Adalah Joe, yang hanya bisa mengejar tukang bakso dengan pandangannya
yang pilu. Joe merupakan mahasiswa yang bisa dikatakan maniak weight
loss, yang mengatur diet sehat dan diet ketat. Hari-hari ia isi dengan
konsumsi makanan penuh gizi rendah kalori, plus dengan hati yang tidak
menikmati. Joe tidak menyadari bahwa ia tidak terlahir kurus, kedua orang
tuanya gemuk, hampir seluruh keluarganya gemuk, kecuali satu orang, yaitu
Alex, si buncit yang humoris.
Namun Joe percaya dengan motivasi dari seminar bisnis multilevel yang
pernah digelutinya 5 bulan lalu, “tidak ada yang tak mungkin. Jika kalian
ingin mencapai apa yang kalian inginkan, dan sukses di usia muda” Tentu
saja sukses bagi Joe adalah sukses menurunkan berat badan, apa yang
membuat Joe tidak pernah berhasil adalah nafsu makan yang sama besar
dengan badan, memang ia memakan sayur, dengan porsi yang sangat
banyak.
Suatu hari ia membaca sebuah artikel “Tertawa dapat membakar lemak” dan
dengan sangat serius menanggapi. Joe sama dengan kedua orangtuanya,
pemurung dengan muka berlemak sulit dibuat tertawa. Namun hari saat ia
membaca artikel itu adalah hari dimana ia seolah terlahir kembali. Joe
menjadi pribadi yang gampang sekali tertawa, bahkan saat seseorang
berbicara serius (pada saat itu Joe menerima caci maki), sikap Joe yang
berubah tentu mengundang berbagai penafsiran dari masyarakat, dan
didominasi oleh pandangan bahwa ia telah gila.
Hingga pada suatu pagi, pihak keluarga sudah tidak kuat lagi dan
melaporkan Joe ke rumah sakit Jiwa di pusat kota, dan sorenya datanglah
sebuah avanza hitam ke rumah Joe, membawa lima orang dokter jiwa
(orangtua Joe sudah mengatakan sebelumnya kalau Joe bertubuh besar dan
suka melawan) dan menyeret paksa Joe ke dalam mobil. Bahkan Joe tetap
tertawa karena salah satu motivasinya dalam latihan tertawa ini adalah
“memandang positif dari segala sesuatu”. Singkat cerita, Joe harus menginap
sampai waktu yang belum ditentukan di balik jeruji besi yang dicat putih,
berjalan dalam takdir, takdir untuk bersama penghuni-penghuni lain yang
juga melakukan ‘latihan’ yang sama.
Dan tibalah mereka di RSJ pusat kota, avanza itu diparkir tepat di depan
pintu masuk, Joe digiring layaknya tahanan. Begitu sampai di dalam, semua
orang terkejut, dengan wajah ‘inikah dajjal yang terkutuk itu’ Joe melirik
marah ke sekeliling, seperti banteng menghadap matador, kedua tangannya
yang diborgol bergetar, dokter-dokter yang menggiringnya mulai cemas,
anak itu tepat seperti apa yang dikatakan orangtuanya yaitu pelawan.
Sang satpam dengan rambut mangkuk, yang mejaga pintu depan bergegas
menuju ke arah para dokter yang bersama Joe berlari dengan epik. Pasalnya
selama hampir 1 tahun ia bekerja ia hampir tak pernah digunakan untuk
mengamankan, sebab ada satpam lain yang lebih berwibawa untuk itu,
“Lepaskan aku! Aku bukan orang gila!” Teriak Joe seolah baru bangun dari
hipnotis. Bagaimana bisa ia belum tahu sampai harus berada di depan pintu
sel,
“Tenang-tenang, tenang-tenang” satu dokter mengurut-ngurut lengan Joe
dengan hampir profesional,
Satpam sudah sampai, Joe merasa seperti dibinatangkan, akhirnya meteran
amarah sudah sampai pada batasnya. Joe entah bagaimana caranya, dan di
depan hakim para dokter akan bersaksi,
Kedamaian yang biasanya ada di sore hari RSJ tersebut, hilang dalam
sekejap diganti riuh yang menegangkan. Alarm berbunyi, satu orang di
ruang resepsionis tergesa-gesa menekan nomor pada telepon yang ada di
meja. Para pasien di ruang bawah mendekatkan diri mereka ke jeruji,
bohong dengan wajah takut namun mereka sangat menikmati.
