicegah, karena biasanya infeksi
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penicilin dalam dosis cukup tinggi dapat
diberikan sebagai terapi antibiotik. Sebelum pemberian penicilin dapat diadakan
pembiakan/kultur air susu, supaya penyebab mastitis benar-benar diketahui. Apabilaada
abses maka nanah dikeluarkan,kemudian dipasang pipa ke tengah abses agar nanah
dapat keluar terus. Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus, sayatan dibuat
sejajar dengan jalannya duktus-duktus tersebut.
Prinsip-prinsip utama penanganan mastitis adalah:
1. Konseling suportif
Mastitis merupakan pengalaman yang paling banyak wanita merasa sakit dan
membuat frustasi. Selain dalam penanganan yang efektif dan pengendalian nyeri,
wanita membutuhkan dukungan emosional. Ibu harus diyakinkan kembali tentang
nilai menyusui, yang aman untuk diteruskan, bahwa ASI dari payudara yang terkena
tidak akan membahayakan bayinya dan bahwa payudaranya akan pulih, baik bentuk
maupun fungsinya. Klien membutuhkan bimbingan yang jelas tentang semua
tindakan yang dibutuhkan untuk penanganan, dan bagaimana meneruskan
menyusui/memeras ASI dari payudara yang sakit. Klien akan membutuhkan tindak
lanjut untuk mendapat dukungan terus menerus dan bimbingan sampai kondisinya
benar-benar pulih.
2. Pengeluaran ASI dengan efektif
Hal ini merupakan bagian terapi terpenting, antara lain:
a. Bantu ibu memperbaiki kenyutan bayi pada payudaranya
b. Dorong untuk sering menyusui, sesering dan selama bayi menghendaki, tanpa
pembatasan
c. Bila perlu peras ASI dengan tangan/pompa/botol panas, sampai menyusui dapat
dimulai lagi
3. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik diindikasikan pada:
a. Hitung sel dan koloni bakteri dan biakan yang ada serta menunjukkan infeksi
b. Gejala berat sejak awal
c. Terlihat puting pecah-pecah
d. Gejala tidak membaik setelah 12-24 jam setelah pengeluaran ASI diperbaiki maka
Laktamase harus ditambahkan agar efektif terhadap Staphylococcus aureus.
Untuk organisme gram negatif, sefaleksin/amoksisillin mungkin paling tepat. Jika
mungkin, ASI dari payudara yang sakit sebaiknya dikultur dan sensivitas bakteri
antibiotik ditentukan.

Antibiotik Dosis
Eritromisin 250-500 mg setiap 6 jam
Flukloksasilin 250 mg setiap 6 jam
Dikloksasilin 125-250 mg setiap 6 jam per oral
Amoksasilin (sic) 250-500 mg setiap 8 jam
Sefaleksin 250-500 setiap 6 jam

Tabel 1.1 Dosis Antibiotik


e. Pada kasus infeksi mastitis, penanganannya antara lain:
1. Berikan antibiotik Kloksasilin 500 mg per oral 4 kali sehari setiap 6 jam selama 10
hari atau eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10 hari.
2. Bantulah ibu agar tetap menyusui
3. Bebat/sangga payudara
4. Kompres hangat sebelum menyusui untuk mengurangi bengkak dan nyeriyaitu
dengan memberikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam dan lakukan
evaluasi secara rutin.

Pengobatan yang tepat dengan pemberian antibiotik, mintalah pada dokter


antibiotik yang baik dan aman untuk ibu yang menyusui, selain itu bila badan terasa
panas, ibu dapat minum obat turun panas, kemudian untuk bagian payudara yang terasa
keras dan nyeri, dapat dikompres dengan menggunakan air hangat untuk mengurangi
rasa nyeri.
Bila tidak tahan nyeri, dapat meminum obat penghilang rasa sakit, istirahat
yang cukup amat perlu untuk mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat kembali.
Disamping itu, makan dan minum yang bergizi, minum banyak air putih juga akan
membantu menurunkan demam, biasanya rasa demam dan nyeri itu akan hilang dalam
dua atau tiga hari dan ibu akan mampu beraktivitas seperti semula

