PIH (Pengatar Ilmu Hukum) dan PHI( Pengantar Hukum Indonesia) adalah 2 mata kuliah
wajib dasar yang harus dikuasai mahasiswa Fakultas Hukum dalam semester pertama
perkuliahan.
Sedangkan PHI:
1.Mempelajari Hukum Positif di Indonesia: Hukum positif adalah Hukum yang sedang berlaku
pada suatu tempat dan waktu tertentu. Yang berartikan bahwa PHI adalah mempelajari Hukum
yang sedang berlaku di Indonesia. Unsur dari PHI adalah Hukum Pidana, Perdata, Tata Negara
Dan Administrasi Negara
2. Terikat Tempat Dan waktu tertentu
3. Bersifat Khusus karena hanya memepelajari Hukum Positif (ius Constitutum) di Indonesia
PHI atau Inleiding tot het positiefrecht van Indonesie (bahasa Belanda) atau Introduction
Indonesian of Law atau Introduction Indonesian Positive Law (bahasa Inggris) mempelajari
hukum positif yang berlaku secara khusus di Indonesia. Artinya PHI menguraikan secara analisis
dan deskriptif mengenai tatanan hukum dan aturan-aturan hukum, lembaga-lembaga hukum di
Indonesia yang meliputi latar belakang sejarahnya, positif berlakunya, apakah sesuai dengan
asas-asas hukum dan teori-teori hukum positif (dogmatik hukum).
PIH atau Inleiding tot de Rechtswetenschap (bahasa Belanda) atau Introduction of Jurisprudence
atau Introduction science of Law (bahasa Inggris) merupakan pengantar guna memperkenalkan
dasar-dasar ajaran hukum umum (algemeine rechtslehre).
PIH mempelajari ilmu hukum secara umum dengan memperkenalkan pengertian-pengertian dan
konsep-konsep dasar tentang hukum pada umumnya yang tidak hanya berlaku di Indonesia saja
tetapi yang berlaku pada masyarakat hukum lainnya.
Kesimpulannya PIH membahas atau mempelajari dasar-dasar hukum secara umum atau yang
berlaku secara universal, misalnya mengenai pengertian-pengertian, konsep-konsep dasar dan
teori-teori hukum, serta sejarah terbentuknya hukum dan lembaga-lembaga hukum dari sudut
pandang falsafah kemasyarakatan.
Untuk memahami dan mengetahui perbedaan dan hubungan antara PIH dan PHI, maka
perhatikan tabel di bawah ini:
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti
adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi
terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan
akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda
tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara
dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi
hukum bagi salah satu diantara keduanya
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau
peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat
ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan
suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan
secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-
lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di
pengadilan.
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian
sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas,
mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara
penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang
bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para
pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator,
membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian
yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam
mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk
mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang
dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-
masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi
jalan buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud
dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang
hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal.
Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup
kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan
pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk
umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada
peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang
mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak
di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat
mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan
pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling
menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi
kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai
masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan
sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan
(antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang
saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara
dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang
disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang
menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang
kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk
mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti
yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran
Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779
melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat
penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki
Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah
terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat
didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia
bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap
fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian
arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang
harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila
perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor
arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang
seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih
kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui
arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan
cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang
diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan
waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan
pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan
(governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation
simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun
1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak
mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka
tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini
sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem
peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau
majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili
perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang
digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada
saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan,
Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka
cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari
sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya
ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian
melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh.
Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke
pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan
keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
1. Perselisihan hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Contohnya; (i) dalam Peraturan Perusahaan
(“PP”), Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), dan perjanjian kerja; (ii) ada kesepakatan yang tidak
dilaksanakan; dan (iii) ada ketentuan normatif tidak dilaksanakan.
2. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan
dalam perjanjian kerja, atau PP, atau PKB. Contohnya: kenaikan upah, transpor, uang makan, premi
dana lain-lain.
Definisi perundingan bipartit dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial (“UU PHI”) adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Setiap perundingan bipartit yang dilakukan antara pengusaha dan pekerja harus dibuat risalah yang
ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
Dalam hal perundingan bipartit mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama
yang ditandatangani oleh para pihak. Perjanjian Bersama tersebut mengikat dan wajib dilaksanakan oleh
para pihak. Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak pada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. Perjanjian Bersama yang
telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Apabila Perjanjian Bersama yang telah dibuat tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri dimana Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Dalam
hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama,
maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan
perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan
melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Apabila bukti-bukti upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit tidak dilampirkan, maka instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan akan mengembalikan berkas-berkas tersebut untuk
dilengkapi dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas. Dan setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi, mediasi atau melalui arbitrase. Dan apabila para
pihak tidak menetapkan pilihan dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab
di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan secara mediasi kepada mediator.