Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH KELOMPOK

KONSEP DAN MANAJEMEN BENCANA BANJIR


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Disusun Oleh:

NISWAHROBIATUL MUAMAROH 115070201131002

MARYANTI 135070218113017

PROGRAM STUDI ILMU KEPERWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Secara geografis Indonesia terletak di zona tropis yang memilik dua musim yaitu
musim panas dan musim hujan yang ditandai dengan perubahan ekstrim cuaca, suhu dan arah
angin. Kondisi ini memiliki potensi untuk menciptakan bahaya hidrometeorologi seperti
banjir dan kekeringan. Di Indonesia banjir merupakan bencana yang selalu terjadi setiap
tahun terutama pada musim hujan. Banjir pada umumnya terjadi di wilayah Indonesia bagian
barat yang menerima curah hujan lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Indonesia
bagian Timur. Populasi penduduk Indonesia yang semakin padat yang dengan sendirinya
membutuhkan ruang yang memadai untuk kegiatan penunjang hidup yang semakin
meningkat secara tidak langsung merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya banjir.
Bencana banjir merupakan kejadian alam yang dapat terjadi setiap saat dan sering
mengakibatkan hilangnya nyawa, kerugian harta, dan benda.
Bencana memiliki sifat tidak dapat diprediksi serta dapat menimbulkan jatuhnya
banyak korban dan bila tidak ditangani dengan tepat akan menghambat, mengganggu dan
merugikan masyarakat, pelaksanaan dan hasil pembangunan. Menurut BNPB selama tahun
2011 bencana di Indonesia terjadi sekitar 1.598 kejadian, dimana sekitar 89% adalah bencana
hidrometerologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, puting beliung dan gelombang
pasang, dimana yang paling banyak adalah banjir (403 kejadian). Korban jiwa yang
meninggal akibat banjir adalah 160 orang dan jumlah orang yang mengungsi akibat banjir
mencapai 279.523 orang (www.centroone.com , 2011).
Berdasarkan nilai kerugian dan frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya
peningkatan yang cukup berarti. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh
faktor alam berupa curah hujan diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu
faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat
(pemukiman di daerah bantaran sungai dan daerah resapan air) penggundulan hutan,
pembuangan sampah kedalam sungai dsb.
Bencana pada dasarnya karena gejala alam dan akibat ulah manusia. Untuk mencegah
terjadinya akibat dari bencana, khususnya untuk mengurangi dan menyelamatkan korban
bencana, diperlukan suatu cara penanganan yang jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana.
Ditingkat nasional ditetapkan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), di tingkat
daerah BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) tingkat I untuk propinsi dan tingkat
II untuk Kabupaten, dimana unsur kesehatan tergabung didalamnya. Sejak tahun 2000
Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan konsep Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT) memadukan penanganan gawat darurat mulai dari tingkat pra
rumah sakit sampai tingkat rumah sakit dan rujukan antara rumah sakit dengan pendekatan
lintas program dan multisektoral. Penanggulangan gawat darurat menekankan respon cepat
dan tepat dengan prinsip Time Saving is Life and Limb Saving. Public Safety Care (PSC)
sebagai ujung tombak safe community adalah sarana publik/masyarakat yang merupakan
perpaduan dari unsur pelayanan ambulans gawat darurat, unsur pengamanan (kepolisian) dan
unsur penyelamatan. PSC merupakan penanganan pertama kegawatdaruratan yang membantu
memperbaiki pelayanan pra RS untuk menjamin respons cepat dan tepat untuk
menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, sebelum dirujuk ke Rumah Sakit yang
dituju. Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana, penanganan pasien gadar melibatkan
pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS sehingga diperlukan penanganan terpadu dan
pengaturan dalam system maka ditetapkan SPGDT-S dan SPGDT-B (sehari-hari dan
bencana) dalam Kepres dan ketentuan pemerintah lainnya

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan umum
Memahami managemen bencana banjir
1.2.2. Tujuan khusus
1.2.2.1. Memahami konsep pre hospital
1.2.2.2. Memahami konsep bencana
1.2.2.3. Memahami konsep banjir
1.2.2.4. Mengetahui manajemen bencana
1.2.2.5. Mengetahui manajamen bencana banjir di Indonesia

1.3. Ruang lingkup penulisan


Ruang lingkup penulisan makalah ini adalah manajemen bencana banjir di Indonesia

1.4. Metode penulisan


Metode penulisan dilakukan dengan cara studi literature dan jurnal
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Bencana


Menurut UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.

2.2. Definisi Bencana Banjir


Banjir adalah ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya tubuh air dari
saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir adalah ancaman alam yamng
paling sering terjadi dan paling banyak merugikan dari segi kemanusiaan maupun ekonomi
(IDEP, 2007). Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang
disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan disepanjang
sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa.
Bencana banjir hampir setiap musim penghujan melanda Indonesia. Berdasarkan nilai
kerugian dan frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya peningkatan yang cukup
berarti. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam berupa curah
hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu faktor ulah manusia
juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat (pemukiman di daerah
bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan hutan, dan sebagainya), pembuangan
sampah ke dalam sungai, pembangunan pemukiman di daerah dataran banjir dan sebagainya
(www.bnpb.go.id, 2012).
Menurut Bakornas BNPB, 2012, yang harus dilakukan sebelum banjir meliputi:
Di Tingkat Warga
 Bersama aparat terkait dan pengurus RT/RW terdekat bersihkan lingkungan sekitar
Anda, terutama pada saluran air atau selokan dari timbunan sampah.
 Tentukan lokasi Posko Banjir yang tepat untuk mengungsi lengkap dengan fasilitas
dapur umum dan MCK, berikut pasokan air bersih melalui koordinasi dengan aparat
terkait, bersama pengurus RT/RW di lingkungan Anda.
 Bersama pengurus RT/RW di lingkungan Anda, segera bentuk tim penanggulangan
banjir di tingkat warga, seperti pengangkatan Penanggung Jawab Posko Banjir.
 Koordinasikan melalui RT/RW, Dewan Kelurahan setempat, dan LSM untuk
pengadaan tali, tambang, perahu karet dan pelampung guna evakuasi.
 Pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari
informasi, meminta bantuan atau melakukan konfirmasi.
Di Tingkat Keluarga
 Simak informasi terkini melalui TV, radio atau peringatan Tim Warga tentang curah
hujan dan posisi air pada pintu air.
 Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: radio baterai, senter, korek gas dan
lilin, selimut, tikar, jas hujan, ban karet bila ada.
 Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mi instan, ikan asin, beras, makanan bayi,
gula, kopi, teh dan persediaan air bersih.
 Siapkan obat-obatan darurat seperti: oralit, anti diare, anti influenza.
 Amankan dokumen penting seperti: akte kelahiran, kartu keluarga, buku tabungan,
sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil.
Yang harus dilakukan saat banjir:
 Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN untuk mematikan aliran
listrik di wilayah yang terkena bencana,
 Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air masih memungkinkan
untuk diseberangi.
 Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari terseret arus banjir. Segera
mengamankan barang-barang berharga ketempat yang lebih tinggi.
 Jika air terus meninggi hubungi instansi yang terkait dengan penanggulangan bencana
seperti Kantor Kepala Desa, Lurah ataupun Camat.
Yang Harus Dilakukan Setelah Banjir
 Secepatnya membersihkan rumah, dimana lantai pada umumnya tertutup lumpur dan
gunakan antiseptik untuk membunuh kuman penyakit.
 Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare yang
sering berjangkit setelah kejadian banjir.
 Waspada terhadap kemungkinan binatang berbisa seperti ular dan lipan, atau binatang
penyebar penyakit seperti tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk.
 Usahakan selalu waspada apabila kemungkinan terjadi banjir susulan.
2.2.3. Managemen Penanggulangan Bencana Banjir

Dalam penanganan bencana perlu ada suatu organisasi atau sistem komando kejadian
bencana yang dibentuk oleh negara untuk menyusun panduan penanganan bencana dan
melakukan koordinasi terhadap personil, fasilitas, sistem komunikasi dan transportasi dalam
penanganan bencana. Organisasi ini sebelum menyusun Panduan Penanganan Bencana
(Emergency Operations Plan/EOP) terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap
lingkungan dan komunitas untuk mengetahui daerah yang beresiko tinggi terkena bencana,
tipe bencana yang mungkin terjadi baik bencana alam seperti banjir, sunami, gunung meletus,
maupun bencana akibat perbuatan manusia misalnya kebakaran, kecelakaan dan lain lain.
Pengkajian juga dilakukan terhadap fasilitas penanganan bencana di tempat kejadian seperti
tenaga/personil bantuan, transportasi, farmakologi, alat dan bahan pertolongan kegawat
daruratan (lokal facility), organisasi penangan bencana lokal (Safety committee), kantor atau
posko penanganan bencana (Safety Officer or emergency department). Setelah dilakukan
pengkajian secara lengkap kemudian disusun Panduan Penanganan Bencana baik panduan
antisipasi atau pencegahan bencana (Preparedness), panduan penanganan saat bencana
(during disaster) serta panduan penanganan setelah bencana (Postdisaster).