4. Terapi simtomatik
Nyeri sebaiknya diterapi dengan analgesik. Ibuprofen dipertimbangkan sebagai
obat yang paling efektif dan dapat membantu mengurangi inflamasi dan nyeri.
Parasetamol merupakan alternatif yang paling tepat. Istirahat sangat penting, karena
tirah baring dengan bayinya dapat meningkatkan frekuensi menyusui, sehingga dapat
memperbaiki pengeluaran susu. Tindakan lain yang dianjurkan adalah penggunaan
kompres hangat pada payudara yang akan menghilangkan nyeri dan membantu aliran
ASI, dan yakinkan bahwa ibu cukup minum cairan. Dilakukan pengompresan hangat
pada payudara selama 15-20 menit, 4 kali/hari. Diberikan antibiotik dan untuk mencegah
pembengkakan, sebaiknya dilakukan pemijatan dan pemompaan air susu pada payudara
yang terkena.
a. Mastitis (Payudara tegang / indurasi dan kemerahan)
 Berikan klosasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan sebelum
terbentuk abses biasanya keluhannya akan berkurang.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Bila diperlukan berikan Parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam.
 Ibu harus didorong menyusui bayinya walau ada PUS.
 Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan.
b. Abses Payudara (Terdapat masa padat, mengeras di bawah kulit yang kemerahan).
 Diperlukan anestesi umum.
 Insisi radial dari tengah dekat pinggir aerola, ke pinggir supaya tidak mendorong
saluran ASI.
 Pecahkan kantung PUS dengan klem jaringan (pean) atau jari tangan.
 Pasang tampon dan drain, diangkat setelah 24 jam.
 Berikan Kloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari.
 Sangga payudara.
 Kompres dingin.
 Berikan parasetamol 500 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan.
 Ibu dianjurkan tetap memberikan ASI walau ada pus.
 Lakukan follow up setelah peberian pengobatan selama 3 hari.
Jika terjadi abses, biasanya dilakukan penyayatan dan pembuangan nanah, serta
dianjurkan untuk berhenti menyusui.Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat pereda
nyeri (misalnya acetaminophen atau ibuprofen).Kedua obat tersebut aman untuk ibu
menyusui dan bayinya.

J. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya mastitis dapat dilakukan beberapa tindakan sebagai
berikut (Soetjiningsih, 1997):
a. Menyusui secara bergantian antara payudara kiri dan kanan
b. Untuk mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran, kosongkan payudara
dengan cara memompanya
c. Gunakan teknik menyusui yang baik dan benar untuk mencegah robekan/luka pada
puting susu
d. Minum banyak cairan
e. Menjaga kebersihan puting susu
f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyusui.
Tindakan-tindakan berikut ini juga dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
mastitis, yaitu:
a. Perbaikan pemahaman penatalaksanaan menyusui
 Menyusui sedini mungkin setelah melahirkan;
 Menyusui dengan posisi yang benar;
 Memberikan ASI On Demand dan memberikan ASI eklusif;
 Makan dengan gizi yang seimbang;
b. Pemberian infotentang hal-hal yang mengganggu proses menyusui, membatasi,
mengurangi isapan proses menyusui dan meningkatkan statis ASI antara lain:
 Penggunaan dot;
 Pemberian minuman lain pada bayi pada bulan-bulan pertama;
 Tindakan melepaskan mulut bayi dari payudara pertama sebelum bayi siapuntuk
menghisap payudara yang lain;
 Beban kerja yang berat atau penuh tekanan;
 Kealpaan menyusui bila bayi mulai tidur sepanjang malam
 Trauma payudara karena tindakan kekerasan atau penyebab lain.
c. Pemberian infotentang penatalaksaan yang efektif pada payudara yangpenuh dan
kencang. Adapun hal-hal yang harus dilakukan yaitu:
 Ibu harus dibantu untuk memperbaiki kenyutan pada payudara oleh bayinya untuk
memperbaiki pengeluaran ASI serta mencegah luka pada punting susu.
 Ibu harus didorong untuk menyusui sesering mungkin dan selama bayi
menghendaki tanpa batas.
 Perawatan payudara dengan dikompres dengan air hangat dan pemerasan ASI
d. Pemberian informasi tentang perhatian dini terhadap semua tanda statis ASIIbu harus
memeriksa payudaranya untuk melihat adanya benjolan, nyeri/panas/kemerahan:
 Bila ibu mempunyai salah satu faktor resiko, seperti kealpaan menyusui.
 Bila ibu mengalami demam/merasa sakit, seperti sakit kepala.
 Bila ibu mempunyai satu dari tanda-tanda tersebut, maka ibu perlu
untuk:beristirahatdi tempat tidur bila mungkin, sering menyusui pada payudara
yang terkena, mengompres panas pada payudara yang terkena, berendam dengan
air hangat/pancuran, memijat dengan lembut setiap daerah benjolan saat bayi
menyusui untuk membantu ASI mengalir dari daerah tersebut, mencari
pertolongan dari nakes bila ibu merasa lebih baik selanjutnya.
e. Perhatian dini pada kesulitan menyusui lain
Ibu membutuhkan bantuan terlatih dalam menyusui setiap saat dan ibu
mengalami kesulitan yang dapat menyebabkan statis ASI, seperti:
 Nyeri/puting pecah-pecah
 Ketidaknyaman payudara setelah menyusui
 Kompresi puting susu (garis putih melintasi ujung puting ketika bayi melepaskan
payudara)
 Bayi yang tidak puas, menyusu sangat sering, jarang atau lama
 Kehilangan percaya diri pada suplay ASInya, menganggap ASInya tidak cukup
 Pengenalan makanan lain secara dini
 Menggunakan dot
f. Pengendalian infeksi
Petugas kesehatan dan ibu perlu mencuci tangan secara menyeluruh dan sering
sebelum dan setelah kontak dengan bayi. Kontak kulit dini, diikuti dengan rawat
gabung bayi dengan ibu merupakan jalan penting untuk mengurangi infeksi rumah
sakit.

