Anda di halaman 1dari 21

1

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:


Dipersentasikan pada
Hari/Tanggal :
Waktu :

PRURITIC PAPULAR ERUPTION PADA


PENDERITA HIV

Oleh:

Ivana Sugiarto

Pembimbing

Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD / RS SANGLAH DENPASAR

2016
2

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3


2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus……….……………………... 3
2.2 Gambaran klinis Human Immunodeficiency Virus ................................. 3
2.3 Manifestasi kulit pada Penderita HIV..................................................... 4
3.1 Definisi Pruritic Papular Eruption ....................................................... 5
3.2 Epidemiologi Pruritic Papular Eruption ………………………………… 5
3.3 Etiopatogenesis Pruritic Papular Eruption ............................................ 6
3.4. Gambaran klinis Pruritic Papular Eruption ........................................... 8
3.5 Gambaran histopatologi Pruritic Papular Eruption …………………… 10
3.6 Diagnosis banding Pruritic Papular Eruption ........................................ . 11
3.7 Diagnosis Pruritic Papular Eruption ...................................................... 12
3.8 Pengobatan Pruritic Papular Eruption .................................................... 12

BAB III RINGKASAN ................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA
3

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran klinis PPE pada pasien………………………………………. 9


Gambar 2. Gambaran histopatologi pada PPE………………………………………10

ii
4

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Stadium HIV menurut WHO ………………………………………………..3


Tabel 2. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan terjadinya PPE……………7
Tabel 3. Perbedaan antara pruritic papular eruption, eosinophilic folliculitis, dan
reaksi gigitan serangga………………………………………………….....12

iii
5

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) hingga saat ini adalah masalah
kesehatan utama di dunia yang hingga saat ini masih menjadi tantangan bagi seluruh
dunia. Jumlah infeksi HIV ini dikatakan semakin meningkat terutama di negara
berkembang, termasuk di antaranya Indonesia. 1 Sejak pertama kali ditemukan tahun
1987 sampai September 2014, HIV-AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia, provinsi Bali merupakan provinsi
pertama kali ditemukannya kasus HIV-AIDS di Indonesia.2 Kasus infeksi HIV-AIDS
di Bali mulai tahun 2004 hingga 2014 menempati urutan kelima seluruh Indonesia
dengan 9.637 kasus, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.2,3
Virus HIV menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4) yang akan
menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan dapat menyebabkan bermacam-
macam manifestasi mukokutaneus.4 Manifestasi kulit pada penderita infeksi HIV
sangat umum terjadi, bisa merupakan hasil dari infeksi virus tersebut atau karena
kelainan oportunistik yang terjadi akibat penurunan status imun penderita. 5
Manifestasi kulit yang terjadi dapat merupakan tanda awal infeksi HIV itu sendiri,
sehingga mengenali tanda-tanda kelainan kulit yang terjadi pada penderita HIV dapat
membantu penegakkan awal diagnosis HIV, serta membantu pemberian terapi
antiretroviral sedini mungkin.6
Manifestasi kulit pada infeksi HIV sangat luas dan bervariasi, dapat berupa
keganasan, infeksi maupun noninfeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan
parasit lainnya.7 Salah satu kelainan kulit noninfeksi yang dapat terjadi pada
penderita HIV adalah Pruritic papular eruption (PPE). Pruritic papular eruption
merupakan salah satu bentuk kelainan kulit yang sering ditemukan pada penderita
HIV, terutama selama tahap imunosupresif tingkat lanjut. 8 Manifestasi PPE berupa
6

papul kronik yang nampak seperti lilin (waxing) dan biasanya terletak pada
ekstremitas dan badan.9 Gejala klinis berupa pruritus yang hebat akan menyebabkan
ekskoriasi dan perubahan warna kulit yang selanjutnya dapat menimbulkan stigma
tersendiri bagi penderita HIV, dan tentunya akan menurunkan kualitas hidup
penderita tersebut.10 Di beberapa wilayah terutama di negara tropis, PPE seringkali
muncul pada penderita infeksi HIV, sehingga dapat menjadi salah satu prediktor
klinis adanya infeksi HIV, terutama bila tes serologis tidak tersedia atau tidak dapat
dilakukan.9,11
Tinjauan pustaka ini dibuat dengan tujuan meningkatkan pemahaman kita
tentang PPE, yang merupakan salah satu manifestasi kulit yang sering muncul pada
penderita infeksi HIV. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai gejala klinis,
patogenesis, penegakan diagnosis serta penatalaksanaan PPE yang sering dijumpai di
negara berkembang, khususnya di Indonesia.
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus


Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus (famili lentivirus) yang
menyebabkan Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). HIV dapat menyebar
melalui cairan tubuh dan memiliki cara yang khas dalam menginfeksi sistem
kekebalan tubuh manusia, terutama sel-T atau sel CD4.12 Acquired immunodeficiency
syndrome merupakan sekumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV. Menurut Centers for
Disease Control (CDC), AIDS adalah gejala pada penderita HIV seropositif dengan
jumlah sel-T CD4+ dibawah 200/µL.13

2.2 Gambaran klinis Human Immunodeficiency Virus


Infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spektrum yang
luas, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai gejala
yang berat pada stadium lanjut. Perjalanan penyakitnya lambat dan gejala AIDS rata-
rata timbul 10 tahun sesudah infeksi virus HIV, bahkan dapat lebih lama.14 Terdapat
klasifikasi gejala klinis berdasarkan WHO, dan sistem klasifikasi ini banyak
digunakan di negara berkembang karena pemeriksaan limfosit CD4+ tidak selalu
tersedia. Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS, menurut WHO dibedakan menjadi 4
stadium, yaitu:
Tabel 1 Stadium HIV menurut WHO4
____________________________________________________________________________
Stadium Gejala klinis
__________________________________________________________________________________
I Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala atau Limfadenopati Generalisata Persisten
8

__________________________________________________________________________________
Stadium Gejala klinis
II Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
Herpes Zoster dalam 5tahun terakhir
Luka disekitar bibir (Kelitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
III Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral / oral hairy leukoplakia
TB paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat: pneumonia, piomiosis
Anemia (<8gr/dl), trombositopeni kronik (<50x109per liter)
IV Sindroma Wasting
Pneumoni pneumocystis
Pneumonia bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes simpleks ulseratif >1bulan
Limfoma
Sarkoma kaposi
Kanker serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
__________________________________________________________________________________

2.3 Manifestasi Kulit pada penderita HIV


Kelainan kulit pada penderita hampir selalu muncul pada perjalanan infeksi HIV
sebagai akibat dari penurunan sistem kekebalan tubuh. Manifestasi kulit pada infeksi
HIV sangat luas dan bervariasi, bisa berupa keganasan, noninfeksi maupun infeksi
yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit lainnya.15 Kelainan kulit dapat
pula timbul akibat pengobatan yang diterima, yang dapat menimbulkan reaksi alergi
obat mulai dari yang ringan sampai berat seperti pada Stevens johnson syndrome
(SJS) dan Toxic epidermal necrolysis (TEN). Manifestasi kulit pada penderita HIV
9

berupa keganasan contohnya sarkoma kaposi, karsinoma sel skuamosa, yang muncul
< 5% pada penderita HIV di Afrika.5,16 Kelainan kulit lain yang sering muncul adalah
yang disebabkan infeksi virus misalnya akibat herpes simplex virus (HSV), herpes
zoster virus (HZV), moluskum kontagiosum. Infeksi jamur baik yang disebabkan
golongan dermatofita maupun candida, misalnya oral candidiasis, seringkali
merupakan manifestasi awal infeksi HIV, yang terjadi pada banyak penderita infeksi
HIV yang tidak diobati.5,17 Staphylococcus aureus, merupakan bakteri yang paling
sering menyebabkan infeksi kulit pada infeksi HIV, misalnya impetigo, folikulitis dan
furunkulosis, yang mungkin terjadi secara rekuren pada penderita HIV. Gambaran
klinis infeksi, baik oleh karena virus dan bakteri mungkin menjadi lebih berat pada
penderita HIV. Salah satu kelainan kulit noninfeksi yang dapat terjadi pada penderita
HIV adalah Pruritic papular eruption.10

