Anda di halaman 1dari 19

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Reklamasi Dalam Pertambangan


Menurut Irsan & Helmanida (2015), secara umum dampak negatif
yang ditimbulkan akibat dari kegiatan pertambangan adalah tanah menjadi
tidak produktif, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerakan tanah
atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan
dan kesehatan penduduk serta perubahan iklim mikro pada daerah sekitar
tambang. Upaya dalam memulihkan dan mengembalikan kondisi lahan
yang rusak akibat dari kegiatan pertambangan tersebut adalah dengan
melakukan kegiatan reklamasi. Hal ini tertuang pada Pasal 1 Ayat (26)
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, yang menjelaskan reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan
sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memperbaiki dan
memulihkan lagi kualitas lingkungan agar dapat berfungsi kembali sesuai
peruntukannya.
Pelaksanaan kegiatan reklamasi ini harus dilakukan sejak dini dan
tidak harus menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai.
Dilakukan juga evaluasi mengenai tahap-tahap pada pelaksanaannya.
Tujuannya adalah agar dapat mengurangi dampak negatif dari kegiatan
pertambangan dengan maksimal, terutama pada lahan yang rusak dapat
digunakan atau dimanfaatkan kembali sebagai lahan pertanian atau
kegiatan produktif lainnya bagi masyarakat sekitar daerah pertambangan.
Menurut Talo’ohu & Irawan (2014), kegiatan reklamasi secara garis
besar meliputi penyiapan lahan, pengelolaan tanah penutup, pengelolaan
tanah pucuk, penanaman, pemeliharaan, serta pemantauan atas kegiatan
yang telah dilakukan. Material yang digunakan pada kegiatan reklamasi
merupakan material-material yang dibongkar dari kegiatan penambangan
itu sendiri, yang berasal dari lapisan-lapisan yang menutupi endapan
bahan galian.

31 STIT Prabumulih
32

Berdasarkan keterangan tersebut kegiatan utama pada kegiatan


reklamasi tambang antara lain:
1. Penentuan lokasi penimbunan lapisan tanah penutup dan penimbunan
batu-batu hasil dari penambangan.
2. Penimbunan pada area bekas penambangan.
3. Pemuatan dan pengangkutan serta penebaran kembali lapisan tanah
penutup.
4. Persiapan lahan untuk penanaman.
Pada kegiatan-kegiatan utama tersebut dilakukan juga kegiatan
lainnya yang terkait langsung pada kegiatan reklamasi. Adapun kegiatan-
kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Penyimpanan dan pemeliharaan lapisan tanah penutup agar dapat
digunakan kembali pada saat reklamasi.
2. Pengaturan dan pengawasan air limpasan dari lokasi-lokasi
penimbunan.
Melihat dari penjelasan di atas, maka perusahaan yang bergerak
dibidang pertambangan perlu menyiapkan rencana rehabilitasi lahan yang
tertuang dalam kajian AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).
Adanya AMDAL agar pelaksana kegiatan atau pemegang kuasa Izin
Usaha Pertambangan (IUP) dapat mengetahui apa saja dampak yang
timbul apabila melakukan kegiatan pertambangan. Hal ini tertera dalam
Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki AMDAL.

STIT Prabumulih
33

3.2. Dasar Hukum Kegiatan Reklamasi


Kegiatan penambangan yang dikarenakan seringkali dianggap
sebagai penyebab kerusakan pada lingkungan, pemerintah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan sebagai pengendalian dari dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan.
Adapun kebijakan pemerintah mengenai kegiatan reklamasi yang
telah diatur dalam berbagai perangkat peraturan perundangan-undangan
adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 dan No. 23 Tahun 1997 Tentang
Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Mineral.
3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
No. 7 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pasca
Tambang Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
4. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.1211.K/1995.
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan, Pencemaran
Lingkungan Pada Kegiatan Pertambangan Umum.

5. Peraturan Menteri ESDM No No. 18 Tahun 2008 Tentang Reklamasi


dan Penutupan Tambang.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78 Tahun 2010 Tentang
Reklamasi Dan Pasca Tambang.