K. Pemeriksaan Penunjang
Data yang mendukung pemeriksaan yang tidak dapat diketahui dengan
pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Pada ibu nifas
dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen (Wiknjosastro,
2005). Namuan World Health Organization (WHO) menganjurkan pemeriksaan kultur
dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan yaitu bila:
a. pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik dalam 2 hari;
b. terjadi mastitis berulang;
c. mastitis terjadi di rumah sakit; dan
d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.
Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan yang
langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus dibersihkan
terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh puting untuk
mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang dapat memberikan hasil
positif palsu dari kultur. Beberapa penelitian memperlihatkan beratnya gejala yang
muncul berhubungan erat dengan tingginya jumlah bakteri atau patogenitas bakteri.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas klien :
Nama : Jelas dan lengkap, jika perlu tanyakan nama panggilan sehari-harinya
agar tidak salah pasien ketika memberikan perawatan.
Umur : wanita yang berumur 21-35 tahun lebih sering mengalami mastitis
daripada wanita yang berumur dibawah 21 tahun dan di atas 35 tahun.
Umur <21 tahun diperkirakan bahwa alat-alat reproduksinya masih
belum matang, mental dan psikisnya juga belum siap. Sedangkan umur
>35 tahun akan rentan sekali untuk terjadi perdarahan dalam masa nifas.
Hal tersebut akan memicu terjadinya mastitis ini.
Pendidikan : biasanya wanita yang status pendidikannya rendah akan banyak yang
mengalami penyakit ini dikarenakan mereka tidak mengetahui tentang
penyakit serta pengobatan dan teknik perawatan payudara yang benar
untuk kesehatan. Selain itu aspek pendidikan juga akan mempengaruhi
dalam tindakan keperawatan yang akan diberikan, sehingga perawat
dapat memberi asuhan keperawatan dan konseling yang sesuai dengan
kondisi pasien.
Pekerjaan : wanita yang bekerja di luar rumah (sebagai wanita karier) saat
mempunyai kewajiban untuk menyusui anaknya adalah termasuk
kelompok yang berisiko tinggi mengalami mastitis. Hal itu disebabkan
oleh kesibukan kerjanya ini akan menjadi penghambat pengeluaran ASI
sehingga menimbulkan terjadinya stasis ASI yang dapat menjadi salah
satu pencetus penyakit mastitis ini.
Selain itu juga aspek pekerjaan ini untuk mengetahui dan mengukur
tingkat sosial ekonomi pasien, karena hal itu dimungkinkan dapat
mempengaruhi dalam pemenuhan gizi pasien yang memungkinkan
timbulnya penyakit mastitis ini.
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
Kemungkinan wanita yang mengalami mastitis ini karena adanya faktor-faktor
predisposisi seperti faktor kekebalan ASI yang rendah, sehingga dapat dengan
mudah mengalami infeksi utamanya pada payudara (mastitis). Asupan nutrisi yang
tidak adekuat dan lebih banyak mengandung garam dan lemak juga dapat memicu
terjadinya mastitis, adanya riwayat trauma pada payudara juga dapat menjadi
penyebab terjadinya mastitis karena adanya kerusakan pada kelenjar dan saluran
susu. Selain itu juga dengan adanya faktor penyebab yang pasti seperti stasis ASI
karena bayi yang susah menyusu, adanya luka lecet di area puting susu dan
penggunaan bra yang tidak tepat/teralalu ketat juga dapat menjadi penyebab
terjadinya mastitis, dimana hal-hal tersebut kemungkinan besar adalah merupakan
hal yang sering sekali diabaikan oleh wanita. Infeksi mammae pada kehamilan
sebelumnya juga dapat menjadi penyebab terjadinya mastitis.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien biasanya kelihatan lemah, suhu tubuh meningkat (>38 derajat celcius),
tidak ada nafsu makan, nyeri pada daerah mammae, bengkak dan merah pada
mammae. Jika tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat, maka dapat timbul
berbagai komplikasi seperti abses payudara, infeksi berulang dan infeksi jamur.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, misalnya
memberikan info tentang perawatan payudara, teknik menyusui yang benar, dsb.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Faktor herediter tidak mempengaruhi kejadian mastitis.
c. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Persepsi: masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa nyeri yang sering
muncul saat masa menyusui adalah hal yang normal, dimana tidak perlu
mendapatkan perhatian khusus untuk penanganannya. Pasien dengan mastitis
biasanya kebersihan badannya kurang terjaga terutama pada area payudara dan
lingkungan yang kurang bersih.
2. Pola Nutrisi / Metabolik
Asupan garam yang terlalu tinggi juga dapat memicu terjadinya mastitis. Dengan
adanya asupan garam yang terlalu tinggi maka akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar natrium dalam ASI, sehingga bayi tidak mau menyusu pada
ibunya karena ASI yang terasa asin. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya
penumpukan ASI dalam payudara (Stasis ASI) yang dapat memicu terjadinya
mastitis.
Wanita yang mengalami anemia juga akan beresiko mengalami mastitis karena
kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga hal itu akan memudahkan tubuh
mengalami infeksi (mastitis). Pemenuhan nutrisi juga seringkali menurun akibat
dari penurunan nafsu makan karena nyeri dan peningkatan suhu tubuh.
3. Pola Eliminasi
Secara umum pada pola eliminasi tidak mengalami gangguan yang spesifik akibat
terjadinya mastitis.
a. Tidak ada nyeri saat berkemih
b. Konsistensi dan warna normal
c. Jumlah dan frekuensi berkemih normal.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola aktivitas terganggu akibat peningkatan suhu tubuh (hipertermi : >38 derajat
celcius) dan nyeri. Sehingga biasanya pasien akan mengalami penurunan aktivitas
karena lebih fokus pada gejala yang muncul.
5. Pola Tidur dan Istirahat
Pola tidur terganggu karena kurang nyaman saat tidur, mengeluh nyeri. Pasien
akan lebih fokus pada gejala yang muncul pula.
6. Pola Kognitif dan Perseptual
Kurang mengetahui kondisi yang dialami, anggapan yang ada hanya nyeri
