Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sehat merupakan keadaan sejahteradari badan, jiwa, dan sosialyang mungkin

setiap orang hidup produktif dan ekonomis ( Depkes, RI 2002). Kesehatan

meliputi semua daur kehidupan baik perempuan maupun laki-laki, termasuk

kesehatan ibu hamil maupun bersalin serta keadaan bayi yang baru dilahirkan.

Berdasarkan Survei Demograpi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) survei terakhir

tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, meskipun

demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia.

Sedangkan di negara maju seperti di  Amerika AKI meningkat dari 12

kematian per 100 ribu kelahiran hidup pada 1980 menjadi 17 per 100 ribu

kelahiran hidup pada 2008. Di Kanada, lajunya meningkat antara 6 dan 7.

Sedangkan di Norwegia 7 per 100 ribu pada 1980 menjadi 8 per 100 ribu pada

2008 ( Deni, 2008).

Sedangkan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB)

Indonesia masih tertinggi di Asia. Tahun 2002 kematian ibu melahirkan mencapai

307 per 100.000 kelahiran, Angka ini 65 kali kematian ibu di Singapura, 9,5 kali

dari Malaysia. Bahkan 2,5 kali lipat dari indeks Filipina, (Suara pembaharuan,

30/4/09).

Penyebab kematian ibu 90% disebabkan oleh pendarahan, toksemia

gravidarum, infeksi, partus lama dan komplikasi abortus. Kematian ini paling

1
2

banyak terjadi pada masa sekitar persalinan yang sebenarnya dapat dicegah,

Sedangkan 10% disebabkan oleh komplikasi persalinan lain (Depkes RI 2005).

Seperti yang telah diuraikan diatas salah satu dari penyebab kematian ibu adalah

partus lama atau partus kasep dan sering disebut dengan partus sulit dan ditandai

oleh terlalu lambatnya kemajuan persalinan dikarenakan adanya disproporsi

antara presentasi janin dan jalan lahir ( Cunningham,2006) banyak hal yang dapat

menyebabkan hal diatas seperti berbagai hal yang terjadi akibat-akibat tindakan

tersebut yang dilakukan seperti kesalahan selama hamil, bersalin dan nifas, seperti

perdarahan, tekanan darah yangtinggi saaat hamil (eklamsia), infeksi, persalinan

macet dan komplikasi keguguran, (Yuli, 2006 ).

1.2. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan mahasiswa tentang kelainan

his

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengertian kelainan His

2. Penyebab inersia uteri/ kelainan His

3. Pembagian inersia uteri/ kelainan His

4. Komplikasi yang dapat terjadi pada inersia uteri

5. Cara mendiagnosa inersia uteri

6. Penanganan inersia uteri

2
3

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Mekanisme Persalinan

Proses persalinan terdiri dari 4 kala yaitu :

Kala I : waktu pembukaan serviks sampai menjadi pembukaan lengkap 10

cm

Kala II : kala pengeluaran janin, waktu uterus dengan kekuatan His

ditambah kekuatan mengejan mendorong janin keluar hingga

lahir.

Kala III : waktu untuk pelepasan dan pengeluaran uri

Kala IV : mulai dari lahirnya uri sampai 1-2 jam

a. Kala I (Pembukaan)

Inpartu mulai dengan keluarnya lendir bercampur darah karena serviks mulai

membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya pembuluh darah kapiler

sekitar kanalis servikalis karena pergeseran ketika serviks mendatar dan terbuka

kala pembukaan dibagi atas 2 fase, yaitu :

1. Fase laten dimana pembukaan serviks berlangsung lambat ; sampai

pembukaan 3 cm Berlangsung dalam 7-8 jam.

2. Fase aktif di bagi 3 fase yaitu :

a. Fase akselerasi. Dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm

3
4

b. Fase dilatasi maksimal. Dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung

sangat cepat, dari 4 cm menjadi 9 cm.

c. Fase deselerasi. Pembukaan menjadi lambat kembali, dalam waktu 2 jam

pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap

b. Kala II (Pengeluaran Janin)

Pada kala II His menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2 sampai 3

menit sekali. Karena biasanya dalam hal ini kepala janin sudah masuk ke ruang

panggul. Maka His dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara

rektroktoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasa pula tekanan pada

rectum dan hendak buang air besar, perenium menonjol dan jadi lebar, anus

membuka bila dasar panggul sudah berelaksasi, kepala janin tidak masuk lagi di

luar His, dengan His dan kekuatan mengedan max kepala janin dilahirkan dengan

suboksiput di bawah simpisis dan dahi, muka dan dagu melewati perenium.

Setelah istirahat badan dan anggota bayi.

Pada primigravida kala II : 1,5 jam Pada multipara : 05 jam

c. Kala III (Pengeluaran Uri)

Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.

Ada kontraksi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta

lepas dalam 6 sampai 25 menit setelah bayi lahir.

d. Kala IV (Observasi)

Perlu pengawasan apakah adanya perdarahan post partumMajunya kepala

Kepala fleksi Putaran paksi dalam ekspulsi. putaran paksi luar ekstensi

4
5

Penyulit Kala I

 Persalinan lama

Masalah :

1) Fase laten lebih dari 8 jam

2) Persalinan telah berlangsung selama 12 jam/lebih tanpa kelahiran bayi

3) Dilatasi serviks di kanan garis waspada pada partograf.

Penanganan Umum

1) Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk tanda

vital dan tingkat hidrasinya).

2) Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada dalam persalinan

3) Nilai frekuensi dan lamanya His

4) Perbaiki keadaan umum dengan :

5) Dukungan, perubahan posisi, (sesuai dengan penanganan persalinan

normal)

6) Periksa kefon dalam urine dan berikan cairan, baik oral maupun parenteral

7) dan upayakan buang air kecil (kateter bila perlu).

8) Berikan analgesic tramadol atau petidin 25 mg IM (maximum 1 mg/kg BB

atau morfin 10 mg IM, jika pasien merasakan nyeri.

Penanganan Khusus

Persalinan palsu/belum in partu (False Labor)

Periksa apakah ada ISK atau ketuban pecah, jika didapatkan adanya infeksi,

obati secara adekuat, jika tidak ada pasien boleh rawat jalan.

5
6

Fase laten memanjang (Prolonged Latent Phase)

1) Diagnosa fase laten memanjang dibuat secara retrospektif, jika his berhenti.

Pasien disebut belum inpartu/persalinan palsu. Jika his makin teratur dan

pembukaan makin bertambah lebih dari 4 cm, pasien masuk dalam fase laten

2) Jika fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-tanda kemajuan lekukan

penilaian ulang terhadap serviks

3) Jika tidak ada perubahan pada pendataran atau pembukaan serviks dan tidak

ada gawat janin, mungkin pasien belum inpartu.

4) Jika ada kemajuan dalam pendataran atau pembukaan serviks lakukan

amniotomi dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.

5) Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam

6) Jika pasien tidak masuk fase aktif setelah dilakukan pemberian oksitosin

selama 8 jam, lakukan SC

7) Jika didapatkan tanda-tanda infeki (demam, cairan, berbau):

8) Lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin

9) Berikan antibiotika kombinasi sampai persalinan:

10) Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam

11) Ditambah Gentaisin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam

12) Jika terjadi persalinan pervaginam stop antibiotika pasca persalinan

13) Jika dilakukan SC, lanjutkan pemberian antibiotika ditambah Metronidazol

500 mg IV setiap 8 jam sampai ibu bebas demam selama 48 jam

6
7

Fase Aktif Memanjang

1) Jika tidak ada tanda-tanda CPD atau obstruksi, dan ketuban masih utuh,

pecahkan ketuban

2) Nilai His

3) Jika his tidak adekuat (<3>

4) Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya > 40 detik)

pertimbangkan disproporsi, obstruksi, malposisi/mal presentasi

5) Lakukan penanganan umum untuk memperbaiki his dan mempercepat

kemajuan persalinan

Faktor-faktor Penyebab Persalinan Lama:

 His Tidak Efisien

 Faktor Janin

 Faktor Jalan Lahir

2.2. KONSEP DASAR KELAINAN HIS

a. Inersia Uteri Distosia Kelainan Tenaga/His

Adalah His yang tidak normal dalam kekuatan/sifatnya menyebabkan

rintangan pada jalan lahir, tidak dapat diatasi, sehingga menyebabkan persalinan

macet.

Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk

melakukan pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Disini kekuatan his

lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan

7
8

umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat

hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau

primipara, serta para penderita dengan keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi

pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif maupun pada kala

pengeluaran

b. Jenis-jenis Kelainan His

A. His Hipotonic

His hipotonic disebut juga inersia uteri yaitu his yang tidak normal. Fundus

berkontraksi lebih kuat dan lebih dahulu daripada bagian lain. Kelainan terletak

pada kontraksinya yang singkat dan jarang selama ketuban masih utuh umumnya

tidak berbahaya bagi ibu maupun bagi janin.

Inersia uteri di bagi menjadi 2, yaitu :

1. Inersia uteri Primer Jika persalinan berlangsung lama, terjadi pada kalla I

fase laten

2. Inersia uteri sekunder Timbul setelah Berlangsungnya His kuat untuk

waktu yang lama, terjadi pada kala I fase aktif

Penanganan

a. Periksa keadaan servik, presentasi dan posisi janin, turunnya bagian

terbawah janin dan keadaan panggul.

b. Bila kepala sudah masuk PAP anjurkan pasien untuk berjalan-jalan

c. Buat rencana tindakan yang akan dilakukan

8
9

 Berikan oxitosin drip 5-10 dalam 500 cc dextrose 5 % dimulai 12

tetes/menit, naikkan setiap 10-15 menit sampai 40-50 tetes/menit

 Pembrian oxitosin jangan berlarut-larut beri kesempatan ibu untuk

istirahat.

 Bila inersia disertai CPD tindakan sebaiknya lakukan SC

 Bila tadinya His kuat lalu terjadi inersia uteri sekunder ibu lemah

danpartus > 24 jam pad primi dan 18 jam pada multi tidak ada gunanya

memberikan oxitosin drip. Segera selesaikan partus dengan

vacuum/Forseps/SC.

Penatalaksanaan inersia uteri his hipotonik:

1. Amniotomi

Amniotomi adalah tindakan untuk membuka selaput amnion dengan jalan

membuat robekan kecil yang kemudian akan melebar secara spontan akibat gaya

berat cairan dan adanya tekanan di dalam rongga amnion. Tujuan Amniotomi

(pemecahan air ketuban) adalah untuk mempercepat dan memperkuat kontraksi,

dan dengan demikian memperpendek panjang/lamanya proses persalinan. Pecah

selaput diduga melepaskan zat kimia dan hormone prostaglandin yang

merangsang kontraksi. Pada wanita dengan inersia uteri his hipotonik, sebaiknya

dilakukan amniotomi sebelum oksitosin drip.

Menurut The Cochrane Library, Amniotomi telah menjadi praktek standar

dalam beberapa tahun terakhir di banyak negara di dunia. Di beberapa RS itu

didukung dan dilakukan secara rutin pada semua wanita, dan di RS banyak

digunakan untuk wanita yang proses persalinannya berkepanjangan. Namun, ada

9
10

sedikit bukti bahwa proses persalinan yang lebih pendek memiliki manfaat bagi

ibu atau bayi. Dapat disimpulkan bahwa amniotomi dapat membantu akselerasi

persalinan namun tidak boleh menjadi prosedur rutin bagi ibu bersalin.

Meskipun amniotomi adalah prosedur yang sederhana namun memiliki resiko

peningkatan deselerasi denyut jantung janin karena adanya kompresi pada tali

pusat.

2. Oksitosin drip

Oksitosin sintetik adalah salah satu obat yang paling sering digunakan di

Amerika Serikat. Pemakaian oksitosin drip dapat dilakukan hanya setelah

dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan CPD. Pada augmentasi dengan

oksitosin, denyut jantung janin dan pola kontraksi harus dipantau dengan ketat.

Terdapat berbagai metode untuk merangsang kontraksi uterus dengan

oksitosin. Parturien perlu mendapat pengawasan secara ketat ketika augmentasi

dilakukan. Tujuannya adalah mengahasilkan aktivitas uterus yang mampu

menyebabkan perubahan serviks dan penurunan janin sekaligus, menghindari

hiperstimulasi uterus atau gawat janin. Oksitosin dihentikan jika kontraksi lebih

dari 5 kali/10 menit dan durasi his lebih dari 60 detik. Pada hiperstimulasi,

penghentian oksitosin hampir selalu mengurangi kontraksi uterus. Jika oksitosin

dihentikan, konsentrasinya dsalam plasma turun cepat karena rerata waktu

paruhnya adalah sekitar 5 menit.

Pemberian oksitosin dinegara maju menggunakan alat infuse pump agar dosis

tetap terkontrol. Oksitosin sintetik 10-20 UI diencerkan dalam 1000 ml larutan

garam fisiologis yang diberikan melalui infuse pump. Terdapat beberapa cara

10
11

tentang dosis, interval titrasi dan pemberian durasi oksitosin. Regimen dosis

rendah dimulai dari 0.5-2 mU/menit dan dinaikan setiap 15-40 menit sampai dosis

maksimal 20-40 mU/menit. Regimen dosis tinggi dimulai dari 6 mU/menit dan

ditambah 1 sampai 6 mU/menit sampai dosis maksimal 40-42 mU/ menit.13

Tabel 2.1 Regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan menurut ACOG

Dosis awal Peningkatan Interval Dosis

Regimen (mU/menit) Inkremental dosis maksimal

(mU/menit) (menit) (mU/menit


Dosis 1-2 2 15 40

rendah
Dosis 6 1-6 15-40 42

tinggi

Menurut penelitian RCT, penggunaan regimen oksitosin dosis tinggi secara

signifikan dapat menurukan angka sectio caesarea (10.4% vs 25,7%, p value

<0.001) dengan tidak ada perbedaan outcome maternal dan perinatal. Waktu

untuk mengkoreksi waktu persalinan semakin pendek (1.24 ± 1.4 jam vs 3.12 ±

1.6 jam, p< 0.001). dapat disimpulkan bahwa penggunaan regimen oksitosin dosis

tinggi mempunyai keuntungan bagi nulipara dan multipara, yaitu menurunkan

angka sectio caesarea dan membutuhkan waktu koreksi yang lebih sedikit. Namun

demikian, butuh penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa oksitosin dosis

tinggi dapat digunakan secara rutin untuk augmentasi persalinan.14

Di negara berkembang seperti Indonesia, infuse pump tidak lazim digunakan

karena keterbatasan alat dan prasarana. Sehingga tetesan oksitosin drip diberikan

secara manual dan membutuhkan pengawasan yang lebih teliti. Oksitosin 5 uI

11
12

diencerkan dengan larutan Dextrose 5% atau NaCl atau RL 500 cc. Hal ini berarti

2 tetesan mengandung 1 mU/menit. Dosis awal adalah 1-2 mUI (2-4 tetes/menit),

dosis dinaikkan 2 mIU (4 tetes) per menit setiap 30 menit dan dosis maksimal 20-

40 mIU (40-80 tetes) per menit.Infus harus dihentikan apabila kontraksi lebih dari

60 detik atau terdapat gawat janin.

B. His Hipertonic

Adalah His yang terlalu kuat. Sifat Hisnya normal, tonus otot diluar His yang

biasa, kelainana terletak pada kekuatan His. His yang terlalu kuat dan terlalu

efisien menyebabkan persalinan berlangsung cepat. Bahayanya bagi ibu adalah

terjadinya perlukaan yang luas pada jalan lahir, khususnya servik uteri, vagina dan

perenium bahaya bagi bayi adalah dapat terjadi pendarahan dalam tengkorak

karena mengalami tekanan kuat dalam waktu singkat.

His hipertonik adalah uterus yang berkontraksi lebih dari 6 kali/ 10 menit,

durasi his lebih dari 90-120 detik, intensitas basal uterus > 25 mmHg, uterus

selalu berkontraksi saat di palpasi, ibu merasakan sakit sekali saat kontraksi.9

His yang terlalu kuat dan terlalu efisien menyebabkan persalinan berlangsung

cepat (<3 jam di sebut partus presipitatus). Pasien merasa kesakitan karena his

yang terlalu kuat dan berlangsung hampir terus menerus pada janin akan terjadi

hipoksia janin karena gangguan sirkulasi uteroplasenter. His hipertonik

dihubungkan dengan solusio plasenta dan pemberian oksitosin atau prostaglandin.

Menurut penelitian yang berjudul “Defining uterine tachysystole: how much is too

much?” frekuensi kontraksi uterus ≥ 6 berhubungan dengan deselerasi denyut

jantung janin (p< 0.001). 8,16

12
13

Gambar 2.9 His hipertonik Gambar 2.10 Hiperstimulasi uterus

Penanganan

Saat persalinan kedua diawasi dengan cermat dan episiotomi dilakukan pada

waktu yang tepat untuk menghindari ruptur perenium tingkat III.

Penatalaksanaan ibu dengan his hipertonik adalah:

1. Pemberian inhalasi anastesi, yaitu nitrat oksida dan oksigen agar tonus otot

menjadi relaksasi, mengurangi nyeri dan agar ibu dapat beristirahat.

Setelah 4-6 jam istirahat, maka dilakukan persalinan aktif dengan

menggunakan oksitosin drip

2. Pemberian obat-obatan tokolotik

3. Episiotomi untuk menghindari laserasi perineum grade III dan IV dan

mencegah perdarahan intrakranial

Sectio caesarea dilakukan apabila terdapat indikasi malpresentasi, CPD atau

gawat janin

C. His yang tidak terkordinasi

Adalah His yang sifatnya berubah-ubah. Tonus otot uterus meningkat juga di

luar His dan kontraksinya tidak berlangsung seperti biasa karena tidak ada

13
14

sinkronisasi antara kontraksi. Tidak adanya kordinasi antara kontraksi bagian atas,

tengah dan bawah menyebabkan His tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.

Tonus otot yang meningkat menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan

lama bagi ibu dan dapat pula menyebabkan hipoksia pada janin. His sejenis ini

disebut juga Ancoordinat Hipertonic Uterine Contraction.

Kadang-kadang terjadi persalinan tak maju karena kelainan pada servik yang

disebut distosia servikalis.

Distosia servikalis ada 2 macam :

1) Distosia servikalis primer, jika servik tidak membuka karena tidak

mengadakan relaksasi

2) Distosia servikalis sekunder, disebabkan oleh kelainan organik pada servik

Penanganan :

1) Obati secara simptomatis

2) Untuk mengurangi tonus otot dan ketakutan penderita berikan analgetik

seperti morphin, petidin dan lain-lain

3) Bila persalinan berlangsung lama dan ketuban sudah pecah dan

pembukaan belum lengkap pertimbangkan untuk vacum, forsep/SC.

Etiologi Distosia Kelainan Tenaga

1. Kelainan His sering dijumpai pada primigravida tua Sedangkan inersia

uteri sering dijumpai pad multigravida dan grandemulti.

14
15

2. Faktor herediter

3. Faktor emosi dan ketakutan

4. Salah pimpinan persalinan

5. Bagian terbawah janin tidak berhubungan rapat dengan SBR. Dijumpai

padA kesalahan letak janin dan CPD.

6. Kelainan uterus Ex : uterus Bikornis unikolis

7. Salah pemberian obat-obatan, oxitosin dan obat penenang

8. Kehamilan postmatur.

BAB III

PENUTUP

15
16

3.1. KESIMPULAN

Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk

melakukan pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Disini kekuatan his

lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan

umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat

hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau

primipara, serta para penderita dengan keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi

pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif maupun pada kala

pengeluaran

3.2. SARAN

Pada saat ibu sudah dalam keadaan inpartu sebagai seorang bidan harus

mengawasi secara intensif proses persalinan tersebut. Karena tidak dapat di

punggkiri dalam proses persalinan terjadi inersia uteri. Dengan adanya

pengawasan maka seorang bidan bisa dengan cepat mengambil keputusan untuk

merujuk dan kolaborasi dengan dokter jika terjadi inersia uteri.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Ida Gde Manuaba, 2002, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan


Keluarga Berencana,  Jakarta ; EGC

16
17

Sarwono Prawirohardjo, Prof.Dr.dr, 2007, Ilmu Kebidanan,  Yayasan Bina


Pustaka, Jakarta

Sastrowinoto, Sulaiman, 2005, Obstetri Fisiologi, Fakultas Kedokteran UNPAD,


Bandung  

Rukiyah A.Y,2010, Asuhan Kebidanan IV Patologi Kebidanan, Jakarta: tim

17

Anda mungkin juga menyukai