Anda di halaman 1dari 8

Wabah pandemik COVID-19 di Indonesia memberikan efek kejut yang sangat tinggi bagi bangsa

Indonesia tidak hanya dari sisi korban jiwa namun juga bagi perekonomian Indonesia. Baru-baru ini, kita
disuguhi dengan informasi terkait dengan penerbitan surat utang negara terbesar sepanjang sejarah
berdirinya Republik ini. Hal ini memicu kekhawatiran banyak pihak. Pada tulisan kali ini, mari kita
memahami strategi yang dilakukan pemerintah.

Global Bond

Global bond adalah obligasi internasional atau surat utang negara yang diterbitkan oleh suatu negara
dalam valuta asing. Berbeda dengan utang-utang resmi (pinjaman pemerintah dari negara-negara
donor), global bond tidak mengikat seperti pinjaman resmi, dimana alokasi penggunaannya sudah
ditentukan.

Manfaat Global Bond

Kemampuan memperoleh akses ke pasar modal internasional merupakan pengakuan secara de facto
atas keberhasilan pengelolaan kebijakan dan prospek perekonomian

Lewat penerbitan global bond, pemerintah dimungkinkan untuk memupuk cadangan devisa, yang
mungkin saja terus merosot lantaran menjaga nilai tukar rupiah di pasar uang domestik.

Global bond merupakan salah satu cara pemerintah melakukan diversifikasi sumber pembiayaan,
sekaligus optimalisasi alokasi portofolio utang.

Penerbitan surat utang tidak terikat aturan dari pembeli obligasi, sehingga penerbitan global bond juga
memiliki posisi tawar yang cukup kuat

Global Bond Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia melalui siaran video conference yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati mengumumkan menerbitkan Global Bond sebesar 4.3 Miliyar US Dollar dalam 3
bentuk surat berharga global yaitu:

Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030 memiliki tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober
2030 diterbitkan sebesar 1,65 Miliar USD dengan yield global sebesar 3,9%.

Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1050 dengan tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2050
dengan nominal yang diterbitkan sebesar 1,65 Miliat USD dengan yield 4,25%.

Surat Berharga Negaea (SBN) seri RI0470 dengan tenor 50 tahun yaitu 15 April tahun 2070 sebesar 1
Miliyar US Dollar dengan tingkat yield sebesar 4,5%.
Respon Pelaku Pasar terkait dengan Penerbiatan Global Bond sebesar 4,3 Miliyar US Dollar

Dampaknya positif, selain memberikan ruang tambahan untuk fleksibilitas APBN, juga akan memberikan
stabilitas bagi Rupiah dan likuiditas bagi pasar keuangan dalam negeri,” kata Fikri Permana, saat
dihubungi CNBC Indonesia, Rabu (8/4/2020).

Penerbitan obligasi mata uang asing juga akan mengurangi tekanan pasokan di pasar obligasi domestik,
menambahkan katalis positif ke pasar,” tulis BNI Sekuritas, dalam riset harian, Rabu (8/4/2020).

Resiko terhadap Indonesia

Penerbitan global bond atau obligasi berdenominasi dolar memang akan meningkatkan cadangan
devisa. Namun, obligasi tersebut bisa memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Hal itu dikarenakan
adanya kemungkinan investor asing bakal mendominasi pembelian obligasi. Saat ini saja 38 persen surat
utang Pemerintah Indonesia dimiliki oleh investor mancanegara. Rupiah bakal bergejolak bila terjadi
penjualan masif atas obligasi yang mereka pegang, seperti terjadi baru-baru ini.

UTANG NEGARA DAN POLEMIK PERPUS

KONDISI ekonomi semakin hari semakin melemah terjadi di Indonesia sejak periode kedua Bapak Jokowi
menjabat sebagai presiden, dan kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya virus covid-19 yang telah
mengakibatkan terpuruknya kinerja perekonomian Indonesia.

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 diproyeksikan turun di angka 2,3 persen bahkan
dimungkinkan terpuruk sampai negatif (minus), rasio utang sakarang pada PDB sebesar 36,53 persen.

Terpuruknya perekonomian nasional tersebut merupakan beban yang sangat berat bagi pemerintah,
dunia usaha, industri dan masyarakat.