biasa.Pasien merasa biasa dan jika ada orang lain yang mengetahui dapat terjadi
penurunan harga diri.
7. Pola Persepsi Diri
Tidak ada gangguan.
8. Pola Seksual dan Reproduksi
Biasanya seksualitas terganggu akibat adanya penurunan libido dan pasien pasti
akan lebih fokus pada gejala yang muncul sehingga untuk pemenuhan kebutuhan
seksualitas ini sudah tidak lagi menjadi prioritas.
9. Pola Peran dan Hubungan
Ada gangguan, lebih banyak untuk istirahat karena nyeri.
10. Pola Manajemen Koping-Stress
Pasien terlihat tidak banyak bicara, banyak istirahat.
11. Sistem Nilai dan Keyakinan
Biasanya akan mengalami gangguan, namun hal itu juga tergantung pada
masing-masing individu, kadangkala ada individu yang lebih rajin ibadah dan
mendekatkan diri kepada Tuhan.namun di lain sisi juga ada individu yang karena
sakit itu, ia malah menyalahkan dan menjauh dari Tuhan.
d. Pengkajian Fisik
1. Keadaan Umum
a) Keadaan Umum: pada ibu dengan mastitis keadaan umumnya baik.
b) Derajat kesadaran : pada ibu dengan mastitis derajat kesadarannya adalah
compos mentis.
c) Derajat gizi : pada ibu dengan mastitis derajat gizinya cukup.
2. Pemeriksaan Fisik Head to too
a) Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah: pada ibu dengan mastitis TD dalam keadaan normal 120/80
mmHg
- Nadi: pada ibu dengan mastitis nadi mengalami penaikan 90-110/menit.
Dimna normalnya 60-80/menit.
- Frekuensi Pernafasan: pada ibu dengan mastitis frekuensi pernafasan
mengalami peningkatan 30x/menit. Dimana normalnya 16-20x/menit.
- Suhu: suhu tubuh waniti setelah partus dapat terjadi peningkatan suhu badan
yaitu tidak lebih dari 37,2ᵒ C dan pada ibu dengan mastitis, suhu mengalami
peningkatan sampai 39,5ᵒ C.
b) Kulit
Tidak ada gangguan, kecuali pada area panyudara sehingga perlu
pemeriksaan fisik yang terfokus pada panyudara.
c) Kepala
Pada area ini tidak terdapat gangguan. Namun biasanya ibu dengan mastitis
mengeluh nyeri kepala seperti gejala flu.
d) Wajah
Wajah terlihat meringis kesakitan.
e) Mata
Pada ibu dengan mastitis konjungtiva terlihat anemis. Dimana anemia
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya mastitis, karena seseorang
dengan anemis akan mudah mengalami infeksi.
f) Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi (-/-). Tidak ada
gangguan pada area ini.
g) Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-). Tidak ada gangguan pad
area ini.
h) Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-). Tidak ada gangguan ada area
ini.
i) Tenggorokan
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1 - T1. Tidak ada
gangguan pada area ini.
j) Leher
Pada area leher tidak di temukan adanya gangguan atau perubahan fisik.
k) Kelenjar getah bening
Pada kelenjar bening yang terdapat pada area ketiak terjadi pembesaran.
pembesaran kelenjar getah bening ketiak pada sisi yang sama dengan payudara
yang terkena mastitis.
l) Panyudara
Biasanya pada daerah panyudara terlihat kemerahan atau mengkilat,
gambaran pembuluh darah terlihat jelas di permukaan kulit, terdapat lesi atau
luka pada puting panyudara, panyudara teraba keras dan tegang, panyudara
teraba hangat, terlihat bengkak, dan saat di lakukan palpasi terdapat pus.
m) Toraks
Bentuk: normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris. Tidak ada
gangguan pada derah toraks.
 Cordis:
1) Inspeksi: iktus kordis tidak tampak
2) Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
4) Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
 Pulmo: 
1) Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
2) Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
3) Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
4) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+) Suara tambahan: (-/-)
n) Abdomen
1) Inspeksi: dinding perut lebih tinggi dari dinding dada karena post partum
sehingga pembesaran fundus masih terlihat.
2) Auskultasi: bising usus (+) normal
3) Perkusi: tympani
4) Palpasi: supel, hepar dan lien tidak teraba
e. Pemeriksaan penunjang
Pada ibu nifas dengan mastitis tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium/rontgen
(Wiknjosastro, 2015). Namun jika dilakukan pemeriksaan laboratorium biasanya
ditemukan jumlah sel darah putih (SDP) meningkat karena adanya reaksi inflamasi. Selain
itu pada pemeriksaan kultur ASI ditemukan beberapa bakteri penyebab mastitis. Dimana
pemeriksaan kultur ASI tersebut juga digunakan untuk menentukan antibiotik yang tepat
bagi klien.
B. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi
b) Menyusui tidak efektif berhubungan dengan terhentinya menyusui sekunder akibat
ibu yang sakit, bayi tidak mau menyusu
c) Resiko infeksi berhubungan dengankerusakan jaringan
d) Ansietas berhubungan dengan proses penyakit, kurang pengetahuan
e) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik akibat
penyakit
f) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
C. Intervensi keperawatan
Diagnose Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
a. Nyeri akut Tujuan: 1. Kaji tingkat nyeri (keluhan nyeri, lokasi, 1. Membantudalammenentukan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan lamanya dan intensitas nyeri). identifikasiderajat, ketidaknyamanan dan
dengan proses selama 1x24 jam nyeri berkurang bahkan dapat diberi tetapi yang tepat.
inflamasi hilang 2. Berikan kompres hangat. 2. Kompres hangat dapat menyebabkan
Kriteria Hasil: vasodilatasi sehingga aliran darah lancar.
1. Ibu dapat menyusui bayinya dengan 3. Ajarkan dan anjurkan klien untuk 3. Dengan perawatan yang benar dan konsisten
nyaman melakukan perawatan payudara. (tepat) dapat mengurangi rasa nyeri.
2. Ibu dapat beraktifitas dengan normal 4. Penyangga yang ketat dapat menimbulkan
3. Suhu tubuh menurun rasa nyeri.
4. Anjurkan klien untuk tidak menggunakan
4. Payudara tidak bengkak lagi dan lunak 5. Antibiotik untuk mencegah penyebaran
penyangga yang terlalu ketat.
5. Nyeri mulai berkurang/hilang infeksi secara berlebih dan analgetik untuk
5. Kolaborasi dalam pemberian analgetik dan
mengurangi nyeri.
antibiotic.
6. Mencegah komplikasi sejak awal.
6. Kolaborasi dalam melakukan insisiden
biopsy jika ada abses.

