PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
I. TINJAUAN PUSTAKA
2
Pada praktiknya dokter menggunakan tekhnologi kedokteran guna
menunjang tujuannya untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Sehingga
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya memberikan
sebutan dokter kepada setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan di
rumah sakit atau di puskesmas, meskipun kenyataannya yang memberikan
pelayanan kesehatan itu hanya seorang mantri atau perawat saja.
3
a. Pasien Opname
Adalah pasien yang memerlukan perawatan khusus dan terus menerus
secara teratur serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan
dari luar yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya,
bahkan dapat menghambat kesembuhan pasien.
b. Pasien Berobat Jalan
Adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan secara khusus di
rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang berobat
jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak
membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya
cukup datang pada waktu-waktu tertentu saja.
a. Activity – passivity
Disini Dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan
ilmunya tanpa campur tangan pasien dengan suatu motivasi
altruistis. Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang
keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau
menderita gangguan mental berat.
4
b. Guidance-Cooperation
Hubungan membimbing kerjasama, seperti halnya orang tua
dengan remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak
terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut
lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki
perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan
pengobatan dan bersedia untuk bekerja sama.
c. Mutual participation
Hubungan ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara
kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien penyakit
kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan
terhadap dirinya. Apabila hubungan dokter dan pasien dilihat dari
sudut pandang hukum, hubungan ini merupakan suatu hubungan
ikhtiar atau usaha maksimal yang umumnya terjadi melalui suatu
perjanjian. Dokter tidak menjanjikan kepastian kesembuhan, akan
tetapi berikhtiar sekuatnya agar pasien sehat.
1. Definisi Malpraktik
5
adalah praktek kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat,
menyalahi Undang-Undang atau kode etik.
6
b. Dalam arti khusus
Malpraktik dapat terjadi dalam:
1) Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag tapi
ternyata pasien sakit lever.
2) Menjalankan operasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi
mata sebelah kanan tetapi yang dilakukan pada mata kiri.
3) Selama menjalankan perawatan.
4) Sesudah perawatan, tentu saja dalam batas waktu yang telah
ditentukan.
2. Klasifikasi Malpraktik
7
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat / layak
(unlawful atau improper)
c. Maltreatment
Cara perlakuan perawatan yang tidak tepat atau tidak terampil dalam
bertindak.
d. Misfeasance
Melakukan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat (improper performance).
e. Nonfeasance
adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban
baginya.
f. Criminal Negligence
Melakukan tindakan dengan mengabaikan keselamatan.
8
dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk dokter.
9
indikasi medis (pasal 299 KUHP), tidak melakukan
pertolongan gawat darurat padahal diketahui tidak ada
orang lain yang bisa menolong.
(2) Kecerobohan (reckleness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi
serta mlakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis (informed consent).
(3) Kealpaan (negligence), misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat, atau meninggalnya pasien,
atau ketinggalan klem dalam perut pasien saat
melakukan operasi.
10
praktek dokter tanpa izin praktek, melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan praktek dengan izin
yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa
membuat catatan medik.
3. Penyebab Malpraktik
Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan
bahwa malpraktik atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):
a. Duty (Kewajiban)
Pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu
kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau setidaknya meringankan beban penderitaan
pasien berdasarkan standar profesi.
Contoh: Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:
1) Memberikan asuhan keperawatan bagi pasien.
2) Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan
professional untuk mengubah kondisi klien.
3) Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman.
11
menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien
jatuh dan mengakibatkan fraktur.
d. Injury (Cedera)
Seseorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut
secara hukum.
Contoh: Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan
memerlukan rehabilitasi.
1. Jenis Tanggunggugat
a. Contractual Liability
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu
tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak
dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan
kontraktual.
12
b. Liability in Tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak
didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad). Dengan adanya tanggung
gugat ini maka rumah sakit atau dokter dapat digugat membayar
ganti rugi atas terjadinya kesalahan yang termasuk kategori tort
(civil wrong against a person or properties). Contohnya adalah
membocorkan rahasia kedokteran, melakukan euthanasia, ceroboh
dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia
atau menderita cacat.
c. Strict Liability
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa
kesalahan (liability whitout fault), mengingat seseorang harus
bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa.
Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau
article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi
atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya,
kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan
terjadinya risiko tersebut.
d. Vicarious Liability
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh
bawahannya (subordinate). Dalam kaitannya dengan pelayanan
medik maka rumah sakit (sebagai employer) dapat bertanggung
gugat atas kesalahan yang dibuat oleh dokter yang bekerja dalam
kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain halnya jika dokter
bekerja sebagai mitra (attending physician atau independent
contractor) sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit.
13
Hubungan seperti ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat
akal, sedangkan rumah sakit hanya memiliki dokter yang bekerja
sebagai employee. Para pihaknya adalah pasien dan rumah sakit,
sementara dokter hanya berfungsi sebagai employee (subordinate
dari rumah sakit) yang bertugas melaksanakan kewajiban rumah
sakit.
14
Masing-masing dari pola-pola hubungan tersebut diatas akan sangat
menentukan apakah rumah sakit atau dokter yang harus
bertanggunggugat sendiri (direct liability) terhadap kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan dokter dan sejauh mana pula tanggunggugat
dokter tersebut dapat dialihkan kepada pihak rumah sakit berdasarkan
doctrine of vicarious liability.
B. PENCEGAHAN MALPRAKTIK
15
2. Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum
a. Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada
doktrin-doktrin yang ada, misalnya dokter mengajukan bukti bahwa
yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik
(risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence
Melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menolak unsur-unsur atau
melakukan pembelaan agar terbebas dari pertanggung jawaban,
yaitu dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana
dokter digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan
adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan
bahwa tergugat (dokter) bertanggung jawab atas derita (damage)
yang dialami penggugat.
16
BAB III
PENUTUP
I. SIMPULAN
Usaha utama untuk pencegahan yang bisa dilakukan agar tidak terjadi
malpraktik adalah dengan memberikan informed consent. Informed consent
adalah informasi/penjelasan mengenai baik buruknya suatu tindakan medis yang
akan dilakukan yang dapat menghasilkan suatu kesepakatan/perjanjian antara
dokter dengan pasien, apakah pasien akan menerima tindakan tersebut atau
menolaknya. Sehingga apabila ada tuduhan atas tindakan malpraktik, dokter bisa
mengajukan bukti berupa rekam medis (yang telah ditandatangani oleh pasien)
atas informed consent yang telah diberikan oleh dokter.
17
DAFTAR PUSTAKA
Wibisono, Najib. 2008. “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Malapraktek dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Di Indonesia”.
Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Univeritas Sumatera Utara.
Sofwan, Dahlan. “Malpraktek dan Tanggunggugat Korporasi” Dalam materi kuliah dokter
Arief Tajally. 19 Oktober 2015.
18