3.3. Perencanaan Reklamasi


Menurut Zulkifli Arif (2014) pelaksanakan kegiatan reklamasi
diperlukan perencanaan yang baik agar dalam pelaksanaannya dapat
tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki. Dalam hal ini reklamasi harus
disesuaikan dengan tata ruang peruntukan lahan pasca tambangnya.
Perencanaan reklamasi harus sudah disiapkan sebelum melakukan
operasi penambangan dan merupakan program yang terpadu dalam
kegiatan operasi penambangan.

STIT Prabumulih
34

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan reklamasi


adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan dokumen rencana reklamasi sebelum pelaksanaan
penambangan.
2. Luas areal yang direklamasi sama dengan luas area penambangan.
3. Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu
dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan vegetasi.
4. Mengembalikan atau memperbaiki kandungan (kadar) bahan beracun
sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tempat
pembuangan.
5. Mengembalikan fungsi lahan seperti keadaan semula dan sesuai
dengan tujuan penggunannya.
6. Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi.
7. Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam
aktivitas penambangan.
8. Permukaan yang padat harus digemburkan, namun bila tidak
memungkinkan, agar ditanami dengan tanaman pioner yang akarnya
mampu menembus tanah yang keras.
9. Setelah penambangan maka lahan bekas tambang yang diperuntukan
bagi vegetasi, segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis
tanaman yang sesuai dengan rencana rehabilitasi.

10. Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang
diharapkan.

3.4. Pelaksanaan Reklamasi


Menurut Irsan & Helmanida (2015), pelaksanaan reklamasi wajib
dilakukan pada lahan yang terganggu akibat pertambangan. Lahan
tersebut baik berada pada bekas tambang maupun lahan di luar bekas
tambang yang tidak digunakan lagi. Dalam pelaksanaan kegiatan

STIT Prabumulih
35

reklamasi, perusahaan pertambangan bertanggung jawab sampai kondisi


atau rona akhir yang telah disepakati tercapai.
Pelaksanaan reklamasi dilakukan paling lambat satu bulan setelah
tidak ada lagi kegiatan usaha pertambangan pada lahan yang terganggu.
Setelah dilaksanakan kemudian menyampaikan laporan pelaksanaan
reklamasi setiap satu tahun sekali kepada gubernur. Laporan disusun
berpedoman pada penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi
pada Lampiran III (tiga) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 18 Tahun 2008.

3.4.1. Persiapan Lahan


Menurut Zulkilfi Arif (2014), dalam persiapan lahan, hal yang harus
diperhatikan dan dilakukan pada kegiatan ini adalah:
1. Pemindahan atau pembersihan seluruh peralatan dan prasarana yang
tidak digunakan di lahan yang akan direklamasi.
2. Perencanaan secara tepat lokasi pembuangan sampah atau limbah
beracun dan berbahaya dengan perlakuan khusus agar tidak
mencemari lingkungan.
3. Penutupan lubang bukaan tambang secara aman dan permanen.

4. Jika perlu melarang atau menutup jalan masuk ke lahan bekas tambang
yang akan direklamasi.

3.4.2. Pengaturan dan Penataan lahan


Pengaturan bentuk lahan disesuaikan dengan kondisi topografi dan
hidrologi setempat. Adapun kegiatan yang meliputi pengaturan bentuk
lahan yaitu kegiatan penimbunan, pengaturan bentuk lereng dan
pengaturan saluran pembuangan air (Tala’ohu & Irawan, 2014).