3.1 Definisi Pruritic Papular Eruption


Pruritic papular eruption merupakan salah satu manifestasi kulit yang sering
terdapat pada penderita dengan infeksi HIV. Kondisi ini ditandai dengan adanya gatal
yang disertai dengan papul atau pustul steril yang terdapat di batang tubuh, wajah,
dan ekstremitas dengan derajat yang bervariasi. PPE menyebabkan kondisi gatal yang
hebat dan menahun sehingga dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya. 10,18

3.2 Epidemiologi Pruritic Papular Eruption


Beberapa studi mengemukakan insiden terjadinya PPE adalah 11-46%, beberapa
laporan kasus dilaporkan dari Haiti dan Afrika. 18,19 Menurut Liautaud dkk, PPE
ditemukan pada 62 orang dari 134 kasus HIV (46%) di Haiti. Kasus PPE yang lain
ditemukan pada penderita HIV di Afrika bagian lain, yaitu di Rwanda dan Uganda,
sekitar 35%. Prevalensi PPE di negara lain dilaporkan bervariasi, misalnya 11,7% di
Brazil dan 26,6-51,2% di Thailand.19
Sebuah studi retrospektif yang dilakukan di Surabaya tahun 2014,
mendapatkan jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 751 penderita, dan 116 penderita
10

di antaranya (15,4%) mengalami PPE, dengan kelompok usia terbanyak yaitu usia
25-44 tahun, penderita laki-laki diketahui lebih banyak daripada perempuan. 20 PPE
dilaporkan sebagai salah satu dermatosis yang sering muncul pada penderita infeksi
HIV yang telah lanjut, ketika kondisi status imun penderita mengalami penurunan.
Lebih dari 50% penderita yang terinfeksi HIV di beberapa negara mengalami keluhan
PPE pada stadium akhir HIV. Pada umumnya PPE terjadi pada penderita dengan
infeksi HIV dengan hitung CD4 rendah. Bertambah rendahnya hitung CD4 akan
menambah beratnya PPE yang terjadi. 18,21

3.3 Etiopatogenesis Pruritic Papular Eruption


Etiologi terjadinya PPE pada penderita HIV masih belum jelas sepenuhnya, walaupun
beberapa kemungkinan penyebab dikemukakan. Penjelasan secara klinis dan
gambaran histopatologi yang beragam dari studi yang ada membuat timbulnya
beberapa teori mengenai penyebab PPE. 22,23
Adanya gangguan dan respon berlebih terhadap faktor eksogen seperti gigitan
artropoda diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya PPE. Hal ini berhubungan
dengan ditemukannya gambaran histopatologi seperti pada gigitan artropoda, pada
kondisi terjadi disregulasi imunitas yang terjadi pada penderita dengan infeksi HIV
kronis.24 Adanya gambaran distribusi lesi PPE yang dominan pada area ektremitas
menimbulkan pemikiran para ahli untuk mencari hubungan antara gigitan serangga
dengan adanya erupsi kulit yang terjadi pada PPE.25 Beberapa ahli memikirkan
bahwa gigitan serangga mengawali terjadinya PPE pada penderita HIV, tetapi
sebagian ahli berpendapat lain, karena lesi PPE juga terjadi di area tubuh yang tidak
terekspos, sehingga kemungkinan gigitan serangga lebih kecil. Meskipun mekanisme
penyakit tidak dapat langsung didemonstrasikan, pada akhirnya beberapa ahli sepakat
bahwa erupsi yang terjadi pada PPE merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang
menyeluruh terhadap saliva serangga, dan berhubungan dengan imunodefisiensi.24,26
Penderita dengan infeksi HIV biasanya mengkonsumsi beberapa obat-obatan
sebelum terjadinya erupsi kulit PPE, sehingga reaksi obat dipikirkan sebagai salah
11

