Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

GASTROENTERITIS AKUT

Oleh :
Adila Hanna 1840312229
Hanifa Rahma 1840212006

Preseptor :
Dr. dr. Arina Widya Murni, Sp.PD(K)-Psi, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang
masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /
1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010
menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering
terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan
Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama
kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian akibat diare adalah tata
laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat.1
Diare akut pada orang dewasa merupakan tanda dan gejala penyakit yang
umum dijumpai dan bila terjadi tanpa komplikasi, secara umum dapat di obati
sendiri oleh penderita. Namun, bila terjadi komplikasi akibat dehidrasi atau toksik
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Terapi kausal tentunya diperlukan pada
diare akibat infeksi, dan rehidrasi oral maupun parenteral secara simultan dengan
kausal memberikan hasil yang baik terutama pada diare akut yang menimbulkan
dehidrasi sedang sampai berat. Acapkali juga diperlukan terapi simtomatik untuk
menghentikan diare atau mengurangi volume feses, karena berulang kali buang air
besar merupakan suatu keadaan/kondisi yang menggganggu akitifitas sehari-hari.2

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai studi kasus gastroenteritis akut

2
3. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai gastroenteritis akut.

4. Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa hasil
pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang mengacu
pada berbagai literatur, termasuk buku teks dan artikel ilmiah.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. Diare akut adalah diare yang onset
gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronik
yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.3

2. Epidemiologi

Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu yang singkat. Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian
sekitar 3 juta penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7
kali setiap tahunnya di banding di negara berkembang lainnya mengalami
serangan diare 3 kali setiap tahun. Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang
disebabkan bakteri yang datang kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti
Jakarta, Padang, Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa
dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan
Shigella spp, Salmonella spp, V. Parahaemoliticus, Salmonella typhi,
Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan Salmonella paratyphi A.

Ada hubungan negatif antara kejadian diare dengan tingkat pendidikan ibu
dan indeks kekayaan kuantil. Semakin pendidikan ibu meningkat dan semakin

4
tinggi indeks kekayaan kuantil rumah tangga, semakin rendah prevalensi diare.
Tidak ada pola yang khas antara prevalensi diare dan sumber air minum serta
fasilitas kakus. Seperti yang diprediksi prevalensi diare paling tinggi terjadi pada
anak yang tinggal di rumah tanpa akses air bersih, yaitu yang memakai fasilitas
kakus di sungai/kolam/danau.

Prevalensi diare lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu


sebesar 10% di perdesaan dan 7,4 % di perkotaan. Diare cenderung lebih tinggi
pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja sebagai petani/nelayan dan buruh.
Dari semua kelompok umur, diare dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada
anak balita. Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti
umur 6-11 bulan dan umur 23-45 bulan. Sebagian besar penderita diare tidak
datang berobat ke sarana kesehatan. Ada yang mengobati sendiri, ada yang
berobat ke praktek dokter swasta, ada ke Puskesmas, Rumah Sakit, dan ada yang
tidak kemana-mana.

3. Etiologi

Diare akut bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, atau virus, karena
keracunan makanan, efek obat, keadaan imunodefisiensi, terapi tertentu, dan lain-
lain. Makanan laut, terutama makanan yang mentah atau makanan cepat saji bisa
meningkatkan risiko seseorang terinfeksi diare. Orang yang baru saja bepergian ke
daerah tropis, negara berkembang, atau daerah berair juga berisiko tinggi
terinfeksi diare.6

4. Patofisiologi4

Bakteri usus menyebabkan diare dengan mekanisme yang berbeda meliputi


invasi mukosa dan produksi racun. Salah satu fungsi utama usus halus adalah
menyerap cairan. Dengan gangguan usus halus, cairan tidak bisa terserap dengan
baik, dan aksi berbagai bakteri yang berbeda akan menyebabkan lapisan usus

5
mulai mengeluarkan cairan yang menghasilkan feses yang relatif berair dan tidak
padat.

