METODE PENELITIAN
USULAN PENELITIAN
KARYA TULIS ILMIAH
DISUSUN OLEH
Amanda Nadia Putri
P21345118008
DOSEN PEBIMBING
Kuat Prabowo, S.Km., M.Kes
TAHUN 2020
P21345118008
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
TAHUN 2020
3
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 5
1.3. Tujuan ...................................................................................... 5
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................ 5
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................... 5
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
1.4.1. Bagi Penulis ................................................................... 6
1.4.2. Bagi Peneliti Lain ........................................................... 6
1.4.3. Bagi Masyarakat ............................................................. 6
1.4.4. Bagi Pemerintah Daerah ................................................ 6
1.4.5. Bagi Dinas Kesehatan dan Sosial ................................... 6
DAFTAR PUSTAKA
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
terbanyak, khususnya di Jakarta Timur. Salah satu Kecamatan yang memiliki
kasus DBD cukup banyak di Jakarta Barat adalah Kecamatan Ciracas.
Kelurahan Ciracas merupakan salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Ciracas. Setiap tahunnya kasus DBD pasti terjadi di Kelurahan
Ciracas. Berdasarkan data yang di peroleh selama 3 tahun terakhir, Ini adalah
pertama kalinya Kelurahan Ciracas menempati urutan pertama kelurahan di DKI
Jakarta dengan kasus DBD terbanyak dengan peningkatan angka kesakitan yang
terbilang tinggi berdasarkan jumlah kasus DBD yang ditemukan.
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia mulai menimbulkan
masalah kesehatan masyarakat sejak ditemukannya kasus tersebut di Surabaya
pada tahun 1968 dan pada tahun 1962 ditemukan 53 kasus dirawat dengan 24
kematian (CFR = 46%) (Dinkes Provinsi Jateng, 1985). Dalam waktu relatif
singkat DBD telah dilaporkan di berbagai daerah di Indonesia, dan sampai tahun
1981 hanya Provinsi Timor-Timur yang belum melaporkan penyakit DBD. Di
samping meningkatnya jumlah kasus, DBD juga berjangkit di daerah pedesaan.
Berdasarkan data dari Depkes RI, 1981 (dalam Soedarmo, 1988) menunjukkan
angka kematian penderita DBD secara nasional menurun dari 4,0% pada tahun
1968 menjadi 4,1% pada tahun 1977, dan menjadi 4,0% pada tahun 1980.
Sedangkan pada tahun 2007 CFR DBD di Indonesia sebesar 1% dengan IR
71,78/100.000 penduduk dan pada tahun 2008 CFR DBD sebesar 0,86% dengan
IR 60,02/100.000 penduduk (Depkes RI, 2009).
Penyakit DBD tersebut disebabkan virus dengue yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Aedes aegypti lebih berperan
dalam penularan penyakit ini,karena hidupnya didalam dan di sekitar rumah,
sedangkan Aedes albopictus di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan
manusia.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk domestik yang hidup dekat
dengan manusia, dan tinggal didalam rumah maupun di sekitar rumah. Nyamuk
inilah yang menyebabkan penyakit demam berdarah. Pada tubuhnya tampak
bercak hitam-putih. Bila dilihat dengan kaca pembesar, di sisi kanan-kiri
punggungnya tampak gambar dua buah arit berwarna putih. Paling sering hinggap
2
di baju-baju yang menggantung dan berada di tempat-tempat gelap, seperti di
bawah tempat tidur. Selain juga suka bertelur di air yang bersih, seperti di
tempayan, bak mandi, vas bunga, dan lainnya. la bertelur dan menetas di dinding
bejana air. Telur atau jentik nyamuknya bisa bertahan selama 2-3 bulan.
Nyamuk Aedes albopictus spesies ini juga bisa menularkan demam
berdarah. Nyamuk ini biasanya banyak terdapat di kebun dan halaman rumah.