satu penyebab terjadinya lesi kulit PPE. 27 Beberapa studi menemukan tidak ada satu
obat pun yang konsisten menimbulkan reaksi yang sama yang berhubungan dengan
PPE. Penelitian lain menemukan tidak adanya riwayat minum obat sebelum lesi PPE
muncul pada penderita. Para ahli sependapat bahwa reaksi obat bukan merupakan
penyebab terjadinya PPE.27,28
Tidak ada hubungan antara terjadinya PPE dengan infeksi oportunistik secara
khusus yang dapat menyebabkan manifestasi kutaneus sistemik. 19,21 Adanya lesi
papul yang berubah menjadi pustul, dan ditemukannya sel inflamasi yang berkumpul
di folikel membuat para ahli memikirkan etiologi infeksi yang melibatkan unit
pilosebacea.23 Beberapa penelitian menemukan Staphylococcus aureus dan
Folliculorum demodex pada kultur atau gambaran histopatopatologi. Diduga PPE
dapat terjadi karena respon imunitas seluler abnormal dari pejamu terhadap proses
infeksi, misalnya skabies, Folliculorum demodex, atau Staphylococcus aureus.24 Para
ahli berpendapat folikulitis yang disebabkan agen infeksius mungkin merupakan
suatu fenomena lain yg secara simultan mengikuti gejala awal PPE, dan merupakan
komplikasi gejala PPE, tetapi bukan penyebab utama PPE.24,27
Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya
pruritus. Mekanisme pruritus meliputi disregulasi imun, pergeseran profil sitokin Th2
yang dominan, sehingga menyebabkan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE.28

Tabel 2. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan terjadinya PPE 19


1. Gigitan serangga dan nyamuk (arthropoda)
2. Hipersensitivitas terhadap gigitan serangga
3. Reaksi hipersensitivitas generalisata terhadap air liur serangga
4. Respon imunitas seluler pejamu yang abnormal terhadap proses infeksi : skabies,
Folliculorum demodex, atau Staphylococcus aureus
5. Reaksi kulit autoimun
6. HIV yang menyebabkan disregulasi imun
12

3.4 Gambaran klinis Pruritic Papular Eruption


Lesi primer pruritic papular eruption pada penderita HIV berupa papul eritematosa
dengan diameter 3-5mm, dengan distribusi lesi yang diskret, yang lama kelamaan
akan memudar warnanya.24,25 Beberapa laporan kasus dari Afrika melaporkan lesi
PPE yang timbul pada penderita HIV awalnya muncul di lengan, tangan atau
keduanya. Lesi PPE 95% terletak pada daerah ekstensor, yaitu pada lengan, kaki dan
dorsum manus, tetapi tidak pada telapak tangan atau kaki. Kemudian lesi akan
menyerupai gambaran gigitan serangga, sehingga sering dikelirukan, baik oleh
penderita maupun oleh klinisi awalnya. 18,19 Erupsi yang terjadi di luar ekstremitas,
yaitu pada wajah dan batang tubuh pernah dilaporkan pada beberapa kasus. Pada
umumnya tidak terdapat keterlibatan mukosa. 21 Lesi kulit PPE biasanya terdistribusi
secara simetris pada tubuh disertai dengan rasa gatal yang sangat, walaupun seiring
jalannya waktu lesi papul tersebut akan memudar. Papul bisa berkumpul membentuk
gambaran papul urtikarial, namun tidak berkonfluen membentuk plak. Seringkali
pada penderita nampak ekskoriasi karena garukan yang menimbulkan jaringan parut
lebih lanjut. Pada penderita dengan kulit gelap, hiperpigmentasi paska inflamasi
sering nampak sebagai salah satu manifestasi lebih lanjut PPE. Hiperpigmentasi
tersebut menyebabkan morbiditas dan stigma. 18
Pruritus biasanya langsung dirasakan bersamaan dengan munculnya lesi kulit.
Menurut Colebunders dkk, 8% penderita mengalami pruritus 10 hari hingga 6 bulan
sebelum erupsi kulit muncul.23 Pada sebuah laporan kasus dilaporkan apabila
penderita tidak menggaruk lesi papul yang ada, rasa gatal yang terjadi akan
menghilang dengan sendirinya dalam waktu 2-8 hari.25 Kebanyakan penderita
menggaruk karena rasa gatal yang muncul dikatakan parah, sehingga dapat
menimbulkan gambaran ekskoriasi, selanjutnya dapat meninggalkan gambaran
hiperpigmentasi paska inflamasi, prurigo yang terekskoriasi dan infeksi sekunder.19,21
Pruritus dilaporkan hampir selalu refrakter terhadap pengobatan baik topikal maupun
oral.29
13

