Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

ILMU FILSAFAT

Dosen Pengampu : Drs. H. Busaeri, MH


Mata kuliah : Ilmu Filsafat

MASNUHUN
11710280

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM WALI SEMBILAN


STA WS SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu


makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan
yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk
menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas
masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas
wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada
dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat
dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu,
sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang
ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian
dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya,
pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut
tidak terlepas dari acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi,
epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang
dilakukan oleh para akhli.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FILSAFAT
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani
“philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya
ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang
semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun,
cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia
tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The
Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang
telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo,
1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya
adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-
kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti:
logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Menurut Surajiyo (2010:1) secara etimologi kata filsafat, yangg dalam
bhs Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal
dengan istilah philoshophy adalah dari Bahasa Yunani philoshophia terdiri atas
kata philein yang berarti cinta (love) dan shopia yang berarti kebijaksanaan
(wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan
(love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang
filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
menggunakan akal sampai padahakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-
gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena.
Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu
adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara
mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.
Susanto (2011: 6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan
berkenaan dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri
secara sungguh-sungguh guna menemukan hakikat sesuatu yang sebenarnya,
mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional-logis, mendalam
dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan
masalah-masalah dalam kehidupan manusia.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang
pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497
S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya
dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis
sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau
kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah
suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-
unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang
mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan
pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus
menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran
(Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada
tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam.
Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks,
maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban
yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan
refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua
persoalan itu harus persoalan filsafat.
B. PENGETIAN DAN HAKEKAT ILMU
Menurut Burhanudin Salam (2005:10) Ilmu dapat merupakan suatu
metode berpikir secara obyektif dalam menggambarkan dan memberi makna
terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan common sense. Sehingga definisi ilmu pengetahuan adalah
kumpulan pengetahuan yang benar-benar disusun dengan sistematis dan
metodologis untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji atau
diverifikasi kebenarannya. Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara
kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh
adalah epistemology atau teori pengetahuan (theory of knowledge;
Erkentnistheorie). Istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang
berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya untuk “menempatkan sesuatu tepat pada
kedudukannya”.
The Liang Gie (1987) (dalam Surajiyo, 2010) memberikan pengertian
ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode
untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam
berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan
berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Secara filosofis, semua kajian yang menelaah secara kritis dan analitis
tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan secara menyeluruh adalah epistemology
atau teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie). Istilah ini berasal
dari bahasa yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan “logos” yang
berarti ilmu. Secara harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya untuk
“menempatkan sesuatu tepat pada kedudukannya”.
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi pada hakikatnya merupakan
suatu kajian Filosofis yang bermaksud mengkaji masalah umum secara
menyeluruh dan mendasar untuk menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari
pengetahuan manusia. Membahas Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya
diperoleh dan dapat diuji kebenarannya?, manakah ruang lingkup dan batasan-
batasan kemampuan manusia untuk mengetahui?, serta membahas pengandaian-
pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari adanya pengetahuan dan
memberi pertanggung jawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan
objektivitasnya. Sehingga epistemologi merupakan disiplin ilmu yang bersifat :
1. Evaluative, yaitu menilai apakah teori yang digunakan dapat dipertanggung
jawabkan secara nalar atau tidak.
2. Normative, yaitu menentukan tolok ukur kebenaran atau norma dalam
bernalar.
3. Kritis, yaitu menguji penalaran cara dan hasil dari pelbagai akal (kognitif)
manusia untuk dapat ditarik kesimpulan.
Adapun cara kerja metode pendekatan epistemologi adalah dengan cara
bagaimana objek kajian itu didekati atau dipelajari. Cirinya adalah dengan adanya
berbagai macam pertanyaan yang diajukan secara umum dan mendasar dan upaya
menjawab pertanyaan yang diberikan dengan mengusik pandangan dan pendapat
umum yang sudah mapan. Dengan tujuan agar manusia bisa lebih bertanggung
jawab terhadap jawaban dan pandangan atau pendapatnya dan tidak menerima
begitu saja pandangan dan pendapat secara umum yang diberikan.
Berdasarkan cara kerja atau metode yang digunakan, maka epistemologi
dibagi menjadi beberapa macam. Berdasarkan titik tolak pendekatannya secara
umum, epistemologi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Epistemologi metafisis
Epistemologi metafisis adalah pemikiran atau pengandaian yang
berasal dari paham tertentu dari suatu kenyataan lalu berusaha bagaimana cara
mengetahui kenyataan itu. Kelemahan dari pendekatan ini adalah hanya
menyibukkan diri dalam mendapatkan uraian dari masalah yang dihadapi
tanpa adanya pertanyaan dan tindakan untuk menguji kebenarannya.
2. Epistemologi skeptis
Epistemologi skeptis lebih menekankan pada pembuktian terlebih
dahulu dari apa yang kita ketahui sampai tidak adanya keraguan lagi sebelum
menerimanya sebagai pengetahuan. Kelemahan dari pendekatan ini adalah
sulitnya mencari jalan keluar atau keputusan.
3. Epistemologi kritis
Pada Epistemologi ini tidak memperioritaskan Epistemologi manapun,
hanya saja mencoba menanggapi permasalahan secara kritis dari asumsi,
prosedur dan pemikiran, baik pemikiran secara akal maupun pemikiran secara
ilmiah, dengan tujuan untuk menemukan alasan yang rasional untuk
memutuskan apakah permasalahan itu bisa diterima atau ditolak.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang
bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia
melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkkan
penjelasan yang ada dengan metode tertentu. Dalam hal ini, ilmu mempunyai
struktur dalam menjelaskan kajiannya. Struktur ilmu menggambarkan bagaimana
ilmu itu tersistematisir, terbangun atau terkonstruksi dalam suatu lingkungan
(boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas.
Struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship
among facts, concepts, and generalization, yang berarti struktur ilmu merupakan
ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta generalisasi. Dengan keterkaitan
tersebut akan membentuk suatu bangun kerangka ilmu tersebut. sementara itu,
definisi struktur ilmu adalah seperangkat pertanyaan kunci dan metode penelitian
yang akan membantu untuk memperoleh jawabannya, serta berbagai fakta,
konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik yang khas yang akan
mengantarkan kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin ilmu yang
bersangkutan. Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat
dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu, yaitu:
1. A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep,
generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan
sesuai dengan lingkungan (boundary) yang dimilikinya. Kerangka ilmu terdiri
dari unsur-unsur yang berhubungan, dari mulai yang konkrit (berupa fakta)
sampai ke level yang abstrak (berupa teori), semakin ke fakta maka semakin
spesifik, sementara semakin mengarah ke teori maka semakin abstrak karena
lebih bersifat umum.
2. A mode of inquiry, yaitu cara pengkajian atau penelitian yang mengandung
pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas
permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Terkadang, “pengetahuan” dan “ilmu” disama artikan, bahkan terkadang
dijadikan kalimat majemuk yang mempunyai arti tersendiri. Padahal, jika kedua
kata tersebut dipisahkan, akan mempunyai arti sendiri dan akan tampak
perbedaannya.
Ilmu adalah pengetahuan. Jika dilihat dari asal katanya, “pengetahuan” di
ambil dari bahasa inggris yaitu knowledge, sedangakan “ilmu” dari kata science
dan peralihan dari kata arab ilm atau ‘alima (ia telah mengetahui) sehingga kata
jadian ilmu berarti juga pengetahuan. Dari pengertian ini dapat diambil
kesimpulan bahwa ditinjau dari segi bahasa, antara pengetahuan dan ilmu
mempunyai sinonim arti, namun jika dilihat dari segi arti materialnya (kata
pembentuknya) maka keduanya mempunyai perbedaan.
Dalam encyclopedia Americana, di jelaskan bahwa ilmu (science) adalah
pengetahuan yang besifat positif dan sistematis. The Liang Gie mengutip Paul
Freedman dari buku The Principles Of Scientific Research dalam Amsal Bakhtiar.
(2008:91) memberi batasan definisi ilmu, yaitu suatu bentuk proses usaha
manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan baik dimasa lampau, sekarang,
dan kemudian hari secara lebih cermat serta suatu kemampuan manusia untuk
menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta merubah sifat-sifatnya
sendiri, sedangkan menurut Carles Siregar masih dlam dalam Amsal Bakhtiar.
(2008:91) menyatakan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan.
Ilmu dapat memungkinkan adanya kemajuan dalam pengetahuan sebab
beberapa sifat atau ciri khas yang dimiliki oleh ilmu. Burhanudin Salam
(2005:23-24)mengemukakan beberapa ciri umum dari pada ilmu, diantaranya:
1. Bersifat akumulatif, artinya ilmu adalah milik bersama. Hasil dari pada ilmu
yang telah lalu dapat digunakan untuk penyelidikan atau dasar teori bagi
penemuan ilmu yang baru.
2. Kebenarannya bersifat tidak mutlak, artinya masih ada kemungkinan
terjadinya kekeliruan dan memungkinkan adanya perbaikan. Namun perlu
diketahui, seandainya terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka itu bukanlah
kesalahan pada metodenya, melainkan dari segi manusianya dalam
menggunakan metode itu.
3. Bersifat obyektif, artinya hasil dari ilmu tidak boleh tercampur pemahaman
secara pribadi, tidak dipengaruhi oleh penemunya, melainkan harus sesuai
dengan fakta keadaan asli benda tersebut.

C. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU DAN TUJUAN MEMPELAJARI


FILSAFAT ILMU
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam
berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999),
filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu
dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang
pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada
hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah
digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu
merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat
ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah
mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan
lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari
pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)
bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Filsafat ilmu menurut Surajiyo (2010 : 45), merupakan cabang filsafat
yang membahas tentang ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah mengadakan analisis
mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh.
Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan
cara memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan
ilmiah itu sendiri.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada
strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai
pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau
kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento
Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang
hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang
kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang
mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan
filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu
“ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang
merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang
berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat
ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus
dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada”
(being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih
pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain
sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan
epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju
sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai,
ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan
ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam
Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu,
kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu,
simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi
penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat
ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan
metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah
dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang
ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Adapun tujuan mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar
(2008:20) adalah:
1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat
memahami sumber, hakekat dan tujuan ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmudi
berbagai bidang sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu
kontemporermsecara historis.
3. Menjadi pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah.
4. Mempertegas bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Bagi mahasiswa dan peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah
1. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan
melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat
dan kritis.
2. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah
dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu
budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu
sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut
seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah,
kehidupan sosial politik dan sebagainya.
3. Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak
kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang
digunakan oleh bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu
berupa tanggung jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya
masalaheuthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan
problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan
terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya
ilmiah.

D. HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN ILMU-ILMU LAIN


Filsafat adalah induk dari ilmu penegtahuan. Ilmu – ilmu khusus
merupakan bagian dari filsafat. Karena obyek filsafat sangat umum (seluruh
kenyataan), sedangkan ilmu membutuhkan obyek material yang khusus,
mengakibatkan berpisahnya ilmu dari filsafat (namun tidak berarti hubungannya
putus). Ciri – ciri yang dimilki oleh setiap ilmu, menimbulkan batas - batas yang
tegas antar masing – masing ilmu. Disinilah filsafat bertugas :
1. Berusaha menyatupadakan masing – masing ilmu
2. Mengatasi spesialisasi
3. Merumuskan pandangan yang didasarkan atas pengalaman manusia
4. Mengatur hasil – hasil berbagai ilmu khusus ke dalam sesuatu pandangan
hidup dan pandangan dunia yang tersatupadukan (integral), komperhensif, dan
konsisten. (Komprehensif : tidak ada satu bidang yang berada di luar jangkuan
filsafat, Konsisten : uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat –pendapat
yang saling berkontradiksi
Hubungan timbak balik antara ilmu dan filsafat, bahwa ilmu dapat
menyediakan bahan berupa fakta – fakta yang sangat penting bagi perkembangan
ide filsafat, sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.
Filsafat ilmu secara kritis menganalisis konsep – konsep dasar dan
memeriksa asumsi – asumsi dari ilmu – ilmu untuk memperoleh arti validitasnya,
sehingga hasil yang dicapai mempunyai landasan yang kuat. Meskipun secara
historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam
perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat
mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk
memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-
masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat
hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektuan
manusia
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan
ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan
sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan
sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu,
dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan
makna dan tugas filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat
adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya
menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal
tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat
konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang
terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik
tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan
deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan
klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-
hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji
pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup
hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat
sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi
kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan
kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta
khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan
antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat
mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti
bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya
mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan
objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai
kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan
sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Filsafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-
ilmu pengetahuan objeknya terbatas, khusus lapangannya saja.
2. Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight/pemahaman lebih dalam
dengan menunjukan sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan
juga menunjukkan sebab-sebab tetapi yang tak begitu mendalam.

