1574 2953 1 SM PDF
1574 2953 1 SM PDF
Oleh:
Ivana Sugiarto
Pembimbing
2016
2
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR PUSTAKA
3
DAFTAR GAMBAR
ii
4
DAFTAR TABEL
iii
5
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) hingga saat ini adalah masalah
kesehatan utama di dunia yang hingga saat ini masih menjadi tantangan bagi seluruh
dunia. Jumlah infeksi HIV ini dikatakan semakin meningkat terutama di negara
berkembang, termasuk di antaranya Indonesia. 1 Sejak pertama kali ditemukan tahun
1987 sampai September 2014, HIV-AIDS tersebar di 381 (76%) dari 498
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia, provinsi Bali merupakan provinsi
pertama kali ditemukannya kasus HIV-AIDS di Indonesia.2 Kasus infeksi HIV-AIDS
di Bali mulai tahun 2004 hingga 2014 menempati urutan kelima seluruh Indonesia
dengan 9.637 kasus, yang sebagian terdata dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.2,3
Virus HIV menginfeksi dan membunuh limfosit T-helper (CD4) yang akan
menyebabkan host kehilangan imunitas seluler dan dapat menyebabkan bermacam-
macam manifestasi mukokutaneus.4 Manifestasi kulit pada penderita infeksi HIV
sangat umum terjadi, bisa merupakan hasil dari infeksi virus tersebut atau karena
kelainan oportunistik yang terjadi akibat penurunan status imun penderita. 5
Manifestasi kulit yang terjadi dapat merupakan tanda awal infeksi HIV itu sendiri,
sehingga mengenali tanda-tanda kelainan kulit yang terjadi pada penderita HIV dapat
membantu penegakkan awal diagnosis HIV, serta membantu pemberian terapi
antiretroviral sedini mungkin.6
Manifestasi kulit pada infeksi HIV sangat luas dan bervariasi, dapat berupa
keganasan, infeksi maupun noninfeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan
parasit lainnya.7 Salah satu kelainan kulit noninfeksi yang dapat terjadi pada
penderita HIV adalah Pruritic papular eruption (PPE). Pruritic papular eruption
merupakan salah satu bentuk kelainan kulit yang sering ditemukan pada penderita
HIV, terutama selama tahap imunosupresif tingkat lanjut. 8 Manifestasi PPE berupa
6
papul kronik yang nampak seperti lilin (waxing) dan biasanya terletak pada
ekstremitas dan badan.9 Gejala klinis berupa pruritus yang hebat akan menyebabkan
ekskoriasi dan perubahan warna kulit yang selanjutnya dapat menimbulkan stigma
tersendiri bagi penderita HIV, dan tentunya akan menurunkan kualitas hidup
penderita tersebut.10 Di beberapa wilayah terutama di negara tropis, PPE seringkali
muncul pada penderita infeksi HIV, sehingga dapat menjadi salah satu prediktor
klinis adanya infeksi HIV, terutama bila tes serologis tidak tersedia atau tidak dapat
dilakukan.9,11
Tinjauan pustaka ini dibuat dengan tujuan meningkatkan pemahaman kita
tentang PPE, yang merupakan salah satu manifestasi kulit yang sering muncul pada
penderita infeksi HIV. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai gejala klinis,
patogenesis, penegakan diagnosis serta penatalaksanaan PPE yang sering dijumpai di
negara berkembang, khususnya di Indonesia.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
__________________________________________________________________________________
Stadium Gejala klinis
II Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis
Herpes Zoster dalam 5tahun terakhir
Luka disekitar bibir (Kelitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku
III Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral / oral hairy leukoplakia
TB paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat: pneumonia, piomiosis
Anemia (<8gr/dl), trombositopeni kronik (<50x109per liter)
IV Sindroma Wasting
Pneumoni pneumocystis
Pneumonia bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes simpleks ulseratif >1bulan
Limfoma
Sarkoma kaposi
Kanker serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas
__________________________________________________________________________________
berupa keganasan contohnya sarkoma kaposi, karsinoma sel skuamosa, yang muncul
< 5% pada penderita HIV di Afrika.5,16 Kelainan kulit lain yang sering muncul adalah
yang disebabkan infeksi virus misalnya akibat herpes simplex virus (HSV), herpes
zoster virus (HZV), moluskum kontagiosum. Infeksi jamur baik yang disebabkan
golongan dermatofita maupun candida, misalnya oral candidiasis, seringkali
merupakan manifestasi awal infeksi HIV, yang terjadi pada banyak penderita infeksi
HIV yang tidak diobati.5,17 Staphylococcus aureus, merupakan bakteri yang paling
sering menyebabkan infeksi kulit pada infeksi HIV, misalnya impetigo, folikulitis dan
furunkulosis, yang mungkin terjadi secara rekuren pada penderita HIV. Gambaran
klinis infeksi, baik oleh karena virus dan bakteri mungkin menjadi lebih berat pada
penderita HIV. Salah satu kelainan kulit noninfeksi yang dapat terjadi pada penderita
HIV adalah Pruritic papular eruption.10
di antaranya (15,4%) mengalami PPE, dengan kelompok usia terbanyak yaitu usia
25-44 tahun, penderita laki-laki diketahui lebih banyak daripada perempuan. 20 PPE
dilaporkan sebagai salah satu dermatosis yang sering muncul pada penderita infeksi
HIV yang telah lanjut, ketika kondisi status imun penderita mengalami penurunan.