Penelitian menyatakan adanya keterkaitan erat antara jumlah hitung CD4+


pada penderita HIV/AIDS dengan munculnya manifestasi klinis pada kulit. Semakin
rendah jumlah hitung CD4+ pada penderita HIV/AIDS berhubungan dengan
peningkatan insidensi PPE. Pruritic papular eruption biasanya muncul pada
penderita HIV/AIDS dengan status imunosupresi berat atau stadium lanjut, dengan
jumlah hitung CD4+ <250sel/mm3.30

Gambar 1 gambaran klinis PPE pada penderita A. Lesi


PPE berupa papul eritematosa yang nampak di ekstremitas
bawah. B. Gambaran lesi papul disertai ekskoriasi multipel
dan likenfikasi pada ekstremitas atas. C. Lesi papul
berkrusta disertai gambaran likenifikasi pada wajah
C penderita PPE.30
14

3.5 Gambaran histopatologi Pruritic Papular Eruption


Pemeriksaan patologi anatomi dapat membantu membedakan PPE dengan penyebab
pruritus lain pada penderita HIV. Gambaran histopatologis PPE yang khas adalah
adanya peningkatan infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada perivaskular
dermis.24 Tampak infiltrat sel radang pada papila dermis hingga pertengahan dermis
yang didominasi eosinofil di perivaskuler dan periadneksa.27 Tampak spongiosis pada
folikel rambut dengan infiltrasi eosinofil dan sel mononuklear. Eosinofil yang ada
dapat menginflitrasi dan menyebabkan abses pada glandula sebasea.24,27 Pemeriksaan
dengan direct maupun indirect immunofluoresein tidak menunjukkan gambaran yang
secara konsisten spesifik untuk PPE, begitu pula dengan pemeriksaan mikroskop
elektron.25

Gambar 2. Gambaran histopatologi pada PPE dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin nampak infiltrat
inflamasi berupa limfosit dan eosinofil yang tersebar di area perivaskular. 9

3.6 Diagnosis banding Pruritic Papular Eruption


Diagnosis banding PPE beragam karena lesi PPE yang cenderung berubah seiring
jalannya waktu, dan keluhan pruritus membuat gambaran lesi berubah karena
manipulasi garukan penderita.8 Beberapa diagnosis banding yang bisa dipikirkan
yaitu eosinophilic folliculitis (EF), staphylococcal folliculitis, erupsi obat, dan
15

skabies.8,9 Penilaian terhadap penderita HIV dengan keluhan pruritus dan erupsi
papular harus diawali dengan menentukan ada tidaknya pustul. Pada eosinophilic
folliculitis, staphylococcal folliculitis, dan skabies, pustul lebih dominan. Pada EF
didapatkan gambaran klinis berupa papul dan pustul eritematosa yang melibatkan
folikel dengan predileksi terletak pada wajah dan batang tubuh, yang mengenai
folikel rambut, sedangkan lesi pada area ekstremitas jarang ditemukan. Pada EF dapat
disertai rasa gatal yang kronis, tetapi gejala pruritus ini dapat menghilang sendiri.
Pemeriksaan histopatologi penting untuk membedakan PPE dengan EF.10
Erupsi obat juga dapat menyerupai PPE, dengan gambaran histopatologi
berupa infiltrat sel radang yang tidak menyebar hingga ke subkutis seperti pada PPE.
Selain itu pada anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat minum obat sebelumnya,
karena pada beberapa kasus PPE dapat terjadi tanpa adanya riwayat minum obat
sebelumnya.10,18
Pada staphylococcal folliculitis, tampak lesi pustul, tetapi jumlah lesi tidak
sebanyak pada PPE, dan tidak mengenai folikel rambut. Gambaran lesi skabies pada
penderita HIV juga dapat menyerupai lesi PPE, yaitu berupa lesi papulonoduler yang
disertai krusta. Lesi pada skabies cenderung lebih berkelompok, adanya terowongan
(burrow) pada pergelangan tangan, sela jari, aksilar, dan genitalia eksterna, serta
ditemukannya sarcoptes scabiei pada kerokan kulit, dan respon terapi yang baik
terhadap anti skabies dapat memastikan diagnosis skabies. 10,19
16

Tabel 3. Perbedaan antara pruritic papular eruption, eosinophilic folliculitis, dan reaksi gigitan
serangga. 10
Pruritic papular Eosinophilic folliculitis Reaksi gigitan
eruption serangga