E. FILSAFAT PENDIDIKAN
Menurut Muhmidayeli. (2011: 35) Filsafat pendidikan adalah upaya
menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi
berbagai ragam problem kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh
tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah penting dalam menemukan
teori-teori tentang pendidikan.Menurut John Dewey dalam Jalaluddin dan Idi
(2007: 19 – 21) filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan
dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun
daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.
Sedangkan Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany
dalamMuhmidayeli. (2011: 35), filsafat pendidikan adalah pelaksanaan
pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang pengalaman
kemanusiaan yaang disebut dengan pendidikan.
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum.
Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat.
Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat
umum, seperti:
1. Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk
mencapainya;
2. Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima
pendidikan;
3. Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
proses sosial;
4. Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk
mencapainya.
Selanjutnya al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa
tugas yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
1. Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha
pendidikan pada suatu bangsa;
2. Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada
Tuhan dengan segala aspeknya;
3. Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-
cara hidup mereka ke arah yang lebih baik;
Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat dan
menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara
mencapai kebenaran tersebut.
Filsuf pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas, dan
menyeluruh tentang wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan,
kemansiaan, pengetahuan kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsuf pendidikan
harus pula mampu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-
nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Gandhi HW (2011: 84) setelah mengkaji makna filsafat pendidikan dari
berbagai ahli Ia menyatakan bahwa: “Filsafat pendidikan tidak lain adalah
penerapan upaya metodis filsafat untk mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang
melandasi upaya-upayamanusia di dalam membangun hidup daan kehidupannya
untuk menjadi semakin baik dan berkualitas. Sedangkan upaya-upaya filsafat
dalam mempersoalkan adalah guna mengarahkan penyelenggaraan pendidikan
pada kondisi-kondisi etika yang diidealkan. Dalam makna lain, filsafat pendidikan
adalah flsifikasi pendidikan, baik dlm makna teoritis konseptual maupun makna
praktis-pragmatis yang menggejala.
.
F. HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN PENDIDIKAN DAN FILSAFAT
PENDIDIKAN
1. Hubungan Filsafat Ilmu Dengan Pendidikan
Hubungan filsafat ilmu dengan pendidikan. Filsafat ilmu merupakan
telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakekat ilmu
(Benny Irawan, 2011:49) Filsafat ilmu bertujuan mengadakan analisis
mengenai ilmu pengetahuan dan cara bagaimana ilmu pengetahuan itu
diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara memperolehnya Sebaliknya realita seperti pengalaman
pendidik menjadi masukan dan pertimbangan bagi filsafat ilmu untuk
mengembangkan pemikiran pendidikan. Hubungan fungsional antara filsafat
ilmu dengan pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Filsafat ilmu, merupakan satu cara pendekatan yang dipakai dalam
memecahkan problematika pengembangan ilmu pendidikan dan menyusun
teori-teori pendidikan oleh para ahli.
b. Filsafat ilmu, berfungsi memberi arah bagi pengembangan teori
pendidikan yang telah ada dan memilki relevansi dengan kehidupan yang
nyata.
c. Filsafat ilmu dan pendidikan mempunyai hubungan saling melengkapi,
yang dapat bermakna bahwa realita pendidikan dapat mengembangkan
filsafat ilmu, dan filsafat ilmu itu sendiri dapat membantu realita
perkembangan pendidikan.
2. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Filsafat Pendidikan
Pandangan filsafat pendidikan sama peranannya dengan landasan
filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan.
Antara filsafat dan pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat
mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan
pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut.
Filsafat pendidikan mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita,
antara lain tentang pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep
mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan
metodologi pendidikan. Di samping itu, pengalaman pendidik dalam
menuntun pertumbuhan dan perkembangan anak akan berhubungan dan
berkenalan dengan realita. Semuanya itu dapat digunakan oleh flsafat
pendidikan sebagai bahan pertimbangan dan tinjauan untuk
memngembangkan diri.
Filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan memiliki hubungan yang
sangat erat. Bagi perkembangan filsafat pendidikan, filsafat ilmu merupakan
landasan filosofis yang menjiwai pengembangan ilmu pendidikan dan teori-
teori pendidikan. Filsafat ilmu mencoba memberikan dasar bagi
pengembangan filsafat pendididkan dalam kerangka mengembangkan ilmu
pendidikan dan teori-teori pendidikan.
Selain itu, hubungan filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan juga
dapat dimaknai bahwa filsafat ilmu mempunyai fungsi untuk memberikan
petunjuk dan arah dalam pengembangan ilmu pendidikan (pedagogic) maupun
teori-teori pendidikan baik dari segi ontologi (tujuan), epistemologi (metode),
maupun axiologi (nilai).