3.4.2.1. Kegiatan Penimbunan


Penimbunan tanah penutup dilakukan secara teratur dan
terencana. Lokasi penimbunan sebelum digunakan sebaiknya diteliti

STIT Prabumulih
36

terlebih dahulu. Penelitian dimaksudkan untuk memastikan bahwa daerah


tersebut tidak akan ditambang dan dapat dipakai dalam jangka waktu
cukup lama (lebih dari 5 tahun). Lokasi penimbunan tanah penutup
diusahakan tidak berada pada struktur patahan, creek aktif (aliran sungai
kecil yg terbentuk secara alami), perbukitan, dan rawan longsor.
Adapun tata cara penimbunan lahan dibagi atas dua cara. Berikut
tata cara penimbunan tersebut:
1. Tata cara penimbunan lahan luar tambang (out pit dump)
a. Penyiapan lahan penimbunan
b. Penumpahan (dumping) tanah penutup (overburden)
c. Pemadatan lapis per lapis
d. Pengaturan geometri lereng untuk mengurangi tingkat erosi
e. Pengaturan saluran pembuangan air (SPA) pada masing-masing
jenjang
f. Penebaran tanah pucuk dan revegetasi
2. Penimbunan di lahan bekas penambangan (in pit dump)
a. Penimbunan kembali lapis-perlapis
b. Pemadatan lapis-perlapis
c. Pengaturan saluran pembuangan air (SPA)
d. Penebaran tanah pucuk dan revegetasi

3.4.2.2. Pengaturan Bentuk Lereng


Menurut Tala’ohu dan Irawan (2014) pengaturan bentuk lereng
atau kestabilan lereng menjadi perhatian khusus dalam merencanakan
timbunan pada lahan yang akan dilakukan reklamasi. Perhitungan dan
pemantauan secara tepat harus dilakukan untuk menghilangkan resiko
longsoran. Kondisi pembentukan lereng jangan terlalu tinggi atau terjal
dan dibentuk berteras-teras. Apabila penimbunan dilakukan berteras-
teras, maka pada bidang datarnya dibuat miring ke arah dalam, dengan
kemiringan ± 2%. Cara ini berlaku baik, agar dapat mengendalikan aliran
air permukaan, erosi dan longsor (Gambar 3.1).

STIT Prabumulih
37

Sumber : Tala’ohu & Irawan (2014)


Gambar 3.1. Sketsa cara penimbunan dengan bidang olah miring
berlawanan arah
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi
oleh para ahli geoteknik dalam jurnal Zulfialdi (2009) yang menyeluruh
tentang keruntuhan lereng, maka rentang Faktor Keamanan (F) yang
ditinjau dari intensitas kelongsorannya dibagi atas tiga kelompok yang
diperlihatkan pada (Tabel 3.1) berikut:

Tabel 3.1. Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor

Nilai Faktor Keamanan Kejadian / intensitas Longsor

F < 1,07 Longsor terjadi biasa/sering (lereng labil)

F antara 1,07 – 1,25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis)

F > 1,25 Longsor jarang terjadi (lereng relatif stabil)

Sumber : Zulfialdi, 2009


Menurut Prasetyo Dkk (2011), perancangan suatu lereng yang
aman dan ideal selain berdasarkan kebutuhan perusahaan, kegiatan ini
harus benar-benar memperhatikan juga perbandingan yang sesuai antara
tinggi jenjang dan lebar jenjang. Hal ini ditujukan agar lereng yang
terbentuk nanti tidak memiliki kondisi jenjang yang secara fisik sudah
terlihat tidak stabil. Sebagai perencanaan yang diinginkan suatu lereng

STIT Prabumulih
38

dengan tinggi yang cukup besar, maka perlu dibuat kemiringan lereng
yang tidak terlalu besar, sehingga geometrinya menjadi seimbang. Begitu
juga sebaliknya apabila diinginkan suatu lereng dengan kemiringan yang
cukup besar, maka tinggi lereng sebaiknya dibuat tidak terlalu tinggi. Hal
ini dapat menghindari terjadinya lereng dengan geometri tidak seimbang
antara tinggi dan kemiringannya, maka menjadikan lereng tersebut rawan
untuk terjadi longsoran (Tabel 3.2).