Ukuran inokulum adalah salah satu faktor virulensi penting yang


menyebabkan patologi. Untuk Shigella dan enterohemoragik Escherichia coli
(EHEC), setidaknya 10-100 bakteri dapat menyebabkan infeksi, sedangkan
seratus ribu atau satu juta bakteri Vibrio cholerae diperlukan untuk menyebabkan
infeksi. Untuk alasan ini, dosis infektif patogen yang berbeda berbeda dalam
kisaran yang besar dan tergantung pada inang serta bakteri.

Baik produksi sitotoksin maupun invasi bakteri dan perusakan sel mukosa
usus dapat menyebabkan disentri. Infeksi E. coli, Shigella, dan bakteri
enteroinvasif ditandai oleh invasi organisme pada sel epitel mukosa, multiplikasi
intraepitel, dan selanjutnya menyebar ke sel yang berdekatan.

Produksi racun adalah faktor virulensi penting lainnya. Racun ini termasuk
enterotoksin, yang menyebabkan diare berair dengan bertindak langsung pada
mekanisme sekretori dalam mukosa usus, dan sitotoksin, yang menghancurkan sel
mukosa dan diare inflamasi terkait.

5. Histopatologi4

Penyakit infeksi gastrointestinal dapat menyebabkan peradangan mukosa yang


mewakili berbagai pola respons jaringan. Pola histologis infeksi GI dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

• Infeksi yang menghasilkan perubahan histologis secara minimal atau tidak


sama sekali (mis., Spesies Vibrio)

• Infeksi yang menghasilkan peradangan tidak spesifik (mis.,


Campylobacter jejuni)

• Infeksi dengan fitur sugestif / diagnostik (mis., Pseudomembranes, dll.)

6
Campylobacter jejuni, Shigella spp, Salmonella spp, Yersinia dan E. coli dan
beberapa patogen lainnya semuanya menyerupai histopatologi. Gambaran
histopatologis menunjukkan lapisan tebal mukosa dan kelompok bakteri plus
neutrofil di permukaan intraepitel; neutrofil terakumulasi di lumen dan juga
bagian dasar kripta usus.

6. Tanda dan Gejala4, 5

Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan:
1. Pola pemberian makanan (komponen penting dalam manajemen diare),
2. Frekuensi Buang Air Besar (BAB),
3. Lama diare,
4. Adanya darah di tinja,
5. Adanya kejadian kolera di lingkungan,
6. Riwayat pemberian antibiotik sebelum diare,
7. Adanya rasa nyeri yang menyertai,
8. Keadaan fisik yang tampak pucat, serta
9. Adanya demam

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan:
1. Penilaian dehidrasi dan derajatnya,
2. Status gizi,
3. Darah di tinja,
4. Massa intra abdomen,
5. Distensi abdomen,
6. Penurunan kesadaran,
7. Sesak napas.

7
Pada pemeriksaan fisik, perut biasanya akan terasa lembut. Palpasi dapat
menimbulkan nyeri tekan ringan hingga sedang. Demam menunjukkan
penyebabnya adalah patogen invasif. Tanda-tanda dehidrasi adalah hal terpenting
yang harus dicari saat melakukan pemeriksaan fisik; beberapa kasus mungkin
mengkhawatirkan dan membantu mengidentifikasi pasien mana yang perlu
dirawat di rumah sakit.
Tabel 1. Penilaian derajat dehidrasi pada pasien diare

Tanda-tanda bahaya yang harus diperhatikan pada pasien diare:

1. Selaput lendir kering (mulut kering)

2. Turgor kulit berkurang

3. Status mental yang berubah

4. Takikardia

5. Hipotensi, ortostasis

6. Kotoran berdarah

7. Rawat inap atau antibiotik baru-baru ini

8
8. Umur lebih besar dari 65 tahun

9. Komorbiditas seperti HIV dan diabetes

2.7 Diagnosis4

Evaluasi awal membutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik,


terutama riwayat makanan dan medis, penilaian durasi, frekuensi, status volume
saat ini, dan tanda-tanda serta gejala mengkhawatirkan lainnya dari pasien.
Banyak kasus gastroenteritis bakteri akut mungkin tidak memerlukan pengujian
apa pun untuk menentukan etiologi tertentu, tetapi dalam kasus penurunan volume
yang parah, panel elektrolit serum harus diindikasikan untuk memeriksa adanya
gangguan elektrolit. Hitung darah lengkap tidak dapat membedakan antara
etiologi bakteri tetapi membantu dalam menyarankan penyakit parah atau
komplikasi potensial, misalnya, jumlah darah putih yang tinggi menunjukkan
bakteri invasif atau kolitis pseudomembran dan jumlah trombosit yang rendah
menunjukkan perkembangan sindrom hemolitik-uremik. Kultur darah harus
diperoleh pada pasien dengan demam tinggi atau gejala konstitusional berat
lainnya.

Pemeriksaan fese untuk patogen bakteri diindikasikan dengan adanya


penyakit parah (misalnya, tanda-tanda dehidrasi /hipovolemia, sakit perut parah,
atau kebutuhan untuk rawat inap), pasien yang berisiko tinggi (wanita hamil, usia
lebih dari 70 tahun, keadaan immunocompromised, atau komorbiditas lainnya),
serta tanda dan gejala diare inflamasi lainnya (lendir atau darah pada diare,
demam derajat tinggi). Kultur fese rutin dapat mengidentifikasi tiga bakteri
umum: Salmonella, Campylobacter, dan Shigella. Kecurigaan terhadap bakteri
patogen lain (Vibrio, Yersinia, Aeromonas, dan Listeria) harus menjamin analisis
mikrobiologi dan kultur spesifik. Dalam kasus diare berdarah, pengujian
tambahan untuk toksin dan leukosit Shiga dalam tinja untuk EHEC harus dipesan

9
selain kultur tinja. Dalam kasus diare persisten, praktisi harus mengirim sampel
tinja untuk pengujian sel telur dan parasit.

8. Tatalaksana6

Pasien harus direhidrasi tergantung derajat dehidrasinya. Bila keadaan


umumnya baik dan pasien tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat bisa
dicapai dengan minuman ringan, sari buah, dan sup. Pasien dengan dehirasi
sedang sampai berat ditatalaksana dengan cairan intravena atau rehidrasi oral
dengan cairan isotonik yang mengandung elektrolit dan gula. Cairan oral yang
bisa diberikan adalah pedialit atau oralit, sementara cairan infus yang bisa
diberikan adalah ringer laktat. Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam
tergantung kebutuhan dan status hidrasi pasien.

Untuk menentukan jumlah cairan yang akan diberikan, bisa menggunakan


metode Daldiyono. Jumlah cairan yang diberikan harus sesuai dengan jumlah
cairan yang keluar dari tubuh. Bila skor kurang dari 3 dan tidak syok, bisa
diberikan cairan peroral sebanyak mungkin sedikit demi sedikit. Bila skor sama
atau lebih dari 3 dan disertai syok, maka diberikan cairan per intravena.

10
Gambar 1. Metode Daldiyono untuk menghitung kebutuhan cairan

Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas:

1. Dua jam pertama (rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut
skor daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam

2. Jam ketiga (rehidrasi tahap kedua): pemberian diberikan berdasarhkan


kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial
sebelumnya, ganti dengan cairan per oral bila tidak ada syok atau skor
daldiyono kurang dari tiga

3. Pemberian cairan pada jam berikutnya diberikan berdasarkan kehilangan


cairan melalui tinja dan insensible water loss

Pada pasien diare, pengobatan empiric tidak dianjurkan, hanya diindikasikan


pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis, atau pada
pasien imunosupresif. Obat pilihan adalah kuionolon yang baik terhadap bakteri

11
patogen invasive seperti Campylobacter, Shigella, Salmonella, dll. Alternatifnya
bisa diberikan kotrimoksazol.