G. KEBERADAAN MANUSIA DI DUNIA DARI PENCIPTAAN AWAL


HINGGA TUJUAN AKHIR
Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah SWT. Karena kita
diciptakan, maka sudah tentu kita harus menjalani kehidupan ini sesuai dengan
misi penciptaan itu sendiri, yaitu apa yang dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran
: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-
Ku. (Adz-Dzaariyaat : 56)
Apa itu ibadah ?. Menurut bahasa, Ibadah berarti “Tha’at”. Sedangkan
menurut istilah, Ibadah punya dua makna. Pertama, Ibadah dalam arti khusus,
yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya, seperti shalat, zakat, shaum,
haji, dan jihad. Kedua, Ibadah dalam arti umum, yaitu menjalankan seluruh
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam berbagai aspek kehidupan. Wal
hasil, yang harus diperbuat manusia dalam kehidupannya di dunia ini adalah
Ibadah.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa ibadah sesungguhnya bukanlah sekedar
aktifitas ritual seperti sholat, shaum, dll. Ini adalah pandangan yang keliru dan
membahayakan. Yang tepat, bahwa ibadah adalah seluruh amal perbuatan
manusia yang dilakukan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Amal
perbuatan manusia bisa memiliki nilai rohani, nilai manusiawi, nilai akhlaq, atau
nilai materi.
Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa
melaksanakan apa-apa yang diajarkan/diperintahkan oleh Rasul, dan
meninggalkan apa-apa yang di larangnya, sebagaimana firman-Nya : Apa yang
diberikan/diperintahakan Rasul kepadamu maka terimalah/laksanakanlah, dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggal-kanlah. (Al-Hasyr 7)
Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda : Siapa saja yang mengerjakan
suatu amal perbuatan, yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu
tertolak. (HR. Muslim). Oleh karena itulah, kita perlu mengkaji dan mendalami
Islam, agar bisa melakukan semua gerak langkah dan aktivitas kita, sesuai dengan
aturan-aturan Allah SWT, sehingga senantiasa memiliki nilai ibadah di sisi-Nya.
Tujuan akhir hidup manusia menurut Islam adalah mendapatkan
kebahagiaan hakiki. Perlu disadari bahwa kehidupan akhirat itulah sesungguhnya
kehidupan yang hakiki. Allah SWT berfirman : ...Katakanlah : “Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itulah lebih baik untuk orang-orang yang
bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (An Nisaa’ 77) Tetapi kamu
(orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al A’laa 17-18)
Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia) tidaklah dengan
palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya mengandung
maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia,
sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus meyadari terhadap tujuan
hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia memiliki
bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah : pertama, Menyembah Kepada Allah
(Beriman) Allah Swt. menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa tujuan hidup
manusia adalah semata-mata untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya (QS. Adz-
Dzariyat ayat 56 dan QS. Al-Bayyinah ayat 5). Kedua, Memanfaatkan Alam
Semesta (Beramal) Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk Allah yang
tertinggi (QS. at-Tien ayat 4). Sebagai makhluk tertinggi, disamping menjadi
hamba Allah, manusia juga dijadikan sebagai khalifah atau wakil Tuhan dimuka
bumi (QS. al-Isra’ ayat 70). Di samping itu, Allah juga menegaskan bahwa
manusia ditumbuhkan (diciptakan) dari bumi dan selanjutnya diserahi untuk
memakmurkannya (QS. Hud ayat 16 dan QS. al-An’am ayat 165). Dengan
demikian, seluruh urusan kehidupan manusia dan eksistensi alam semesta di
dunia ini telah diserahkan oleh Allah kepada manusia, Ketiga, Membentuk
Sejarah Dan Peradaban (Berilmu) Allah menciptakan alam semesta ini dengan
pasti dan tidak ada kepalsuan di dalamnya (QS. Shod ayat 27). Oleh Karena itu,
alam memiliki eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-
hukum yang tetap (sunnatullah). Di samping itu, sebagai ciptaan dari Dzat yang
merupakan sebaik-baiknya pencipta (QS. al-Mukminun ayat 14), alam semesta
mengandung nilai kebaikan dan nilai keteraturan yang sangat harmonis. Nilai ini
diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia, khususnya bagi keperluan
perkembangan sejarah dan peradabannya (QS. Luqman ayat 20). Oleh karena itu,
salah satu tujuan hidup manusia menurut al-Qur’an di muka bumi ini adalah
melakukan penyelidikan terhadap alam, agar dapat dimengerti hukum-hukum
Tuhan yang berlaku di dalamnya, dan selanjutnya manusia memanfaatkan alam
sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri, demi kemajuan sejarah dan
peradabannya.

