Anda di halaman 1dari 6

TARI KONTEMPORER INDONESIA

Perkembangan dunia tari dewasa ini semakin marak, semua ini ditandai dengan
adanya berbagai negara telah menyelenggarakan festival tari baik tingkat nasional
maupun tingkat internasional. Jika ditinjau dari segi gaya serta coraknya cukup
membuat dunia tari semakin hidup, seolah-olah tidak akan pernah mati, dimulai
dari festival tari rakyat, klasik, modern sampai pada tari kontemporer yang saat ini
tumbuh dan berkembang.

Tari kontemporer mengacu pada tari yang lebih mutakhir dibanding ‘tari modern’
yang lahir sebagai perlawanan terhadap balet klasik yang sudah mapan. Para
tokoh tari modern menganggap balet klasik telah mencapai tahap kemandegan
dalam perkembangan teknik, terlepas dari tema yang seakanselalu berupa
dongeng indah dan tidak menyediakan ruang untuk menafsirkan secara bebas
masalah kenyataan hidup.

Gerakan tari modern telah berjalan selama tiga generasi: yang pertama
memusatkan perhatiannya pada kesan pribadi dan gaya individual penata tari,
generasi kedua mencoba menemukan landasan baru dalam teknik tari, sedang
yang ketiga terdiri atas para penata tari yang selalu berupaya mencari gagasan
baru untuk setiap karyanya.

Banyak penata tari Indonesia yang terpengaruh oleh pembaruan tari di


mancanegara, walaupun sebagian besar semula berkarya dalam salah satu gaya
tari tradisi. Salah seorang perintis tersebut adalah Jodjana, yang bersama dengan
penata tari modern seangkatan menciptakan karya-karya yang seluruhnya digubah
untuk mewujudkan kesan pribadi terhadap tema tertentu.

Seni tari kontemporer Indonesia meminjam banyak pengaruh dari luar, seperti tari
ballet dan tari modern barat. Pada tahun 1954, dua seniman dar Yogyakarta —
Bagong Kusudiarjo dan Wisnuwardhana — merantau ke Amerika Serikat untuk
belajar ballet dan tari modern dengan berbagai sanggar tari disana. Ketika kembali
ke Indonesia pada tahun 1959 mereka membawa budaya berkesenian baru, yang
pada akhirnya mengubah arah, wajah dan pergerakan dan koreografi baru, mereka
memperkenalkan gagasan seni tari sebagai ekspresi pribadi sang seniman ke
dalam seni tari Indonesia.[3] Gagasan seni tari sebagai media ekspresi pribadi
seniman telah membangkitkan seni tari Indonesia, dari yang semula selalu berlatar
tradisi menjadi ekspresi seni, melalui paparan sang seniman terhadap berbagai
latar belakang seni dan budaya yang lebih luas dan kaya. Seni tari tradisional
Indonesia juga banyak memengaruhi seni tari kontemporer di Indonesia, misalnya
langgam tari Jawa berupa pose dan sikap tubuh serta keanggunan gerakan
seringkali muncul dalam pagelaran seni tari kontemporer di Indonesia. Kolaborasi
internasional juga dimungkinkan, misalnya kolaborasi seni tari Jepang Noh
dengan seni tari teater tradisional Jawa dan Bali.

Tari modern Indonesia juga seringkali ditampilkan dalam dunia industri hiburan
dan pertunjukan Indonesia, misalnya tarian pengiring nyanyian, pagelaran musik,
atau panggung hiburan. Kini dengan derasnya pengaruh budaya pop dari luar
negeri, terutama dari Amerika serikat, beberapa tari modern seperti tari jalanan
(street dance) juga merebut perhatian kaum muda Indonesia.