9. Komplikasi

Dehidrasi dan menipisnya elektrolit adalah komplikasi paling umum.


Komplikasi lain yang umum terjadi setelah gastroenteritis akut adalah
transformasi akut menjadi diare kronis yang dapat menyebabkan intoleransi
laktosa atau pertumbuhan berlebih bakteri usus halus. Beberapa komplikasi paska
diare lainnya termasuk eksaserbasi penyakit radang usus, septikemia, demam
enterik, dan sindrom Guillain-Barre, komplikasi yang kemungkinan terjadi setelah
infeksi Campylobacter. Artritis reaktif dapat terjadi, terutama setelah Shigella,
Salmonella, Campylobacter, atau Yersinia.4

12
BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Umur : 57 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jambi

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal Pemeriksaan : 1 Maret 2019

ANAMNESIS

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 57 tahun sejak


tanggal 28 Februari 2019 di Bangsal Interne RSUP Dr. M. Djamil
Padang dengan:

Keluhan Utama:

BAB encer sejak 1 minggu sebelum masuk RS

Riwayat Penyakit Sekarang

• BAB encer sejak 1 minggu sebelum masuk RS, frekuensi >20


kali/hari, BAB berisi air dan ampas, BAB tidak disertai darah
atau lendir, BAB tidak seperti air cucian beras
• Nyeri perut (+), mual (+), muntah (-), rasa tidak puas setelah
BAB (+)
• Demam hilang timbul (+) sejak 1 bulan sebelum masuk RS,
tidak disertai mengigil dan berkeringat. Riwayat berkeringat
pada malam hari (+)
• Batuk (+) sejak 1 bulan sebelum masuk RS, dahak (+)
berwarna kekuningan, darah (-)
• Sesak napas hilang timbul (+) sejak 1 bulan sebelum masuk
RS, tidak menciut, tidak dipengaruhi makanan dan aktivitas.

13
Pasien lebih suka berbaring kearah kiri. Riwayat terbangun
malam hari karena sesak (-), riwayat tidur dengan bantal
ditinggikan (-)
• Penurunan nafsu makan (+) sejak 1 bulan terakhir, pada
awalnya, pasien makan 1 porsi piring 3 kali/hari, sekarang 1/4
porsi piring 2 kali/hari
• Penurunan berat badan (+) sejak 1 bulan terakhir, pasien tidak
tahu berapa kilogram
• BAB dan BAK dalam batas normal

Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat TB paru (+) tahun 1990an, berobat ke Puskemas dan


dinyatakan sembuh oleh dokter

• Riwayat hipertensi (-)

• Riwayat diabetes melitus (-)

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang


sama dengan pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Ekonomi, Kejiwaan dan


Kebiasaan:

Pasien seorang wiraswasta, dengan aktivitas sedang.

PEMERIKSAAN FISIK

Tanda Vital

- Keadaan umum : sakit sedang

- Kesadaran : CMC

- Frekuensi nadi : 88x/menit

- Frekuensi nafas : 22x/menit

14
- Tekanan darah :140/80 mmHg

- Suhu : 36,8C

- Status Gizi : Buruk

- Sianosis : tidak ada

- Edema : tungkai (-/-)

- Anemis : ada

- Ikterus : tidak ada

Pemeriksaan Fisik

- Kulit : Warna cokelat gelap, teraba hangat,


turgor kulit baik

- KGB : Tidak ada pembesaran KGB

- Kepala : Normocephal

- Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah dicabut

- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak

ikterik, cekung (+/+) sedikit

- Telinga : Deformitas (-/-), pendengaran


baik

- Hidung : Tidak ada kelainan pada hidung

bagian luar dan septum,


tidak ada tanda perdarahan

- Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran

tiroid (-), deviasi trakea (-),


pembesaran KGB (-)