Krisis yang diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terlihat selama periode
Januari dan ditambah lebih para lagi dengan mewabahnya Covid-19 di mana tingkat penularanya
semakin masif membuat Rupiah terjun bebas diangka 16.000 rupiah per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami depresiasi yang tinggi dibandingkan dengan nilai tukar
pada periode-priode sebelumnya, dampak melemahnya rupiah telah meluas ke berbagai sektor
kehidupan. sektor yang secara langsung dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS ini adalah kenaikan harga barang impor , baik barang jadi maupun bahan baku industri.

Pandemik corona dan ancaman krisis ekonomi itulah yang kini di depan mata. Untuk itu, pemerintah
sekarang mengambil kebijakan satu paket, antara penanganan pandemi corona dengan antisipasi
terjadinya krisis ekonomi. Korban covid-19 yang terus meningkat setiap hari, menyebabkan pemerintah
mengeluarkan Perppu 1/2020.

Perppu ini judulnya cukup panjang yaitu, “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Atas
dasar Perppu ini pemerintah mengubah secara signifikan postur APBN 2020. Orientasi APBN 2020 bukan
lagi “penguatan daya saing dan SDM” melainkan pada penanganan wabah corona dan ancaman
terhadap perekonomian.

Untuk penanganan pandemi corona sendiri, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp 405,1 triliun.
Rencana alokasi anggarannya adalah sebagai berikut: bidang kesehatan Rp 75 triliun (18,5 persen),
jarring pengaman social Rp 110 triliun (27,2 persen), insentif pajak dan KUR Rp 70,1 (17,3 persen),
pemulihan ekonomi Rp 150 triliun (37 persen).

Anggaran ini cukup besar karena jumlahnya sekitar 21 persen dari rencana penerimaan negara dari
pajak pada tahun 2020 (Rp 1.865,7 triliun).

Perlu diketahui, anggaran ini tidak masuk dalam APBN 2020 sehingga pemerintah perlu mengubah ulang
postur APBN 2020. Perubahan postur anggaran APBN 2020 tertuang dalam Peraturan Presiden
(Perpres) 54/2020 tentang, “Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2020”.

Secara umum, perubahannya adalah sebagai berikut: pendapatan negara dari Rp 2.233,1 triliun menjadi
Rp 1.760,8 triliun atau berubah minus 21,1 persen; penerimaan pajak dari Rp 1.865,7 triliun menjadi Rp
1.462,6 triliun atau berubah minus 21,6 persen; PBPB dari Rp 366,9 triliun menjadi Rp 297,7 triliun (-18,9
persen); Hibah Rp 498,7 triliun jadi Rp 498,7 triliun (0 persen); belanja negara Rp 2.540,4 triliun menjadi
Rp 2.613,8 triliun (2,9 persen); pusat Rp 1.683,4 triliun jadi Rp 1.851,1 triliun (10,0 persen); dan transfer
daerah dari Rp 856,9 triliun menjadi Rp 762,7 triliun (-11,0 persen).
Kemudian total defisit dari dari Rp 307,2 triliun menjadi Rp 852,9 triliun (177,6 persen); pembiayaan
utang Rp 351,8 triliun menjadi Rp 1.006,4 triliun (186,1 persen); dan defisit PDB dari 1,76 persen
menjadi 5,07 persen.

Kalau melihat perubahan APBN 2020, maka terjadi perubahan yang signifikan. Yang paling mencolok
adalah persentase defisit APBN terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) yang mencapai 5,07 persen.
Persentase ini jelas melanggar UU Keuangan Negara yang membatasi defisit paling tinggi hanya 3
persen.

Sumber defisit itu terutama karena pendapatan negara diperkirakan turun sekitar 21,1 persen
dibandingkan APBN 2020. Penurunan ini karenakan terpuruknya ekonomi sepanjang 2020 akibat
dampak dari wabah covid -19. Di samping itu, pemerintah juga memberikan banyak kelonggaran pajak,
sehingga penerimaan negara diperkirakan turun sekitar 21,1 persen.

Di tengah penurunan penerimaan, anggaran belanja negara justru mengalami kenaikan sekitar 2,9
persen dibandingkan APBN 2020. Kenaikan ini untuk penanggulangan corona mencapai Rp 405,1 triliun.
Karena penerimaan menurun sementara belanja negara meningkat, maka terjadilah defisit anggaran
sebesar Rp 852,9 triliun. Ini adalah defisit anggaran terbesar sepanjang sejarah APBN.

