Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Epilepsi pada Pasien Pediatric


Disusun Sebagai Tugas Mengikuti kepanitraan Klinik Stase (KKS) SMF

Pediatric Rumah Sakit Haji Medan Sumatra Utara.

Oleh :
- AJI SUKMA BAYU SAPUTRA 19360227

Pembimbing :

dr. Tity Wulandari, M.Ked (Ped), Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN PEDIATRI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Referat ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian
Pediatric Rumah Sakit Haji Medan dengan judul “Epilepsi pada Pasien
Pediatric”.

Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW


beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang
penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri
tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada


dosen pembimbing KKS di bagian Pediatric yaitu “dr. Tity Wulandari, M.Ked
(Ped), Sp. A” .

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Referat masih terdapat banyak


kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritikdan saran yang membangun dari pembaca sehingga
bermanfaat dalam penulisan Referat selanjutnya. Semoga Referat ini bermanfaat
bagi pembaca dan terutama bagi penulis.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Medan, Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………... i
KATA PENGANTAR ………………………………………………...... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….. 2
2.1 Definisi …………………………………………………... 2
2.2 Epidemiologi ……..……………………………………... 2
2.3 Etiologi …………………………………………………... 3
2.4 Klasifikasi…..……………………….…………………... 4
2.5 Patofisiologi……….……………………........................... 7
2.6 Diagnosis…..……………………….................................. 10
2.7 Penatalaksanaan………………………………………… 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari perkataan yunani yang berarti “serangan” atau

penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang

umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsy tidak

hanya dari segi medic tetapi juga social dan ekonomi yang menimpa

penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi

merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi

penderita epilepsi.

Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang terdiagnosis dan

mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak

klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun

keluarganya. Oleh karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan

dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,

patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi epilepsi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI
2.1 DEFINISI

Epilepsi adalah kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak

lebih dari 24 jam. Pada tahun 2005, ILAE mulai membuat usulan definisi

baru,3 dan pada tahun 2014 definisi baru tersebut telah disetujui yaitu:

bahwa epilepsy adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak

dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu

bangkitan kejang spontan disertai kemungkinan berulangnya kejang paling

sedikit 60% dalam 10 tahun berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang

tersebut merupakan sindrom epilepsi.3

2.2 EPIDEMIOLOGI

WHO melaporkan sebanyak sekitar 50 juta orang dengan epilepsi

berasal dari seluruh dunia. diperkiraan sekitar 2,4 juta orang didiagnosis

epilepsi setiap tahun. insidens epilepsi di negara maju berkisar 30-50 per

100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang bisa mencapai dua

kali lebih tinggi dari negara maju.. Salah satu penyebab tingginya insidens

epilepsi di negara berkembang adalah kemungkinan disebebkan oleh

tingginya risiko kndisi endemik seperti malaria atau neurocysticercosis,

insiden kecelakaan lalu lintas yang tinggi, luka yang berhubungan dengan

2
kelahiran dan minimnya infrastruktur medis, kurangnya ketersediaan

program kesehatan preventif dan sulitnya perawatan yang mudah diakses.

Penelitian insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai

negara, tetapi di Indonesia belum diketahui secara pasti. Para peneliti

umumnya mendapatkan insidens 20 - 70 per 100.000 per tahun dan

prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum. Sedangkan

pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita

epilepsi. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan

dengan perempuan. Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan

lebih sering terjadi pada usia dini dibandingkan usia selanjutnya.2

Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun

pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada

kelompok usia lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia8.

2.3 ETIOLOGI

6 dari 10 penderita epilepsi tidak terdapat penyebab yang

mendahului atau disebut epilepsi idiopatik. Sedangkan epilepsi dengan

penyebab yang diketahui disebut epilepsi sekunder, atau gejala epilepsi.

Penyebab epilepsi sekunder (atau simtomatik) meliputi:7

a. Kerusakan otak akibat luka prenatal atau perinatal (misalnya hilangnya

oksigen atau trauma saat kelahiran, berat lahir rendah);

b. kelainan kongenital atau kondisi genetik dengan malformasi otak yang

terkait; cedera kepala traumatis.

3
c. stroke yang membatasi jumlah oksigen ke otak

d. infeksi otak seperti meningitis, ensefalitis, neurocysticercosis

e. sindrom genetik tertentu; atau tumor otak.