Komponen komponen penting yang terdapat dalam Panduan Penanganan Bencana


(EOP) adalah sebagai berikut :

 Informasi secara cepat dan mudah. Fasilitas penanganan bencana (health care facility)
harus dapat diakses dengan cepat dan mudah kapanpun dan dimanapun bencana terjadi
misalnya perlu ada jalur telepon emergency yang gratis, cepat dan mudah ke kantor atau
fasilitas penanganan bencana.
 Jalur komunikasi secara internal dan eksternal. Jalur komunikasi untuk koordinasi
personil, fasilitas dan transportasi dalam penanggulangan bencana harus jelas dan siaga
termasuk informasi dari tempat kejadian bencana ke posko atau rumah sakit rujukan
korban bencana.
 Perencanaan terhadap penanganan korban bencana (coordinated patient care), termasuk
didalamnya triage korbaan bencana, sistem rujukan dan transportasi ke posko atau rumah
sakit rujukan korban bencana.
 Perencanaan keamanan terhadap korban, fasilitas dan personil terhadap kondisi yang
sangat parah dan mengancam
 Identifikasi sumber atau fasilitas penanganan bencana baik lokal, regional dan negara
serta bagaimana menghubunginya
 Pedoman penanganan korban bencana, masyarakat, media dan strategi pembagian tugas
dalam tim
 Strategi managemen data korban dan kejadian bencana
 Penanganan respon pasca bencana
 Pedoman penyelamatan diri bagi masyarakat dan melakukan latihan sebelum bencana
terjadi
 Antisipasi kebutuhan masyarakat setelah bencana seperti air bersih dan makanan untuk
jangka waktu yang lama
 Perkiraan insiden kejadian bencana serta strategi identifikasi bencana seperti alarm
bencana
Personil dalam penanganan bencana harus memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang baik dan ahli terhadap setiap kondisi bencana sehingga memiliki kesiapan dan
kesigapan dalam melakukan tindakan sesuai tugas dan perannya masing masing berdasarkan
pedoman penanganan bencana yang telah ada.

Pedoman Penanganan bencana juga termasuk struktur atau alur penanganan bencana
beserta tugas dan peran masing masing mulai dari penanganan di daerah bencana sampai
transportasi dan persiapan posko atau rumah sakit rujukan korban bencana.

Petugas penanganan bencana juga harus memiliki pengetahuan tentang bahasa, latar
belakang budaya dan aspek spiritual yang ada pada berbagai komunitas. Hal ini dilatar
bekangi oleh karena kesulitan bahasa dapat meningkatkan ketakutan dan frustasi para korban,
terdapat kepercayaan dan praktek spiritual yang berbeda terhadap terapi pengobatan, hygiene
atau diet, waktu dan tempat khusus untuk berdoa, ritual khusus menangani korban yang
meninggal dan lain lain.

Managemen penanggulangan bencana di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang


jelas seperti yang tertuang dalam UU Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 bahwa
kordinasi penanggulangan bencana yang sebelumnya dilaksanakan oleh Badan Koordinasi
Nasional (Bakornas) sesuai Keppres No. 111/2001 digantikan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam pasal pasal UU No. 24/2007 telah mengatur
tanggung jawab dan wewenang organisasi atau lembaga nasional, daerah dan internasional
dalam penanggulangan bencana, mengatur hak dan kewajiban masyarakat, managemen
penanggulangan bencana yang terdiri dari pra bencana (Predisaster), selama bencana (during
diaster) dan setelah bencana (after disaster), serta mengatur proses pendanaan, pengelolaan
bantuan, pengawasan dan penyelesaian sengketa akibat bencana.

Managemen penanggulangan bencana terdiri dari penanganan sebelum bencana


(predisaster), penanganan saat bencana (during disaster) dan penangana setelah bencana
(afterdisaster) selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :

a. Penanganan Sebelum Bencana (Predisaster)


Penanganan sebelum terjadinya bencana disebut juga tindakan pencegahan atau
prevention terdiri dari pengkajian faktor resiko bencana (risk assessment), Kegiatan
pencegahan bencana, mitigasi (disaster mitigation), peringatan dini, dan kesiapsiagaan/
tanggap darurat bencana (preparedness).

Pengkajian terhadap faktor resiko bencana terdiri dari pengkajian terhadap lingkungan
atau keterpaparan terhadap ancaman (hazard), analisis kerentanan dan kelompok yang rentan
di masyarakat serta analisis sumber atau kapasitas yang dapat digunakan dalam menghadapi
bencana.

Setelah faktor resiko bencana teridentifikasi maka selanjutnya dilakukan pencegahan


atau mitigasi dalam rangka menghilangkan dan atau mengurangi faktor resiko atau ancaman
bencana. Tindakan pencegahan dan mitigasi terdiri dari manajemen lingkungan, upaya fisik
dan teknis dalam mengatasi faktor resiko bencana, regulasi/ legislasi/kebijakan pembangunan
yang mendukung pencegahan bencana, upaya penyadaran dan peningkatan kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana, serta membangun kemitraan dan jaringan
(networking) dalam persiapan bencana.

Selain melakukan tindakan pencegahan dan mitigasi, perlu juga dipersiapkan alat
peringatan dini dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Peringatan dini adalah
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Kegiatan
peringatan dini dapat berupa pemantauan yang terus menerus terhadap faktor resiko bencana
disertai tanda alarm peringatan akan terjadinya bencana. Peringatan dini ini akan memberikan
tanda kepada masyarakat agar siap siaga untuk menyelamatkan diri dan keluarga, serta
sebagai tanda kepada para petugas penanggulangan bencana untuk mempersiapkan diri dalam
membantu masyarakat dalam menghadapi bencana.

Pemantuan secara terus menerus terhadap faktor resiko bencana adalah dengan
menggunakan tekhnologi untuk mendeteksi dan memprediksi resiko timbulnya dan terjadinya
bencana seperti tsunami dan gunung meletus. Informasi atau peringatan tentang resiko
terjadinya bencana berupa alarm bencana disebarkan kepada masyarakat melalui media
televisi dan radio. Tekhnologi terbaru adalah dengan memberikan informasi tentang resiko
bencana atau alarm bahaya melalui handphone (HP) sehingga individu yang tidak bisa atau
tidak sempat menonton televisi tetap mendapatkan informasi sehingga dapat mempersiapkan
diri terhadap kemungkinan terjadinya bencana.

b. Penanganan Saat Bencana (During disaster)


Penanganan saat bencana terdiri dari evakuasi atau penyelamatan korban bencana dan
transportasi korban ke posko atau rumah sakit rujukan korban bencana. Managemen
penyelamatan korban bencana pada jumlah korban yang sangat banyak maka perlu dilakukan
tindakan triage.

Triage adalah proses penentuan atau penyeleksian pasien atau korban berdasarkan
prioritas kebutuhan terhadap perawatan dan pengobatan. Dalam penanganan bencana dengan
korban yang banyak maka perlu dilakukan penyeleksian pasien untuk menentukan korban
yang perlu penanganan prioritas atau segera dan korban yang bisa ditunda penanganannya.
Meskipun tindakan ini dapat dinilai tidak ethis karena cenderung mengabaikan pasien atau
korban lain yang juga membutuhkan pertolongan namun tindakan triage perlu dilakukan
untuk memprioritaskan penanganan emergency kepada korban dengan kondisi yang lebih
serius/parah dan perlu penanganan segera.

Petugas triage melakukan pemeriksaan atau pengkajian terhadap korban secara cepat
dan memberikan penanganan emergency atau resusitasi sebelum diberikan penanganan
tindakan penyelamatan lanjutan atau dibawa ke posko atau rumah sakit rujukan penanganan
bencana. Seorang petugas triage memberikan tanda kepada pasien berdasarkan derajat
keseriusan kondisi dan prioritas kebutuhan terhadap tindakan emergency sehingga petugas
yang lain dapat langsung memberikan bantuan atau langsung membawa pasien ke lokasi
penanganan lanjutan. Perlu disiapkan alat alat dan pengobatan terhadap kondisi emergency
dan transportasi terhadap pasien ke posko perawatan atau rumah sakit rujukan bencana.
Kategori tanda triage yang diberikan adalah berdasarkan derajat keparahan dari cedera
yang dialami oleh korban. Terdapat berbagai tanda triage yang dapat digunakan di beberapa
negara dan perawat bencana harus memahami sistem yang ada di masyarakat atau negara
tersebut. Salah satu contoh sistem triage oleh North Atlantic Treaty Organization (NATO)
adalah dengan menggunakan kode warna yang terdiri dari warna merah, kuning, hijau dan
hitam. Masing masing warna memiliki perbedaan tingkatan prioritas yang secara jelas
diuraikan sebagai berikut :

KATEGORI TRIASE PRIORITAS WARNA KONDISI PASIEN

Immediate / Segera : I Merah Obstruksi jalan nafas akibat


trauma, Trauma dada, show,
Cedera yang dapat
hemotórax, tension
mengancam kehidupan
pneumothoraks, asfixia, trauma
dan dapat bertahan hidup
luka pada dada atau abdomen
jika cepat segera diatasi.
yang tidak stabil, amputasi
Pasien dalam kondisi ini
inkomplit, fraktur terbuka pada
dapat berkembang kearah
tulang panjang, luka bakar
kematian jika ditunda
derajat 2 atau 3 dengan luas
penanganannya.
permukaan tubuh terbakar 15 –
40 %.

