Disusun Oleh:
MARYANTI 135070218113017
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam penanganan bencana perlu ada suatu organisasi atau sistem komando kejadian
bencana yang dibentuk oleh negara untuk menyusun panduan penanganan bencana dan
melakukan koordinasi terhadap personil, fasilitas, sistem komunikasi dan transportasi dalam
penanganan bencana. Organisasi ini sebelum menyusun Panduan Penanganan Bencana
(Emergency Operations Plan/EOP) terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap
lingkungan dan komunitas untuk mengetahui daerah yang beresiko tinggi terkena bencana,
tipe bencana yang mungkin terjadi baik bencana alam seperti banjir, sunami, gunung meletus,
maupun bencana akibat perbuatan manusia misalnya kebakaran, kecelakaan dan lain lain.
Pengkajian juga dilakukan terhadap fasilitas penanganan bencana di tempat kejadian seperti
tenaga/personil bantuan, transportasi, farmakologi, alat dan bahan pertolongan kegawat
daruratan (lokal facility), organisasi penangan bencana lokal (Safety committee), kantor atau
posko penanganan bencana (Safety Officer or emergency department). Setelah dilakukan
pengkajian secara lengkap kemudian disusun Panduan Penanganan Bencana baik panduan
antisipasi atau pencegahan bencana (Preparedness), panduan penanganan saat bencana
(during disaster) serta panduan penanganan setelah bencana (Postdisaster).
Informasi secara cepat dan mudah. Fasilitas penanganan bencana (health care facility)
harus dapat diakses dengan cepat dan mudah kapanpun dan dimanapun bencana terjadi
misalnya perlu ada jalur telepon emergency yang gratis, cepat dan mudah ke kantor atau
fasilitas penanganan bencana.
Jalur komunikasi secara internal dan eksternal. Jalur komunikasi untuk koordinasi
personil, fasilitas dan transportasi dalam penanggulangan bencana harus jelas dan siaga
termasuk informasi dari tempat kejadian bencana ke posko atau rumah sakit rujukan
korban bencana.
Perencanaan terhadap penanganan korban bencana (coordinated patient care), termasuk
didalamnya triage korbaan bencana, sistem rujukan dan transportasi ke posko atau rumah
sakit rujukan korban bencana.
Perencanaan keamanan terhadap korban, fasilitas dan personil terhadap kondisi yang
sangat parah dan mengancam
Identifikasi sumber atau fasilitas penanganan bencana baik lokal, regional dan negara
serta bagaimana menghubunginya
Pedoman penanganan korban bencana, masyarakat, media dan strategi pembagian tugas
dalam tim
Strategi managemen data korban dan kejadian bencana
Penanganan respon pasca bencana
Pedoman penyelamatan diri bagi masyarakat dan melakukan latihan sebelum bencana
terjadi
Antisipasi kebutuhan masyarakat setelah bencana seperti air bersih dan makanan untuk
jangka waktu yang lama
Perkiraan insiden kejadian bencana serta strategi identifikasi bencana seperti alarm
bencana
Personil dalam penanganan bencana harus memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang baik dan ahli terhadap setiap kondisi bencana sehingga memiliki kesiapan dan
kesigapan dalam melakukan tindakan sesuai tugas dan perannya masing masing berdasarkan
pedoman penanganan bencana yang telah ada.
Pedoman Penanganan bencana juga termasuk struktur atau alur penanganan bencana
beserta tugas dan peran masing masing mulai dari penanganan di daerah bencana sampai
transportasi dan persiapan posko atau rumah sakit rujukan korban bencana.
Petugas penanganan bencana juga harus memiliki pengetahuan tentang bahasa, latar
belakang budaya dan aspek spiritual yang ada pada berbagai komunitas. Hal ini dilatar
bekangi oleh karena kesulitan bahasa dapat meningkatkan ketakutan dan frustasi para korban,
terdapat kepercayaan dan praktek spiritual yang berbeda terhadap terapi pengobatan, hygiene
atau diet, waktu dan tempat khusus untuk berdoa, ritual khusus menangani korban yang
meninggal dan lain lain.
Pengkajian terhadap faktor resiko bencana terdiri dari pengkajian terhadap lingkungan
atau keterpaparan terhadap ancaman (hazard), analisis kerentanan dan kelompok yang rentan
di masyarakat serta analisis sumber atau kapasitas yang dapat digunakan dalam menghadapi
bencana.
Selain melakukan tindakan pencegahan dan mitigasi, perlu juga dipersiapkan alat
peringatan dini dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Peringatan dini adalah
serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Kegiatan
peringatan dini dapat berupa pemantauan yang terus menerus terhadap faktor resiko bencana
disertai tanda alarm peringatan akan terjadinya bencana. Peringatan dini ini akan memberikan
tanda kepada masyarakat agar siap siaga untuk menyelamatkan diri dan keluarga, serta
sebagai tanda kepada para petugas penanggulangan bencana untuk mempersiapkan diri dalam
membantu masyarakat dalam menghadapi bencana.