Pemerintah menanggulangi defisit yang sangat besar ini dengan menambah utang baru. Utang baru
yang direncanakan pada tahun 2020 sebesar Rp 351,8 triliun, namun karena wabah corona meningkat
menjadi Rp 1.006,4 triliun.

Utang baru ini sebagian besar dalam bentuk Surat Berhaga Negara (SBN). Awalnya, nilai SBN yang akan
diterbitkan hanya senilai Rp 389,3 triliun. Namun karena adanya wabah corona dan antisipasi krisis
maka kebutuhannya meningkat menjadi Rp 549,6 triliun atau mengalami kenaikan 41,2 persen.

Hal baru dalam perubahan APBN 2020 adalah munculnya instrumen baru yaitu surat utang dalam
rangka wabah covid-19, disebut pandemic bond. Nilainya sekitar Rp 449,8 triliun. Jadi total SBN yang
akan diterbitkan mencapai Rp 999,4 triliun.
Rincian perubahan utang baru pemerintah adalah sebagai berikut: jenis utang SBN di APBN 2020
sebesar Rp 389,3 triliun menjadi Rp 549,6 triliun dalam Perppu APBN atau terjadi perubahan 41,2
persen; pinjaman -Rp 37,46 triliun menjadi Rp 6,9 triliun (-118,4 persen); pandemik bond dari 0 menjadi
Rp 449,8 triliun; pembiayaan utang dari Rp 351,9 triliun menjadi Rp 1.006,3 triliun (186 persen).

Untuk apa pembiayaan utang sebanyak itu? Alokasi terbesar adalah untuk menutup defisit anggaran
sebesar Rp 852,9 Triliun. Sisanya digunakan untuk pembiayaan investasi dan kewajiban penjaminan.

Alokasi selengkapnya dari pembiayaan utang adalah sebagai berikut: pembiayaan defisit dari Rp 307,2
persen di APBN 2020 menjadi Rp 852,9 di Perppu APBN atau mengalami perubahan 177,6 persen;
pembiayaan investasi dari Rp 74,2 triliun menjadi Rp 229,3 persen (209 persen); kewajiban penjaminan
Rp 0,6 triliun menjadi Rp 0,6 triliun atau tetap; total kewajiban Rp 382 persen menjadi Rp 1.082,8 triliun
(183,5 persen); dan penerimaan pinjaman Rp 5,1 triliun menjadi Rp 5,8 persen (13,7 persen).

Kemudian saldo anggaran lebih dari Rp 25 triliun menjadi Rp 70,6 triliun (182,6 persen); jumlah
penerimaan Rp 30,1 triliun menjadi Rp 76,4 persen (154 persen); total pembiayaan utang Rp 351,9
triliun menjadi Rp 1.006,4 triliun (186 persen).

Perubahan paling signifikan dari alokasi pembiayaan utang tersebut terdiri dari dua hal. Pertama adalah
besarnya defisit anggaran dan kedua adalah membengkaknya pembiayaan investasi. Dalam APBN
perubahan tertulis sebesar Rp 229,3 triliun. Ini adalah angka netto, setelah dikurangi penerimaan
investasi. Peningkatan pembiayaan investasi terutama dikarenakan masuknya komponen baru yaitu (1)
pembiayaan pemulihan ekonomi karena corona sebesar Rp 150 triliun dan (2) pembiayaan lnvestasi
Lainnya yang dialokasikan sebesar Rp 168,56 triliun.

Dengan peningkatan pembiayaan utang sebesar Rp 1.006,4 triliun tersebut, maka telah terjadi lonjakan
utang sebesar 21,1 persen. Lonjakan terbesar terjadi pada utang dalam bentuk SBN sekitar 24,9 persen.
Sehingga Jumlah hutang negara menjadi sebesar 5.784 triliun.

Peningkatan total utang sebesar 21,1 persen tersebut, langsung meningkatkan rasio utang terhadap
produk domestik bruto (PDB) sebesar 36,53 persen. Angka rasio ini memang masih jauh dari batas
maksimal yang diperbolehkan UU Keuangan Negara yaitu 60 persen. Namun, kalau melihat
kecenderungannya, peningkatan rasio sebesar 36,53 persen tersebut sudah cukup tinggi, bahkan
bergerak naik terus. Artinya alarem keterpurukan ekonomin sudah mulai menyalah.
Peningkatan beban utang tersebut tentu saja berisiko. Paling tidak, pendapatan negara pada APBN
untuk masa yang akan datang, akan semakin banyak digunakan untuk membayar utang. Ya, itulah risiko
kita sebagai generasi yang akan menangung beban hutang negara yang sangat besar ini.