Lesi predominan Papula sewarna kulit, Papula eritematosa, Papula dan terkadang
disertai ekskoriasi jarang terdapat pustul dengan ekskoriasi
Distribusi lesi Terutama pada Wajah, bagian tengah Bagian badan yang
ekstremitas tubuh, extremitas terekspos
proksimal
Histopatologis Infiltrat inflamasi Spongiosis folikular, Infiltrasi campuran sel
limfosit di perivascular infiltrat eosinofil hingga ke dermis
dermal dengan perifolikular bagian dalam
eosinophilia

3.7 Diagnosis Pruritic Papular Eruption


Diagnosis pruritic papular eruption ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa
lesi papul eritematosa dengan distribusi diskret, yang terletak di area ekstremitas
kemudian bisa menyebar ke badan dengan disertai keluhan subjektif gatal yang
kronis.9 Diagnosis pasti PPE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histopatologi
yaitu adanya infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit, dan sejumlah eosinofil
dengan distribusi di perivaskular. Eosinofil yang ada dapat menyebar ke pertengahan
dermis, dan tanpa adanya keterlibatan folikular.24,28

3.8 Pengobatan Pruritic Papular Eruption


Steroid topikal, emolien dan antihistamin oral masih merupakan terapi lini pertama
pada pruritic papular eruption. Pemberian terapi simptomatik dapat berupa
antihistamin oral dan steroid topikal kelas 3 hingga 6. Penggunaan kortikosteroid
topikal yang poten sebaiknya tidak lebih dari 3 minggu untuk menghindari efek
samping. Bila memang dibutuhkan penggunaan jangka panjang, maka pemberian
kostikosteroid topikal tersebut perlu tappering off. Sayangnya pengobatan dengan
17

terapi konvensional sering tidak memberikan hasil memuaskan pada beberapa kasus
PPE.29,30 Beberapa alternatif terapi telah diperkenalkan dan diuji dalam beberapa
studi.
Terapi UVB (ultraviolet B) yang dilakukan tiga kali seminggu, pada sebuah
laporan kasus menunjukkan hasil yang secara signifikan menurunkan gejala gatal dan
dapat memperbaiki keluhan secara kosmetik. 31 Fototerapi UVB pertama kali
digunakan akhir tahun 1980, dan selama beberapa dekade terakhir NB-UVB secara
bertahap telah menggantikan broadband UVB, yang terbukti memperbaiki keluhan
penderita PPE.32 Terdapat kekhawatiran menyangkut perubahan ekspresi gen RNA
HIV akibat penggunaan terapi sinar UVB, namun hal ini belum terbukti.31,32
Pentoksifilin 400mg yang diberikan tiga kali sehari terbukti memperbaiki
keluhan pruritus pada sebuah laporan kasus dengan masa percobaan 8 minggu. 12
Pengunaan kelambu pada tempat tidur, insektisida dapat dipikirkan sebagai cara
pencegahan terhadap PPE mengingat terdapat kemungkinan hubungan antara respon
berlebih terhadap gigitan serangga pada penderita PPE.33
Penggunaan anti retroviral (ARV) dikatakan dapat memperbaiki kondisi klinis
PPE, namun hasilnya masih beragam pada beberapa laporan kasus. Penggunaan ARV
dini dikatakan dapat membantu mengurangi derajat keparahan PPE pada penderita
HIV, bahkan membantu lesi memudar, menghilang dan tidak rekuren.13 Studi yang
dilakukan Castelnuovo dkk menemukan bahwa pengobatan penderita HIV dengan
ARV dapat membantu lesi PPE membaik. Beberapa laporan kasus lain menunjukkan
keberhasilan signifikan ketika terapi ARV dimulai dini, disertai penggunaan topikal
steroid potensi sedang hingga kuat. WHO merekomendasikan penggunaan ARV
sebagai dasar pengobatan utama pada PPE. 11 Beberapa ahli sepakat bahwa PPE dapat
digunakan sebagai penanda untuk inisiasi penggunaan ARV. Pada kondisi dimana
terapi UVB tidak tersedia, para ahli merekomendasikan penggunaan terapi ARV
segera dengan kombinasi steroid topikal potensi sedang hingga tinggi dan
antihistamin oral untuk menurunkan gejala klinis PPE. 8,11
18