Gaung generasi kedua tari modern yang diwakili studio Martha Graham, secara
khusus ditangkap oleh penata tari Indonesia seperti Wisnoe Wardhana, Bagong
Kussudiardjo, dan Seti-Arti Kailola. Seti-Arti menyajikan inti gaya Martha
Graham sedang Bagong dan Wisnoe memakai beberapa unsur Graham tetapi
selanjutnya mengembangkan gaya masing-masing dalamberlatih dan membuat
gubahan karya tari.
Sardono W. Kusumo tergolong generasi penata tari yang lebih muda. Ia tidak
pernah mencari gaya ungkap tertentu ataupun teknik tari khusus, melainkan
mencoba untuk menjelajahi kemungkinan baru dalam setiap karyanya. Dalam
perkembangan karya penata tari baru , perlu dipertimbangkan karya tari yang
menggali “harta karun” tradisi sebagai sumber, antara lain karya Retno Maruti,
Tom Ibnur, Deddy Luthan, Gusmiati Suid, Wiwiek Sipala, dan Julianti Parani.

Panorama ini menjadi lengkap dengan karya-karya tari baru berdasar teknik balet.
Karya-karya ini bertitik tolak dari balet dan seringkali menampilkan citra
Indonesia melalui penggunaan gerak tertentu yang mengambil teknik dan ilham
tari kesukuan Indonesia, atau melalui busana dan musiknya.

A. Para Perintis Tari Indonesia Modern


1. Seti-Arti Kailola
Lahir di Selat Panjang, Sumatera, tanggal 7 November 1919, putri seorang dokter
yang telah melanglangbuana, Seti-Arti bersekolah di luar Jawa, termasuk tiga
tahun di Belanda. Di kembali ke Indonesia tahun 1934. Setelah belajar tari Jawa
klasik selama dua tahun (1937-1938), pada G.P.H. Tedjakusuma di Krida Beksa
Wirama (KBW) yang berada di kediaman Pangeran Tedjakusuma, Yogyakarta. Ia
sadar bahwa tari Jawa bukan yang ingin dilakukannya. “Tidak ada ekspresi dari
emosi, tidak ada cara untuk mengekspresikan diri sendiri dalam tari klasik Jawa,”
begitu katanya.

Seti-Arti kembali ke Jakarta tahun 1942 dan belajar “tari interpreatif”—sebutan


ketika itu—pada Adele Blok de Neve, seorang guru tari dari Belanda. Tahun 1950
ia membaca artikel di Christian Science Monitor mengenai Martha Graham,
penata tari modern yang terkenal. Setahun berikutnya ia belajar pada Graham di
New York selama 11 bulan. Sepulang ke Jakarta tahun 1952, ia membuka sekolah
tari Sutalagati ‘Sekolah Seni Gerak’. Anak lelaki dan (terutama) anak perempuan
kelas menengah Indonesia, kaum Cina kaya, dan anak para diplomat Eropa-
Amerika belajar di sekolahnya. Bulan Desember 1955, Martha Graham Dance
Company pentas di Jakarta, dan terjadilah reuni antara Seti-Arti, Graham, dan
para penari rombongan tari tersebut.

Dua tahun kemudian, dengan beasiswa Yayasan Rockefeller, Seti-Arti kembali ke


New York dan kembali belajar di Graham School. Tahun yang sama, penata tari
muda dari Yogyakarta, Bagong Kussudiardja dan Wisnoe Wardhana, juga
mendapat beasiswa Rockefeller untuk belajar sebentar pada Graham. Di situlah, di
Graham School New York dan di Summer School of Dance di Connecticut
College, Seti-Arti bertemu dengan Bagong dan Wisnoe.

Sekembalinya ke Indonesia tahun 1958, Nona Kailola meneruskan mengajar di


sekolah tari Suta-lagati, yang mempunyai murid 300 orang. Ia mengajarkan teknik
Graham, tetapi juga menciptakan gubahannya sendiri untuk para muridnya: Aku,
Rhythm of life, dan There is No Real Freedom Without Discipline adalah sejumlah
karyanya. Aku merupakan tari kelompok yang diilhami sajak Chairil Anwar. Pada
akhir karyanya, Seti-Arti menari tunggal dengan latar pembacaan puisi Aku.