Satpam rambut mangkuk segera mencekik Joe dari belakang. Joe pun segera
meresponnya, dengan reflek serta kekuatan, yang dibangun dari setidaknya
beberapa bulan diet ketat (dan sehat). Membuat badan besarnya tidak hanya
besar bodoh, namun besar sehat yang di dalam setiap ototnya terdapat
kekuatan dari gizi makanan mahal. Joe langsung menjungkirkan si satpam
ke depan. Tubuh satpam yang tadi menggantung di belakang Joe, terhempas
keras ke lantai.
Vit, sebenarnya surat ini tidak sama seperti surat-suratku sebelumnya. Surat
ini bukan hanya sekedar surat cinta, tetapi juga surat perpisahan. Vito, entah
aku harus bahagia atau berduka ketika mengatakannya. Aku akan pergi, Vit.
Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Jepang. Aku akan
mewujudkan satu lagi keinginan kamu. Keinginan kamu untuk menulis nama
kita berdua di puncak Gunung Fuji. Di Jepang nanti, aku akan menghuni
rumah impian kamu itu, Vit. Rumah impian kita berdua. Aku tidak sendirian
di sana. Aku percaya bayangan kamu selalu ada di samping aku…
Vito, ini berarti aku harus meninggalkan kamu di sini sendirian. Selama
beberapa tahun ke depan aku tidak bisa melakukan ritual Sabtu pagi
mengunjungimu. Jujur, aku sedih, Vit. Tapi aku yakin jalan yang aku ambil
ini akan bahagiakan kamu dan kedua orangtuaku. Doakan saja aku dari sini…
Vit, kamu lihat, matahari di sini mulai tenggelam. Ini adalah waktu favorit
kita, Vit. Senja. Mungkin saatnya aku pulang. Seperti biasanya, bersamaan
dengan surat ini kusertakan sebatang cokelat kesukaanmu. Kuletakkan di
bawah nisan yang berukir indah namamu…
Aku pamit, Sayang. Selamat tinggal. Doakan aku supaya tetap bahagia. I
Love You More, Vito…
Terdalam,
Regita Feronica J. (Gita)
Tanpa sadar, aku berurai air mata usai membacanya. Aku baru menyadari
sepenuhnya bahwa gadis itu masih belum bisa lepas dari Vito, adik lelakiku
yang kini telah hidup damai di akhirat sana. Tiba-tiba aku menyesal pernah
mengungkapkan perasaanku padanya karena sekarang aku yakin cinta
mereka berdua abadi meskipun salah satu diantaranya sudah pergi dan
tinggal sebuah nama.
Aku melirik cokelat yang tergeletak tepat di bawah nisan adikku. Kemudian
kuusap air mataku, tersenyum, dan bertekad memendam seluruh
perasaanku pada gadis itu.
Gita, aku akan berjalan mundur…
***
Seperti setitik bintang di kegelapan malam, terkadang kita tak menyadari
ada cahaya kecil dalam malam yang gelap, yang kita berinama “bintang”.
Betapa indahnya cahaya itu walaupun tak bisa menerangi malam. Tapi, lain
halnya ketika kita melihat ada setitik noda di atas kain putih yang
membentang. Kita justru terfokus pada noda yang kecil, dan seolah lupa
betapa bersihnya kain itu terlepas dari setitik noda yang ada, yang mungkin
bisa hilang hanya dengan sedikit detergent pemutih. Itulah hidup, kadang-
kadang kita lupa untuk memandang sesuatu dari sisi lain yang dimiliki.
Saya, memiliki seorang murid yang saya pikir kecerdasannya kurang
menonjol dibanding lainnya. Suatu hari, ketika kami tengah membicarakan
sistem tata surya, hanya sebagai pengetahuan bahwa bumi merupakan salah
satu planet dalam sistem tata surya yang menjadi tempat tinggal manusia,
murid saya itu, sebut saja namanya Rimba, tiba-tiba berdiri dan mengambil
helm milik guru lain yang disimpan diatas loker dalam ruang kelas serta
memakainya. Tanpa saya sadari saya berkata kepadanya :”Wah,,,teman-
teman, lihat!! Rimba memakai helm, seperti astronot yang mau terbang ke
bulan ya…”. Semua teman-temannya memandang ke arahnya, dia
tersenyum, spontan helmnya langsung di lepas dan dikembalikan ke tempat
semula, tanpa harus disuruh untuk mengembalikan. Kemudian saya ajak
mereka untuk menggambar roket di atas kertas putih yang tersedia. Dan
hasilnya, Subhanallah, murid yang saya pikir kecerdasannya kurang
menonjol itu justru tahapan menggambarnya dua tingkat lebih tinggi
dibanding murid yang saya pikir paling pandai di kelas.
Seandainya saja saya memberikan reaksi yang lain seperti :”Rimba, silakan
dikembalikan helmnya karena sekarang saatnya kita belajar”, atau :”Maaf,
silakan dikembalikan helmnya karena Rimba belum minta ijin bu guru”, atau
yang lainya, mungkin saya tidak akan pernah tahu bahwa kecerdasan dia
sudah lebih dari apa yang saya sangka karena pembahasan hari itu bukan
tentang astronot atau roket. Atau barangkali saya membutuhkan lebih dari
satu kalimat perintah untuk membuatnya mengembalikan helm ke tempat
semula.
-Karya Wijayanti-
Putar kanan… putar kiri… hadap kanan… hadap kiri… badanku meliuk-liuk.
Aliran darah segar segera membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai
keasyikan. Di tengah keasyikan itu, samar-samar kudengar orang bercakap-
cakap. Kuajak kakiku melangkah mencari asal suara. Di ruang tamu ku
dapati dua orang tengah terlibat perbincangan yang serius. Aku intip dibalik
pintu belakang. Bapak angkat dan temannya. Aku tak mengerti apa yang
sedang mereka bicarakan. Bahasa sunda adalah penghalangnya, karena aku
tidak mengerti bahasa itu.
Masalah pekerjaan dan tetek bengeknya, hal itulah ternyata yang jadi
perdebatan. Bapak angkatku seorang pedagang dan beliau menekuni
pekerjaan itu. temannya seorang guru dan setengah-setengah menjalani
profesi yang dimilikinya.
“Saya heran kenapa kamu tak pernah capek bolak-balik dari rumah ke pasar
tiap hari?” Pertanyaan temannya buat bapak. Pertanyaan konyol kupikir.
Bagaimana tidak coba , kalau aku boleh bertanya padanya kenapa pula dia
tak pernah capek bolak-balik dari rumahnya ke sekolah? Ya… kan?
“Matahari bersinar disiang hari. Muncul ditimur dan tenggelam dibarat. Dia
bertugas menerangi bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada di
seantero persada.”
Kembali bapak diam. Kulihat teman bapak diam menyimak sabda bapak. Aku
ikut menunggu apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.
“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, apa yang bakalan
terjadi?”
“Kacau…” Jawab teman bapak. aku mengiyakan. Bapak, aku dan temannya
tertawa. Suasana kembali tak tegang.
I didn’t know what exactly I felt. Something was missing without his laugh
and presence. But I should be grateful. I knew who the real William Hakim
was.
Mungkin mereka mengira bahwa aku adalah raksasa jahat yang akan
mengganggu mereka.. hmm.. mereka terlalu berprasangka buruk
terhadapku, tapi lama-kelaman pasukan mereka bertambah sampai- sampai
ratu mereka juga keluar. Aku yang tadinya niat tidak akan mengganggu
mereka mulai merubah fikiran, kaya’nya mereka yang akan menakut-
takutiku.
Aku beraksi, aku ambil minyak angin aku semburkan pada mereka, sontak
mereka berkeliaran tak tau arah lagi. Aku mulai prihatin, banyak di antara
mereka keluar dari jalur yang ada, kehilangan arah kerena semburan tadi.
Hidup mereka memang sulit. Ada saja yang mengganggu mereka di tengah
perjalanan. Tidak lama kemudian mereka malui terarah lagi, telah berbaris
dan jalan ke tempat tujuan awal mereka, mereka mencari jalan baru yang
tidak terkontaminasi dengan minyak angin tadi.
Dari kisah semut tadi aku belajar perjalannan hidup yang mahal harganya.
Dimana saat kita telah mengusahakan sesuatu katakanlah itu impian kita,
maka jika di tengah perjalanan dalam menggapai impian itu kita jatuh.
Langsung bangkit, temukan jalan lain yang lebih baik untuk menggapainya.
Karena jika kita tetap diam, kita akan ketinggalan yang impian itu semakin
jauh dari kita, kehidupan akan terus berlanjut meskipun tanpa kita.
Karena tangis sang peri tak kunjung reda dan membuat seluruh penghuni
hutan terusik, datanglah angin padanya. Angin bertanya kenapa ia begitu
bersedih? Peri bangkit dari sandaran, dikibas-kibaskan sayap kecilnya
kemudian duduk dengan cara mendekap lutut di atas punggung angin.
“Kawan kawanku telah pergi. Mereka telah pindah ke utara untuk mencari
rumah baru dengan meninggalkanku”
“Kenapa kawan kawanmu meninggalkanmu ?” tanya angin. Sang peri diam.