2.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League


Against Epilepsi (1981):1

A. Bangkitan parsial

1. Bangkitan parsial sederhana

1. Motorik

2. Sensorik

3. Otonom

4. Psikis.

2. Bangkitan parsial kompleks

1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran

2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal


bangkitan.
3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik.

2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik.

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi


umum tonik-klonik.

B. Bangkitan umum

1. Absans (lena)

2. Mioklonik

3. Klonik

4
4. Tonik

5. Tonik-klonik

6. Atonik

C. Tak tergolongkan

Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE1989 (Rudzinski dan


Shih, 2011):1

A. Berkaitan dengan letak fokus

a. Idiopatik (primer)

1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di


sentrotemporal (Rolandik benigna).

2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital.

3. Primary reading epilepsy.

b. Simtomatik (sekunder)

1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak


(Sindrom Kojewnikow)

2. Epilepsi lobus temporalis

3. Epilepsi lobus frontalis

4. Epilepsi lobus parietalis

5. Epilepsi lobus oksipitalis

c. Kriptogenik

B. Umum
a. Idiopatik (primer)

1. Kejang neonatus familial benigna

2. Kejang neonatus benigna

3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi

4. Epilepsi absans pada anak

5
5. Epilepsi absans pada remaja

6. Epilepsi mioklonik pada remaja

7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga

8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak

b. Kriptogenik atau simtomatik

1. Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia)

2. Sindroma Lennox Gastaut

3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik

4. Epilepsi dengan absans mioklonik.

c. Simtomatik:

1. Etiologi non spesifik

- Ensefalopati mioklonik neonatal

- Sindrom Ohtahara.

2. Etiologi atau sindroma spesifik

- Malformasi serebral

- Gangguan metabolism.

C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan

1. Serangan umum fokal:

a) Kejang neonatal

b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi

c) Sindroma Taissinare

d) Sindroma Landau Kleffner.

2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.

D. Epilepsi berkaitan dengan situasi:

1. Kejang demam

2. Berkaitan dengan alkohol

6
3. Berkaitan dengan obat-obatan

4. Eklamsi

5. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsy).

2.5 PATOFISIOLOGI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih

dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi

aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated

ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting

artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.

Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler

dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos

membran neuron.5

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori

yaitu :5

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan

seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain.

Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya

dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan

epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang

bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya

bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

7
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya

bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan

nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure

dimana SED tidak ada.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang

adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion

kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion

kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel

(intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi.

Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion

natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya

dengan ion kalsium.2

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam

otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi

dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh

neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.2,6

1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)

kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan

Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan

juga.

8
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila

konsentrasi GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak

manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah.

Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs

= inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu

hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau

kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter

inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak

sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa

perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak

lengkap yang akan menambah rangsangan.2

Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja,

sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang

berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda

dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi

neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan

impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron

eksitatorik (Glutamat) berlebihan.2

9
2.6 PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang

didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga

langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:8

1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic.

2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE

1981.

3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE

1989.

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis

adalah sebagai berikut:8

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata

mengenai hal-hal terkait di bawah ini:

1. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pasca bangkitan:

1. Sebelum bangkitan/gajala prodomal

Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan

terjadinya bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar,

berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.

2. Selama bangkitan/ iktal:

a. Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal

bangkitan?

10
b. Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,

gerakan kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan

pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan

tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat,

dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta

menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat

bangkitan)

c. Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

d. Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya

e. Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat

tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.

3. Pasca bangkitan/ post- iktal:

a) Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,

Todd’s paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,

alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang

antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya

1. Jenis obat antiepilepsi

2. Dosis OAE

3. Jadwal minumOAE

4. Kepatuhan minum OAE

11
5. Kadar OAE dalam plasma

6. Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik

maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun

komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh

kembang.

h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

a. Pemeriksaan fisik umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan

epilepsi, misalnya:9

1. Trauma kepala

2. Tanda-tanda infeksi

3. Kelainan congenital

4. Kecanduan alcohol atau napza

5. Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)

6. Tanda-tanda keganasan.

2. Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang

dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit

12
setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal

yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:9

1. Paresis Todd

2. Gangguan kesadaran pascaiktal

3. Afasia pascaiktal

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)11

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna

pada dugaan suatu bangkitan untuk:

1. Membantu menunjang diagnosis.

2. Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom

epilepsi.