Tabel 3.2. Faktor Keamanan Terhadap Geometri Lereng


 
Tinggi Per
Jenjang (m) <10 11– 16– 21– 26– 31– 36–
15 20 25 30 35 40

Sudut    
Kemiringan (°)
20   2,5 2,21 2,04 1,94 1,87 1,81 1,77
4
25   2,1 1,83 1,68 1,58 1,52 1,47 1,43
3
30   1,8 1,57 1,43 1,34 1,28 1,23 1,2
3
35   1,6 1,38 1,25 1,16 1,10 1,06 1,02
2
40   1,4 1,22 1,1 1,02 0,96 0,91 0,92
6
45   1,3 1,09 0,98 0,90 0,84 0,80 0,80
2
50   1,2 0,98 0,87 0,80 0,74 0,70 0,70
55   1,0 0,89 0,78 0,70 0,65 0,61 0,61
9
Sumber : Prasetyo Dkk, 2011
Dari tabel di atas terlihat bahwa semakin tinggi suatu lereng
dengan kemiringan tetap, maka nilai faktor keamanannya akan menurun.
Begitu pula apabila kemiringan suatu lereng semakin besar dengan tinggi
yang tetap, maka akan mengakibatkan penurunan nilai faktor keamanan
minimumnya.
3.4.2.3. Pengendalian Erosi dan Sedimentasi
Pengendalian erosi dan sedimentasi merupakan hal yang harus
dilakukan pada timbunan lereng yg telah terbentuk, karena erosi dapat
mengakibatkan berkurangnya kesuburan tanah dan terjadinya endapan
lumpur dan sedimentasi. Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi

STIT Prabumulih
39

terjadinya erosi dan sedimentasi menurut Tala’ohu & Irawan (2014),


antara lain:
1. Curah hujan
Sifat curah hujan yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah
intensitasnya. Meningkatnya intensitas curah hujan, mengakibatkan
semakin tingginya erosi. Intensitas curah hujan yang tinggi akan
mempercepat proses penghancuran dan pengangkutan agregat tanah.
Hancurnya agregat tanah tersebut, dapat menyumbat pori-pori tanah
yang menyebabkan air tidak dapat meresap kedalam kedalam tanah,
sehingga berdampak pada meningkatnya air limpasan permukaan.
2. Sifat tanah
Sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan terhadap erosi yaitu
tekstur tanah, bentuk, kemantapan struktur tanah, kapasitas infiltrasi,
permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik.
Secara umum hubungan antara sifat tanah dengan erosi adalah
sebagai berikut:
a. Tanah bertekstur pasir tidak peka terhadap erosi karna memiliki
ukuran partikel yang besar sehingga daya angkut aliran (erodibilitas)
menjadi lebih kecil. Pada tanah dengan ukuran partikel lebih halus
(lempung dan debu) sangat mudah terangkut oleh aliran permukaan,
apalagi jika kecepatan aliran permukaan tinggi. Dengan demikian
ukuran partikel tanah berpengaruh terhadap proses pengangkutan
sedimen.
b. Tanah berstruktur mantap dengan bentuk struktur membulat (remah
dan gumpal membulat) lebih tahan terhadap erosi karna mampu
menyerap air lebih banyak dan mengurangi limpasan permukaan.
3. Lereng
Besarnya erosi dipengaruhi oleh lereng. Semakin curam dan
panjang suatu lereng, maka erosi yang terjadi akan semakin tinggi. Hal
ini terjadi karna kecepatan aliran air dipermukaan semakin meningkat

STIT Prabumulih
40

dan meningkatkan daya angkutnya terhadap partikel tanah yang telah


hancur semakin cepat pula.
Melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi di atas,
untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya erosi, maka perlu
melakukan pengendalian dan pencegahan erosi. Beberapa cara yang
dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi pada bidang miring atau lereng
dilakukan dengan cara berikut:
1. Teknik vegetatif atau biologi
Pekerjaan vegetatif dan biologi maksudnya memanfaatkan tanaman
sedemikian rupa sehingga tanah bisa terhindar dari pukulan air hujan
dan aliran air limpasan. Pekerjaan ini biasanya melakukan kegiatan
penanaman tanaman penutup (cover crop) seperti rumput dan kacang-
kacangan menjalar.
2. Teknik sipil
Pekerjaan teknik sipil maksudnya adalah pekerjaan pembuatan saluran
air (back slope), pembentukan terasering dan pembuatan kolam
pengendap lumpur (KPL).
a. Pembuatan saluran pembuangan air
Pengaturan saluran pembuangan air (SPA) merupakan hal
yang penting untuk menjaga keamanan dan kestabilan lereng.
Pengaturan saluran pembuangan air ini juga dimaksudkan untuk
mengatur air agar mengalir pada tempat tertentu dan dapat
mengurangi kerusakan akibat erosi. Jumlah atau kerapatan dan
bentuk sistem penyaluran air (SPA) tergantung dari bentuk lahan dan
luas areal yang di reklamasi.
Bentuk saluran pembuangan air beda bentuk, beda pula fungsi
dan daya tampungnya. Adapun bentuk-bentuk saluran pembuangan
air (SPA) dan fungsinya yang dapat diterapkan pada lahan timbunan
lereng yang akan direklamasi dapat dilihat pada (Tabel 3.3).

STIT Prabumulih
41

Tabel 3.3. Bentuk-bentuk dan fungsi Saluran Pembuangan Air


(SPA)

Sumber : Sumiyanto (2010)

b. Pembentukan terasering pada timbunan


Menurut Sumiyanto (2010), terasering adalah bangunan konservasi
tanah yang bertujuan mengurangi kecepatan aliran air dan
memperbesar peresapan air. Berikut jenis-jenis terasering dan
spesifikasinya yang dapat diterapkan antara lain:
1. Teras datar (level terrace)
Teras datar dibuat pada tanah dengan kemiringan kurang dari
3%. Tujuannya adalah untuk memperbaiki pengaliran air dan
pembasahan tanah. Teras datar dibuat dengan jalan menggali

STIT Prabumulih
42

tanah menurut garis tinggi dan tanah galiannnya ditimbunkan ke


tepi luar, sehingga air dapat tertahan dan terkumpul (Gambar
3.2).

Sumber : Sumiyanto (2010)


Gambar 3.2. Teras Datar (level terrace)

2. Teras kridit (ridge terrace)


Teras kridit dibuat pada tanah yang landai dengan kemiringan 3-
10%, yang bertujuan untuk mempertahankan kesuburan tanah.
Pembuatan teras kridit dimulai dengan membuat jalur penguat
teras sejajar garis tinggi (Gambar 3.3).

Sumber : Sumiyanto (2010)


Gambar 3.3. Teras Kridit (ridge terrace)

STIT Prabumulih
43

3. Teras guludan (cotour terrace)


Teras guludan dibuat pada tanah yang mempunyai kemiringan
10-50% dan bertujuan untuk mencegah hilangnya lapisan tanah
akibat erosi (Gambar 3.4).

Sumber : Sumiyanto (2010)


Gambar 3.4. Teras guludan (cotour terrace)

4. Teras bangku (bench terrace)


Teras ini dibuat dengan cara memotong lereng, kemudian
meratakannya sehingga terbentuklah seperti bangku. Teras
bangku dibuat bertujuan untuk mencegah erosi pada lereng.
(Gambar 3.5).
Persyaratan teknis :
a. Kemiringan lereng : 10-30%
b. Kedalaman Tanah : > 30 cm
c. Diterapkan pada tanah dengan permeabilitas tinggi dan
infiltrasi tinggi.

STIT Prabumulih
44

Sumber : Sumiyanto (2010)


Gambar 3.5. Teras Bangku (bench terrace)

c. Pembuatan kolam pengendap lumpur (KPL)

Kolam pengendapan lumpur (KPL) berfungsi untuk tempat


pengendalian kualitas air limpasan dari tambang agar dapat
memenuhi baku mutu lingkungan dengan cara mengendapkan
material erosi dan pengapuran untuk netralisasi air asam tambang.