Cirinya hampir sama dengan Aedes aegypti, yaitu bercak- bercak putih di badan.
Bila dilihat dengan kaca pembesar tampak di median punggungnya ada garis
putih.
Waktu menggigitnya pun sama dengan Aedes aegypti, yaitu di pagi dan
sore hari. Bertelurnya di air tergenang, misalnya pada kaleng-kaleng bekas yang
menampung air hujan di halaman rumah. Pada musim penghujan, nyamuk ini
banyak terdapat di kebun atau halaman rumah karena di situ terdapat banyak
tempat yang terisi air.
Kedua jenis nyamuk itu biasanya aktif pada siang hari, tapi juga pada
malam hari jika terdapat cahaya, dapat menjadi aktif pula . Nyamuk betina lebih
menyukai darah manusia daripada darah binatang (bersifat antropofilik). Aedes
aegypti mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) sampai
lambung penuh terisi darah, dalam suatu siklus gonotropik. Dengan demikian
nyamuk Aedes aegypti sangat efektif sebagai penular penyakit. Keberadaan jentik
Aedes aegypti di suatu daerah merupakan indikator terdapatnya populasi nyamuk
Aedes aegypti di daerah tersebut. Tempat perkembangbiakan utama nyamuk
Aedes aegypti adalah tempat-tempat umum / bangunan rumah. Proses
perindukannya ditempat yang ada genangan air yang tidak berhubungan langsung
dengan tanah. Upaya yang efektif untuk mencegah dan membatasi penyebaran
kasus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah dengan cara meniadakan
keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti dari lingkungan tempat tinggal.
Cara yang sudah dilakukan untuk meniadakan keberadaan jentik adalah
dengan kegiatan program tingkat Puskesmas Kecamatan Palmerah antara lain
dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), larvasida, penyuluhan,
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali, menyelenggarakan
3
pertemuan atau pelatihan atau pembinaan kader dan juru pemantau jentik
(jumantik) dalam penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
melaksanakan penyuluhan intensif, pertemuan lintas program dan lintas sektor,
melaksanakan kegiatan gerakan Menguras Menutup Mengubur (3M) sebelum
musim penularan, melaksanakan surveilans epidemiologi Demam Berdarah
Dengue (DBD), serta melaksanakan sistim kewaspadan dini (SKD) dan
penanggulangan KLB (kejadian luar biasa). Selain kegiatan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) yang dilakukan untuk mencegah penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Rukun Warga (RW) 10 Kelurahan Ciracas telah rutin
dilakukan Pemantauan Jentik dalam kurun waktu seminggu sekali hal tersebut
merupakan kegiatan wajib yang di lakukan oleh para kader jumantik. Petugas
kesehatan juga melakukan pemeriksaan jentik berkala di setiap tiga bulan sekali.
Selain kegiatan tersebut di wilayah RW 10 telah dilakukan penyuluhan mengenai
penyakit DBD, dan cara mencegahnya hal tersebut guna mengubah perilaku
masyarakat Rukun Warga (RW) 10 agar berpartisipasi dalam kagiatan pencegahan
penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Keberadaan jentik di suatu wilayah diketahui melalui indikator ABJ. ABJ
merupakan persentase rumah atau tempat-tempat umum yang tidak ditemukan
jentik (Depkes RI, 1992). Indikator keberhasilan menurut pemerintah angka bebas
jentik (ABJ) yang ditetapkan adalah sebesar lebih atau sama dengan 95%.
Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Ciracas untuk angka bebas jentik di
wilayah Kelurahan Palmerah yaitu 85%. Hal ini dikarenakan wilayah Ciracas
merupakan daerah padat penduduk yang memudahkan penyebaran dan penularan
penyakit DBD.