b. Menyusui Tujuan : 1. Anjurkan ibu untuk mengoleskan baby oil 1. Mencegah terjadinya iritasi lanjut pada
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada puting sebelum dan sesudah putting.
berhubungan selama 2x24 jam pemberian ASI pada bayi menyusui.
dengan efektif. 2. Ajarkan cara menyusui yang tepat agar 2. meminimalkan luka pada putting susu ibu.
terhentinya Kriteria Hasil: tidak terjadi luka pada putting. 3. Dengan perawatan yang tepat, dapat
menyusui 1. Ibu dapat menyusui bayinya dengan 3. Lakukan perawatan payudara dan anjurkan mengatasi masalah menyusui.
sekunder rileks ibu untuk melakukan perawatan payudara
akibat ibu 2. Bayi mau menyusu lagi secara tepat. 4. Untuk mencegah terjadinya iritasi lanjut pada
yang sakit, 3. Tidak ada lagi puting susu luka atau 4. Anjurkan ibu menyusui dengan putting
bayi tidak mau lecet menggunakan puting susu secara perlahan-
menyusu. lahan.
c. Resiko infeksi Tujuan : 1. Kaji TTV dan tanda-tanda adanya infeksi. 1. Peningkatan tanda vital dapat menunjukkan
berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Lakukan perawatan luka/ abses dengan set terjadinya infeksi.
dengan selama 1x24 jam tidak terdapat tanda dan yang steril. 2. Perawatan luka yang steril dapat mengurangi
kerusakan gejala terjadinya infeksi. 3. Kolaborasi pemeriksaan darah lengkap. terjadi pus atau resiko infeksi.
jaringan Kriteria Hasil : 4. Kolaborasi dalam melakukan insisi/ biopsy 3. Deteksi dini kondisi penyebaran infeksi pada
1. TTV dalam batas normal dan pemberian antibiotik. tubuh ibu.
2. Mamae tidak merah dan regang lagi 5. Berikan informasi pentingnya menjaga 4. Untuk mengurangi abses dan penyebaran
3. Tidak ada tanda infeksi personal hygiene. infeksi.
5. Menjaga personal hygiene dapat mencegah
penyebaran infeksi atau bakteri.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Moyet, Lynda Juall. 2006. BukuSakuDiagnosaKeperawatan. Jakarta:


EGC.

Mansjoer, A. dkk. 2011. KapitaselektaKedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Prawirohadjo, S. 2011. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: YBP

Soetjiningsih. 1997. Asi: Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC.

Winknjosastro, H. 2015. Ilmu kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Anonim. 2013. Asuhan keperawatan pada ibu dengan mastitis. [serial online].
http://bidaniaku.com/2013/03/07/anatomi-dan-fisiologi-sistemendokrin/#mor
e-50.(4 Maret 2016).

Djamudin, syahrul. 2011. Askep Nifas Pada Ibu Dengan Infeksi Payudara. [serial
online]. http://healthycaus..com/ (4 Maret 2016).

Fitri. 2015 Gambaran Pengetahuan Ibu Post Partum tentang Mastitis di Klinik Bidan
Elfrida Tahun 2009. [serial online]. http://karyatulisilmiah /20009/03/07/
Gambaran-pengetahuan-ibu-postpartum-tentang-mastitis-diklinik-bidan-
elfrida-tahun-2009.pdf(4 Maret 2016).

Prasetyo, Doddy Yuman, 2010. Asuhan Keperawatan Mastitis. [serial online].


http://doddyy.askepmastitis.com/2010/06/askep-mastitis.pdf (04 Maret 2016)

USU. 2010. Bab II Tinjauan Teori. [ serial


online ].http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/24253/4/Chapter
%20II.pdf. (4 Maret 2016).
PATHWAY MASTITIS

Perawatan payudara
Stasis ASI tidak adekuat Kontaminasi kuman patogen

Jaringan mammae Kontak fisik (bayi, ibu, dll Lesi kuman


menjadi tegang
Putting susu luka/lecet Infeksi kuman

Lubang duktus
Lesi kuman Masuk ke duktus sinus mamae
laktiferus lebih
terbuka Infeksi kuman

Masuk ke ductus sinus mamae


Bakteri masuk

MASTITIS

Peningkatan tekanan di dalam Kurang terpapar Pasien merasa


Ketegangan pada jaringan Laktasi Proses infeksi bakteri ductus (saluran ASI) informasi takut
mammae terganggu
Reaksi imun Tegangan alveoli berlebih Menanyakan Tampak cemas
Ukuran mammae Penekanan tentang dan gelisah
MK : Menyusui
membesar reseptor nyeri Muncul pus penyebab
tidak efektif Permeabilitas jaringan ikat
Tampak pucat
Mengeluarkan MK : Kurang
MK : Resiko
bradikinin, Abses pada payudara Pengetahuan Akral dingin
MK : infeksi
serotonin,
Gangguan prostaglandin,
citra tubuh Respon inflamasi MK : Ansietas
histamin

MK : Hipetermi
MK : Nyeri akut

Anda mungkin juga menyukai