H. HAKEKAT MANUSIA
1. Manusia : Pandangan Antropologi
Menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah “ilmu tentang manusia”.
Dalam perkembangannya di Amerika, antropologi dipakai dalam arti yang
sangat luas, karena meliputi baik bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu
tentang manusia”. Pada bahasan selanjutnya akan dikemukakan mengenai
manusia dalam pandangan antropologi.
Para ahli biologi pada abad ke-19-an menyimpulkan bahwa manusia
merupakan mahluk hidup yang terbentuk dari jutaan sel.
Pada awalnya di dunia ini hanya ada satu sel yang kemudian
berkembang dan mengalami percabangan-percabangan. Percabangan ini
mengakibatkan adanya variasi mahluk hidup di dunia ini. Menurut Charles
Darwin dalam teori Evolusinya, manusia merupakan hasil evolusi dari kera
yang mengalami perubahan secara bertahap dalam waktu yang sangat lama.
Dalam perjalanan waktu yang sangat lama tersebut terjadi seleksi alam.
Semua mahluk hidup yang ada saat ini merupakan organisme-organisme yang
berhasil lolos dari seleksi alam dan berhasil mempertahankan dirinya.
Para ahli biologi yang menyimpulkan bahwa semua mahluk hidup di
dunia berasal dari suku primat yang terbagi menjadi 2 cabang yaitu
Anthropoid dan Prosimii. Berdasarkan klasifikasi tersebut, manusia
ditempatkan pada subsuku Anthropoid yang dibagi menjadi 3 infrasuku yaitu,
Infrasuku Ceboid, infrasuku Cercopithedoid dan infrasuku Hominoid.
Infrasuku Hominoid terbagi kedalam 3 keluarga yaitu Pongidae,
Ramapithecas dan Hominidae. Manusia berada pada percabangan kaluarga
Hominidae. Keluarga Hominidae menggabungkan manusia purba jenis
Pithecanthropus dengan Homo Neanderthal dan dengan manusia sekarang
atau Homo Sapiens. Jenis Homo Sapiens yang ada sampai saat ini terdiri dari
4 ras yaitu ras Negroid, Caucasoid, Mongoloid dan Austrloid
(http://hanykpoespyta.wordpress.com/2008/04/19/manusia-antara-pandangan-
antropologi-dan-agama-islam).
Dapat disimpulkn bahwa manusia dalam pandangan Antropologi
terbentuk dari satu sel sederhana yang mengalami perubahan secara bertahap
dengan waktu yang sangat lama (evolusi). Berdasarkan teori ini, manusia dan
semua mahluk hidup di dunia ini berasal dari satu moyang yang sama. Nenek
moyang manusia adalah kera. Teori Evolusi yang dikenalkan oleh Charles
Darwin ini akhirnya meluas dan terus dipakai dalam antropologi.
2. Manusia : Pandangan Ilmu Sosial (sosiologi)
Konsep manusia dalam Sosiologi belum sepenuhnya melihat manusia
sebagai suatu makhluk yang utuh dan mandiri. Menurut Bapak ahli Sosiologi
modern, Agus Comte. Pandangan beliau banyak dipengaruhi oleh Louis de
Bonald, Seorang filsuf Perancis yang lahir pada tahun 1875.
Comte berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan individu.
Baginya Manusia itu ada untuk masyarakat dan masyarakatlah yang
menentukan segala-galanya. Comte melihat bahwa manusia adalah non
rational. Oleh karena itu menurutnya “Individual Liberty” justru akan
menimbulkan bahaya bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Demikian juga
dalam masyarakat, tak seorangpun dapat berpendapat lain dari pada apa yang
telah diputuskan oleh golongan tertinggi masyarakat itu, yaitu “The
Intellectual Scientific Religious Group.” Ini berarti bahwa manusia adalah
hanya suatu bagian dari masyarakat. Ia hidup dalam masyarakat tetapi ia tidak
dapat mengarahkan masyarakat sesuai dengan keinginannya. Dalam
pendidikan manusia diibaratkan suatu benda kosong dan adalah tugas
masyarakat untuk mengisinya dengan norma-norma atau nilai-nilai yang dapat
membuat masyarakat ini berbuat secara lebih terarah dalam artian tidak
menggangu sistem. Oleh karena itu Sosialisasi dalam kehidupan manusia
dipandang sangat penting.
Bagi Indonesia, konsep manusia yang diberikan oleh Comte sulit
untuk diterima, karena konsep tersebut terlalu memberikan porsi yang besar
pada masyarakat, sedangkan individu tidak diberi kesempatan untuk aktif
melakukan kegiatan kemasyarakatan. Pemerintah Indonesia bertujuan
membentuk manusia seutuhnya, artinya melihat manusia tidak hanya sekedar
menerima nilai-nilai masyarakat saja, tetapi ia juga dapat menciptakan nilai-
nilai baru dan menyampaikannya pada masyarakat. Oleh karena itu partsipasi
seluruh rakyat dalam proses pembangunan adalah sangat penting dan
diperlukan.
Hakikat manusia dilihat dari sosiologi tidak lepas dari manusia secara
individu dan manusia dalam artian masyarakat. Manusia sebagai individu
mempunyai ciri bebas, unik dituntut untuk mengikuti masyarakat yang
mempunyai sifat memaksa terhadap anggota masya-rakatnya. Individu
memiliki ciri interpretatif, artinya individu tersebut memiliki persepsi atau
cara pikir tersendiri mengenai sesuatu. Ketika ia diajarkan sebuah nilai dan
norma dalam sebuah masyarakat, individu tersebut tidak sekedar
menerimanya begitu saja, ia menggunakan kemampuannya dalam
menginterpretasikan nilai tersebut. Sehingga jika terdapat kekurangan dalam
nilai dan norma tersebut individu bisa melengkapinya
3. Manusia : Pandangan Ilmu Pendidikan
Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai
mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat
pendidikan. Aliran-aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan
konvergensi.
Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah
ada pada dirinya. Sedangkan menurut penganut empirisme adalah
sebaliknya. Perkembangan dan pertumbuhan manusia sepenuhnya
ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang
pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan
manusia (Jalaluddin dan Ali Ahmad Zen, 1996:52). Adapun aliran ketiga,
yaitu konvergensi merupakan perpaduan antara kedua pendapat tersebut.
Menurut mereka memang manusia memiliki kemampuan dalam dirinya
(bakat/potensi), tetapi potensiitu hanya dapat berkembang jika ada
pengarahan pembinaan sertabimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada
perpaduan antara faktor dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan).
Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan
potensi bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan)
bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan baik.
Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia
atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Sebab manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika
ia mampu merealisasikan hakikatnya secara total maka pendidikan hendaknya
merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar dengan bertitik tolak pada
asumsi tentang hakikat manusia.
Pendapat yang umumnya dikenal dalam pendidikan Barat mengenai
mungkin tidaknya manusia dididik terangkum dalam tiga aliran filsafat
pendidikan. Aliran-aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan
kovergensi.
Menurut nativisme, manusia tidak perlu dididik, sebab
perkembangan manusia sepenuhnya oleh bakat yang secara alami sudah
ada pada dirinya. Sedangkan menurut penganut empirisme adalah
sebaliknya. Perkembangan dan pertumbuhan manusia sepenuhnya
ditentukan oleh lingkungannya. Dengan demikian aliran ini memandang
pendidikan berperan penting dan sangat menentukan arah perkembangan
manusia (Jalaluddin dan Idi, Abdullah. 2007:52). Adapun aliran ketiga,
yaitu konvergensi merupakan perpaduan antara kedua pendapat tersebut.
Menurut mereka memang manusia memiliki kemampuan dalam dirinya
(bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat berkembang jika ada
pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar (lingkungan). Harus ada
perpaduan antara faktor dasar (potensi dan bakat) dan ajar (bimbingan).
Perkembangan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh kemampuan
potensi bakat yang dibawanya. Tanpa ada intervensi dari luar (lingkungan)
bakat/potensi seseorang tak mungkin berkembang dengan baik.
Salah satu konsep kependidikan yang banyak dianjurkan pada
lembaga-lembaga pendidikan guru umumnya menggambarkan pendidikan
sebagai bantuan pendidik untuk membuat subjek didik menjadi dewasa.
Manusia yang belum dewasa, proses perkembangan kepribadiannya menuju
pembudayaan maupun proses pematangan disebut sebagai objek pendidikan
( individu yang dibina ).