ABJ yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Perilaku penduduk
dalam hal menampung air untuk keperluan sehari-hari tidak hanya pada satu
tempat dan jarang membersihkan bak penampungan air memungkinkan nyamuk
Aedes aegypti memiliki peluang lebih banyak untuk bertelur (Sitorus dan
Ambarita, 2004). Menurut Dumai et.al, (2007) faktor pengetahuan, kebiasaan
menggantung pakaian, kondisi TPA dan kebersihan lingkungan berhubungan
dengan kejadian DBD, sedangkan menurut Hasyimi dan Soekino (2004) TPA
4
rumah tangga yang paling banyak ditemukan jentik atau pupa Aedes aegypti
adalah TPA rumah tangga yang berasal dari bahan dasar logam. Jenis TPA rumah
tangga yang paling banyak ditemukan jentik atau pupa Aedes aegypti adalah TPA
jenis tempayan. Jenis TPA yang ditemukan positif jentik Aedes aegypti yang
berada di dalam atau di luar rumah ada 3 yaitu drum, bak mandi, dan ember
plastik (Sitorus dan Ambarita, 2004).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan meneliti
faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di
RW 10 Kelurahan Ciracas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di RW 10
Kelurahan Ciracas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti
2. Untuk mengetahui hubungan antara PSN DBD, tempat
perindukan buatan dan sampah padat dengan keberadaan jentik
Aedes aegypti di RW 10 Kelurahan Ciracas Kecamatan
Ciracas Jakarta Timur.
3. Untuk mengetahui hubungan pelaksanaan PSN DBD dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di RW 10 Kelurahan Ciracas
Kecamatan Ciracas Jakarta Timur.
5
4. Untuk mengetahui hubungan tempat perindukan buatan dengan
keberadaan jentik Aedes aegypti di RW 10 Kelurahan Ciracas
Kecamatan Ciracas Jakarta Timur.
5. Untuk mengetahui hubungan sampah padat dengan keberadaan
jentik Aedes aegypti di RW 10 Kelurahan Ciracas Kecamatan
Ciracas Jakarta Timur.
6
pertimbangan dalam pemecahan masalah pada program kesehatan bidang
penyakit menular, khususnya masalah pencegah penyakit DBD agar dapat
dijadikan sebagai monitoring dan evaluasi program pemberantasan
penyakit menular (P2M) sehingga kasus DBD tidak terjadi lagi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
b. Hari kedua atau ketiga: timbul bintik-bintik perdarahan, lebam,
atau ruam pada kulit di muka, dada, lengan atau kaki dan nyeri ulu
hati. Kadangkadang mimisan, berak darah atau muntah darah.
Bintik perdarahan mirip dengan bekas gigitan nyamuk.
c. Antara hari ketiga sampai ketujuh, panas turun secara tiba-tiba.
Kemungkinan yang selanjutnya:
1) Penderita sembuh, atau
2) Keadaan memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung tangan
dan kaki dingin, banyak mengeluarkan keringat. Bila keadaan
berlanjut, terjadi renjatan (lemah lunglai, denyut nadi lemah atau
tak teraba). Kadangkadang kesadarannya menurun.
Menurut WHO (dalam Soedarto, 1995), derajat beratnya DBD dibagi
menjadi empat tingkatan:
a. Derajat I : ringan, bila demam mendadak 2-7 hari disertai
gejala klinik lain dan manifestasi perdarahan paling ringan yaitu tes
turniquet yang positif.
b. Derajat II : sedang, dengan gejala lebih berat daripada derajat
I, disertai manifestasi perdarahan kulit, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis atau melena. Terdapat gangguan sirkulasi darah
perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan
hidung dingin.
c. Derajat III : berat, dengan gejala syok mengikuti gejala-gejala
tersebut di atas.
d. Derajat IV : berat sekali, penderita syok berat, tensi tidak
terukur, dan nadi tidak dapat diraba.