3. Membatu menentukan prognosis.

4. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE.

b. Pemeriksaan pencitraan otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI

beresolusi tinggi ( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-

invasif berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal

sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (

dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous sclerosiss.11

13
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission

Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography

(SPECT) dan MagneticResonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat

dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan

metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan

dengan bangkitan.11

Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI

kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked

pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging

pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi structural penyebab

kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan,

karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala

diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas

dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas

dalam menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitive

dibandingkan CT scan kepala.10

c. Pemeriksaan laboratorium

1. Pemeriksaan hematologis8

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan

hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit

(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah

sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan

albumin.

14
a. Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam

menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE.

b. Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi

samping OAE.

c. Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor

samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek

samping OAE.

2. Pemeriksaan kadar OAE8

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam

plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah

mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitorkepatuhan

pasien.

3. Pemeriksaan penunjang lainnya8

Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:

a. Punksi lumbal

b. EKG

2.7 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan

epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari

serangan kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang

berlangsung sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan

sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi,

15
maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.

Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila

serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan

obat-obatan.12

1. Tatalaksana Awal (Airway – Breathing – Circulation)

2. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam

menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai

pengobatan, pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan

lambat (start low, go slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat

Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.12

Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi,

memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul

dibandingkan politerapi. Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat

pada tabel 2.1.

16
Tabel 2.1. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua

Kejang parsial

Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide

Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam

Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin

Oxcarbazepine Phenobarbitone

Topiramate Phenytoin

Valproate

Kejang umum

Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide

Klonik Lamotrigine Levetiracetam

Topiramate Phenobarbitone

Valproate Phenytoin

Absans Ethosuximide Acetazolamide

Lamotrigine Clonazepam

Valproate

Absans atipikal, Valproate Acetazolamide

Atonik, Clonazepam

Tonik Lamotrigine

Phenytoin

17
Topiramate

Mioklonik Valproate Acetazolamide

Clonazepam

Lamotrigine

Levetiracetam

Phenobarbitone

Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)

3. Terapi bedah epilepsi

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan

meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi

dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama

2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis

kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping

yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan

membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa

mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya12.

DAFTAR PUSTAKA

1. The Commission on Classification and Terminology of the International


League Against Epilepsy. 1981. Proposal for Revised clinical and
electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia;
22:489-501

18
2. Raharjo, Tri Budi. 2007. Faktor-faktor resiko epilepsi pada anak dibawah usia
6 tahun. Universitas Diponegoro. Semarang.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang DKI Jakarta. 2015. Knowledge and
soft skll update to improve child health care. Jakarta.
4. Suwarba, I Gusti NM. 2011. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pda
anak. Universitas Udayana. Denpasar, Bali.
5. Prasad A, Prasad C, stafstrom CE. Recent Advances in the Guidlines of
Epilepsy. Insight from human and animal studies. Epilepsia.1999; 40 (10) :
1329-1352.
6. Widiastuti. Patofisiology of the Epilepsy. Epilepsi. 2001; 1: 8 – 13.
7. Word Health Organization, 2018. Epilepsy.
<http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/> [diakses 26 Februari
2018]
8. Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia. 2014. Pedoma dan Tatalaksana
Epilepsi. Airlangga University Press. Ed. 5.
9. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J,
Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed. Voln one.
Lippincott Williams & Wilkins. USA; 2008; 767-772.
10. NICE. The Epilepsies: The diagnosis and management of the Epilepsies in
adult and children in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline.
2012. pp 76-79.
11. Molshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostik Evaluation In Epilepsi, A
comprehensive Texbook/ editors Jerome Engel JR. Tomothy A. Pedley, 2nd
ed, Vol I, Lippincott Williams & Wilkins, 2008, pp: 783-784.
12. Rafia. MH, Bee. EG. 2010. Consensus Guidelines on the Management of
Epilepsy. Consultant Neurologist & Head. Division of Neurology. Hospital
Kuala Lumpur.

19

Anda mungkin juga menyukai