Seti-Arti Kailola ingin menanamkan rasa hormat terhadap disiplin ke dalam diri
para muridnya, tetapi mereka tidak siap: sebagian besar belajar tari bukan untuk
menjadi penari profesional. Tahun 1964, setelah suaminya meninggal, Seti-Arti
menutup sekolahnya dan kembali ke New York. Dua puluh tahun kemudian dia
baru kembali ke Indonesia. Di antara ratusan muridnya, terdapat Wuriastuti
Soenario, almarhum Rahadian Yamin, almarhum Wim Tomasoa, dan Pia
Alisjahbana. Farida Oetojo dan Julianti Parani juga pernah belajar sebentar
padanya.

2. Bagong Kassudiardja dan Wisnoe Wardhana


Bagong Kssudiardja dan Wisnoe Wardhana telah bertahun-tahun belajar tari
klasik Jawa di sanggar KBW Yogyakarta sebelum mengikuti pelatihan tingkat
pada Martha Graham. Bagong bahkan telah menciptakan karya tari baru, misalnya
Kuda-kuda dan Layang-layang. Ia memiliki dorongan kreatif yang tinggi, antara
lain karena ketika di Yogyakarta pernah belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia
yang berkiblat ke Barat.

Seperti Seti-Arti , Bagong juga galau tentang pengalaman tari Jawa klasik. “Sejak
saya mulai melukis tahun 1946 dan selama belajar bertahun-tahun di Akademi
Seni Rupa Indonesia (ASRI), saya menemukan kebebasan penuh untuk
menjelajahi berbagai proses seni lukis dan untuk mengungkapkan suasana hati
dan semangat saya tanpa harus dicekoki kaidah-teknik. Lalu mengapa, pikir saya
kebebasan ekspresi tidak dapat diterapkan juga pada seni tari? Apa salahnya
melawan kemapanan dan mengembangkan lebih lanjut tema budaya yang sudah
ada?” Bagong dan Wisnoe masing-masing mendirikan sekolah tari modern pada
tahun 1958: Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja dan Sekolah Tari
Kontemporer Wisnoe Wardhana.

Mereka berdua dikenal sebagai guru dan penata tari yang sangat bagus., dan telah
menciptakan ratusan tari dan drama-tari. Pada tahap berikutnya dalam berkarir,
Wisnoe dan lebih banyak menekuni bidang pengajaran dan pendidikan. Ia meraih
gelar doktor dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta,
tempat ia masih mengajar, ia juga mengepalai Institut Kesenian Wisnoe Wardhana
dan sebuah forum pendidikan non-formal dalam bidang seni dan budaya untuk
umum yang dinamakan Puser Widya Nusantara (Pusat Belajar Nusantara).

Bagong mendirikan Padepokan Seni Bagong Kussuadiardja (PSBK) tahun 1978


di desa Kembaran Bantul, pinggiran Yogya. Sekolah itu menarik murid dari Asia
Tenggara, Australia, Amerika, Eropa, dan seluruh Indonesia. Sepulang belajar bdi
Amerika, Bagong menciptakan karya yang dipengaruhi Graham, misalnya,
Burung Dalam Sangkar dan Derita. Yang kedua, yang menyerupai karya Graham
Lamentations, merupakan tari tunggal dengan penari memakai kain bentuk tabung
sehingga yang tampak hanya tangan dan kaki. Di kemudian hari, karyanya
memadukan unsur tari dan musik tiga daerah berbeda: Jawa Tengah, Bali, dan
Jawa Barat. Banyak karyanya bertema cerita dan diiringi gamelan yang diperluas
(Arjunawiwaha dan Ratu Kidul).

Pembentukkan PSBK mengundang banya murid dari seluruh Indonesia dan


negara-negara Asia dengan latar budaya beragam. Bagong terilhami untuk
menciptakan karya nasional, seperti Gema Nusantara dan Pesta Desa, ia
menggabungkan bermacam gerak tari dan unsur musik dari beberapa daerah
Indonesia, sebagai cermin kekayaan budaya negara ini.

Anda mungkin juga menyukai