Delayed/Dapat ditunda : 2 Kuning Trauma luka abdomen yang


stabil tanpa perdarahan yang
Cedera serius dan
hebat, cedera jaringan lunak,
membutuhkan pengobatan
trauma wajah tanpa komplikasi
tapi dapat ditunda atau
pada jalan nafas, trauma
menunggu dalam
pembuluh darah dengan fungsi
beberapa jam. Pasien ini
kolateral yang adekuat, gangguan
akan menerima
pada saluran genitourinaria,
pengobatan atau treatment
fraktur yang membutuhkan open
setelah korban yang perlu
reduktion, debridement, eksternal
penanganan segera
fiksasion
ditangani lebih dulu.

Minimal : cedera minimal 3 Hijau Fraktur ekstremitas atas, luka


dan treatment atau bakar minor, luka yang kecil
penanganan dapat ditunda tanpa perdarahan yang
selama beberapa jam signifikan, perubahan perilaku
sampai beberapa hari. atau gangguan psikologis.
Pasien dalam kategori ini
harus dipisahkan dari
lokasi triage utama.

Expectant : Cedera yang 4 Hitam Luka penetrasi pada kepala


sangat parah dan tidak dengan pasien yang tidak
dapat bertahan hidup berespon, cedera tulang belakang
meski dengan perawatan yang parah, luka pada multi sisi
emergency. Korban harus dan organ tubuh, luka bakar
dipisahkan dari pasien derajat 2 dan 3 dengan luas
yang lain tapi tidak permukaan tubuh terbakar 60 %
diabaikan. Tindakan yang atau lebih, kejang atau muntah
diberikan adalah setelah terkena radiasi lebih dari
menyediakan kenyamanan 24 jam, shock dengan multiple
bagi korban jika injury, nadi tidak teraba,
memungkinkan Tekanan darah tidak teraba,
Pupil dilatasi atau pin point.

c. Penanganan Setelah Bencana (Post disaster)


Penanganan setelah bencana meliputi pengkajian terhadap kerugian atau kerusakan
yang terjadi akibat bencana (damage assessment), rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi
adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi/berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat
pada wilayah pasca bencana. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana
dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana baik pada tingkat pemerintah maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial
dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
Selain rehabilitasi dan rekonstruksi fisik sarana dan prasarana serta lingkungan, juga
perlu dilakukan rehabilitasi terhadap mental dan psikologis korban bencana karena meskipun
mengalami bencana yang sama, beberapa individu dapat mengalami trauma psikologis yang
berkepanjangan. Beberapa respon yang biasanya terjadi adalah depresi, ansietas, gangguan
psikosomatis (fatigue, malaise, sakit kepala, gangguan saluran gastrointestinal, kemerahan
pada kulit), posttraumatic disorder, keracunan zat, konflik interpersonal, dan gangguan
penampilan (Brunner & Suddarth).

Faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap bencana yang dialami adalah
derajat atau tingkat keterpaparan terhadap bencana, kehilangan teman atau orang yang
dicintai, kehilangan rumah dan harta kepemilikan yang lain, tidak adekuatnya koping
strategis, hilang atau kurang sumber dukungan atau support, serta pandangan atau
penerimaan individu terhadap bencana yang dialami. Kondisi keterpaparan terhadap korban
kematian, cedera, dan kekuatan bencana, respon histeris saat bencana, aktivitas petugas
penananganan bencana dalam membantu korban dapat menjadi keadaan yang menimbulkan
gangguan emosional pada individu.

2.4. Community Based Disaster Risk Management (Cbdrm)/ Penanggulangan Bencana


Berbasis Masyarakat

1. Pengertian
Dasar dari Penanggulangan bencana berbasis masyarakat adalah reduksi resiko bencana.
Masyarakat berperan serta dalam kegiatan pengelolaan bencana yang meliputi kegiatan
tanggap darurat dasar yang dapat dilakukan oleh masyarakat, dan kegiatan – kegiatan yang
dapat mengurangi resiko bencana (Yodmani, S. 2006). Adapun definisi dari Community
based disaster risk management (CBDRM) adalah pemberdayaan komunitas agar dapat
mengelola bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/kelompok masyarakat dalam
perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi oleh
masyarakat sendiri (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org).

Community based disaster risk management (CBDRM) adalah kerangka kerja


pengelolaan bencana yang inklusif dimana masyarakat terlibat atau difasilitasi untuk terlibat
aktif dalam pengelolaan risiko bencana (perencanaan, implementasi, pengawasan, evaluasi)
dengan input sumber daya lokal maksimum dan input eksternal minimum (Indosasters 2006
dalam www.ntt-academia. org ).
2. Tujuan CBDRM

Penanggulangan bencana berbasis masyarakat/CBDRM merupakan suatu proses


yang sistematik untuk mengidentifikasi, membuat perkiraan dan membuatt prioritas dari
resiko bencana. Kondisi ini membuat masyarakat menjadi lebih sadar terhadap resiko
bencana yang ada di daerahnya. Penganggulangan bencana berbasis masyarakat merupakan
suatu pengambilan keputusan yang bersifat bottom up untuk menentukan strategi,
perencanaan dan program dalam redusksi resiko bencana.

Tujuan dari CBDRM adalah membantu masyarakat untuk membuat prioritas resiko
bencana yang ada di daerahnya, membuat perencanaan program reduksi bencana yang
adekuat, membuat perencanaan program yang membutuhkan daya yang efisien dan
berkelanjutan, mengidentifikasi sumber daya eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk
pelaksanaan program dan membuat indikator untuk menilai keberhasilan program (Yodmani,
S. 2006).

3. Langkah Dan Proses CBDRM


Langkah & proses CBDRM adalah (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org) :

a. Faktor eksternal
Tahap 1 : Involvement

i. Pengkajian wilayah – wilayah yang beresiko terhadap bencana


ii. Mengidentifikasi bahaya dan kerentanan yang ada
iii. Bencana yang mungkin terjadi di wilayah tersebut
iv. Pengetahuan tentang manajemen bencana dan sumber daya yang ada
v. Pengetahuan tentang situasi lokal, proses dan sistem
b. Faktor masyarakat
Tahap 2 : Community profilling

Community profilling merupakan gambaran perkembangan posisi dan isi dimana bencana
akan terjadi, hal yang diidentifikasi adalah : Kelompok sosial yang ada dimasyarakat,
Kebudayaan, Kegiatan ekonomi, dan Karakteristik masyarakat

Tahap 3 : Pengkajian resiko di masyarakat


Tujuannya adalah menyeimbangkan pengetahuan tentang resiko dan sumber daya
yang ada. Identifikasi meliputi :

a. Pengkajian bahaya
b. Pengkajian kerentanan
c. Pengkajian sumber daya
Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui besarnya masalah dan kesempatan untuk
melakukan penanggulangan.

Tahap 4 : Perencanaan penganggulangan bencana

Meliputi :

a. Penilaian terhadap persiapan


b. Penilaian terhadap reduksi resiko ( peran, tanggung jawab, jadwal dan
input)
Tahap 5 : Implementasi dan monitoring

Tahap 6 Evaluasi dan Umpan balik

4. Komponen – Komponen Dalam Pengkajian CBDRM

Komponen – komponen yang harus dikaji dalam melakukan CBDRM adalah (ADPC 2003
dalam www.ntt-academia.org) :

A. Pengkajian persepsi masyarakat terhadap resiko

Identifikasi persepsi masyarakat terhadap resiko bencana yang ada didaerahnya sehingga
dapat mengidentifikasi penilaian masyarakat terhadap bencana yang akan terjadi

B. Pengkajian terhadap ancaman

Type of Hazards (Tipe Ancaman)

a. Social Hazards (Ancaman Sosial) meliputi Kriminalitas/kekerasan, perang, konflik,


kemiskinan absolut, terorisme.
b. Technological Hazard (Ancaman Teknologi) meliputi Industrial explosions,
kebakaran, polusi udara, waste exposure, kecelakaan nuklir, lumpur Lapindo
c. Biological Hazards (Ancaman Biologis) meliputi HIV/AIDS, Ebola, dan epidemic,
etc.
d. Hydro-Climatic Hazard (Ancaman hirdoklimatis) meliputi Banjir, kebakaran hutan,
kekeringan
e. Geo-Hazard (Anacaman Geofisik) meliputi Gempa, tsunami, gunung api.
Karakter hazard/ancaman

 pemicu
 tanda-tanda ilmiah maupun tradisional
 jarak antara peringatan dan kejadian
 lamanya kejadian
 kekerapan
 waktu/pola waktu
 ancaman ikutan yang timbul
 kemungkinan jangkauan dampak
C . Pengkajian kerentanan