- Paru

- Inspeksi : statis: dinding dada asimetris


Dinamis: pergerakan dinding dada kiri
tertinggal dari kanan

- Palpasi : fremitus kiri < kanan

15
- Perkusi : Kanan: sonor
Kiri: RIC I-II sonor, RIC III kebawah:
pekak

- Auskultasi : suara nafas bronkovesikular, ronkhi +/


+, wheezing -/-

- Jantung

- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi : iktus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V,

- Perkusi

- Batas jantung atas : RIC II

- Batas jantung kanan : LSD

- Batas jantung kiri : 1 jari medial

LMCS RIC V
- Auskultasi : S1-S2 reguler,
bising (-), gallop (-)

- Abdomen

- Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit

- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, lien


S5, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),
shifting dullness (-)

- Perkusi : Timpani

- Auskultasi : bising usus (+) normal


meningkat

- Ekstremitas

Akral hangat, edema tungkai (-/-), capillary refilling


time >2 detik

- Alat Kelamin

Tidak diperiksa

- Anus

16
Tidak diperiksa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Perifer Lengkap (28-2-2019)

Hb : 13 g/dl

Ht : 36%

Leukosit : 11.620/mm3

Trombosit : 371.000/mm3

Retikulosit : 1,73%
MCV : 83 fL
MCH : 30 pg
MCHC : 36%
Hitung genis
• Basofil: 0%
• Eosinofil: 0%
• Neutrofil Batang: 10%
• Neutrofil segmen: 84%
• Limfosit: 3%
• Monosit: 0%
PT/APTT : 11,8/36,7 s
INR : 1,1 s
Total protein : 4,3 g/dL

Alb/Glo : 2,1/3,2 g/dl

SGOT/PT : 21/13 u/l

Ur/Cr : 39/0,6 mg/dl

Na/K/Ca/Cl : 128/4/8,5/91 mmol/L


GDS : 42 mg/dL

Kesan: Leukositosis dengan neutrofilia shift to the left hingga


mielosit, natrium ↓, klorida ↓, GDS ↓, total protein ↓, albumin

17
Analisa Gas Darah (28-2-19)
pH/pCO2/pO2/SO2/HCO3-/BEecf: 7,481/26,4/84.3/96,5/19,9/-3,8
Kesan: Alkalosis respiratorik

Analisa Cairan Pleura (28-2-19)


Protein : 2,5 g/dL
Glukosa : 7 mg/dL
LDH : 2.265 u/l
Albumin :1
Rivalta : positif
Kesan: Berdasarkan kriteria Light, cairan pleura termasuk eksudat

DIAGNOSIS KERJA
Gastroenteritis akut tipe sekretorik dengan dehidrasi ringan-sedang
Suspek TB paru relaps
Efusi pleura ec suspek TB paru relaps

DIAGNOSIS BANDING
Community Acquired Pneumonia

TINDAKAN PENGOBATAN
• IVFD NaCl 0,9% 500cc/ 6 jam
• Nebu bricanyl/8 jam
• New diatab 3 tab PO
• N-acetylsistein 200 mg PO
• Paracetamol 3x500 mg
• Diet MB rendah serat/02 3L

PEMERIKSAAN ANJURAN

18
• Pemeriksaan sputum TCM
• Pemeriksaan sputum gene expert
• Expertise rontgen thoraks
• Pemeriksaan kultur feses
• EKG

PROGNOSIS

Dubia ad malam

FOLLOW UP
1 Maret 2019
S/
Sesak napas (+) berkurang
Batuk (+)
O/
Ku: sedang
Kes: CMC
TD: 140/80
N: 82x/min
R: 22x/min
T: afb
Mata:
Konjungtiva anemis: +/+
Sklera ikterik: -/-
Leher: JVP 5+0
Paru:
• Inspeksi: pergerakan dinding dada asimetris
• Palpasi: Fremitus kanan > fremitus kiri
• Perkusi:
• Kanan: Sonor