Pemantuan secara terus menerus terhadap faktor resiko bencana adalah dengan
menggunakan tekhnologi untuk mendeteksi dan memprediksi resiko timbulnya dan terjadinya
bencana seperti tsunami dan gunung meletus. Informasi atau peringatan tentang resiko
terjadinya bencana berupa alarm bencana disebarkan kepada masyarakat melalui media
televisi dan radio. Tekhnologi terbaru adalah dengan memberikan informasi tentang resiko
bencana atau alarm bahaya melalui handphone (HP) sehingga individu yang tidak bisa atau
tidak sempat menonton televisi tetap mendapatkan informasi sehingga dapat mempersiapkan
diri terhadap kemungkinan terjadinya bencana.
Triage adalah proses penentuan atau penyeleksian pasien atau korban berdasarkan
prioritas kebutuhan terhadap perawatan dan pengobatan. Dalam penanganan bencana dengan
korban yang banyak maka perlu dilakukan penyeleksian pasien untuk menentukan korban
yang perlu penanganan prioritas atau segera dan korban yang bisa ditunda penanganannya.
Meskipun tindakan ini dapat dinilai tidak ethis karena cenderung mengabaikan pasien atau
korban lain yang juga membutuhkan pertolongan namun tindakan triage perlu dilakukan
untuk memprioritaskan penanganan emergency kepada korban dengan kondisi yang lebih
serius/parah dan perlu penanganan segera.
Petugas triage melakukan pemeriksaan atau pengkajian terhadap korban secara cepat
dan memberikan penanganan emergency atau resusitasi sebelum diberikan penanganan
tindakan penyelamatan lanjutan atau dibawa ke posko atau rumah sakit rujukan penanganan
bencana. Seorang petugas triage memberikan tanda kepada pasien berdasarkan derajat
keseriusan kondisi dan prioritas kebutuhan terhadap tindakan emergency sehingga petugas
yang lain dapat langsung memberikan bantuan atau langsung membawa pasien ke lokasi
penanganan lanjutan. Perlu disiapkan alat alat dan pengobatan terhadap kondisi emergency
dan transportasi terhadap pasien ke posko perawatan atau rumah sakit rujukan bencana.
Kategori tanda triage yang diberikan adalah berdasarkan derajat keparahan dari cedera
yang dialami oleh korban. Terdapat berbagai tanda triage yang dapat digunakan di beberapa
negara dan perawat bencana harus memahami sistem yang ada di masyarakat atau negara
tersebut. Salah satu contoh sistem triage oleh North Atlantic Treaty Organization (NATO)
adalah dengan menggunakan kode warna yang terdiri dari warna merah, kuning, hijau dan
hitam. Masing masing warna memiliki perbedaan tingkatan prioritas yang secara jelas
diuraikan sebagai berikut :
Faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap bencana yang dialami adalah
derajat atau tingkat keterpaparan terhadap bencana, kehilangan teman atau orang yang
dicintai, kehilangan rumah dan harta kepemilikan yang lain, tidak adekuatnya koping
strategis, hilang atau kurang sumber dukungan atau support, serta pandangan atau
penerimaan individu terhadap bencana yang dialami. Kondisi keterpaparan terhadap korban
kematian, cedera, dan kekuatan bencana, respon histeris saat bencana, aktivitas petugas
penananganan bencana dalam membantu korban dapat menjadi keadaan yang menimbulkan
gangguan emosional pada individu.
1. Pengertian
Dasar dari Penanggulangan bencana berbasis masyarakat adalah reduksi resiko bencana.
Masyarakat berperan serta dalam kegiatan pengelolaan bencana yang meliputi kegiatan
tanggap darurat dasar yang dapat dilakukan oleh masyarakat, dan kegiatan – kegiatan yang
dapat mengurangi resiko bencana (Yodmani, S. 2006). Adapun definisi dari Community
based disaster risk management (CBDRM) adalah pemberdayaan komunitas agar dapat
mengelola bencana dengan tingkat keterlibatan pihak/kelompok masyarakat dalam
perencanaan dan pemanfaatan sumber daya lokal dalam kegiatan implementasi oleh
masyarakat sendiri (ADPC 2003 dalam www.ntt-academia.org).
Tujuan dari CBDRM adalah membantu masyarakat untuk membuat prioritas resiko
bencana yang ada di daerahnya, membuat perencanaan program reduksi bencana yang
adekuat, membuat perencanaan program yang membutuhkan daya yang efisien dan
berkelanjutan, mengidentifikasi sumber daya eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk
pelaksanaan program dan membuat indikator untuk menilai keberhasilan program (Yodmani,
S. 2006).
a. Faktor eksternal
Tahap 1 : Involvement
Community profilling merupakan gambaran perkembangan posisi dan isi dimana bencana
akan terjadi, hal yang diidentifikasi adalah : Kelompok sosial yang ada dimasyarakat,
Kebudayaan, Kegiatan ekonomi, dan Karakteristik masyarakat
a. Pengkajian bahaya
b. Pengkajian kerentanan
c. Pengkajian sumber daya
Hal ini dapat dijadikan dasar untuk mengetahui besarnya masalah dan kesempatan untuk
melakukan penanggulangan.
Meliputi :
Komponen – komponen yang harus dikaji dalam melakukan CBDRM adalah (ADPC 2003
dalam www.ntt-academia.org) :
Identifikasi persepsi masyarakat terhadap resiko bencana yang ada didaerahnya sehingga
dapat mengidentifikasi penilaian masyarakat terhadap bencana yang akan terjadi
pemicu
tanda-tanda ilmiah maupun tradisional
jarak antara peringatan dan kejadian
lamanya kejadian
kekerapan
waktu/pola waktu
ancaman ikutan yang timbul
kemungkinan jangkauan dampak
C . Pengkajian kerentanan
1. Pemetaan kerentanan
Suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari
manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu
tertentu.
Proses ini lebih pada mengidentifikasi kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang rawan
terhadap dampak suatu ancaman.
Suatu proses partisipasi untuk mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap
ancaman, dan untuk menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut.
Penilaian kerentanan adalah proses perkiraan kerentanan pada ancaman-ancaman
yang potensial dengan cara (1.) Mengidentifikasi unsur-unsur risiko pada setiap type
ancaman (2). Menganalisa akar masalah adanya unsur-unsur risiko tersebut.
2. Pengkajian kerentanan meliputi :
a. Kerentanan Fisik/Material meliputi :
Kepemilikkan aset yang tidak mencukupi untuk bertahan dari kemungkinan
yang merugikan; kurangnya alternatif ekonomi,
Tidak cukupnya keanekaragaman alam yang menyebabkan suatu ekosistem
tidak mampu bertahan/pulih dari suatu ancaman,
Masyarakat yang tinggal di daerah rawan ancaman (di tempat rawan banjir,
rawan gempa, dll),
Sarana dan prasarana (rumah, jalan, jembatan, saluran irigasi, dll) yang
menyebabkan mereka tidak mampu untuk menghadapi dan bertahan dari
suatu ancaman.
Lokasi rumah-rumah masyarakat pada daerah yang rawan, lahan pertanian,
infrastruktur dan pelayanan dasar
Model dan konstruksi bahan-bahan rumah dan bangunan
Sumber penghidupan yang tidak aman dan berbahaya
Kurangnya akses dan kontrol terhadap prasyarat 2X produksi (tanah, input
pertanian, hewan dan modal)
Ketergantungan pada lintah darat (kontroversi)
Peristiwa kekurangan pangan yang gawat atau kronis
Latar belakang pendidikan dan ketrampilan yang tidak memadai
Tingkat kematian yang tinggi, malnutrisi, peristiwa penyakit, kemampuan
perawatan yang tidak memadai
Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan
Kekurangan pelayanan mendasar : pendidikan, kesehatan, air bersih,
perumahan, sanitasi, jalan, listrik, komunikasi.
Kekerasan yang terselubung (rumah tangga, konflik masyarakat atau perang)
b. Kerentanan Perilaku/motivasi
Sikap negatif/reaktif terhadap perubahan
Ketidakpedulian, fatalisme, tidak punya harapan, bergantung pada orang lain
Tergantung pada bantuan dari pihak luar/mental bantuan, sikap yang negatif
terhadap perubahan
Ketidakpedulian, fatalisme, tidak punya harapan, bergantung pada orang lain
Kurangnya inisiatif, tidak memiliki semangat jiwa
Kurang bersatu, kerja sama dan solidaritas
Tidak menyadari ancaman dan konsekuensinya
c. Kerentanan Sosial/Kelembagaan
Kurangnya informasi yang menyangkut bencana
Kurangnya pelayanan publik, perencanaan, kesiapan dan respon terhadap
keadaan darurat
Minimnya peran & ketiadaan informasi tentang keberadaan organisasi-
organisasi kemasyarakatan, mekanisme dukungan sosial
Masalah gender, diskriminasi ras, etnik, agama
Struktur kekeluargaan/persaudaraan yang lemah
Terisolasi secara sosial
Kurangnya kepemimpinan, leadership, struktur organisasi untuk
memecahkan masalah atau konflik
Pengambilan keputusan yang tidak efektif, masyarakat/kelompok-kelompok
dihapuskan
Kondisi partisipasi masyarakat yang tidak merata
Kekurangan atau lemahnya organisasi-organisasi masyarakat (formal,
pemerintahan dan lokal/penduduk asli)
Desas-desus, pembagian, konflik, etnis, kelas, kepercayaan, kasta, ideologi
Praktek-praktek yang tidak adil, kurangnya akses pada proses politik
3. Pengkajian sumber daya
Dikelompokkannya ke dalam 5 kelompok aset yang sering disebut sebagai Pentagon
Aset atau Pentagon Capital yaitu:
Peran perawat kesehatan komunitas pada saat bencana terjadi tergantung dari
pengalaman dalam penanggulangan bencana, peran perawat dalam institusi dan persiapan
komunitas (preparedness), pelatihan atau training yang pernah diikuti dan ketertarikan
dalam penanggulangan bencana. Peran perawat pada saat bencana adalah
a. Bertanggung jawab memberikan informasi yang akurat kepada badan atau organisasi
penanganan bencana yang ada agar dapat memfasilitasi tindakan penyelamatan
segera.
b. Melakukan evakuasi dan triage terhadap korban bencana berdasarkan tingkat
keparahan cedera yang dialami korban.
c. Memberikan pertolongan dan perawatan emergency pada korban bencana sesuai
triage yang dilakukan
d. Terus menerus membuat laporan perkembangan kejadian bencana
Peran perawat kesehatan komunitas pada tahap setelah bencana (recovery) adalah :
a. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan korban bencana seperti air bersih, makanan,
minuman dan lain lain
b. Membantu kesehatan mental korban yang mengalami trauma dan merujuk kepada
terapis mental untuk penanganan lebih lanjut.
c. Memperhatikan bahaya lingkungan yang dapat terjadi setelah bencana
d. Melakukan home visit untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan korban bencana
akan rumah sehat, air bersih dan listrik.
e. Memperhatikan kemungkinan adanya binatang yang hidup atau mati yang dapat
membahayakan kesehatan korban bencana
f. Case finding dan memberikan asuhan keperawatan pada korban bencana berdasarkan
masalah yang ditemukan
g. Membantu korban agar dapat beraktivitas secara normal sesuai perannya
dimasyarakat.
Peran perawat kesehatan komunitas juga sangat penting dalam CBDRM yaitu
meningkatkan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan bencana. Perawat
komunitas dengan ilmu dan keterampilan keperawatan yang dimiliki dan kemampuan
pengelolaan masyarakat dalam peningkatan status kesehatannya dapat berperan sebagai
pendidik dan motivator bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam penanggulangan
bencana
Di Indonesia banjir merupakan bencana yang selalu terjadi setiap tahun terutama pada
musim hujan, sehingga ketika musim hujan telah datang walaupun belum merata dan
berlangsung hanya beberapa saat, sebagian masyarakat Indonesia sudah mengalami
kepanikan, khususnya masyarakat yang berada didaerah rawan banjir. Selain itu, kedalaman
air pada bencana banjir juga membuat kondisi seseorang sangat rentan karena mempengaruhi
kondisi fisik maupun mental seseorang. Kelelahan, stres dan kondisi yang tidak sehat
menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit. Kerugian yang ditimbulkan tidak saja
materi tetapi juga jiwa manusia. Ketika banjir telah datang akan timbul berbagai macam
masalah salah satunya adalah timbul banyak pengungsi yang menempati barak-barak dan
tempat penampungan darurat (Kusumaratna, 2003).
Sebagian besar keadaan lingkungan ditempat pengungsian juga bermasalah yaitu
sangat tidak memadai, terlalu padat, ventilasi udara minim, fasilitas yang ada kurang, dan
keterbatasan sumber air minum bersih. Tidak hanya masalah tempat pengungsian saja,
masalah banjir juga berdampak pada kesehatan. Di salah satu puskesmas kecamatan di
Jakarta, kota yang sering menjadi langganan banjir, ditemukan penyakit yang banyak diderita
para korban banjir adalah 47% penyakit ISPA, 23% penyakit kulit dan 12% penyakit diare
dan saluran cerna. Penyakit yang diderita balita terbanyak adalah ISPA dan diare, sedangkan
lanjut usia adalah ISPA dan kulit. Sedangkan tenaga kesehatan di posko kesehatan banjir
adalah dokter, dokter muda dan paramedis (Kusumaratna, 2003). Oleh karena itu, untuk
mencegah semua permasalahan tersebut sangat penting di tiap-tiap daerah yang rawan banjir
dilakukan manajemen banjir dimana tidak hanya dilakukan saat terjadi bencana tetapi
sebelum terjadinya banjir.
Terjadinya serangkaian bencana banjir dalam kurun waktu yang relatif pendek dan
selalu terulang setiap tahunnya menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya
sehingga kerugian yang ditimbulkannya dapat diminimalkan. Kebijakan sektoral, sentralistik,
dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
global yang menuntut adanya desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi stakeholder terutama
masyarakat yang terkena dampak bencana (Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat UI,
2003). Selain itu, penanggulangan banjir di Indonesia mencakup kegiatan yang sangat
kompleks dan bersifat lintas sektor. Oleh karena itu agar penanggulangan banjir lebih
integratif dan efektif maka diperlukan tidak hanya koordinasi ditingkat pelaksanaan tetapi
juga tingkat di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan
stakeholder (Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat UI, 2003).
Selama ini jika diamati penanganan bencana di Indonesia terfokus pada respon
darurat saja. Gerakan bantuan yang dikoordinasi masyarakat awam terfokus pada
penggalangan bantuan untuk kondisi darurat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penanggulangan bencana di Indonesia selalu menggunakan pendekatan yang bersifat
responsif, yakni baru melakukan upaya penanganan pada saat dan setelah terjadi bencana itu
terjadi. Namun, saat ini telah terjadi pergeseran paradigma penanggulangan bencana tersebut
dari yang bersifat responsif menjadi preventif, yakni melakukan upaya-upaya yang
mengutamakan pengurangan resiko bencana, melalui upaya-upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana (Maarif, 2010). Oleh karena itu, penanggulangan
bencana tidak hanya bersifat reaktif (baru melakukan setelah terjadi bencana), tetapi
penanggulangan bencana juga bersifat antisipatif dengan melakukan pengkajian dan tindakan
pencegahan untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana. Untuk penanganan
bencana juga meliputi pra bencana, pada saat terjadi bencana, dan pasca bencana. Selain itu,
manajemen bencana juga bukan hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah saja,
melainkan juga perlu melibatkan peran masyarakat luas. Maka inilah yang dinamakan
penanganan bencana berbasis masyarakat.
Menurut Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, 2011,
penanggulangan bencana berbasis masyarakat merupakan upaya terorganisir atas kegiatan
masyarakat dalam penanggulangan bencana yang dimulai dari sebelum, pada saat dan
sesudah bencana dengan cara mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal baik berbentuk
sumber daya manusia yang terlatih (skilled), alam dan sarana dan prasarana yang ada pada
masyarakat tersebut dengan tujuan mengurangi risiko/dampak yang mungkin timbul akibat
peristiwa bencana.
Kampung Siaga Bencana (KSB) adalah suatu model penanggulangan bencana
berbasis masyarakat yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial bersama dengan masyarakat
untuk mewadahi kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh masyarakat,
dibentuk di daerah rawan bencana dengan cara melibatkan seluruh elemen yang ada pada
masyarakat, dimana prinsip utama pelaksanaan KSB adalah mengutamakan kemandirian
masyarakat. Pada dasarnya kegiatan Kampung Siaga Bencana menekankan pentingnya
kesiapsiagaan menghadapi bencana. Artinya kesiapsiagaan masyarakat menjadi pokok
kegiatan KSB. Karena dengan kesiapsiagaan masyarakat dapat merencanakan suatu tindakan
untuk mengurangi akibat suatu bencana. Namun demikian bencana memiliki sifat tidak
terduga (unpredictable) sehingga kesiapsiagaan saja belum cukup. Tim Kampung Siaga
Bencana penting untuk mempersiapkan kegiatan baik sebelum bencana, pada saat dan pasca
bencana, sebagai bagian tak terpisahkan antar tahap satu dengan tahap lainnya (Direktorat
Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, 2011).
Kampung Siaga Bencana merupakan program nasional yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Dalam KSB ini masyarakat yang berada di daerah rawan bencana diberdayakan
dengan cara meningkatkan kapasitas mereka dan sekaligus menginisiasi adanya suatu
prasarana penanggulangan bencana tingkat komunitas seperti Lumbung Sosial
Penanggulangan Bencana, Gardu Sosial yang didalamnya dilengkapi cara-cara lokal
(setempat) dalam menanggulangi bencana serta identifikasi potensi dan sumberdaya lokal
untuk penanggulangan bencana (Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam,
2011).
Berikut ini adalah analisis kesenjangan antara CBDRM dengan kondisi yang ada di
lapangan dengan menggunakan analisis SWOT:
STRENGTH/KEKUATAN :
1. CBDRM bersifat fleksibel dan dapat diaplikasikan pada semua wilayah dengan
karateristik warga yang berbeda
2. Terdapatnya kerjasama lintas sektoral yang sangat luas dalam aplikasi CBDRM
TREATH/ANCAMAN
LATAR BELAKANG
Bencana yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan pada berbagai hal seperti fasilitas umum,
kerugian ekonomi yang serius, korban, kesehatan, dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Korban massal dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana dapat mengancam sistem
perawatan kesehatan dan menguji kemampuan kompetensi para dokter dan perawat. Para
perawat darurat merupakan bagian terpenting dari tim penyelamat bencana dan berjuang di
garis depan. Persiapan dalam bencana yang tepat dapat secara efektif dalam penanganan
bencana.
Tingkat kesiapan perawat darurat dalam bencana secara langsung dapat menentukan
keberhasilan bencana terkait keperawatan. Hal ini berpengaruh cukup besar terhadap respon
dalam bencana dan pemulihan cederabagi korban setelah musibah tersebut. Akan tetapi,
survei menunjukkan bahwa sebagian besar perawat tidak kompeten dalam keperawatan
terkait bencana.
Pelatihan pendidikan keperawatan terkait pencegahan dan mitigasi dalam bencana sangat
penting. Akan tetapi, pendidikan keperawatan terkait bencana dan perawat klinis di Cina
belum menerima pelatihan keperawatan terkait bencana yang sistematis dan berkualitas.
Perawat darurat di Rumah Sakit telah berhasil dalam melakukan penyelamatan, namun dalam
respon terhadap bencana ini mengungkapkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan
dalam penyelamatan pada beberapa perawat. Oleh karena itu, perawat darurat bencana harus
dilatih melalui berbagai bentuk pendidikan dan profesional, serta standar ilmiah harus
didirikan.
TUJUAN
METODOLOGI
Dapat terlihat dalam pembahasan penelitian dalam jurnal bahwa metodologi yang figunakan
adala literatur review. Lokasi penelitian ini berada di Cina.
ANALISA PEMBAHASAN
1. Status dan peran para perawat kegawatan dalam bencana
Pada tahun 2008 sejak berdirinya pusat gawat darurat di rumah sakit, secara terus-
menerus infrastruktur ditingkatkan baik dalam teknologi canggih dan peralatan, serta
disiplin profesional. Perawat gawat darurat berfungsi sebagai barisan terdepan dalam
penyelamatan bencana, klasifikasi cedera, transportasi, keselamatan keperawatan,
keperawatan psikologis, dan pendidikan kesehatan. Perawat juga berpartisipasi dalam
kesehatan dan bencana alam baik lokal maupun luar negeri.
2. Situasi saat sekarang dari respon bencana pada departemen keperawatan gawat
darurat
Saat ini perawat bencana pada departemen gawat darurat menunjukkan bahwa
terdapat rendah, kurangnya pengetahuan tentang keperawatan bencana, kurang
komprehensif dan sistematis pendidikan keperawatan bencana, serta tidak cukupnya
pendidikan; pelatihan dan penelitian mengenai keperawatan bencana.
Analisis faktor yang berpegaruh dalam kemampuan perawat bencana dalam departemen
keperawatan gawat darurat
1. Tingkat pendidikan
Keefektifan respon bencana dipengaruhi oleh tingginya tingkat pendidikan, lamanya
durasi pendidikan, konten yang besar, dan pengetahuan mengenai bencana yang
banyak serta keterampilan perawat darurat. Persentase perawat di Cine dengan gelar
sarjana sebanyak 56% dan pendidikan sarjana sebesar 10,6%.
2. Jenis kelamin
Dalam keadaan bencana dihadapkan pada kondisi lapangan yang keras,
beban berat, dan bekerja intensif dan jangka panjang. Perawat laki-laki lebih baik
secara fisik, bugar, dan pekerjaan fisik lainnya ketika dihadapkan dengan insiden
darurat. Perawat laki-laki sangat tahan terhadap tekanan dan bersedia menerima
tantangan dan
pekerjaan sulit untuk menghadapi peristiwa negatif di lokasi bencana. Hal ini
menjelaskan bahwa adanya ketertarika tinggi pada perawat laki-laki pada
pengetahuan keperawatan bencana.
3. Pengalaman bantuan bencana
Perawat yang pernah berpartisipasi dalam penyelamatan dalam bencana telah
mendapatkan pengalaman yang cukup dan daya tahan psikologis. Perawat ini
memahami karakteristik pekerjaan dalam penyelamatan dan dapat melihat kekurangan
perawat bencana yang terlatih dari beberapa sudut. Penyelamatan bencana dapat
memungkinkan staf keperawatan untuk menyadari pentingnya meningkatkan
kemampuan penyelamatan bencana untuk meningkatkan kesadaran dan motivasi
untuk belajar.
4. Pelatihan
Pelatihan dapat mempengaruhi kemampuan perawat darurat untuk merespon bencana.
Kekurangan pendidikan dan pelatihan di Cina terkait bencana adalah isi pelatihan
yang tidak komprehensif dan format pelatihan yang masih sederhana.
5. Lainnya
Ilmu keperawatan bencana mulai terlambat di Cina dan sedang dalam tahap
eksplorasi. Perawat harus memiliki kemampuan manajemen bencana tertentu,
terutama dalam bencana pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, dan bantuan serta pasca
bencana. Sistem pelatihan profesional keperawatan bencana harus terus berkembang
pesat untuk mengatasi kompetensi keperawatan terkait bencana.
KESIMPULAN
Negara Cina sama halnya dengan Indonesia sering mengalami bencana alam dan buatan
manusia. Kemampuan keperawatan bencana gawat darurat perawat dapat langsung
mempengaruhi hasil penyelamatan bencana. Untuk mengatasi rendahnya tingkat kesiapan
perawat darurat untuk bantuan bencana, pendidikan keperawatan bencana yang sistematis dan
pelatihan harus diperkuat. Kemampuan perawat darurat untuk keperawatan bencana juga
harus ditingkatkan untuk mengurangi kerugian masyarakat dan bahaya kesehatan yang
disebabkan oleh bencana.
APLIKASI di INDONESIA
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati Nur Farida tahun 2010 mengenai Gambaran
Kesiapsiagaan Perawat Puskesmas dalam Manajemen Bencana di Puskesmas Kasihan I
Bantul Yogyakarta menunjukkan hasil bahwa kesiapsiagaan perawat di tingkat kecamatan
khususnya di Puskesmas Kasihan I Bantul masih rendah. Lima tema utama diidentifikasi
sebagai peran perawat dalam kesiapsiagaan bencana diantaranya, 1) Membuat dan
memperbaharui disaster plan, 2) Melakukan pengkajian resiko lingkungan dan berkontribusi
dalam analisis resiko, 3) Melakukan kegiatan pencegahan bencana dengan mengembangkan
system peringatan dini dan menumbuhkan kesadaran masyarakat, 4) Memberikan program
pendidikan masyarakat terkait bencana, dan 5) Memfasilitasi pelatihan dan simulasi sesuai
dengan perencanaan yang dibuat.
Dalam penelitian ini, sebagian besar peran tidak dijalankan sebagaimana mestinya,
dikarenakan belum adanya persiapan dari pihak institusi dalam persiapan bencana. Meskipun
seluruh responden telah dibekali pelatihan penanganan kegawatdaruratan, tidak adanya
perencanaan bencana dalam keluarga akan menjadi faktor penghambat kesiapan perawat
dalam merespon bencana. Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan pada tingkat dasar
dalam upaya pengurangan resiko bencana harus disiapkan dengan disaster plan yang
didukung dengan peran serta perawat dalam manajemen bencana.
KRITISI JURNAL II
Filipina memiliki pangsa banyak bahaya seperti angin topan atau badai, banjir, badai
gelombang, gempa, tanah longsor dan kebakaran. PBB telah sangat berkampanye untuk
menempatkan manajemen risiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah dan
memperluas ke komunitas yang berisiko untuk mengurangi risiko dan mengurangi
kemiskinan. Di kebanyakan negara berkembang, manajemen risiko bencana berbasis
masyarakat (CBDRM) terdiri dari bencana dan pelatihan kerentanan latihan dan program
yang. Jurnal ini menyajikan upaya untuk sistematisasi CBDRM yang merupakan kepercayaan
dari penelitian ini bahwa teknologi memungkinkan emansipasi di kalangan masyarakat yang
rentan dan berfungsi sebagai bahasa komunikasi yang membawa ketahanan dan kapasitas
mengatasi ke tingkat progresif. Sebuah proyek penelitian keterlibatan universitas-komunitas
yang dirancang untuk membangun kapasitas perencanaan risiko bencana komunitas miskin
perkotaan dan manajemen diri. Proyek penelitian mengambil lebih dari satu tahun dari
pengumpulan data, pemeriksaan yang cermat, analisis dan desain, pengembangan perangkat
lunak, dan pengujian pengguna. Hal ini ditempuh melalui hubungan yang kuat dan komitmen
untuk mendukung BuklodTao, sebuah organisasi non-pemerintah, dan masyarakat, Barangay
Banaba. Proyek ini telah menciptakan seperangkat terintegrasi solusi dan strategi yang terdiri
dari teknologi metode didukung pada profil masyarakat, kerentanan dan penilaian bahaya
banjir dengan menggunakan alat pemetaan, pelaporan banjir, pelatihan dan penilaian dari
anggota masyarakat. Proyek ini juga menyoroti partisipatif dan peringatan dini termotivasi
sosial dan metode pemantauan melalui teknologi mobile. Proyek ini juga telah dibentuk
solusi yang melibatkan masyarakat untuk melakukan manajemen lokal dan memperoleh
kepemilikan sistem dan strategi. Dalam jangka panjang, dengan penggunaan sistem yang
terintegrasi masyarakat akan mampu menciptakan gambaran yang jelas tentang bahaya,
menghitung risiko dan memobilisasi anggotanya lebih baik. Hal ini juga menguraikan nilai
dari keterlibatan universitas-komunitas yang membawa pendekatan yang berkelanjutan yang
saling keuntungan, menghormati dan peka terhadap kebutuhan masyarakat.
Contoh kasus:
Di suatu daerah perkotaan Artajasa terdapat 50 rumah dengan jumlah 50 KK dan 150
warga. Usia warga sebagai berikut : 5-12 tahun 45 orang, 13-22 tahun 25 orang, 23-30 tahun
30 orang, 31-55 tahun 50 orang .Dimana jarak antara rumah yang satu dengan yang lain
saling menempel dengan kriteria lingkungan seperti berikut : ada sebuah sungai melintasi
perumahan, 35 rumah tidak mempunyai tempat sampah dan membuangnya di sungai, sampah
menumpuk disungai, aliran sungai tersumbat, 15 rumah memiliki tempat sampah kemudian
setelah sampah terkumpul dibakar, ada sebuah pabrik yang berjarak sekitar 1 km dari
pemukiman warga, limbah pabrik mengalir ke sungai, sungai digunakan juga untuk mencuci
baju dan membuang kotoran, penyakit yang diderita adalah diare, batuk pilek dan demam
berdarah yang kebanyakan menyerang pada anak- anak.
Dikota ini rawan sekali terjadi banjir apalagi pada saat ini adalah musim penghujan.
Ketika hujan lebat turun, sungai meluap, sampah tergenang dimana-dimana, air tidak dapat
meresap ke tanah. 80 warga tidak mengerti tentang dampak yang ditimbulkan dari membuang
sampah di sungai, 40 warga cukup mengerti tentang dampak yang ditimbulkan dari
membuang sampah di sungai, 30 warga mengetahui tentang cara membuang sampah yang
benar.
Masyarakat mayoritas bekerja sebagai pedagang dengan rata-rata penghasilan < 500
rb/bulan. Komunikasi antar warga berjalan cukup baik karena jarak rumah satu dengan yang
lain saling menempel. Warga artajasa mayoritas beragam Islam, pendidikan mayoritas SMP,
sarana informasi yang digunakan adalah televisi dan radio.
Fasilitas kesehatan yang ada di Desa artajasa adalah 1 bidan praktek swasta, 1 puskesmas,
1 dokter praktek umum akan tetapi jarak antara pemukiman warga dengan fasilitas pelayanan
kesehatan cukup jauh sekitar 1,5 km dan jika sakit 85 warga mengkonsumsi obat-obatan
bebas yang dijual ditoko , 65 warga mengkonsumsi jamu tradisional, bila dirasa sakitnya
menjadi lebih parah mereka baru pergi ke puskesmas dan bidan.
A. Pengkajian
Umur : 5-12 tahun 45 orang, 13-22 tahun 25 orang, 23-30 tahun 30 orang 31-55 tahun 50
orang.
a. Lingkungan fisik
Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain saling menempel dengan kriteria
lingkungan seperti berikut : ada sebuah sungai melintasi perumahan, 35 rumah tidak
mempunyai tempat sampah dan membuangnya di sungai, sampah menumpuk
disungai, aliran sungai tersumbat, 15 rumah memiliki tempat sampah kemudian
setelah sampah terkumpul dibakar, ada sebuah pabrik yang berjarak sekitar 1 km dari
pemukiman warga, limbah pabrik mengalir ke sungai, sungai digunakan juga untuk
mencuci baju dan membuang kotoran,
b. Kesehatan dan pelayanan social
Fasilitas kesehatan yang ada yaitu 1 bidan praktek swasta, 1 puskesmas, 1 praktek
dokter umum. Warga mayoroitas menderita penyakit diare ketika musim penghujan
datang dan kebanyakan menyerang pada anak-anak.
c. Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi mayoritas warga artajasa di bawah UMR (<500rb/ bln)
d. Transportasi dan keamanan
Tidak terkaji
e. Politik dan pemerintah
Tidak terkaji
f. Komunikasi
Sarana komunikasi yang digunakan untuk mengetahui informasi tentang hal tersebut
adalah televisi dan radio.
g. Pendidikan
Mayoritas berpendidikan SMP
B. Analisa data
NO DATA SUBYEKTIF ETIOLOGI MASALAH
C. Diagnosa
1. Resiko terjadi peningkatan penyakit akibat lingkungan yang kurang sehat (diare,
batuk pilek, demam berdarah ) pada masyarakat b.d kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam menciptakan dan memelihara lingkungan yang sehat.
2. Resiko penurunan status kesehatan berhubungan dengan kurang pengetahuan dalam
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.
D. Rencana Keperawatan
1. Resiko terjadi peningkatan penyakit akibat lingkungan yang kurang sehat (diare,
batuk pilek, demam berdarah ) pada masyarakat b.d kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam menciptakan dan memelihara lingkungan yang sehat.
NOC: Risk Control
1) Memonitor faktor risiko lingkungan
2) Monitor faktor risiko tingkah laku
3) mengembangkan faktor risiko yang efektif
4) berkomitmen untuk risiko strategi pengendalian
5) menggunakan sumber daya masyarakat untuk mengurangi risiko
Intervensi:
1) Penyuluhan dan pendidikan tentang kesehatan lingkungan dampak yang
ditimbulkan dari lingkungan yang tidak sehat.
2) Pembinaan kepada seluruh masyarakat untuk tidak membuang sampah
sembarangan.
3) Perencanaan kerja bakti seluruh anggota masyarakat.
4) Kerjasama dengan perangkat desa setempat untuk mengadakan tempat sampah
pada tiap-tiap rumah.
5) Pembentukan petugas pengangkut sampah pada tiap-tiap rumah.
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
1. Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah yang rawan
bencana sehingga perlu disosialisasikan sistem CBDRM secara menyeluruh
2. CBDRM perlu dijadikan sebagai program didaerah – daerah yang
rawan bencana
3. Diperlukan monitoring untuk keberlanjutan program dan indikator
yang jelas dalam pelaksanaan CBDRM
DAFTAR PUSTAKA