BAB III

RINGKASAN

Pruritic papular eruption (PPE) adalah salah satu manifestasi kulit yang umum
terjadi pada penderita infeksi HIV/AIDS. Didapatkan gambaran klinis berupa lesi
papul eritematosa diskret yang tersebar terutama di area ekstremitas, yang kemudian
dapat menyebar ke batang tubuh, disertai rasa gatal yang hebat dan kronis. Diagnosis
PPE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis tersebut dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi berupa infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit, dan
sejumlah eosinofil dengan distribusi di perivaskular.
Penderita PPE seringkali mengalami penurunan kualitas hidup karena gejala
klinis yang ada, sehingga penentuan diagnosis dan penanganan yang tepat perlu
dilakukan. Beberapa terapi konvensional seperti antihistamin oral, emolien, steroid
topikal dianggap kurang memuaskan untuk beberapa kasus PPE. Terdapat pilihan
terapi lain seperti pemberian pentoksifilin, terapi sinar UVB dan penggunaan obat
anti retroviral (ARV) dapat digunakan sebagai salah satu terapi yang secara signifikan
memperbaiki kondisi klinis PPE.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Global AIDS statistic


2014. World Health Organization; 2015. p. 1-8.
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis HIV/AIDS.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
p. 1-8.
3. Anonim. Register penderita poli Voluntary Counselling and Testing Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2004-2014. Tidak dipublikasikan.
4. Fauci, A., Lane, H.C. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
Related Disorders. In : Longo D, Fauci A, Fauci A, Kasper D, Braunwald E,
Hause S,Jameson J Loscalzo.Harrison’s Principles of Internal Medicine.18 th
ed. United States of America: McGraw-Hill. 2011 p241-50
5. Singh, H., Singh, P., Tiwari, P., et al. Dermatological manifestations in HIV-
infected patients at a tertiary care hospital in a tribal (Bastar) region of
Chhattisgarh, India. Indian J Dermatol. 2009; 54:338–41.
6. Altman, K., Vanness, E., Westergaard, R.P. Cutaneous manifestations of
human immunodeficiency virus: a clinical update. Curr Infect Dis Rep. 2015;
17(3):464.
7. Sandhu, A., Samra, A.K. Opportunistic infections and disease implications in
HIV/AIDS. IJPSI. 2013; 2(5): 47-54.
8. Eisman, S. Pruritic papular eruption in HIV. Dermatol Clin. 2006;24:449-57
9. Afonso, J.P.J.M., Tomimori, J., Michalany, NS., Nonogaki, S., Porro, A.M.
Pruritic papular eruption and eosinophilic folliculitis associated with human
immunodeficiency virus (HIV) infection: A histopathological and
immunohistochemical comparative study. Journal of the American Academy of
Dermatology. 2012; 67(2): 269–75
10. Resneck, J.S.Jr., Van Beek, M., Furmanski, L., Oyugi, J., LeBoit, P.E.,
Katabira, E. Etiology of pruritic papular eruption with HIV infection in
Uganda. JAMA. 2004;292:2614-21.
11. Chua, S.L., Amerson, E.H., et al. Factors associated with pruritic papular
eruption of human immunodeficiency virus infection in the antiretroviral
therapy era. British Journal of Dermatology. April 2014; 170(4):832–839
12. Idele, P., Gillespie, A. HIV and AIDS Among Adolescent: Current Status,
Inequities, and Data Gaps. J Acquir Immune Defic Syndr. 2014. 1 July 2014;
p.1-10.
13. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for the prevention and
treatment of opportunistic infections among HIV-exposed and HIV-infected
children: recommendations from CDC, the National Institutes of Health, the
HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America, the
20

Pediatric Infectious Diseases Society, and the American Academy of


Pediatrics. MMWR. 2009; 58(RR04): 1-173.
14. Hessol, N.A., Gandhi, M., Greenblatt, R.M. Epidemiology and Natural
History of HIV Infection in Women. In: Anderson, J. R., eds. A Guide To The
Clinical Care of Women With HIV. 1st ed. Rockville: Parklawn Building;
2005; 1: p.1-35.
15. Cedeno,L.F., Gómez, F.M., Mendez, N.,et al. New insights into HIV-1-
primary skin disorders. J Int AIDS Soc. 2011; 14:5.
16. Cox, C.M., El-Mallawany, N.K., Kabue, M., et al. Clinical Characteristics and
Outcomes of HIV-Infected Children Diagnosed With Kaposi Sarcoma in
Malawi and Botswana. Pediatr Blood Cancer. 2013;60(8):1274-80.
17. Surjushe, A., Kamath, R., Oberai, C., et al. A clinical and mycological study of
onychomycosis in HIV infection. Indian J Dermatology Venereology.
2007;73:397–401.
18. Amerson, E.H., Maurer, T.A. Dermatologic Manifestations of HIV in Africa.
International AIDS Society–USA Topics in HIV Medicine. 2010;18(1):1-7
19. Lowe, S., Ferrand, R.A., Morris-Jones, R. Skin disease among human
immunodeficiency virus-infected adolescent in zimbabwe: a strong indicator of
underlying HIV infection. Pediatr Infec Dis J. 2010;4:346-51.
20. Arista, A., Murtiastutik, D. Studi Retrospektif: Karakteristik Pruritic Papular
Eruption (PPE) pada Penderita HIV/ AIDS. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin - Periodical of Dermatology and Venereology. 2015;27(3):205-210
21. Lakshmi, S.J., Rao, G.R., Rao, K.A., et al. Pruritic papular eruptions of HIV: a
clinicopathologic and therapeutic study. Indian J Dermatol Venereol Leprol.
2008;74:501-3.
22. Hong, L., Yosipovitch, G. Itch in Ethnic Population. Acta Derm Venereol
2010; 90: 227–234
23. Colebunders, R., Mann, J.M, Francis, H., Bila, K., Izaley, L., Kakonde, N.,
Hood, A.F., Quinn, T.C., Gigase, P., Van Marck, E. Generalized Pruritic
Papular Eruption in African patients with human immunodeficiency virus
infection. AIDS. 1987;1:117-21.
24. Annam V, Yelikar BR, Inamadar AC, Palit A. Histopathological study of
pruritic papular eruptions in HIV-infected patients in relationship with CD4,
CD8 counts. Indian J Pathol Microbiol 2009;52 (3):321-4.
25. Budavari, J., Grayson, W. Papular follicular eruption in human
immnunodeficiency virus-positive patient in South Africa. Int J Dermatol
2007; 46 (7): 706-10.
26. Chopra, S., Arora, U. Skin and Mucocutaneous Manifestations: Useful
Clinical Predictors of HIV/AIDS. J Clin Diagn Res. 2012; 6(10): 1695–1698
27. Ramos, H., Pagliari, C., Takakura, C.F, Sotto, M.N, Duarte, M.I. Pruritic
papular eruption associated with HIV-etiopathogenesis evaluated by clinical,
immunohistochemical, and ultrastructural analysis. J Dermatol. 2005;32:549-
56.
21

28. Farsani, T., Kore, S., Nadol, P., et al. Etiology and risk factors associated with
a pruritic papular eruption in people living with HIV in India. J Inter AIDS
2013; 16 (17325): 1-6.
29. Serling, S.L., Leslie, K., Maurer, T. Approach to pruritus in the adult HIV-
positive popular patient. Semin Cutan Med Surg 2011; 30 (2): 101-6.
30. Naswa, S., Khambahti, R., Marfatia, Y.S. Pruritic papular eruption as
presenting illness of HIV. J Sex Transm Dis 2011;32(2):118-20.
31. Navarini, A.A., Stoeckle, M., Navarini, S., Mossdorf, E., Jullu, B.S.,
Mchomvu, R., Mbata, M., Kibatala, P., Tanner, M., Hatz, C., Schmid-
Grendelmeier, P. Antihistamines are superior to topical steroids in managing
human immunodeficiency virus (HIV)-associated Pruritic Papular Eruption .
Int J Dermatol. 2010;49:83-6.
32. Bellavista, S., Antuono, D.A., Infusiono, D.S., Trimarco, R., Patrizi, A. Pruritic
popular eruption in HIV: a case successfully treated with NB-UVB. Dermatol
Ther 2013; 16:173-5.
33. Berman, B., Flores, F., Burke, G. Efficacy of pentoxifylline in the treatment of
pruritic papular eruption of HIV-infected persons. J Am Acad Dermatol.
2011;38:955-9.

Anda mungkin juga menyukai