Lebih dari 50% penderita yang terinfeksi HIV di beberapa negara mengalami keluhan
PPE pada stadium akhir HIV. Pada umumnya PPE terjadi pada penderita dengan
infeksi HIV dengan hitung CD4 rendah. Bertambah rendahnya hitung CD4 akan
menambah beratnya PPE yang terjadi. 18,21
satu penyebab terjadinya lesi kulit PPE. 27 Beberapa studi menemukan tidak ada satu
obat pun yang konsisten menimbulkan reaksi yang sama yang berhubungan dengan
PPE. Penelitian lain menemukan tidak adanya riwayat minum obat sebelum lesi PPE
muncul pada penderita. Para ahli sependapat bahwa reaksi obat bukan merupakan
penyebab terjadinya PPE.27,28
Tidak ada hubungan antara terjadinya PPE dengan infeksi oportunistik secara
khusus yang dapat menyebabkan manifestasi kutaneus sistemik. 19,21 Adanya lesi
papul yang berubah menjadi pustul, dan ditemukannya sel inflamasi yang berkumpul
di folikel membuat para ahli memikirkan etiologi infeksi yang melibatkan unit
pilosebacea.23 Beberapa penelitian menemukan Staphylococcus aureus dan
Folliculorum demodex pada kultur atau gambaran histopatopatologi. Diduga PPE
dapat terjadi karena respon imunitas seluler abnormal dari pejamu terhadap proses
infeksi, misalnya skabies, Folliculorum demodex, atau Staphylococcus aureus.24 Para
ahli berpendapat folikulitis yang disebabkan agen infeksius mungkin merupakan
suatu fenomena lain yg secara simultan mengikuti gejala awal PPE, dan merupakan
komplikasi gejala PPE, tetapi bukan penyebab utama PPE.24,27
Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya
pruritus. Mekanisme pruritus meliputi disregulasi imun, pergeseran profil sitokin Th2
yang dominan, sehingga menyebabkan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE.28
Gambar 2. Gambaran histopatologi pada PPE dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin nampak infiltrat
inflamasi berupa limfosit dan eosinofil yang tersebar di area perivaskular. 9
skabies.8,9 Penilaian terhadap penderita HIV dengan keluhan pruritus dan erupsi
papular harus diawali dengan menentukan ada tidaknya pustul. Pada eosinophilic
folliculitis, staphylococcal folliculitis, dan skabies, pustul lebih dominan. Pada EF
didapatkan gambaran klinis berupa papul dan pustul eritematosa yang melibatkan
folikel dengan predileksi terletak pada wajah dan batang tubuh, yang mengenai
folikel rambut, sedangkan lesi pada area ekstremitas jarang ditemukan. Pada EF dapat
disertai rasa gatal yang kronis, tetapi gejala pruritus ini dapat menghilang sendiri.
Pemeriksaan histopatologi penting untuk membedakan PPE dengan EF.10
Erupsi obat juga dapat menyerupai PPE, dengan gambaran histopatologi
berupa infiltrat sel radang yang tidak menyebar hingga ke subkutis seperti pada PPE.
Selain itu pada anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat minum obat sebelumnya,
karena pada beberapa kasus PPE dapat terjadi tanpa adanya riwayat minum obat
sebelumnya.10,18
Pada staphylococcal folliculitis, tampak lesi pustul, tetapi jumlah lesi tidak
sebanyak pada PPE, dan tidak mengenai folikel rambut. Gambaran lesi skabies pada
penderita HIV juga dapat menyerupai lesi PPE, yaitu berupa lesi papulonoduler yang
disertai krusta. Lesi pada skabies cenderung lebih berkelompok, adanya terowongan
(burrow) pada pergelangan tangan, sela jari, aksilar, dan genitalia eksterna, serta
ditemukannya sarcoptes scabiei pada kerokan kulit, dan respon terapi yang baik
terhadap anti skabies dapat memastikan diagnosis skabies. 10,19
16
Tabel 3. Perbedaan antara pruritic papular eruption, eosinophilic folliculitis, dan reaksi gigitan
serangga. 10
Pruritic papular Eosinophilic folliculitis Reaksi gigitan
eruption serangga
Lesi predominan Papula sewarna kulit, Papula eritematosa, Papula dan terkadang
disertai ekskoriasi jarang terdapat pustul dengan ekskoriasi
Distribusi lesi Terutama pada Wajah, bagian tengah Bagian badan yang
ekstremitas tubuh, extremitas terekspos
proksimal
Histopatologis Infiltrat inflamasi Spongiosis folikular, Infiltrasi campuran sel
limfosit di perivascular infiltrat eosinofil hingga ke dermis
dermal dengan perifolikular bagian dalam
eosinophilia
terapi konvensional sering tidak memberikan hasil memuaskan pada beberapa kasus
PPE.29,30 Beberapa alternatif terapi telah diperkenalkan dan diuji dalam beberapa
studi.