3.4.3. Pengelolaan Tanah Pucuk


Pengolahan tanah pucuk bermaksud untuk mengatur dan
memisahkan tanah pucuk dengan lapisan tanah lain. Hal ini penting
karena salah satu faktor untuk keberhasilan pertumbuhan tanaman pada
kegiatan reklamasi. Tanah pucuk (top soil) semaksimal mungkin
diarahkan untuk digunakan sebagai bahan penutup lahan timbunan paling
atas. Kendala tanah seperti kadar pH tanah sangat masam, tingginya
kadar garam, rendahnya tingkat kesuburan, struktur tanah yang tidak
stabil, dan permeabilitas yang lambat serta aerasi tanah yang jelek

STIT Prabumulih
45

merupakan pembatas utama yang dihadapi dalam kegiatan reklamasi


(Tala’ohu & Irawan, 2014).
Menurut Tala’ohu & Irawan (2014) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan tanah pucuk adalah:
1. Pengamatan sifat fisik dan kimia tanah.
Kesuburan tanaman dapat ditentukan oleh sifat fisik dan kimia
tanah pucuk. Adapun pengamatan yang dilakukan terhadap sifat fisik
dan dan kimia tanah yaitu:
a. Sifat fisik tanah terdiri dari debu, pasir, liat dan salah satunya
kedalaman efektif tanah. Sifat fisik tersebut dapat mempengaruhi
perakaran tanah yang berkembang.
b. Keadaan sifat kimia tanah yaitu reaksi tanah yang stabil, banyaknya
cadangan unsur-unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, seperti:
1) C - Organik berfungsi membuat tanah semakin produktif.
2) Nitrogen (N-Total) sebagai protein bagi tanaman untuk
mempercepat pertumbuhan tanaman.
3) Fosfor (P-Bray) berfungsi memacu pertumbuhan akar dan
membentuk sistem perakaran yang baik.
4) Kalium (K) berfungsi membuat tanaman lebih tahan terhadap
gulma atau hama
5) Natrium (Na) berfungsi sebagai pembentukan stomata, umbi dan
dapat mengganti peran Kalium.
6) Kalsium (Ca) meningkatkan kualitas buah dan tegaknya pada
batang sehingga tidak mudah tumbang.
7) Magnesium (Mg) berfungsi sebagai pembentukan zat hijau
(klorofil).
8) Kapasitas Tukar Kation (KTK) berfungsi sebagai menyerap ion
positif dan mengeluarkan ion negatif.

STIT Prabumulih
46

Berikut kriteria penilaian sifat kimia yang mempengaruhi tingkat


kesuburan tanah (Tabel 3.4).

Tabel 3.4. Kriteria Penilaian Sifat dan Kimia Tanah


Kategor Sangat Sangat
Rendah Sedang Tinggi Satuan
i Rendah Tinggi

Karakteristik

< 4.5 4.5 - 5.5 5.5 - 6.5 6.6 - 7.5 > 7.6
PH H2O Sangat Agak Agak Alkalis - %
Masam Netral
Masam Masam Alkalis
1.00 –
C-Organik < 1.00 2.01 –3.00 3.01 – 5.00 > 5.00 %
2.00
0.10 –
N-Total < 0.10 0.21 –0.50 0.51 – 0.75 > 0.75 %
0.20
< 10 10 – 15 16 – 25 26 – 35 > 35
P-Bray ppm
< 4.4 4.4 - 6.6 7.0 – 11.0 11.4 – 15.3 > 15.3
me/
K < 0.1 0.1 – 0.2 0.3 – 0.5 0.6 – 1.0 > 1.0
100 gr
me/
Na < 0.1 0.1 – 0.3 0.4 – 0.7 0.8 – 1.0 > 1.0
100 gr
me/
Ca <2 2–5 6 – 10 11 – 20 > 20
100 gr
me/
Mg < 0.4 0.4 – 1.0 1.1 – 2.0 2.1 – 8.0 > 8.0
100 gr
me/
KTK <5 5 – 16 17 - 24 25 - 40 > 40
100 gr
Sumber: Nugroho & Oksana (2013)

2. Pengupasan tanah berdasarkan atas lapisan-lapisan


tanah dan ditempatkan pada tempat tertentu sesuai tingkat lapisannya.
3. Pembentukan lahan sesuai dengan susunan lapisan
tanah semula. tanah pucuk ditempatkan paling atas.
4. Ketebalan tanah pucuk minimal 50 cm dan maksimal
2 meter.
5. Ketebalan timbunan tanah pucuk pada tanah yang
mengandung racun dianjurkan lebih tebal dari yang tidak beracun atau
dilakukan perlakuan khusus dengan cara mengisolasi dan
memisahkannya.