19
• Kiri: RIC I-III: sonor, RIC III kebawah: pekak
Auskultasi:
• Kanan: SN bronkovesikular, rh+/+, wh -/-
• Kiri: RIC I-III: bronkovesikular, RIC III kebawah: SN menurun, rh+/+, wh-/-
Jantung:
• Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
• Palpasi: Iktus kordis teraba 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V
• Perkusi:
• Kanan: Linea sternalis dextra
• Kiri: 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V
• Atas: linea parasternal RIC II
• Bawah: 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V
• Auskultasi: irama reguler, murmur (-), bising (-)
Abdomen:
• Inspeksi: perut membuncit (-)
• Palpasi:
• Hepar tidak teraba
• Nyeri tekan (-)
• Perkusi: timpani
• Auskultasi: BU (+) normal meningkat
Punggung: nyeri tekan CVA (-), nyeri ketok (-)
Alat kelamin: tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan rektum: tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota gerak: edema (-/-), akral hangat, refleks fisiologis (+/+), refleks patologis
(-/-)
A/
Gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan-sedang perbaikan
Suspek TB paru relaps
Efusi pleura ec suspek TB paru relaps
P/

20
• IVFD NaCl 0,9% 500cc/ 6 jam
• Nebu bricanyl/8 jam
• N-acetylsistein 200 mg PO
• New diatab 3 tab PO
• Ceftriaxone inj 2x1 gr
• Paracetamol 3x500 mg
• Diet MB rendah serat/02 3L

21
BAB III
DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 57 tahun sejak tanggal 28


Februari 2019 di Bangsal Interne RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan
utama yaitu BAB encer sejak 1 minggu sebelum masuk RS. BAB encer disebut
juga sebagai diare jika frekuensinya melebihi 3 kali dalam sehari atau lebih dari
200 g dalam sehari. Pada pasien ini BAB encer berlangsung lebih dari 20 kali
dalam sehari, sehingga pasien ini dapat dikatakan menderita diare. Diare akut
dikatakn jika berlangsung < 14 hari, sehingga diare pasien ini merupakan diare
akut. Diare disebabkan karena adanya infeksi bakteri, parasit, virus, keracunan
makanan, efek obat, keadaan imunodefisiensi ataupun makanan laut, terutama
makanan yang mentah atau makanan cepat saji. Orang yang baru saja bepergian
ke daerah tropis, negara berkembang, atau daerah berair juga berisiko tinggi
terinfeksi diare.
BAB encer pada pasien ini belum dapat diperkirakan penyebabnya, karena
karakteristik BAB yang tidak khas. Pada diare karena vibrio cholera, atau disebut
diare koleriform, BAB encer menyerupai cucian beras, tidak berdarah dan tidak
berlendir. Diare kolerifom juga tidak disertai darah dan nyeri perut dan biasanya
disertai muntah, dimana karakteristik ini tidak dimiliki oleh pasien. Pada diare
karena shigella sp., atau disebut diare disentriform, BAB encer disertai darah dan
lendir. Selain itu, diare disentriform disertai nyeri perut dan demam, dimana
karakteristik ini juga tidak dimiliki pasien. Sehingga, diare pada pasien ini untuk
sementara disebut sebagai diare sekretorik, yang bisa disebakan karena bakteri
lain, virus atau makanan. Pemeriksaan fisik juga menunjukan adanya peningkatan
bising usus, yang berarti adanya peningkatan peristaltik. Untuk memastikan
penyebab diare dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa kultur feses.
Diare juga menyebabkan dehidrasi pada pasien, sehingga tanda-tanda
dehidrasi juga perlu dicari pada pasien yang mengalami diare. Pada pasien ini
ditemukan turgor yang melambat dan mata sedikit cekung, yang dapat