Hakikat manusia sebagai subjek didik mengandung arti sebagai
berikut:
a. Manusia bertanggung jawab atas pendidikannya sesuai wawasan
pendidikan seumur hidup
b. Manusia punya potensi baik fisik maupun psikis yang berbeda-beda
c. Manusia adalah insane yang aktif
d. Masalah jasmani dan rohani
Manusia adalah mahluk Ciptaan tuhan yang paling sempurna, manusia
mempunyai keistemewaan dibanding dengan mahluk lain, dan kesempurnaan
ini dapat meningkatkan kehidupannya. Pada awalnya manusia cenderung
melakukan pendidikan pada dirinya sendiri dengan berusaha mengerti dan
mencari hakikat kepribadian siapa diri mereka sebenarnya. Dengan berfikir
atau bernalar, merupakan suatu bentuk kegiatan akal manusia melalaui
pengetahuan yang diterima melalui panca indra diolah dan ditunjukkan untuk
mencapai suatu kebenaran. Sesuai dengan makna filsafat yaitu sebagai ilmu
yang bertujuan untuk berusaha memahami semua yang timbul dalam
keseluruhan lingkup pengalan manusia, maka manusia memerlukan ilmu
dalam mewujudkan pemahamn tersebut (Dr. jamaluddin, filsafat pendidikan,
1997).
a. Manusia Mahkuk Pengetahuan
Manusia berbeda dengan mahluk lainnya. Manusia lahir dengan
potensi kodratnya yaitu Cipta, Rasa, dan Karsa. Cipta adalah kemampuan
spiritual, yag secara khusus mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah
kemampuan spiritual yang mempersoalkan nilai Keindahan. Sedangkan
Karsa adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan
nilai kebaikan. Ketiga jenis nilai tersebut dibingkai dalam sebuah ikatan
system, selanjutnya dijadikanlah landasan dasar untuk mendirikan filsafat
hidup, menentukan Landasan Hidup, dan mengatur sikap dan perilaku
hidup agar senantiasa terarah ke pencapaian tujuan hidup.
b. Manusia Mahluk Berpendidikan
Dengan kemampuan pengetahuan manusia yang benar, manusia
berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia
berusaha mengamalkan pengetahuannya di dalam perilaku sehari-hari.
Sejak lahir, seorang manusia sudah terlibat langsung dalam kegiatan
pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dididik, dan dilatih oleh
orang tua, keluarga, dan masyarakat menuju tingkat kedewasaan dan
kematangan, sampai terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola
kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran tersebut
diselenggarakan secara Konvensional (alami) menurut pengalaman hidup,
sampai cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional
(pendidikan di sekolah), menurut kemampuan konseptik-rasional.
4. Manusia : Pandangan Filsfat Ilmu
Pandangan filsafat terhadap manusia dapat dipandang dari beberapa
sudut pandang yakni dari:
a. Teori Descendensi
Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan
manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang
besar) terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada
henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani
mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang
mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya.
Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political
animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili
menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan
negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang
memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam
masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus
dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha
memikirkan suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, manusia disebut Homo homini
lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya
(berdasarkan sifat dan tabiat)
Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk
mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan
nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a
shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai
binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas (das rucht
festgestelte tier). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Julien, bahwa manusia manusia tak ada bedanya dengan
hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang terus bekerja (de
lamittezie). Artinya bahwa dari aktivitas manusia dimulai bangun tidur
sampai ia tidur kembali manusia tidak berhenti untuk beraktivitas.
Menurut Ernest Haeskel, bahwa manusia merupakan (animalisme),
tak ada sanksi bahwa segala hal manusia sungguh-sungguh ialah binatang
beruas tulang belakang yakni hewan menyusui. Artinya bahwa tidak
diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang menyusui.
Menurut William Ernest, bahwa manusia adalah hewan yang
berfikir dalam istilah totalitas, dan hewan yang berjiwa. Artinya manusia
mempunyai akal pikiran untuk memikirkan segala hal dan manusia
memiliki jiwa.
Menurut Adi Negara bahwa alam kecil sebagian alam besar yang
ada di atas bumi. Sebagian dari makhluk yang bernyawa, sebagian dari
bangsa antropomoker, binatang yang menyusui, akan tetapi makhluk yang
mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat menguasai
kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya (lahir dan batin).
Kesimpulannya:
1) Menurut teori descendensi bahwa meletakkan manusia sejajar dengan
hewan berdasarkan sebab mekanis.
2) Keistimewaan ruhaniyah manusia dibandingkan dengan hewan terlihat
dalam kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir,
berpolitik, mempunyai kebebasan/kemerdekaan, memiliki sadar diri,
mempunyai norma, tukang bertanya atau tegasnya manusia adalah
makhluk berbudaya.
3) Manusia mempunyai aktivitas yang hampir sama dengan aktivitas
yang dilakukan oleh hewan.
b. Aliran Metafisika
Metafisika berasal dari bahasa Yunani Meta ta physica yang dapat
diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-benda fisik.
Menurut Prof. S. Takdir Alisyahbana, metafisika ini dibagi
menjadi dua golongan besar, yaitu : (1) yang mengenai kuantitas (jumlah)
dan (2) yang mengenai kualitas (sifat).Yang mengenai kuantitas terdiri
atas (a)monisme, (b) dualisme, dan (c) pluralisme. Monisme adalah aliran
yang mengemukakan bahwa unsur pokok segala yang ada ini adalah esa
(satu). Dualisme adalah aliran yang berpendirian bahwa unsur pokok yang
ada ini ada dua, yaitu roh dan benda. Pluralisme adalah aliran yang
berpendapat bahwa unsur pokok hakikat kenyataan ini banyak. Yang
mengenai kualitas dibagi juga menjadi dua bagian besar, yakni (a) yang
melihat hakikat kenyataan itu tetap, dan (b) yang melihat hakikat
kenyataan itu sebagai kejadian.Yang termasuk golongan pertama (tetap)
ialah:” Spiritualisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat itu
bersifat roh.” Materialisme, yakni aliran yang berpendapat bahwa hakikat
itu bersifat materi. Yang termasuk golongan kedua (kejadian) ialah:”
Mekanisme, yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian di dunia ini
berlaku dengan sendirinya menurut hukum sebab-akibat.” Aliran teleologi,
yakni aliran yang berkeyakinan bahwa kejadian yang satu berhubungan
dengan kejadian yang lain, bukan oleh hukum sebab-akibat, melainkan
semata-mata oleh tujuan yang sama.
Pandangan filsafat terhadap aliran metafisika adalah memandang
sesuatu yang ada pada diri manusia yakni sebagai berikut:
1) Serba zat: manusia terdiri dari sel yang mengacu pada materialisme /
sesuatu yang nyata / ada. Beranggapan yang sesungguhnya ada hanya
materi saja yang bisa ditangkap oleh pancaindera.
2) Serba ruh: identik dengan jiwa, mencakup ingatan, imajinasi,
kemauan, perasaan, penghayatan.
Jadi, asal manusia dari suatu yang ada dan tak bergantung dari
yang lain. Hakikat manusia ialah dari ruh yang ditiupkan oleh Tuhan.
Artinya manusia tersusun dari zat yang ada dengan diberikannya ruh oleh
Tuhan sehingga menyebabkan manusia dapat hidup. Manusia mempunyai
fisik yaitu jasadnya. Selain jasad manusia juga mempunyai ruh atau yang
tidak dapat ditangkap oleh panca indera yakni berhubungan dengan jiwa
mencakup ingatan, gagasan, imajinasi, kemauan, perasaan dan
penghayatan.
c. Psikomatik
Memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki
kebutuhan untuk menjaga keberlangsungannya artinya manusia
memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) untuk
keberlangsungan hidupnya.