2.1.3. Penular Penyakit DBD
a. Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna
dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki
(Depkes RI 2005). Batas penyebaran nyamuk Aedes aegypti di
8
negara-negara Asia Tenggara adalah pada ketinggian 1000 sampai
dengan 1500 meter di atas permukaan laut (Depkes RI, 2003).
b. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk Anophelini
mengalami metamorphosis sempurna, yaitu: telur, jentik,
kepompong, nyamuk. Stadium telur, jentik, dan kepompong hidup
di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik
dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik
biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong
berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi
nyamuk dewasa memerlukan waktu selama 9-10 hari (Depkes RI,
2005).
1) Telur
Telur diletakkan satu persatu pada permukaan yang lembab
tepat di atas batas air. Kebanyakan Aedes aegypti betina dalam
satu siklus gonotropik meletakkan telur di beberapa tempat
perindukan. Masa perkembangan embrio selama 48 jam pada
lingkungan yang hangat dan lembab. Setelah perkembangan
embrio sempurna, telur dapat bertahan pada keadaan kering
dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun). Telur menetas
bila wadah tergenang air, namun tidak semua telur menetas pada
saat yang bersamaan. Kemampuan telur bertahan dalam keadaan
kering membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi
iklim yang tidak menguntungkan (Depkes RI, 2003).
2) Jentik
Jentik memerlukan empat tahap perkembangan. Jangka waktu
perkembangan jentik tergantung pada suhu, ketersediaan
makanan, dan kepadatan jentik dalam sebuah kontainer. Dalam
kondisi optimal, waktu yang dibutuhkan dari telur menetas
hingga menjadi nyamuk dewasa adalah tujuh hari, termasuk dua
hari dalam masa pupa. Sedangkan pada suhu rendah, dibutuhkan
9
waktu beberapa minggu (Depkes RI, 2003). Ada empat tingkat
(instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva Aedes aegypti
tersebut, yaitu (Depkes RI, 2005): a) Instar I: berukuran paling
kecil, yaitu 1-2 mm b) Instar II: 2,5-3,8 mm c) Instar III: lebih
besar sedikit dari larva instar II d) Instar IV: berukuran paling
besar 5 mm.
3) Pupa (kepompong)
Pupa (kepompong) berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih
besar namun lebih ramping dibanding jentik. Pupa Aedes
aegypti berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain (Depkes RI, 2005). Menurut Sugito (1989),
pupa Aedes aegypti tidak memerlukan udara dan makan, belum
bisa dibedakan antara jantan dan betina, menetas dalam waktu
1-2 hari, dan menjadi nyamuk dewasa, pada umunya nyamuk
jantan menetas lebih dahulu dari nyamuk betina.
4) Nyamuk Dewasa
Sesaat setelah muncul menjadi dewasa, nyamuk akan kawin dan
nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam
waktu 24- 36 jam kemudian. Darah merupakan sumber protein
terpenting untuk pematangan telur (Depkes RI, 2003). Habitat
tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah di air yang
relatif bersih, yaitu di wadah-wadah tempat penampungan air
untuk kepentingan sehari-hari dan barangbarang bekas, seperti
ban, botol, kaleng, plastik, pecahan kaca, dan sebagainya yang
merupakan lingkungan buatan manusia (Nadezul, 2007).
2.1.4. Bionomik Nyamuk Demam Berdarah Dengue
a. Tempat Perkembangbiakan
Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
10
1) TPA untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki
reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2) TPA bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum
burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas
(ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lobang pohon, lobang
batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan
potongan bambu.
b. Kebiasaan menggigit Nyamuk
Aedes aegypti bersifat anthropophilic, walaupun mungkin akan
menghisap darah hewan berdarah panas lain yang ada. Sebagai
spesies yang aktif siang hari nyamuk betina mempunyai dua waktu
aktifitas menggigit, yaitu beberapa jam di pagi hari dan beberapa
jam sebelum gelap. Apabila pada waktu menghisap darah
terganggu, maka nyamuk Aedes aegypti dapat menghisap lebih dari
satu orang. Perilaku ini sangat meningkatkan efektifitas penularan
pada masa Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah DBD (Depkes
RI, 2003).
c. Kebiasaan beristirahat
Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab,
tempat tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk
tempat tidur, kloset, kamar mandi dan dapur (Depkes RI, 2003).