Terapi UVB (ultraviolet B) yang dilakukan tiga kali seminggu, pada sebuah
laporan kasus menunjukkan hasil yang secara signifikan menurunkan gejala gatal dan
dapat memperbaiki keluhan secara kosmetik. 31 Fototerapi UVB pertama kali
digunakan akhir tahun 1980, dan selama beberapa dekade terakhir NB-UVB secara
bertahap telah menggantikan broadband UVB, yang terbukti memperbaiki keluhan
penderita PPE.32 Terdapat kekhawatiran menyangkut perubahan ekspresi gen RNA
HIV akibat penggunaan terapi sinar UVB, namun hal ini belum terbukti.31,32
Pentoksifilin 400mg yang diberikan tiga kali sehari terbukti memperbaiki
keluhan pruritus pada sebuah laporan kasus dengan masa percobaan 8 minggu. 12
Pengunaan kelambu pada tempat tidur, insektisida dapat dipikirkan sebagai cara
pencegahan terhadap PPE mengingat terdapat kemungkinan hubungan antara respon
berlebih terhadap gigitan serangga pada penderita PPE.33
Penggunaan anti retroviral (ARV) dikatakan dapat memperbaiki kondisi klinis
PPE, namun hasilnya masih beragam pada beberapa laporan kasus. Penggunaan ARV
dini dikatakan dapat membantu mengurangi derajat keparahan PPE pada penderita
HIV, bahkan membantu lesi memudar, menghilang dan tidak rekuren.13 Studi yang
dilakukan Castelnuovo dkk menemukan bahwa pengobatan penderita HIV dengan
ARV dapat membantu lesi PPE membaik. Beberapa laporan kasus lain menunjukkan
keberhasilan signifikan ketika terapi ARV dimulai dini, disertai penggunaan topikal
steroid potensi sedang hingga kuat. WHO merekomendasikan penggunaan ARV
sebagai dasar pengobatan utama pada PPE. 11 Beberapa ahli sepakat bahwa PPE dapat
digunakan sebagai penanda untuk inisiasi penggunaan ARV. Pada kondisi dimana
terapi UVB tidak tersedia, para ahli merekomendasikan penggunaan terapi ARV
segera dengan kombinasi steroid topikal potensi sedang hingga tinggi dan
antihistamin oral untuk menurunkan gejala klinis PPE. 8,11
18
BAB III
RINGKASAN
Pruritic papular eruption (PPE) adalah salah satu manifestasi kulit yang umum
terjadi pada penderita infeksi HIV/AIDS. Didapatkan gambaran klinis berupa lesi
papul eritematosa diskret yang tersebar terutama di area ekstremitas, yang kemudian
dapat menyebar ke batang tubuh, disertai rasa gatal yang hebat dan kronis. Diagnosis
PPE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis tersebut dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi berupa infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit, dan
sejumlah eosinofil dengan distribusi di perivaskular.
Penderita PPE seringkali mengalami penurunan kualitas hidup karena gejala
klinis yang ada, sehingga penentuan diagnosis dan penanganan yang tepat perlu
dilakukan. Beberapa terapi konvensional seperti antihistamin oral, emolien, steroid
topikal dianggap kurang memuaskan untuk beberapa kasus PPE. Terdapat pilihan
terapi lain seperti pemberian pentoksifilin, terapi sinar UVB dan penggunaan obat
anti retroviral (ARV) dapat digunakan sebagai salah satu terapi yang secara signifikan
memperbaiki kondisi klinis PPE.
19
DAFTAR PUSTAKA
28. Farsani, T., Kore, S., Nadol, P., et al. Etiology and risk factors associated with
a pruritic papular eruption in people living with HIV in India. J Inter AIDS
2013; 16 (17325): 1-6.
29. Serling, S.L., Leslie, K., Maurer, T. Approach to pruritus in the adult HIV-
positive popular patient. Semin Cutan Med Surg 2011; 30 (2): 101-6.
30. Naswa, S., Khambahti, R., Marfatia, Y.S. Pruritic papular eruption as
presenting illness of HIV. J Sex Transm Dis 2011;32(2):118-20.
31. Navarini, A.A., Stoeckle, M., Navarini, S., Mossdorf, E., Jullu, B.S.,
Mchomvu, R., Mbata, M., Kibatala, P., Tanner, M., Hatz, C., Schmid-
Grendelmeier, P. Antihistamines are superior to topical steroids in managing
human immunodeficiency virus (HIV)-associated Pruritic Papular Eruption .
Int J Dermatol. 2010;49:83-6.
32. Bellavista, S., Antuono, D.A., Infusiono, D.S., Trimarco, R., Patrizi, A. Pruritic
popular eruption in HIV: a case successfully treated with NB-UVB. Dermatol
Ther 2013; 16:173-5.
33. Berman, B., Flores, F., Burke, G. Efficacy of pentoxifylline in the treatment of
pruritic papular eruption of HIV-infected persons. J Am Acad Dermatol.
2011;38:955-9.