Selain masalah hutang diatas regulas sebagai dasar perombakan APBN 2020 Menuai kritik yang masif
dari berbagai kalangan masyarakat baik ahli hukum, ekonomi dan anggota dewan. Ada satu pasal dalam
Perppu nomer 1 tahun 2020 yang di angap tidak sesuai dan melangar konstitusi, adapaun pasal yang di
highlight adalah sebagi berikut;

Ketentuan Penutup Pasal 27

1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka
pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja
negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas
sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi
untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerrrgian negara.

2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat
lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak
dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada
iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha
negara.

Berdasarkan pasal di atas pemerintah, menteri keuangan selaku ketua KKSK, anggota KKSK, seluruh
pegawai keuangan, Bank Indonesia, OJK, LPS, dan pejabat lainya. Mereka bisa mengeluarkan kebijalan
dengan alasan pengamana perekonomian nasional dalam kondisi pandemi Covid-19, salah satu contoh
kebijakab yang mungkin dikeluarkan adalah penalangan kepada lembaga keuangan yang berpotensi
bangkrut, dan anggaran tersebut sudah di persiapkan sebesar Rp 150 triliun, kebijakan yang dikeluarkan
tersebut apabila dalam prosrsnya ada masalah atau menyalahgunakan kekuasaan abuse of power,
mereka tetap tidak bisa dikenai hukuman. Alias KEBAL HUKUM. Dengan PERPPU No 1 tahun 2020
mereka memiliki kekebalan hukum. Inilah yang diangap oleh publik sebagai kepentingan oligarki.

Selain itu, juga pemerintah dengan penerbitan Perppu 1/2020 ditengarai telah membajak fungsi-fungsi
DPR RI, dimana dalam proses pembuatan perppu tersebut fungsi legislasi, controling, dan budgeting
nyaris tidak diberi ruang untuk ikut andil dalam proses pembuatannya.

Hal ini tidak sesuai dengan UU 12/2011 pasal 52 ayat 1 yang berbunyi “Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut”.

Di sisi lain pasca penetapan perppu ketelibatan DPR RI dalam hal pengawasan juga tidak berarti, karena
tidak bisa mengevaluasi kerja pemerintahan dibidang keuangan, karena di Perppu 1/2020 ada pasal 27
yang secara eksplisit menyatakan kekebalan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan dibidang
keuangan. Ini menunjukan betapa otoriternya pemerintahan sekarang.

Maka, menjadi lumrah ketila publik melakukan protes secara masif karena perppu ini dinilai caacat
secara hukum, karena melangar UUD pasal 27 atat 1 yang mengatakan bahwa; ”Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

Dengan adanya kewajiban atas pinjaman luar negeri pemerintah, hal ini telah memberikan tekanan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sangat besar sehingga mengurangi kemampuan
pemerintah untuk melakukan fiscal stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Akibat beban untuk
memenuhi kewajiban pinjaman yang begitu besar, maka membuat permasalahan telah bergeser dari
fiscal stimulus menjadi fiscal sustainability. Artinya, yang perlu dipikirkan dan dilakukan adalah langkah-
langkah strategis di berbagai bidang untuk menjamin agar Indonesia terhindar dari krisis fiskal yang
dapat berdampak sangat destruktif terhadap pertumbuhan ekonomi kita di masa yang akan datang.

Saat dunia dalam keadaan lesu dan terancam resesi ekonomi akibat pendemi Covid19, Indonesia
berhasil mencatatkan sejarah dalam penjualan Global Bond yang terbagi dalam 3 tahap. Selain itu, masa
tenor pembayaran 50 tahun di salah satu tahapan pembayarannya merupakan terpanjang dalam sejarah
surat utang atau Global Bond Indonesia. Global bond adalah obligasiinternasional atau surat utang
negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing dan diperdagangkan di luar negeri.
Berbeda dengan utang-utang negara-negara donor, global bond tidak mengikat seperti pinjaman resmi,
di mana alokasi penggunaannya sudah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai