Anda di halaman 1dari 9

1.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konstipasi dan inkotinensia alvi


a) Konstipasi atau yang dikenal juga dengan sebutan sembelit adalah kondisi sulit buang air besar, seperti tidak bisa buang air besar
sama sekali atau tidak sampai tuntas.
b) Inkontinensia alvi atau inkontinensia tinja adalah suatu kondisi ketika tubuh seseorang tidak dapat mengendalikan buang air besar.
Kondisi ini menyebabkan tinja keluar secara tiba-tiba, tanpa disadari oleh pengidapnya. Inkontinensia tinja dipengaruhi oleh usus
bagian akhir, anus (dubur), dan sistem saraf yang tidak berfungsi secara normal.
2. Apa perbedaan inkotinensia alvi dengan inkotinensia urin dan retensi urin

Perbedaan Inkontinensia alvi Inkontinensia urine Retensi urin


Defenisi Hilangnya kemampuan otot untuk Bila seseorang mengalami ketidak mampuan Retensi urine adalah kondisi seseorang
mengontrol pengeluaran feses dan gas otot spinter eksternal sementara atau menetap terjadi karena penumpukan urine dalam
dari anus.. untuk mengontrol pengeluaran urine. bladder dan ketidakmampuan bladder
untuk mengosongkan kandung kemih.
Gejala Gejala yang dirasakan pengidapnya Inkontinensia Stres. Urine bocor keluar di 1. Mengompol ketika ada tekanan (stress
tergantung pada jenis inkontinensia tinja, saat terjadi tekanan di kandung kemih, incontinence)
yaitu : misalnya saat batuk, bersin, atau tertawa. 2. Tidak dapat menunda buang air kecil
 Inkontinensia mendesak (urge Inkontinensia Urge. Pengidap memiliki (urge incontinence)
incontinence), yang ditandai dengan keinginan yang kuat untuk tiba-tiba buang air 3. Mengompol secara tiba-tiba (overflow
dorongan tiba-tiba untuk buang air besar kecil diikuti dengan keluarnya urine yang incontinence)
dan sulit untuk dikendalikan. tidak disengaja (mengompol). Pengidap bisa 4. Sama sekali tidak bisa menahan urine
 Inkontinensia tinja pasif, yang buang air kecil hingga lebih dari 8 kali dalam (inkontinensia total)
ditandai dengan kotoran keluar tanpa sehari, termasuk di malam hari.
disadari atau tanpa dorongan untuk Inkontinensia Overflow. Pengidap sering
buang air, serta dapat keluar ketika mengompol dalam jumlah urine yang sedikit-
pengidap buang angin. sedikit karena kandung kemih tidak
Beberapa gejala lain : sepenuhnya kosong.
 Anus terasa gatal atau mengalami
iritasi.
 Diare.
 Inkontinensia urine.
 Konstipasi.
 Nyeri atau kram perut.
 Perut kembung.
Komplikas 
Gangguan emosional, akibat rasa 
Masalah kulit, seperti ruam, infeksi Infeksi dan batu saluran kemih.
i malu, frustrasi, dan depresi. kulit dan luka.  Peningkatan tekanan kandung

 
Iritasi serta infeksi kulit, akibat Infeksi saluran kemih. Inkontinensia kemih.
kontak berulang dengan tinja. 
bisa meningkatkan risiko terjadinya infeksi Gangguan fungsi ginjal.

saluran kemih berulang.


 Mengganggu kehidupan sosial.
Inkontinensia urine merupakan masalah yang
memalukan, sehingga bisa memengaruhi
hubungan sosial, pekerjaan, dan hubungan
pribadi kamu.
3. Apa penyebab konstipasi dan inkotinensia alvi
a) Penyebab konstipasi

 Pola makan yang buruk, misalnya kurang mengonsumsi serat atau kurang minum.
 Kurang aktif bergerak, termasuk juga jarang olahraga.
 Penyakit pada usus atau rektum, contohnya fisura ani, penyumbatan usus, kanker
usus besar, dan kanker rektum.
 Ganguan saraf. Gangguan ini menghambat pergerakan tinja melalui usus, dan
biasanya terjadi pada penderita penyakit Parkinson, cedera saraf tulang belakang,
stroke, dan multiple sclerosis.
 Gangguan pada otot yang mengerakkan usus. Kondisi ini dapat ditemui pada
kondisi otot panggul yang melemah atau dyssynergia.
 Gangguan hormon. Beberapa jenis hormon berfungsi menyeimbangkan cairan
dalam tubuh. Gangguan pada hormon ini dapat membuat cairan dalam tubuh tidak
stabil sehingga memicu terjadinya konstipasi. Beberapa kondisi yang dapat
menimbulkan gangguan ini, antara lain adalah diabetes, hiperparatiroidisme,
kehamilan, atau hipotiroidisme.
 Efek samping konsumsi obat, contohnya obat antasida, antikonvulsan, antagonis
kalsium, diuretik, suplemen besi, obat untuk penyakit Parkinson, dan
antidepresan.
 Mengabaikan keinginan untuk buang air besar.
 Gangguan mental, seperti kecemasan atau depresi.

b) Penyebab inkotinensia alvi

 Diare, yang mengakibatkan tinja lebih berair, sehingga memperburuk


inkontinensia tinja.
 Kerusakan saraf pengendali sfingter anus, yang dapat diakibatkan oleh persalinan,
peregangan berlebihan saat buang air, atau cedera saraf tulang belakang.
 Kerusakan sfingter anus, yaitu cincin otot yang terletak di ujung lubang anus,
yang dapat diakibatkan oleh episiotomi atau prosedur pembedahan vagina yang
dilakukan setelah persalinan normal.
 Keterbatasan ruang pada rektum untuk menampung kotoran, akibat adanya
jaringan parut pada dinding rektum, sehingga fleksibilitas rektum berkurang.
 Kondisi medis yang menyebabkan kerusakan fungsi saraf, seperti diabetes,
multiple sclerosis, stroke, demensia, atau penyakit Alzheimer, sehingga
menyebabkan inkontinensia tinja.
 Konstipasi kronis, yang mengakibatkan kotoran mengeras, sehingga sulit bergerak
melewati rektum serta menyebabkan kerusakan saraf dan otot.
 Penggunaan obat pencahar dalam jangka panjang.
 Rectal prolapse, yaitu kondisi ketika rektum turun hingga ke anus.
 Rectocele, yaitu kondisi ketika rektum menonjol ke luar hingga area vagina
wanita.
 Tindakan pembedahan, seperti prosedur bedah pada hemoroid atau kondisi lain
yang berkaitan dengan anus atau rektum, berisiko mengakibatkan kerusakan saraf.

4. Bagaimana mekanisme patofisiologi konstipasi dan inkotinensia alvi akibat gangguan


sistem pencernaan, dan WOC
Konstipasi :
Konstipasi muncul akibat dua jenis gangguan motilitas usus. Gangguan pertama adalah
koloninersia atau slow-transit constipation yang mengacu pada lambatnya perpindahan
feses dari proksimal menuju kolon distal dan rektum. Terdapat dua mekanisme yang
menyebabkan lambatnya transit kolon, yaitu penurunan kontraksi peristaltik dan aktivitas
motorik yang tidak terkoordinasi dalam kolon distal. Gangguan kedua adalah pelvic floor
dysfungtion, kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan rektum untuk mengosongkan isi
kolon. Kombinasi dari kedua gangguan tersebut juga dapat terjadi pada konstipasi
dimana penderita mengalami kelambatan transit dan ketidakmampuan pada saat
pengosongan (Linn et al., 2009).
Konstipasi dibedakan menjadi konstipasi primer dan sekunder berdasarkan penyebabnya.
Konstipasi primer atau idiopatik ditandai dengan normal transit constipation, slow transit
constipation, dan dyssynergic defecation. Pada tipe normal transit constipation motilitas
kolon tidak berubah dan pasien cenderung mengalami feses yang keras pada gerakan
normal. Pada slow transit constipation motilitas kolon menurun sehingga menyebabkan
menurunnya ferkuensi buang air besar dan feses yang keras. Pada dyssynergic defecation
(atau dikenal juga dengan pelvic floor dysfunction), penderita telah kehilangan
kemampuan untuk mengendurkan anal sphincter sementara terjadi kontraksi otot pada
pelvic floor (Chisholm-Burns et al., 2008).

Obstruksi sal cerna

Kerusakan neuromuscular

Motalitas (peristaltic kolon) Retensi cedera usus

Pengeluaran cairan usus Reflek defekasi

Penyerapan air dari tinja di usus

Tinja kering, keras

Tinja tertahan di usus

Tinja sulit dikeluarkan

KONSTIPASI

Sakit perut, melilit Nafsu makan Sering BAK Rewel

Anoreksia Poliuri

Dehidrasi

Retensi kekurangan vol cairan

Inkontinensia alvi :
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun
demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang
melambat. Peristaltic di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter
gastroesofagus gagal berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus
terlambat.keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan
gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga menurun, akibatnya terjadi keterlambtan
pengososngan isis lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan menurunkan
absorsi besi, kansium dan vitamin B12.
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia
namun masih tetap adekuaT. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat
di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak.
Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter
mengakibatkan inkontinensia alvi.

Reflek defekasi parasimpatis

Feses masuk resctum

Dibawa ke spinal cord

Kembaki kecolon desenden,sigmoid dan rectum

Intensifkan peristaltic

Kelemahan spingter interna anus

Inkontinensia Alvi

5. Bagaimana mekanisme patofisiologi konstipasi dan inkotinensia alvi akibat gangguan


sistem persyarafan dan WOC
Konstipasi :
Biasanya terjadi pada pasien dengan kerusakan sakrum, kelainan syaraf pusat, infeksi
polineuritis, miopaties, sclerosis sistemis, DM, Down sindrom. Proses defekasi yang
normal memerlukan keadaan anatomi dan persafaran yang normal dari rektum, otot
puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses
defekasi. Tekanan pada dinding rektum oleh feses akan merangsang sistem saraf
intrinsik rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan
sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi
dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon melalui anus. Apabila relaksasi
sfingter ani interna tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna akan berkontraksi
secara refleks dan untuk selanjutnya akan diatur secara volunter. Otot puborektalis
akan membantu sfingter ani eksterna sehingga anus mengalami konstriksi. Apabila
konstriksi berlangsung cukup lama, refleks sfingter ani interna akan menghilang
diikuti hilangnya keinginan defekasi.
6. Apa diagnose keperawatan utama pada pasien dengan konstipasi dan inkotinensia alvi
a. Diagnose konstipasi

 Tes darah, untuk melihat apakah ada kelainan seperti hipotiroid atau kadar
kalsium yang tinggi.
 Sinar X. Melalui pemeriksaan sinar X-ray, dokter dapat melihat apakah usus
pengidap tersumbat atau apakah ada tinja di seluruh usus besar.
 Pemeriksaan rektum dan kolon bawah (sigmoidoskopi), untuk memeriksa kondisi
rektum dan bagian bawah usus besar.
 Pemeriksaan rektum dan seluruh kolon (kolonoskopi), untuk melihat kondisi
seluruh usus besar.
 Evaluasi fungsi otot sfinger anal (anorektal manometri) untuk mengukur
koordinasi otot yang digunakan untuk menggerakkan usus
 Studi transit kolonik untuk mengevaluasi pergerakan makanan yang masuk ke
usus besar
 Defekografi atau rontgen rektum pada saat defekasi untuk melihat
adanya prolapse atau masalah dengan fungsi otot rektum
 MRI defekografi
b. Diagnose inkontinensia alvi

 Kultur tinja, yaitu prosedur pemeriksaan laboratorium melalui sampel tinja, untuk
mendeteksi adanya infeksi penyebab diare dan inkontinensia.
 Barium enema, yaitu pemeriksaan dengan menggunakan foto Rontgen dan cairan
barium untuk memeriksa saluran pencernaan bagian bawah.
 Elektromiografi (EMG), untuk memeriksa fungsi dan koordinasi otot dan saraf di
sekitar anus dan rektum.
 Kolonoskopi, untuk memeriksa seluruh bagian usus menggunakan selang fleksibel
berkamera yang dimasukkan melalui anus.
 MRI, untuk memperoleh gambar detail kondisi sfingter anus dan otot anus.
 Fraktografi, yaitu pemeriksaan untuk mengukur banyaknya kotoran yang dapat
dikeluarkan tubuh dan mengukur kekuatan rektum dalam menahan kotoran agar
tidak merembes.
 USG anorektal, yaitu pemeriksaan struktur sfingter anus dengan menggunakan
instrumen menyerupai tongkat yang dimasukkan ke dalam anus dan rektum.

7. Apa intervensi keperawatan untuk mengatasi konstipasi dan inkotinensia alvi


A. Intervensi keperawatan konstipasi

Anda mungkin juga menyukai