“Kenapa?”,
desak angin. “Karena aku buruk rupa” jawabnya sambil memalingkan wajah.
Kemudian tampaklah benjolan besar di pipi sebelah kanannya hingga karena
benjolan itu mukanya terlihat bopeng. Sedang di seluruh permukaan
wajahnya terdapat pula banyak bintik merah, yang kalau satu saja bintik itu
pecah maka terciumlah bau tak sedap ke seluruh tempat di mana ia berada.
Dengan wajah seperti itu, peri-peri lain selalu mengejeknya.
Sang peri mengajak angin menuruni pohon, kemudian mereka terbang
menuju telaga. Sesampainnya di sana tampaklah bulan yang bayangan
wajahnya terpantul di atas permukaan air. “Kau tahu,” lirihnya. “keinginanku
sekarang, aku ingin cantik dan bersinar seperti dia, dengan begitu niscaya
sirnalah kedukaanku”. Angin menggelengkan kepala, “Tak mungkin” katanya
dalam hati. Bulan begitu agung, ia perhiasan malam sebagaimana matahari
menjadi perhiasan siang. Setiap mahluk tentu boleh bermimpi untuk
memiliki kecantikannya namun mustahil bisa mendapatkannya. Mimpi
memiliki kecantikan bulan hanya akan berakhir pada kesia-saiaan.
Sang peri menatap angin lalu berkata, “Akan kuminta bulan agar membagi
kecantikannya denganku, kan kujumpai ia sekarang”. Terbanglah ia menuju
langit, namun begitu sampai di antara gumpalan awan, ia terpental ke bumi,
sayapnya terlalu kecil dan napasnya lebih dulu habis sebelum sampai ke atas
sana. Berkali kali ia mencoba namun lagi lagi terpental. Sang peri
menghampiri angin, ia meminta agar angin mengantarnya. Angin
menggelengkan kepala kembali. katanya Perjalanan dari bumi kebulan
sangat jauh, tak satu mahlukpun dapat sampai kesana termasuk dirinya.
Saat siuman, pandangan sang peri masih kabur sedang pusing membebat
kepalanya. Namun dalam pandangan yang belum jernih tersebut, ia melihat
bayangan terang keemasan di hadapannya. Makin lama bayangan itu makin
jernih. Alangkah terkejutnya ia begitu mengetahui kalau ternyata bulan telah
turun ke bumi tuk menemuinya. Ketika peri hendak mengatakan sesuatu,
bulan lebih dulu memotong dengan berkata “Aku sudah tahu apa yang kau
inginkan”.
“Apakah aku tidak boleh menjadi cantik” tanya sang peri. Bulan tersenyum,
bukan begitu jawabnya. Lebih dari cantik ia juga harus berguna. Ia harus
bisa memberi manfaat bagi manusia, binatang-binatang, tumbuhan dan
pohon pohon. Karena ketika wanita cantik menuntut agar dirinya dicintai,
wanita berguna justru berbagi dan memberi, itulah hakekat kecantikan
sesunggguhnya kata bulan. peri menatap wajah bulan yang anggun. Ia
bertanya apa yang harus ia lakukan agar menjadi cantik sekaligus berguna?
Bulan menjawabnya hanya dengan senyuman.
Mulai saat itu sang peri tinggal di langit. Ia mengembara mencari mahluk
mahluk yang tersesat dalam perjalanan kemudian dengan cahayanya
menunjukan mereka arah yang benar hingga sampai ke tujuan. Suatu hari
dilihatnya rombongan peri yang kelelahan di padang pasir gersang. Ketika
sadar mereka adalah teman temannya yang tersesat, mengedip ngediplah ia
dan menunjuk arah tenggara. Peri peri kaget, karena di langit terdapat
setitik cahaya terang yang sangat cantik. Atas petunjuk cahaya itu mereka
terbang kembali. Tak lama di hadapan mereka terhampar taman bunga yang
luas. Peri peri bersorak setelah berhasil menemukan rumah baru. Tak
satupun dari mereka tahu, kalau bintang cantik penunjuk jalan itu adalah
salah satu dari mereka yang telah mereka kucilkan dulu. Mereka hanya bisa
terkesima, kagum dan berharap dapat memiliki kecantikan seperti sang
bintang. Tak ada yang tahu rahasia ini kecuali angin. Dimana ia selalu
menyaksikan bayangan sang bintang yang kini berdampingan bersama bulan
di atas permukaan telaga dengan segenap rasa kagum yang melingkupi
dadanya.
-Karya Suguh Kurniawan-
Tips