22
digolongkan ke kategori diare ringan-sedang. Pada pemeriksaan laboratorium juga
ditemukan adanya penurunan dalam kadar natrium dan klorida, diakibatkan
karena osmotik diuresis. Untuk selanjutnya, dapat dilakukan pemeriksaan EKG,
untuk menentukan adanya kelainan elektrolit pada pasien.
TB paru relaps juga kemungkinan terjadi pada pasien, hal ini dikarenakan
riwayat pasien yang pernah mengonsumsi obat TB selama 6 bulan. Selain itu,
ditemukan gejala klinis TB pada pasien, yaitu demam hilang timbul, batuk
berdahak dan berkeringat pada malam hari yang ketiganya sudah dialami pasien
dalam 1 bulan terakhir. Pemeriksaan fisik juga menunjukan adanya infeksi paru,
yaitu ditemukannya ronkhi pada kedua lapangan paru. Khususnya, pada paru kiri
ditemukan hilangnya suara napas dari RIC III kebawah dan pasien mengatakan
juga lebih nyaman berbaring ke arah paru yang sakit, yaitu ke kiri, kedua hal ini
menunjukan adanya efusi pleura, yang salah satu penyebabnya adalah infeksi TB
paru. Adanya efusi pleura yang disebakan oleh proses infeksi dibuktikan oleh
pemeriksaan analisa cairan pleura, yang berdasarkan kriteria Light, termasuk
proses eksudat jika ditemukan salah satu dari 3 berikut, yaitu, protein >0,5, LDH
>0,6 atau LDH >2/3. Pada pasien, cairan pleura merupakan eksudat. Efusi pleura
juga dapat menyebabkan sesak napas, karena sulitnya paru untuk mengembang
akibat adanya cairan, seperti yang dialami oleh pasien. Hal ini juga ditunjukan
oleh pemeriksaan analisa gas darah pada pasien yang menjukkan adanya alkalosis
respiratorik. Pada efusi pleura juga dapat ditemukan adanya nyeri dada akibat
infeksi dari pleura, namun hal ini tidak dialami oleh pasien. Pemeriksaan
laboratorium mendukung untuk TB paru relaps, juga ditemukan leukositosis shift
to the left, yang berarti adanya proses imunologi akibat infeksi yang lama. Untuk
pemeriksaan selanjutnya, pasien dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan TCM
dan gene expert, sesuai dengan algoritma diagnosis TB paru oleh Kemenkes tahun
2017. Jika ditemukan MTB negatif, maka dilanjukan ke pemeriksaan rontgen
thoraks. TB paru relaps merupakan salah satu kriteria TB MDR, sehingga jika
ditemukan di Layanan Primer, haruslah dirujuk.

23
Pada tatalaksana, pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% 500 cc/6 jam untuk
mengganti cairan yang hilang akibat diare. Nebu bricanyl/8 jam sebagai
bronkodilator dan N-acetylsistein sebagai mukolitik untuk menghilangkan sesak
napas. New Diatab sebagai atalulgit diberikan untuk mengurangi proses diare dan
ceftriaxone injeksi 2x1 gr sebagai antibiotik spektrum luas untuk mengobati
proses infeksi. Paracetamol 3x500 mg juga diberikan untuk menghilangkan
demam hilang timbul pada pasien. Diet makan biasa dan rendah serat diberikan
pada pasien untuk mengurangi beban kerja gastrointestinal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES RI. Situasi diare di indonesia (2011). Buletin Jendela Data &
Informasi Kesehatan, 2 (2) 1-5.

2. Zein U. Diare akut infeksius pada dewasa (2004). E-USU Repository, pp.
1.

3. Zein U, Sagala KH, Ginting J. Diare akut disebabkan bakteri (2004). E-


USU Repository, pp. 2.

4. Sattar SBA, Singh S. Bacterial gastroenteritis (2018). Diakses dari https://


www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513295/ - Februari 2019.

5. Pujiarto PS. Gastroenteritis akut pada anak (2014). Inhealth Gazzete, pp.
1-8.

6. Simadibrata M, Daldiyono. Diare Akut. EIMED PAPDI Kegawatdaruratan


Penyakit Dalam Jilid 1.

25

Anda mungkin juga menyukai