Manusia terdiri dari sel yang memerlukan materi cenderung
bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai ekonomi (dinilai dengan
harta / uang) artinya manusia memerlukan kebutuhan duniawi yang harus
dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan
merasa puas terhadap pencapaiannya.
Manusia juga terdiri dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang
diatur oleh nilai keagamaan (pahala). Dalam menjalani kehidupan duniawi
manusia membutuhkan ajaran agama, melalui ceramah keagamaan untuk
memenuhi kebutuhan rohaninya.
Manusia sempurna jika mengembangkan unsur rasionalitas,
kesadaran, akal budi, spritualitas, moralitas, sosialitas, kesesuian dengan
alam.
1) Rasionalitas
Secara etimologis rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris
rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti
“akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya
rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal
merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu,
secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang
pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan.
Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,
mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan
inderawi.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat
yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui
pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada
melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai
kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan
atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan
sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan
keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan
kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat
manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa
manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya.
Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi
humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan tanpa
kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak
menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia
menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski
ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak
seluruh rasionalis adalah atheis.
2) Kesadaran
Manusia dikatakan manusia sempurna apabila manusia
mempunyai kesadaran hidup. Kesadaran berarti manusia melakukan
segala sesuatu atas dorongan dari diri sendiri bukan paksaan dari orang
lain.Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu/mengerti
dengan jelas apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa
diartikan dalam banyak makna, seperti ingatan, hasil berpikir, akal,
gagasan ataupun maksud/niat.
Sebagai gambaran untuk memperjelas, misalnya ada seorang
anak melihat balon. Keadaan melihat tersebut yang ia sadari sendiri itu
dinamakan kesadaran. Sedangkan balon yang ia lihat yang
menimbulkan anggapan besar atau berwarna hijau disebut pikiran
(persepsi). Reaksi bagus dan indah sehingga anak tersebut suka adalah
bentuk dari perasaan. Kemudian reaksi pikiran yang menginginkan
balon tersebut itu yang dimaksud dengan niat/kehendak/maksud. Kata
pikiran bermakna sangat luas sehingga ada yang menggunakannya
dalam konteks sebagai niat atau kehendak.
3) Akal budi
Akal budi yang baik akan mengarahkan manusia ke jalan yang
lurus. Mungkin pada suatu saat manusia akan mundur atau
menyimpang salah jalan. Tetapi akal budi inilah yang akan berupaya
meluruskan kembali jalan hidup kita.Akal budi ini adalah anugerah
terbesar dari Tuhan untuk manusia. Inilah yang membedakan kita
dengan hewan atau bahkan dengan tumbuhan. Dengannya kita dapat
mempelajari dan mendalami keimanan. Dengan iman inilah manusia
dengan akal budinya mampu mengenali Tuhan.
Tetapi banyak orang yang tertipu karena keterbatasan akal
budinya dan menganggap pikiran manusia berseberangan dengan
iman. Tetapi yang benar adalah iman itu sebagai penuntun akal budi
agar perjalanan hidup manusia tidak menyimpang alias salah jalan.
Dan dengan akal budi kita dapat memperdalam iman. Dengan iman,
manusia mampu mengenal Tuhan dan berjalan lurus menuju kepada-
Nya.
4) Spiritualitas
Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa kata "spiritual" itu
diambil dari bahasa Latin, Spiritus, yang berarti sesuatu yang
memberikan kehidupan atau vitalitas. Dengan vitalitas itu maka hidup
kita menjadi lebih "hidup". Spiritus ini bukan merupakan label atau
identitas seseorang yang diterima dari / diberikan oleh pihak luar,
seperti agama, melainkan lebih merupakan kapasitas bawaan dalam
otak manusia. Artinya, semua manusia yang lahir ke dunia ini sudah
dibekali kapasitas tertentu di dalam otaknya untuk mengakses sesuatu
yang paling fundamental dalam hidupnya. Jika kapasitas itu
digunakan / diaktifkan, maka yang bersangkutan akan memiliki
vitalitas hidup yang lebih bagus. Kapasitas dalam otak yang berfungsi
untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental itulah yang
kemudian mendapatkan sebutan ilmiyah, seperti misalnya: Kecerdasan
Spiritual (SQ), Kecerdasan Hati (Heart Intelligence), Kecerdasan
Transendental, dan lain-lain.
Spiritual di dalam diri kita selalu mendorong untuk
menemukan makna hidup yang lebih dalam, nilai-nilai fundamental
yang lebih bermanfaat, kesadaran akan adanya tujuan hidup yang lebih
panjang, dan peran yang dimainkan oleh makna, nilai, dan tujuan itu
dalam tindakan, strategi dan proses berpikir.
5) Moralitas
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Nurudin, 2001)
moral berarti ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti,
susila. Sedangkan bermoral adalah mempunyai pertimbangan baik
buruk, berakhlak baik. Menurut Immanuel Kant (Magnis Suseno,
1992), moralitas adalah hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal
sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum
negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria
mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada hatinya sendiri.
Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap
hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia.
Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang
dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
6) Sosialitas
Sosialisasi mengacu pada suatu proses belajar seorang individu
yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu menahu tentang
diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Agen
sosialisasi meliputi keluarga, teman bermain, sekolah dan media
massa. Keluarga merupakan agen pertama dalam sosialisasi yang
ditemui oleh anak pada awal perkembangannya. Kemudian kelompok
sebaya sebagai agen sosialisasi di mana si anak akan belajar tentang
pengaturan peran orang-orang yang berkedudukan sederajat. Sekolah
sebagai agen sosialisasi merupakan institusi pendidikan di mana anak
didik selama di sekolah akan mempelajari aspek kemandirian, prestasi,
universalisme serta spesifisitas. Agen sosialisasi yang terakhir adalah
media massa di mana melalui sosialisasi pesan-pesan dan simbol-
simbol yang disampaikan oleh berbagai media akan menimbulkan
berbagai pendapat pula dalam masyarakat.
Dalam rangka interaksi dengan orang lain, seseorang akan
mengembangkan suatu keunikan dalam hal perilaku, pemikiran dan
perasaan yang secara bersama-sama akan membentuk self.
7) Keselarasan dengan alam
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia
dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan
yang ditaklukkan, atau antara tuhan dengan hamba, tetapi hubungan
kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Manusia
diperintahkan untuk memerankan fungsi kekhalifahannya yaitu
kepedulian, pelestarian dan pemeliharaan. Berbuat adil dan tidak
bertindak sewenang -wenang kepada semua makhluk sehingga
hubungan yang selaras antara manusia dan alam mampu memberikan
dampak positif bagi keduanya. Oleh karena itu manusia diperintahkan
untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan alam guna
menjaga keseimbangan alam dan meningkatkan keimanan kepada
Allah SWT. Itu merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah
SWT
BAB III
SIMPULAN

Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang membahas tentang ilmu. Tujuan
filsafat ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan cara
bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan
tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian
filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Tujuan mempelajari filsafat ilmu pada dasarnya adalah untuk memahami
persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah
dengan cermat dan kritis.
Hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan lain adalah bahwa Filsafat
mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu
pengetahuan objeknya terbatas, khusus lapangannya saja. Selain itu Filsafat hendak
memberikan pengetahuan, insight/pemahaman lebih dalam dengan menunjukan
sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga menunjukkan sebab-
sebab tetapi yang tak begitu mendalam.
Keberadaan manusia di dunia sesuunguhnya sebagai mahluk yang diciptakan
Allah SWT yang diberi kemampuan untuk berpikir (akal), sedangkan tujuan akhir
hidup manusia menurut Islam adalah mendapatkan kebahagiaan hakiki. Sebagai
mahluk yang berpikir (memiliki akal) itulah yang menyebabkan manusia berfilsafat.
Filsafat dapat dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji
tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala sesuatu, baik
yang sifatnya materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan
hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir
secara rasional-logis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Sedangkan
ilmu dapat dimaknai sebagai suatu metode berpikir secara obyektif dalam
menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia fuktual dan berprinsip untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense.
Sedangkan Filsafat pendidikan dapat dimaknai sebagi upaya menerapkan
kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem
kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang
tentunya merupakan langkah penting dalam menemukan teori-teori tentang
pendidikan.
Antara filsafat ilmu, dengan pendidkan dan dengan filsafat pendidikan
memimiliki hubungan yang saling melengkapi. Filsafat ilmu dapat membantu
perkembangan pendidikan dan filsafat pendidikan. Di lain pihak, perkembangan
pendidikan dan filsafat pendidikan dan membantu perkembangan Filsafat Ilmu.
1. Manusia dalam pandangan Antropologi terbentuk dari satu sel sederhana yang
mengalami perubahan secara bertahap dengan waktu yang sangat lama (evolusi).
2. Konsep manusia dalam Sosiologi adalah mahluk sosial, yakni mahluk yang tidak
dapat hidup tanpa bantu orang lain.
3. Konsep Manusia menurut ilmu pendidikan adalah individu yang memiliki
kemampuan dalam dirinya (bakat/potensi), tetapi potensi itu hanya dapat
berkembang jika ada pengarahan pembinaan serta bimbingan dari luar
(lingkungan).
4. Manusia menurut pandangan filsafat ilmu, dapat dilihat dari teori descendensi dan
Metafisika
a. Menurut teori descendensi: 1) manusia sejajar dengan hewan berdasarkan
sebab mekanis; 2) Keistimewaan ruhaniyah manusia dibandingkan dengan
hewan terlihat dalam kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang
berpikir, berpolitik, mempunyai kebebasan/kemerdekaan, memiliki sadar diri,
mempunyai norma, tukang bertanya atau tegasnya manusia adalah makhluk
berbudaya.
b. Menurut Metafisika. Asal manusia dari suatu yang ada dan tak bergantung
dari yang lain. Hakikat manusia ialah dari ruh yang ditiupkan oleh Tuhan.
Artinya manusia tersusun dari zat yang ada dengan diberikannya ruh oleh
Tuhan sehingga menyebabkan manusia dapat hidup. Manusia mempunyai
fisik yaitu jasadnya. Selain jasad manusia juga mempunyai ruh atau yang
tidak dapat ditangkap oleh panca indera yakni berhubungan dengan jiwa
mencakup ingatan, gagasan, imajinasi, kemauan, perasaan dan penghayatan.
5. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada
secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya.
(Surajiyo,2010:4)
6. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh
seseorang
7. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan atau sistem yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan
serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkkan penjelasan
yang ada dengan metode tertentu.
8. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu
dengan segala segi dari kehidupan manusia (The Liang Gie,1999)
9. Filsafat pendidikan adalah upaya menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat
dalam ragam pencarian solusi berbagai ragam problem kependidikan yang akan
melahirkan pemikiran utuh tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah
penting dalam menemukan teori-teori tentang pendidikan (Muhmidayeli., 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bakhtiar. 2008. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Frondizi, Resieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai (Terjemahan oleh: Cuk Ananto
Wijaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan: Madzab-Madzab Filsafat


Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Jalaluddin & Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.

Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif).


Yogyakarta: Gama Media.

Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Muslih, Muhammad. 2005. Filsafat Umum: Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta:


Belukar.

Salam, Burhanuddin . 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.

Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.

Supriyanto, S. 2003. Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan


Masyarakat. Universitas Airlangga. Surabaya.

Surajiyo . 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi


Aksara.

Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan (Terjemahan oleh: Mahmud Arif).


Yogyakarta: Gama Media.

http://pohanrangga.blogspot.com/2012/11/hakekat-manusia-dari-segi-
sosiologi.htmldiunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 21.30

http://hanykpoespyta.wordpress.com/2008/04/19/manusia-antara-pandangan-
antropologi-dan-agama-islam/ diunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 21.00

http://uphilunyue.blogspot.com/2013/01/manusia-dalam-pandangan-filsafat-
teori.html diunduh tanggal 03 Nopember 2013 pkl 22.00

Anda mungkin juga menyukai