STIT Prabumulih
47

6. Pengupasan tanah sebaiknya jangan dilakukan dalam


keadaan basah untuk menghindari pemadatan dan rusaknya struktur
tanah.

3.4.4. Revegetasi
Revegetasi merupakan kegiatan puncak dari suatu pelaksanaan
reklamasi. Revegetasi adalah rehabilitasi lahan dengan melakukan
kegiatan penanaman atau penghijauan kembali pada lahan yang akan
direklamasi. Keberhasilan revegetasi tergantung pada beberapa hal,
seperti persiapan penanaman, cara penanaman, pemeliharaan tanaman
(Tala’ohu & Irawan, 2014).

3.4.4.1. Persiapan penanaman


Pada umumnya persiapan penanaman, meliputi pekerjaan
pembersihan lahan, pengelolaan lahan dan kegiatan perbaikan tanah.
Kegiatan tersebut sangat penting agar keberhasilan tanaman dapat
tercapai.
1. Pembersihan lahan
Kegiatan pembersihan lahan merupakan salah satu penentu dalam
persiapan penanaman. Kegiatan yang dilakukan adalah pembersihan
lahan dari tanaman pengganggu seperti alang-alang dan liliana.
Tujuannya adalah agar tanaman pokok dapat tumbuh baik tanpa ada
persaingan dengan tanaman pengganggu dalam hal mendapatkan
unsur hara dan sinar matahari.
2. Pengelolaan lahan
Pengelolaan lahan maksudnya tanah diolah supaya gembur agar
perakaran tanaman dapat dengan mudah menembus tanah dan
mendapatkan unsur hara yang diperlukan dengan baik. Diharapkan
juga pertumbuhan tanaman dapat tumbuh sesuai dengan yang
diinginkan.

STIT Prabumulih
48

3. Perbaikan tanah
Kualitas tanah yang kurang bagus bagi pertumbuhan tanaman perlu
mendapat perhatian khusus dengan penggunaan gipsum, kapur, mulsa,
pupuk (organik maupun anorganik).

3.4.4.2. Cara penanaman


Pelaksanaan penanaman dilakukan dengan cara pengaturan arah
larikan tanaman, pemasangan ajir atau penyangga, distribusi bibit,
pembuatan lubang tanaman dan penanaman.
1. Pemasangan arah larikan
Arah larikan tanaman biasanya sejajar dengan kontur lahan atau pada
daerah relatif datar.
2. Pemasangan ajir
Pemasangan ajir mengikuti arah larikan tanaman. Pemasangan ajir
tanaman mengikuti jarak tanaman yang ditetapkan 4 x 4 m menurut
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.60/Menhut-
II/2009 Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi.
3. Distribusi bibit
Dilakukan setelah kegiatan pembuatan lubang tanam atau dilakukan
setelah penanaman ajir.
4. Pembuatan lubang dan penanaman tanaman
Sebelum bibit ditanam, dilakukan pengamatan dahulu apakah bibit yg
tersedia cukup baik (memenuhi syarat) umpamanya daun-daunnya
segar atau sehat dan tidak rusak.

3.4.4.3. Pemeliharaan Tanaman


Pemeliharaan tanaman yang dimaksud adalah untuk memacu
pertumbuhan tanaman sehingga dapat mewujudkan keadaan opimal bagi
pertumbuhan tanaman. Pemeliharaan tanaman pada tahun pertama
pemeliharaan yang dilakukan adalah penyulaman, pengendalian gulma,
pendangiran dan pemupukan. Pada tahun kedua pemeliharaan yang

STIT Prabumulih
49

dilakukan adalah penyiangan, pengendalian gulma, pendangiran dan


pemupukan.

STIT Prabumulih

Anda mungkin juga menyukai