1. Pemetaan kerentanan
 Suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari
manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu
tertentu.
 Proses ini lebih pada mengidentifikasi kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang rawan
terhadap dampak suatu ancaman.
 Suatu proses partisipasi untuk mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap
ancaman, dan untuk menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut.
 Penilaian kerentanan adalah proses perkiraan kerentanan pada ancaman-ancaman
yang potensial dengan cara (1.) Mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap type
ancaman (2). Menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut.
2. Pengkajian kerentanan meliputi :
a. Kerentanan Fisik/Material meliputi :
 Kepemilikkan aset yang tidak mencukupi untuk bertahan dari kemungkinan
yang merugikan; kurangnya alternatif ekonomi,
 Tidak cukupnya keanekaragaman alam yang menyebabkan suatu ekosistem
tidak mampu bertahan/pulih dari suatu ancaman,
 Masyarakat yang tinggal di daerah rawan ancaman (di tempat rawan banjir,
rawan gempa, dll),
 Sarana dan prasarana (rumah, jalan, jembatan, saluran irigasi, dll) yang
menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghadapi dan bertahan dari
suatu ancaman.
 Lokasi rumah-rumah masyarakat pada daerah yang rawan, lahan pertanian,
infrastruktur dan pelayanan dasar
 Model dan konstruksi bahan-bahan rumah dan bangunan
 Sumber penghidupan yang tidak aman dan berbahaya
 Kurangnya akses dan kontrol terhadap prasyarat 2X produksi (tanah, input
pertanian, hewan dan modal)
 Ketergantungan pada lintah darat (kontroversi)
 Peristiwa kekurangan pangan yang gawat atau kronis
 Latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang tidak memadai
 Tingkat kematian yang tinggi, malnutrisi, peristiwa penyakit, kemampuan
perawatan yang tidak memadai
 Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan
 Kekurangan pelayanan mendasar : pendidikan, kesehatan, air bersih,
perumahan, sanitasi, jalan, listrik, komunikasi.
 Kekerasan yang terselubung (rumah tangga, konflik masyarakat atau perang)
b. Kerentanan Perilaku/motivasi
 Sikap negatif/reaktif terhadap perubahan
 Ketidakpedulian, fatalisme, tidak punya harapan, bergantung pada orang lain
 Tergantung pada bantuan dari pihak luar/mental bantuan, sikap yang negatif
terhadap perubahan
 Ketidakpedulian, fatalisme, tidak punya harapan, bergantung pada orang lain
 Kurangnya inisiatif, tidak memiliki semangat jiwa
 Kurang bersatu, kerja sama dan solidaritas
 Tidak menyadari ancaman dan konsekuensinya
c. Kerentanan Sosial/Kelembagaan
 Kurangnya informasi yang menyangkut bencana
 Kurangnya pelayanan publik, perencanaan, kesiapan dan respon terhadap
keadaan darurat
 Minimnya peran & ketiadaan informasi tentang keberadaan organisasi-
organisasi kemasyarakatan, mekanisme dukungan sosial
 Masalah gender, diskriminasi ras, etnik, agama
 Struktur kekeluargaan/persaudaraan yang lemah
 Terisolasi secara sosial
 Kurangnya kepemimpinan, leadership, struktur organisasi untuk
memecahkan masalah atau konflik
 Pengambilan keputusan yang tidak efektif, masyarakat/kelompok-kelompok
dihapuskan
 Kondisi partisipasi masyarakat yang tidak merata
 Kekurangan atau lemahnya organisasi-organisasi masyarakat (formal,
pemerintahan dan lokal/penduduk asli)
 Desas-desus, pembagian, konflik, etnis, kelas, kepercayaan, kasta, ideologi
 Praktek-praktek yang tidak adil, kurangnya akses pada proses politik
3. Pengkajian sumber daya
Dikelompokkannya ke dalam 5 kelompok aset yang sering disebut sebagai Pentagon
Aset atau Pentagon Capital yaitu:

 Human Capital (Sumber Daya Manusia), meliputi : tenaga kerja, ketrampilan,


pendidikan, pengetahuan, dll
 Natural Capital (Sumber Daya Alam, meliputi : Tanah dan produksinya, air
dan sumber daya air didalamnya, pohon dan hasil hutan, kehidupan liar, serat
dan pangan yang tidak dibudidayakan, keanekaragaman hayati, dan sesuatu
yang berhubungan dengan kegiatan terkait lingkungan
 Financial Capital (Sumber Daya Keuangan), meliputi tabungan atau
simpanan, kredit/hutang baik fomal maupun informal maupun yang diberikan
LSM, kiriman dari keluarga yang bekerja di luar daerah, dana pensiun, dan
upah/gaji
 Social Capital (Sumber Daya Sosial), meliputi jaringan dan koneksi (patron
yang terbangun, kerukunan antar tetangga dan hubungan baik ), hubungan
yang berbasis rasa saling percaya dan saling mendukung, kelompok formal
dan informal, peraturan umum dan sanksi, keterwakilan, mekanisme
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan kepemimpinan
 Physical Capital (Sumber Daya Infrastruktur), meliputi Infrastruktur
( jaringan transportasi, jalan, kendaraan, gedung gedung dan tempat tinggal
yang aman, sarana kebersihan dan air bersih, energi, jaringan komunikasi),
serta teknologi dan alat-alat (alat alat dan peralatan untuk produksi, bibit,
pupuk, pestisida,teknologi tradisional)

D. Indikator Keberlanjutan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas


Prasyarat Keberlanjutan CBDRM (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org):

 Adalah rakyat/manusia/komunitas yang membuat proses CBDRM berkelanjutan


 Keberlanjutan partisipasi rakyat/komunitas bergantung pada ‘link and match’ antara
kegiatan reduksi risiko bencana dan proyek/program dengan kebutuhan seketika
(strategis/praktis)
 Terlibatnya masyarakat secara aktif dalam proses studi dan pengambilan keputusan
dalam identifikasi solusi realistis, kesiapan yang mampu dilakukan, dan solusi solusi
mitigasi
 Relevansi keterlibatan menciptakan kepemilikan bahkan ketika capaian yang
dihasilkan tidak besar, maka keberlanjutan kegiatan CBDRM bisa dipastikan.
 Kesatuan/kohesifitas rakyat/komunitas/orang/masyarakat dalam komitmen reduksi
bencana dilanggengkan oleh praktek CBDRM
 Faktor kelembagaan tetap/menetap yang ada dikomunitas mampu melanggengkan
proses-proses CBDRM yang bertujuan memproteksi penghidupan dan kehidupan
rakyat secara berkelanjutan.
E. Peran Perawat Dalam Penanggulangan Bencana
Peran perawat komunitas dalam penanggulangan bencana bervariasi berdasarkan
tahapan disaster managemen (M. Kandasamy, jurnal of india, 2007). Peran perawat
kesehatan komunitas pada tahap preparedness adalah :

a. Memfasilitasi dalam mempersiapan komunitas dalam menghadapi bencana dan


menyiapkan tempat penampungan korban
b. Inisiatif daan memperbaharui rencana penanggulangan bencana
c. Menyediakan program pendidikan menghadapi bencana pada berbagai area
d. Menyediakan dan memperbaharui laporan atau catatan populasi rentan yang ada di
komunitas
e. Memberikan pendidikan kesehatan pada populasi rentan tentang tindakan
penyelamatan yang dapat dilakukan pada saat bencana
f. Sebagai advokat masayarakat dalam menciptakan dan menjaga lingkungan yang aman
g. Melakukan pengkajian dan laporan tentang bahaya lingkungan
h. Mengetahui sumber sumber yang dapat digunakan dalam penanganan bencana serta
menggerakan kerja sama dengan komunitas/masyarakat.

Peran perawat kesehatan komunitas pada saat bencana terjadi tergantung dari
pengalaman dalam penanggulangan bencana, peran perawat dalam institusi dan persiapan
komunitas (preparedness), pelatihan atau training yang pernah diikuti dan ketertarikan
dalam penanggulangan bencana. Peran perawat pada saat bencana adalah

a. Bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat kepada badan atau organisasi
penanganan bencana yang ada agar dapat memfasilitasi tindakan penyelamatan
segera.
b. Melakukan evakuasi dan triage terhadap korban bencana berdasarkan tingkat
keparahan cedera yang dialami korban.
c. Memberikan pertolongan dan perawatan emergency pada korban bencana sesuai
triage yang dilakukan
d. Terus menerus membuat laporan perkembangan kejadian bencana
Peran perawat kesehatan komunitas pada tahap setelah bencana (recovery) adalah :

a. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan korban bencana seperti air bersih, makanan,
minuman dan lain lain
b. Membantu kesehatan mental korban yang mengalami trauma dan merujuk kepada
terapis mental untuk penanganan lebih lanjut.
c. Memperhatikan bahaya lingkungan yang dapat terjadi setelah bencana
d. Melakukan home visit untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan korban bencana
akan rumah sehat, air bersih dan listrik.
e. Memperhatikan kemungkinan adanya binatang yang hidup atau mati yang dapat
membahayakan kesehatan korban bencana
f. Case finding dan memberikan asuhan keperawatan pada korban bencana berdasarkan
masalah yang ditemukan
g. Membantu korban agar dapat beraktivitas secara normal sesuai perannya
dimasyarakat.

Peran perawat kesehatan komunitas juga sangat penting dalam CBDRM yaitu
meningkatkan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana. Perawat
komunitas dengan ilmu dan keterampilan keperawatan yang dimiliki dan kemampuan
pengelolaan masyarakat dalam peningkatan status kesehatannya dapat berperan sebagai
pendidik dan motivator bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam penanggulangan
bencana

Perawat juga dapat berperan sebagai fasilitator dalam membantu masyarakat


mengidentifikasi faktor resiko bencana yang ada di masyarakat, mengidentifikasi
kapasitas/kemampuan atau sumber daya yang ada di masyarakat yang dapat digunakan
dalam penanggulangan bencana, membantu menyusun perencanaan penanggulangan
bencana dan pedoman implementasi dan evaluasi, serta menjadi fasilitator dalam
mengawasi dan mengevaluasi program penanggulangan bencana di masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN

Di Indonesia banjir merupakan bencana yang selalu terjadi setiap tahun terutama pada
musim hujan, sehingga ketika musim hujan telah datang walaupun belum merata dan
berlangsung hanya beberapa saat, sebagian masyarakat Indonesia sudah mengalami
kepanikan, khususnya masyarakat yang berada didaerah rawan banjir. Selain itu, kedalaman
air pada bencana banjir juga membuat kondisi seseorang sangat rentan karena mempengaruhi
kondisi fisik maupun mental seseorang. Kelelahan, stres dan kondisi yang tidak sehat
menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit. Kerugian yang ditimbulkan tidak saja
materi tetapi juga jiwa manusia. Ketika banjir telah datang akan timbul berbagai macam
masalah salah satunya adalah timbul banyak pengungsi yang menempati barak-barak dan
tempat penampungan darurat (Kusumaratna, 2003).
Sebagian besar keadaan lingkungan ditempat pengungsian juga bermasalah yaitu
sangat tidak memadai, terlalu padat, ventilasi udara minim, fasilitas yang ada kurang, dan
keterbatasan sumber air minum bersih. Tidak hanya masalah tempat pengungsian saja,
masalah banjir juga berdampak pada kesehatan. Di salah satu puskesmas kecamatan di
Jakarta, kota yang sering menjadi langganan banjir, ditemukan penyakit yang banyak diderita
para korban banjir adalah 47% penyakit ISPA, 23% penyakit kulit dan 12% penyakit diare
dan saluran cerna. Penyakit yang diderita balita terbanyak adalah ISPA dan diare, sedangkan
lanjut usia adalah ISPA dan kulit. Sedangkan tenaga kesehatan di posko kesehatan banjir
adalah dokter, dokter muda dan paramedis (Kusumaratna, 2003). Oleh karena itu, untuk
mencegah semua permasalahan tersebut sangat penting di tiap-tiap daerah yang rawan banjir
dilakukan manajemen banjir dimana tidak hanya dilakukan saat terjadi bencana tetapi
sebelum terjadinya banjir.
Terjadinya serangkaian bencana banjir dalam kurun waktu yang relatif pendek dan
selalu terulang setiap tahunnya menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya
sehingga kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalkan. Kebijakan sektoral, sentralistik,
dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
global yang menuntut adanya desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi stakeholder terutama
masyarakat yang terkena dampak bencana (Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat UI,
2003). Selain itu, penanggulangan banjir di Indonesia mencakup kegiatan yang sangat
kompleks dan bersifat lintas sektor. Oleh karena itu agar penanggulangan banjir lebih
integratif dan efektif maka diperlukan tidak hanya koordinasi ditingkat pelaksanaan tetapi
juga tingkat di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan
stakeholder (Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat UI, 2003).
Selama ini jika diamati penanganan bencana di Indonesia terfokus pada respon
darurat saja. Gerakan bantuan yang dikoordinasi masyarakat awam terfokus pada
penggalangan bantuan untuk kondisi darurat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penanggulangan bencana di Indonesia selalu menggunakan pendekatan yang bersifat
responsif, yakni baru melakukan upaya penanganan pada saat dan setelah terjadi bencana itu
terjadi. Namun, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma penanggulangan bencana tersebut
dari yang bersifat responsif menjadi preventif, yakni melakukan upaya-upaya yang
mengutamakan pengurangan resiko bencana, melalui upaya-upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana (Maarif, 2010). Oleh karena itu, penanggulangan
bencana tidak hanya bersifat reaktif (baru melakukan setelah terjadi bencana), tetapi
penanggulangan bencana juga bersifat antisipatif dengan melakukan pengkajian dan tindakan
pencegahan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana. Untuk penanganan
bencana juga meliputi pra bencana, pada saat terjadi bencana, dan pasca bencana. Selain itu,
manajemen bencana juga bukan hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah saja,
melainkan juga perlu melibatkan peran masyarakat luas. Maka inilah yang dinamakan
penanganan bencana berbasis masyarakat.
Menurut Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, 2011,
penanggulangan bencana berbasis masyarakat merupakan upaya terorganisir atas kegiatan
masyarakat dalam penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum, pada saat dan
sesudah bencana dengan cara mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal baik berbentuk
sumber daya manusia yang terlatih (skilled), alam dan sarana dan prasarana yang ada pada
masyarakat tersebut dengan tujuan mengurangi risiko/dampak yang mungkin timbul akibat
peristiwa bencana.
Kampung Siaga Bencana (KSB) adalah suatu model penanggulangan bencana
berbasis masyarakat yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial bersama dengan masyarakat
untuk mewadahi kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh masyarakat,
dibentuk di daerah rawan bencana dengan cara melibatkan seluruh elemen yang ada pada
masyarakat, dimana prinsip utama pelaksanaan KSB adalah mengutamakan kemandirian
masyarakat. Pada dasarnya kegiatan Kampung Siaga Bencana menekankan pentingnya
kesiapsiagaan menghadapi bencana. Artinya kesiapsiagaan masyarakat menjadi pokok
kegiatan KSB. Karena dengan kesiapsiagaan masyarakat dapat merencanakan suatu tindakan
untuk mengurangi akibat suatu bencana. Namun demikian bencana memiliki sifat tidak
terduga (unpredictable) sehingga kesiapsiagaan saja belum cukup. Tim Kampung Siaga
Bencana penting untuk mempersiapkan kegiatan baik sebelum bencana, pada saat dan pasca
bencana, sebagai bagian tak terpisahkan antar tahap satu dengan tahap lainnya (Direktorat
Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, 2011).
Kampung Siaga Bencana merupakan program nasional yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Dalam KSB ini masyarakat yang berada di daerah rawan bencana diberdayakan
dengan cara meningkatkan kapasitas mereka dan sekaligus menginisiasi adanya suatu
prasarana penanggulangan bencana tingkat komunitas seperti Lumbung Sosial
Penanggulangan Bencana, Gardu Sosial yang didalamnya dilengkapi cara-cara lokal
(setempat) dalam menanggulangi bencana serta identifikasi potensi dan sumberdaya lokal
untuk penanggulangan bencana (Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam,
2011).

ANALISIS BERDASARKAN METODE SWOT

Berikut ini adalah analisis kesenjangan antara CBDRM dengan kondisi yang ada di
lapangan dengan menggunakan analisis SWOT:

STRENGTH/KEKUATAN :

1. CBDRM banyak digunakan untuk memberikan panduan yang


sistematik sebagai panduan dalam merencanakan program penanggulangan bencana
berbasis masyarakat
2. CBDRM mengidentifikasi kebutuhan yang diperlukan oleh
masyarakat untuk mengurangi faktor resiko terhadap bencana sehingga dapat
meminimalkan dampak dari bencana
3. CBDRM melibatkan peran serta aktif dari masyarakat dalam
meminimalkan dampak bencana
WEAKNESS/KELEMAHAN :

1. CBDRM belum diterapkan di seluruh Indonesia


2. CBDRM tidak disosialsasikan secara luas keseluruh daerah di Indonesia yang merupakan
daerah rawan bencana
3. CBDRM lebih banyak dikelola oleh agen non pemerintah (NGO) yang dalam hal ini
keberlanjutan dari program tergantung dari pendanaan yang ada
4. Koordinasi pelaksanaan CBDRM belum jelas keberlanjutanya
5. CBDRM belum banyak dipahami oleh masyarakat di Indonesia, karena CBDRM
cenderung diberikan pada daerah yang sudah terkena bencana sedangkan daerah yang
rawan bencana belum tersosialisasikan
OPPORTUNITY/KESEMPATAN

1. CBDRM bersifat fleksibel dan dapat diaplikasikan pada semua wilayah dengan
karateristik warga yang berbeda
2. Terdapatnya kerjasama lintas sektoral yang sangat luas dalam aplikasi CBDRM
TREATH/ANCAMAN

1. Masalah bencana sangat komplek dan CBDRM memerlukan monitoring untuk


keberlanjutan program dimana saat ini proses monitoring belum ada indikator yang jelas
2. Dukungan pemerintah yang lemah terhadap program CBDRM dapat menghambat proses
keberlanjutan dari CBDRM
KRITISI JURNAL I

LATAR BELAKANG

Bencana yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai hal seperti fasilitas umum,
kerugian ekonomi yang serius, korban, kesehatan, dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Korban massal dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana dapat mengancam sistem
perawatan kesehatan dan menguji kemampuan kompetensi para dokter dan perawat. Para
perawat darurat merupakan bagian terpenting dari tim penyelamat bencana dan berjuang di
garis depan. Persiapan dalam bencana yang tepat dapat secara efektif dalam penanganan
bencana.

Tingkat kesiapan perawat darurat dalam bencana secara langsung dapat menentukan
keberhasilan bencana terkait keperawatan. Hal ini berpengaruh cukup besar terhadap respon
dalam bencana dan pemulihan cederabagi korban setelah musibah tersebut. Akan tetapi,
survei menunjukkan bahwa sebagian besar perawat tidak kompeten dalam keperawatan
terkait bencana.

Pelatihan pendidikan keperawatan terkait pencegahan dan mitigasi dalam bencana sangat
penting. Akan tetapi, pendidikan keperawatan terkait bencana dan perawat klinis di Cina
belum menerima pelatihan keperawatan terkait bencana yang sistematis dan berkualitas.
Perawat darurat di Rumah Sakit telah berhasil dalam melakukan penyelamatan, namun dalam
respon terhadap bencana ini mengungkapkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan
dalam penyelamatan pada beberapa perawat. Oleh karena itu, perawat darurat bencana harus
dilatih melalui berbagai bentuk pendidikan dan profesional, serta standar ilmiah harus
didirikan.

TUJUAN

Penelitian ini untuk memberikan beberapa rekomendasi pada pelatihan kegawatdaruratan


para perawat pada bencana terkait kompetensi keperawatan.

METODOLOGI

Dapat terlihat dalam pembahasan penelitian dalam jurnal bahwa metodologi yang figunakan
adala literatur review. Lokasi penelitian ini berada di Cina.

ANALISA PEMBAHASAN
1. Status dan peran para perawat kegawatan dalam bencana
Pada tahun 2008 sejak berdirinya pusat gawat darurat di rumah sakit, secara terus-
menerus infrastruktur ditingkatkan baik dalam teknologi canggih dan peralatan, serta
disiplin profesional. Perawat gawat darurat berfungsi sebagai barisan terdepan dalam
penyelamatan bencana, klasifikasi cedera, transportasi, keselamatan keperawatan,
keperawatan psikologis, dan pendidikan kesehatan. Perawat juga berpartisipasi dalam
kesehatan dan bencana alam baik lokal maupun luar negeri.
2. Situasi saat sekarang dari respon bencana pada departemen keperawatan gawat
darurat
Saat ini perawat bencana pada departemen gawat darurat menunjukkan bahwa
terdapat rendah, kurangnya pengetahuan tentang keperawatan bencana, kurang
komprehensif dan sistematis pendidikan keperawatan bencana, serta tidak cukupnya
pendidikan; pelatihan dan penelitian mengenai keperawatan bencana.

Analisis faktor yang berpegaruh dalam kemampuan perawat bencana dalam departemen
keperawatan gawat darurat

1. Tingkat pendidikan
Keefektifan respon bencana dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan, lamanya
durasi pendidikan, konten yang besar, dan pengetahuan mengenai bencana yang
banyak serta keterampilan perawat darurat. Persentase perawat di Cine dengan gelar
sarjana sebanyak 56% dan pendidikan sarjana sebesar 10,6%.
2. Jenis kelamin
Dalam keadaan bencana dihadapkan pada kondisi lapangan yang keras,
beban berat, dan bekerja intensif dan jangka panjang. Perawat laki-laki lebih baik
secara fisik, bugar, dan pekerjaan fisik lainnya ketika dihadapkan dengan insiden
darurat. Perawat laki-laki sangat tahan terhadap tekanan dan bersedia menerima
tantangan dan
pekerjaan sulit untuk menghadapi peristiwa negatif di lokasi bencana. Hal ini
menjelaskan bahwa adanya ketertarika tinggi pada perawat laki-laki pada
pengetahuan keperawatan bencana.
3. Pengalaman bantuan bencana
Perawat yang pernah berpartisipasi dalam penyelamatan dalam bencana telah
mendapatkan pengalaman yang cukup dan daya tahan psikologis. Perawat ini
memahami karakteristik pekerjaan dalam penyelamatan dan dapat melihat kekurangan
perawat bencana yang terlatih dari beberapa sudut. Penyelamatan bencana dapat
memungkinkan staf keperawatan untuk menyadari pentingnya meningkatkan
kemampuan penyelamatan bencana untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi
untuk belajar.
4. Pelatihan
Pelatihan dapat mempengaruhi kemampuan perawat darurat untuk merespon bencana.
Kekurangan pendidikan dan pelatihan di Cina terkait bencana adalah isi pelatihan
yang tidak komprehensif dan format pelatihan yang masih sederhana.
5. Lainnya
Ilmu keperawatan bencana mulai terlambat di Cina dan sedang dalam tahap
eksplorasi. Perawat harus memiliki kemampuan manajemen bencana tertentu,
terutama dalam bencana pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan bantuan serta pasca
bencana. Sistem pelatihan profesional keperawatan bencana harus terus berkembang
pesat untuk mengatasi kompetensi keperawatan terkait bencana.

Rekomendasi dalam memperbaiki kemampuan keperawatan bencana pada departemen


keperawatan gawat darurat

1. Penguatan keperawatan bencana yang sistematis pada pendidikan dan pelatihan


berkelanjutan
Dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa isi pelatihan keperawatan
bencana meliputi aspek-aspek berikut:
a. Teori pelatihan keperawatan bencana
Jenis pelatihan harus mengatasi berikut: (1) pengetahuan umum bencana
meliputi konsep terkait bencana, seperti teknik pengobatan untuk umum
penyakit bencana, epidemiologi bencana, dan kesiapan darurat bencana
perawat; (2) bencana intervensi psikologis, seperti konseling psikologis untuk
korban bencana dan penyelamatan pekerja, manajemen gangguan stres pasca
trauma, dan kemampuan berkomunikasi; (3) perlindungan penduduk dalam
penyelamatan bencana, termasuk pengetahuan tentang lingkungan, epidemi,
keselamatan, dan kelangsungan hidup; (4) bencana manajemen keperawatan,
yang meliputi pengendalian infeksi di rumah sakit dan manajemen ambulans,
manajemen informasi keperawatan, dan koordinasi bantuan bencana; (5)
Pengetahuan umum keperawatan darurat, seperti prinsip-prinsip keperawatan
darurat cedera thoracoabdominal, cedera craniocerebral, luka bakar, ekstrusi,
fraktur, dan syok; (6) Pelatihan CBRN.
b. Pelatihan kemampuan keperawatan bencana
Jenis pelatihan harus mencakup sebagai berikut: (1) pelatihan keterampilan
profesional, termasuk triase, penentuan keparahan cedera, transportasi korban,
catatan keperawatan, perlindungan kerja staf medis, dan keterampilan
pengobatan kecelakaan; dan (2) Pelatihan keterampilan pertolongan pertama,
yang meliputi keterampilan pertolongan pertama dasar, seperti
cardiopulmonary resusitasi, perban perdarahan, fiksasi fraktur, pembentukan
saluran napas buatan, penggunaan darurat obat dan peralatan, penggunaan
peralatan penyelamatan, dan keterampilan bertahan hidup.
c. Rencana penyelamatan bencana dan latihan
Rencana penyelamatan bencana mencakup sistem peringatan bencana, rencana
darurat, dan rencana penyelamatan untuk kelompok pasien.
d. Persiapan tenaga kerja dan sumber daya materi
Tubuh yang sehat adalah dasar untuk pekerjaan penyelamatan. Perawat darurat
harus meningkatkan latihan kebugaran fisik mereka sendiri, dan selalu bersiap
untuk penyelamatan setiap saat. Kecukupan pasokan cadangan bahan darurat,
termasuk hidup dan obat-obatan juga harus dipertahankan.
2. Variasi metode pelatihan
Berbagai metode pelatihan, seperti pengajaran teori, latihan simulasi, bermain peran,
keterampilan praktik, menonton film, dan diskusi kasus dapat dikombinasikan. Para
ahli dapat diundang untuk memberikan komentar dan rekomendasi. Antusiasme harus
ditanamkan pada perawat. Selain itu, perawat harus dilatih untuk menganalisis
masalah dari sudut pandang yang berbeda dan menguasai pengetahuan untuk praktek
dan meningkatkan keterampilan penyelamatan yang praktis. Para ahli
mempromosikan tekhnik pendekatan penggunaan adegan simulasi. Tekhnik ini tidak
hanya memberikan latihan kemampuan perawat untuk menanggapi kejadian,
penilaian kelincahan,
dan kemampuan pembuangan dalam lapangan, tetapi juga latihan kerjasama tim,
komunikasi dengan tenaga ahli lain. Dalam proses pelatihan ini, setiap perawat dapat
menentukan kelemahan sendiri di pelatihan. Para guru dapat memberikan audio,
video, maupun kasus.
3. Memperkuat penelitian ilmiah keperawatan bencana
Perawat harus didorong untuk aktif melakukan penelitian keperawatan bencana,
meringkas, mempromosikan pengalaman yang relevan dalam keperawatan bencana,
dan memperluas bidang penelitian dalam bencana.
4. Manfaatkan perawat laki-laki
Dalam kasus bantuan bencana, perawat laki-laki memiliki keunggulan yang unik atas
perempuan. Perawat laki-laki lebih unggul dalam aspek fisiologis dan psikologis.
Oleh karena itu, perawat laki-laki lebih cocok untuk pekerjaan bantuan bencana.
5. Lainnya
Dengan meningkatnya kebutuhan untuk bantuan bencana internasional, bahasa
Inggris dasar pelatihan harus dimasukkan dalam rencana pelatihan rutin. Komunikasi
lokal dan internasional dapat meningkatkan kerjasama antar perawat bencana.
Perawat harus belajar dari penelitian domestik dan internasional dan pengalaman
tentang keperawatan bencana untuk meningkatkan kemampuan keperawatan bencana.

KESIMPULAN

Negara Cina sama halnya dengan Indonesia sering mengalami bencana alam dan buatan
manusia. Kemampuan keperawatan bencana gawat darurat perawat dapat langsung
mempengaruhi hasil penyelamatan bencana. Untuk mengatasi rendahnya tingkat kesiapan
perawat darurat untuk bantuan bencana, pendidikan keperawatan bencana yang sistematis dan
pelatihan harus diperkuat. Kemampuan perawat darurat untuk keperawatan bencana juga
harus ditingkatkan untuk mengurangi kerugian masyarakat dan bahaya kesehatan yang
disebabkan oleh bencana.

APLIKASI di INDONESIA

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati Nur Farida tahun 2010 mengenai Gambaran
Kesiapsiagaan Perawat Puskesmas dalam Manajemen Bencana di Puskesmas Kasihan I
Bantul Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa kesiapsiagaan perawat di tingkat kecamatan
khususnya di Puskesmas Kasihan I Bantul masih rendah. Lima tema utama diidentifikasi
sebagai peran perawat dalam kesiapsiagaan bencana diantaranya, 1) Membuat dan
memperbaharui disaster plan, 2) Melakukan pengkajian resiko lingkungan dan berkontribusi
dalam analisis resiko, 3) Melakukan kegiatan pencegahan bencana dengan mengembangkan
system peringatan dini dan menumbuhkan kesadaran masyarakat, 4) Memberikan program
pendidikan masyarakat terkait bencana, dan 5) Memfasilitasi pelatihan dan simulasi sesuai
dengan perencanaan yang dibuat.

Dalam penelitian ini, sebagian besar peran tidak dijalankan sebagaimana mestinya,
dikarenakan belum adanya persiapan dari pihak institusi dalam persiapan bencana. Meskipun
seluruh responden telah dibekali pelatihan penanganan kegawatdaruratan, tidak adanya
perencanaan bencana dalam keluarga akan menjadi faktor penghambat kesiapan perawat
dalam merespon bencana. Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan pada tingkat dasar
dalam upaya pengurangan resiko bencana harus disiapkan dengan disaster plan yang
didukung dengan peran serta perawat dalam manajemen bencana.

KRITISI JURNAL II

“Menjelajahi Potensi dari Sistem Manajemen Risiko Bencana Berbasis Komunitas


(CBDRMS), Pengalaman Filipina”

manajemen risiko bencana berbasis masyarakat adalah proses di mana berisiko


masyarakat secara aktif terlibat dalam identifikasi, analisis, pengobatan, pemantauan dan
evaluasi dari risiko bencana untuk mengurangi kerentanan mereka dan meningkatkan
kapasitas mereka.Ini dilihat bencana sebagai tantangan untuk kerentanan anggota masyarakat
dan bahwa cara untuk mengatasi kerentanan mereka adalah melalui pendekatan berbasis
masyarakat yang mempekerjakan mitigasi bencana berkelanjutan dan warga pendekatan
partisipasi dalam kasus Peterborough, Ontario. perencanaan penggunaan lahan yang sangat
banyak terikat dengan pengurangan risiko bencana. Ini juga telah teriakan proyek PDR-SEA4
dilaksanakan tahun 2001-2007 dengan Filipina, Vietnam dan Indonesia sebagai beberapa
penerima proyek. Proyek PDR-SEA4, berpegang pada kerangka kerja Hyogo, dilakukan titik
yang pengurangan risiko bencana sangat banyak terkait dengan penggunaan lahan dan
pembangunan ekonomi local.

Filipina memiliki pangsa banyak bahaya seperti angin topan atau badai, banjir, badai
gelombang, gempa, tanah longsor dan kebakaran. PBB telah sangat berkampanye untuk
menempatkan manajemen risiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah dan
memperluas ke komunitas yang berisiko untuk mengurangi risiko dan mengurangi
kemiskinan. Di kebanyakan negara berkembang, manajemen risiko bencana berbasis
masyarakat (CBDRM) terdiri dari bencana dan pelatihan kerentanan latihan dan program
yang. Jurnal ini menyajikan upaya untuk sistematisasi CBDRM yang merupakan kepercayaan
dari penelitian ini bahwa teknologi memungkinkan emansipasi di kalangan masyarakat yang
rentan dan berfungsi sebagai bahasa komunikasi yang membawa ketahanan dan kapasitas
mengatasi ke tingkat progresif. Sebuah proyek penelitian keterlibatan universitas-komunitas
yang dirancang untuk membangun kapasitas perencanaan risiko bencana komunitas miskin
perkotaan dan manajemen diri. Proyek penelitian mengambil lebih dari satu tahun dari
pengumpulan data, pemeriksaan yang cermat, analisis dan desain, pengembangan perangkat
lunak, dan pengujian pengguna. Hal ini ditempuh melalui hubungan yang kuat dan komitmen
untuk mendukung BuklodTao, sebuah organisasi non-pemerintah, dan masyarakat, Barangay
Banaba. Proyek ini telah menciptakan seperangkat terintegrasi solusi dan strategi yang terdiri
dari teknologi metode didukung pada profil masyarakat, kerentanan dan penilaian bahaya
banjir dengan menggunakan alat pemetaan, pelaporan banjir, pelatihan dan penilaian dari
anggota masyarakat. Proyek ini juga menyoroti partisipatif dan peringatan dini termotivasi
sosial dan metode pemantauan melalui teknologi mobile. Proyek ini juga telah dibentuk
solusi yang melibatkan masyarakat untuk melakukan manajemen lokal dan memperoleh
kepemilikan sistem dan strategi. Dalam jangka panjang, dengan penggunaan sistem yang
terintegrasi masyarakat akan mampu menciptakan gambaran yang jelas tentang bahaya,
menghitung risiko dan memobilisasi anggotanya lebih baik. Hal ini juga menguraikan nilai
dari keterlibatan universitas-komunitas yang membawa pendekatan yang berkelanjutan yang
saling keuntungan, menghormati dan peka terhadap kebutuhan masyarakat.

Merancang CBDRMS tidak hanya mengotomatisasi proses masyarakat. Pendekatan


komunitas sadar sangat penting. Penciptaan konstruksi sosial dan artefak seperti peta
disesuaikan untuk benar mewakili puroks sebagai sub-unit barangay, penggunaan preferensial
bagian tubuh sebagai acuan intensitas banjir atau penggunaan twitter dan SMS dalam
konvensi lokal telah menjadi sangat efektif. Peta Banaba dibagi menjadi puroks yang
diposting keakraban dengan warga meningkatkan keinginan untuk menggunakan Pandora.
Pelaporan banjir melalui SMS menyatu di Pandora meningkatkan kecakapan mereka dalam
pelaporan mobile. Mereka menemukan desain pelatihan dan penilaian dalam bahasa lokal
nyaman digunakan dan mudah dimengerti. pemimpin Purok diprakarsai mengambil alih
demografi masyarakat di daerah masing-masing. Tujuan dari proyek ini dicapai, untuk
melakukan sistematisasi CBDRM tetapi pada saat yang sama, memanusiakan praktek
menggunakan Pandora CBDRMS. Pada akhirnya, mereka tahu itu adalah CBDRMS mereka.
Dialog rutin dengan tokoh masyarakat tentang isu-isu bencana dan kerentanan mereka
memberikan cara untuk pemahaman yang lebih dalam dan menghormati masyarakat. Sebuah
CBDRMS seperti Pandora, dari konsepsi pengiriman, telah membuat identitasnya dalam
masyarakat Buklod Tao. anggota Buklod Tao telah terlibat dalam proses desain. wawasan
dan kontribusi mereka didengar. Ini adalah cara untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
melalui teknologi, menentukan kebutuhan, sumber daya dan strategi dari masyarakat. Beri
mereka alat armor yang akan memberi mereka kepercayaan diri untuk mengetahui kekuatan
dan kelemahan mereka (melalui profil masyarakat dan penilaian kerentanan), memenuhi
kebutuhan mereka dan meningkatkan pengetahuan mereka (melalui pelatihan), menjadi
warga negara informasi-bersenjata dan memainkan peran sensor banjir manusia (melalui
bahaya dan pelaporan banjir). ICT adalah "kekuatan dominan dan bersemangat yang
mengarah ke difusi dan aplikasi dalam pembangunan bangsa. Terbukti, cara menyadari
menggunakan teknologi memberikan cara untuk kreatif, teliti, CBDRMS hormat kongruen
dengan kepentingan masyarakat.
ASUHAN KEPERAWATAN

Contoh kasus:
Di suatu daerah perkotaan Artajasa terdapat 50 rumah dengan jumlah 50 KK dan 150
warga. Usia warga sebagai berikut : 5-12 tahun 45 orang, 13-22 tahun 25 orang, 23-30 tahun
30 orang, 31-55 tahun 50 orang .Dimana jarak antara rumah yang satu dengan yang lain
saling menempel dengan kriteria lingkungan seperti berikut : ada sebuah sungai melintasi
perumahan, 35 rumah tidak mempunyai tempat sampah dan membuangnya di sungai, sampah
menumpuk disungai, aliran sungai tersumbat, 15 rumah memiliki tempat sampah kemudian
setelah sampah terkumpul dibakar, ada sebuah pabrik yang berjarak sekitar 1 km dari
pemukiman warga, limbah pabrik mengalir ke sungai, sungai digunakan juga untuk mencuci
baju dan membuang kotoran, penyakit yang diderita adalah diare, batuk pilek dan demam
berdarah yang kebanyakan menyerang pada anak- anak.
Dikota ini rawan sekali terjadi banjir apalagi pada saat ini adalah musim penghujan.
Ketika hujan lebat turun, sungai meluap, sampah tergenang dimana-dimana, air tidak dapat
meresap ke tanah. 80 warga tidak mengerti tentang dampak yang ditimbulkan dari membuang
sampah di sungai, 40 warga cukup mengerti tentang dampak yang ditimbulkan dari
membuang sampah di sungai, 30 warga mengetahui tentang cara membuang sampah yang
benar.
Masyarakat mayoritas bekerja sebagai pedagang dengan rata-rata penghasilan < 500
rb/bulan. Komunikasi antar warga berjalan cukup baik karena jarak rumah satu dengan yang
lain saling menempel. Warga artajasa mayoritas beragam Islam, pendidikan mayoritas SMP,
sarana informasi yang digunakan adalah televisi dan radio.
Fasilitas kesehatan yang ada di Desa artajasa adalah 1 bidan praktek swasta, 1 puskesmas,
1 dokter praktek umum akan tetapi jarak antara pemukiman warga dengan fasilitas pelayanan
kesehatan cukup jauh sekitar 1,5 km dan jika sakit 85 warga mengkonsumsi obat-obatan
bebas yang dijual ditoko , 65 warga mengkonsumsi jamu tradisional, bila dirasa sakitnya
menjadi lebih parah mereka baru pergi ke puskesmas dan bidan.
A. Pengkajian
Umur : 5-12 tahun 45 orang, 13-22 tahun 25 orang, 23-30 tahun 30 orang 31-55 tahun 50
orang.
a. Lingkungan fisik
Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain saling menempel dengan kriteria
lingkungan seperti berikut : ada sebuah sungai melintasi perumahan, 35 rumah tidak
mempunyai tempat sampah dan membuangnya di sungai, sampah menumpuk
disungai, aliran sungai tersumbat, 15 rumah memiliki tempat sampah kemudian
setelah sampah terkumpul dibakar, ada sebuah pabrik yang berjarak sekitar 1 km dari
pemukiman warga, limbah pabrik mengalir ke sungai, sungai digunakan juga untuk
mencuci baju dan membuang kotoran,
b. Kesehatan dan pelayanan social
Fasilitas kesehatan yang ada yaitu 1 bidan praktek swasta, 1 puskesmas, 1 praktek
dokter umum. Warga mayoroitas menderita penyakit diare ketika musim penghujan
datang dan kebanyakan menyerang pada anak-anak.
c. Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi mayoritas warga artajasa di bawah UMR (<500rb/ bln)
d. Transportasi dan keamanan
Tidak terkaji
e. Politik dan pemerintah
Tidak terkaji
f. Komunikasi
Sarana komunikasi yang digunakan untuk mengetahui informasi tentang hal tersebut
adalah televisi dan radio.
g. Pendidikan
Mayoritas berpendidikan SMP
B. Analisa data
NO DATA SUBYEKTIF ETIOLOGI MASALAH

1 DS: Tidak ada sosialisasi Resiko terjadi


 Warga mengatakan informasi peningkatan penyakit
sampah di buang di akibat lingkungan
sungai. Kurang pengetahuan yang kurang sehat
 Warga mengatakan air mengenai pengolahan (diare, batuk pilek,
limbah pabrik mengalir sampah demam berdarah )
di sungai. pada masyarakat b.d
DO: Perilaku buang sampah kurangnya
1. Tempat pembuangan yang tidak tepat pengetahuan
sampah masyarakat dalam
 Di bakar (30 %) Lingkungan kurang sehat menciptakan dan
 Di sungai (70%) memelihara
2. Tempat pembuangan Resiko terjadi peningkatan lingkungan yang
limbah pabrik penyakit sehat.
 Sungai (100%)
3. Keadaan aliran sungai
tersumbat (100 %)
4. Musim hu jan
5. Penyakit yang diderita
 Diare (50%)
 Batuk Pilek
(30%)
 Demam
Berdarah (20%)

2 DS: Tidak ada sosialisasi Resiko penurunan


 Warga mengatakan ada informasi status kesehatan
fasilitas kesehatan. berhubungan dengan
 Warga mengatakan Kurang pengetahuan kurang pengetahuan
hanya mengkonsumsi mengenai kesehatan dalam memanfaatkan
obat-obatan bebas yang fasilitas pelayanan
dijual di toko apabila Perilaku over counter dan kesehatan.
sakit. self medication
DO:
1. Fasilitas pelayanan Resiko penurunan status
kesehatan kesehatan
 1 bidan praktek
swasta
 1 dokter praktek
umum
 1 puskesmas
2. Kebiasaan bila sakit
 Konsumsi obat bebas
(45%)
 Konsumsi jamu
(55%)
Jarak pemukiman dengan
sarana pelayanan kesehatan
1,5 km

C. Diagnosa
1. Resiko terjadi peningkatan penyakit akibat lingkungan yang kurang sehat (diare,
batuk pilek, demam berdarah ) pada masyarakat b.d kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam menciptakan dan memelihara lingkungan yang sehat.
2. Resiko penurunan status kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan dalam
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
D. Rencana Keperawatan
1. Resiko terjadi peningkatan penyakit akibat lingkungan yang kurang sehat (diare,
batuk pilek, demam berdarah ) pada masyarakat b.d kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam menciptakan dan memelihara lingkungan yang sehat.
NOC: Risk Control
1) Memonitor faktor risiko lingkungan
2) Monitor faktor risiko tingkah laku
3) mengembangkan faktor risiko yang efektif
4) berkomitmen untuk risiko strategi pengendalian
5) menggunakan sumber daya masyarakat untuk mengurangi risiko
Intervensi:
1) Penyuluhan dan pendidikan tentang kesehatan lingkungan dampak yang
ditimbulkan dari lingkungan yang tidak sehat.
2) Pembinaan kepada seluruh masyarakat untuk tidak membuang sampah
sembarangan.
3) Perencanaan kerja bakti seluruh anggota masyarakat.
4) Kerjasama dengan perangkat desa setempat untuk mengadakan tempat sampah
pada tiap-tiap rumah.
5) Pembentukan petugas pengangkut sampah pada tiap-tiap rumah.

2. Resiko penurunan status kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan dalam


memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
NOC:
1) tanda-tanda dan gejala infeksi
2) Monitor prosedur untuk infeksi
3) pentingnya sanitasi tangan
4) kelompok pendukung yang tersedia
5) sumber daya yang tersedia komunitas
6) ketika untuk mendapatkan bantuan dari seorang profesional kesehatan
Intervensi:
1) Berikan informasi tentang manfaat keberadaan pelayanan kesehatan.
2) Kerjasama dengan petugas kesehatan yang ada untuk mengadakan penyuluhan
tentang penyakit yang sedang terjadi, cara pencegahan dan penularannya.
3) Anjurkan warga untuk melakukan pemeriksaan sejak dini pada penyakit yang
sedang terjadi
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. CBDRM memiliki kelebihan dibanding penanggulangan bencana mengandalkan


peran aktif BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) antara lain peran serta
aktif masyarakat dalam pengelolaan bencana dengan cara mereduksi risiko bencana/
kerentanan dan meningkatkan kapasitas individu/keluarga/komunitas dalam
menghadapi dampak bencana .
2. Peran perawat komunitas sangat penting dalam meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam penanggulangan bencana karena perawat komunitas dengan ilmu
dan keterampilan keperawatan yang dimiliki dan kemampuan pengelolaan masyarakat
dalam peningkatan status kesehatannya
3. CBDRM dapat diaplikasikan dan sangat signifikan dalam mereduksi resiko bencana
oleh masyarakat

4.2 Saran
1. Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah yang rawan
bencana sehingga perlu disosialisasikan sistem CBDRM secara menyeluruh
2. CBDRM perlu dijadikan sebagai program didaerah – daerah yang
rawan bencana
3. Diperlukan monitoring untuk keberlanjutan program dan indikator
yang jelas dalam pelaksanaan CBDRM
DAFTAR PUSTAKA

 ADPC (2003). Risk Disaster Management. Diambil dari dalam www.ntt-academia.org.


Diakses tanggal 8 April 2008.
 Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2012). Banjir. Diakses dari
http://www.bnpb.go.id/
 Brunner & Suddarth’s. (2000). Medical Surgical Nursing : textbook of medical surgical
nursing. 10th edition. JB. Lippincott : Philadelphia.
 Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat UI. (2003). Kajian Kebijakan Penanggulangan
Banjir:Partisipasi Masyarakat. http://www. air.bappenas.go.id/
 Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam. (2011). Petunjuk Teknis Kampung
Siaga Bencana (KSB). http://www.depsos.go.id/
 IDEP. 2007. Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat.
http://www.idepfoundation.org/pbbm
 Kandasamy, M. (2007) Community Health Nurse in Disaster Management. Diambil dari
www.proquest.pqdauto. Diakses tanggal 8 April 2008.
 Kusumaratna, rina. 2003. Profil Penanganan Kesehatan Selama dan Sesudah Banjir di
Jakarta. J Kedokteran Trisakti, 22(3), 92-95
 Maarif, syamsul. 2010. Bencana dan Penanggulangannya Tinjauan dari Aspek Sosiologis.
Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, 1(4), 4
 www.centroone.com. 2011. Indonesia ‘dihajar’ 1.598 Bencana
 UU No 24 Tahun 2007 diakses dari http://www.pacificdisastermanagement.kemlu.go.id

Anda mungkin juga menyukai