Setelah menghisap darah, nyamuk Aedes aegypti hinggap
(beristirahat) di dalam atau kadang-kadang di luar rumah
berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya. Biasanya di
tempat yang aga gelap dan lembab. Di tempat ini nyamuk
menunggu proses pematangan telurnya (Depkes RI, 2005).
d. Jangkauan terbang
Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh
sejumlah faktor termasuk keberadaan tempat bertelur dan darah
sebagai makanan, namun kelihatannya terbatas pada wilayah 100
11
meter dari tempat pupa menetas menjadi nyamuk dewasa. Walupun
demikian, penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa
nyamuk Aedes aegypti betina dewasa menyebar lebih dari 400
meter untuk mencari tempat bertelur. Penyebaran pasif nyamuk
Aedes aegypti dewasa dapat terjadi melalui telur dan jentik dalam
wadah (Depkes RI, 2003).
12
b. Visual : Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada
atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya. Biasanya dalam program DBD menggunakan cara visual
13
Dengan insektisida (fogging dan
Nyamuk
ULV) Dewasa
Fisik
Jentik
Nyamuk Kimia
Biologi
Sumber: Depkes RI, 2005
14
2.3.3. Sampah Padat
Sampah padat, kering seperti kaleng, botol ember atau sejenisnya
yang tersebar di sekitar rumah harus dipindahkan dan dikubur di
dalam tanah. Sisa material di pabrik dan gudang harus disimpan
sebaik mungkin sebelum dimusnahkan. Perlengkapan rumah dan alat
perkebunan (ember, mangkok, dan alat penyiram) harus disimpan
terbalik untuk mencegah tertampungnya air hujan. Sampah tanaman
(tempurung kelapa, kulit ari coklat harus dimusnahkan segera. Ban
mobil bekas merupakan tempat perkembangbiakan utama Aedes
aegypti di perkotaan, sehingga menjadi masalah kesehatan. Botol,
kaca, kaleng dan wadah kecil lainnya harus dikubur di dalam tanah
atau dihancurkan dan didaur ulang untuk keperluan industri (Depkes
RI, 2003).
2.4. Kerangka Teori
DBD
Sumber
Penular Kebiasaan
Virus Menggigit
Dengue
Kebiasaan
Istirahat
Aedes aegypti Bionomik
Vektor
Jangkauan
Terbang
Jentik
Nyamuk Tempat
Aedes Perkembangbiakan
aegypti
Buatan
TPA Sampah
Padat
15
PSN
Alami
Keterangan :
= Diteliti
= Tidak Diteliti
Variabel Bebas
Pemberantasan
Sarang Nyamuk
Demam Berdarah
Variabel Terikat
Tempat Keberadaan
Perindukkan Jentik
Nyamuk Aedes aegypti
Samp
ah Padat
16
BAB III
METODE PENELITIAN
17
3.2. Definisi Operasional Variabel
1. Pelaksanaan PSN DBD
a. Definisi : kegiatan yang dilakukan oleh responden untuk PSN DBD
(Aedes aegypti) secara fisik, kimia, dan biologi.
b. Alat ukur : wawancara dengan menggunakan kuesioner.
c. Skala : nominal.
3. Sampah Padat
a. Definisi : keberadaan sampah padat, kering yang terdiri dari ban
bekas, kaleng bekas, botol bekas, pecahan kaca, ember bekas, drum
bekas, mangkok bekas yang tersebar di sekitar rumah responden.
b. Alat ukur : observasi dengan menggunakan check list.
c. Skala : nominal
18
c. Skala : nominal
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/5957/1/J410050002.PDF
http://etd.eprints.ums.ac.id/5966/1/J410050022.PDF
19