Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Asal kata pterigium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing

atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang berbentuk sayap

pada konjungtiva bulbi. Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya

terletak pada celah kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang

meluas ke daerah kornea. (Ilyas, 2009).

Pterigium merupakan penyakit mata yang umum dijumpai serta

merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia

dengan tingkat prevalensi yang bervariasi mulai dari 1,2% sampai 23,4% (Feng,

et

al., 2010). Pterigium lebih sering terjadi pada daerah yang panas dengan iklim

kering dimana prevalensinya dapat mencapai hingga 22% pada daerah ekuator.

Pada beberapa pulau-pulau tropis di Indonesia dilaporkan memiliki tingkat

prevalensi hingga 17% dan hal yang sama juga dijumpai di daerah Papua Nugini.

Sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi yang kuat antara paparan sinar

matahari dengan terjadinya pterigium (Meseret, et al. 2008).

Faktor risiko pterigium tidak diketahui dengan pasti tetap terdapat

beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan timbulnya pterigium yaitu

radiasi ultraviolet, faktor genetik serta faktor lain seperti iritasi kronik. Pada

anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata

sering berair, gangguan penglihatan (Laszuarni, 2009).

1
Pengobatan pterigium bila gejala ringan dapat diberi air mata buatan,

untuk menghilangkan dan bila mengganggu penglihatan dilakukan tindakan

bedah, serta penderita disarankan untuk memakai kaca mata ultra violet resisten

(Ilyas, 2009).

Komplikasi dari pterigium antara lain distorsi dan/atau penurunan

penglihatan, kemerahan, iritasi, parut pada konjungtiva dan kornea,serta diplopia

(Fisher, 2013). Prognosis pterigium yaitu penglihatan dan kosmetik pasien setelah

eksisi adalah baik, kebanyakan pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat

beraktivitas kembali (Laszuarni, 2009).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asal kata pterigium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing

atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterigium yang berbentuk sayap

terutama bentuk lipatan segitiga abnormal pada konjungtiva bulbi. Pterigium

merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak

mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.

(Ilyas, 2009).

2.2 Epidemiologi

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim

panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor

yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang

terletak kurang 370 Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22%

di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 40 0

lintang. Insiden pterigium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah

ekuator, yaitu 13,1%.

Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi

pterigium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari

kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang

(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih

3
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah,

riwayat terpapar lingkungan di luar rumah (Laszuarni, 2009).

Prevalensi pterigium di Indonesia pada kedua mata ditemui 3,2%

sedangkan pterigium pada salah satu mata 1,9%. Prevalensi pterigium pada kedua

mata tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (9,4%), terendah di Provinsi DKI

Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium pada salah satu mata tertinggi di Provinsi

Nusa Tenggara Barat (4,1%), terendah di Provinsi DKI Jakarta (0,2%). Prevalensi

pterigium mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur. Prevalensi

tertinggi ditemui pada kelompok umur 70 tahun. Dan tidak didapati perbedaan

yang terlalu signifikan pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Erry, et

al 2011).

2.3 Etiologi

Beberapa faktor risiko yang diduga dapat menyebabkan timbulnya

pterigium yaitu: (Lu and Chen, 2009).

1. Lokasi geografis, berdasarkan hasil studi epidemiologi dijumpai adanya

asosiasi antara paparan yang lama terhadap sinar matahari pada daerah-daerah

geografis dengan kejadian pterigium. Paparan sinar matahari dan sinar UV,

banyak dokter mata menyatakan bahwa pterigium merupakan akibat dari

paparan sinar UV disertai adanya degenerasi elastoid pada jaringan ikat

subepitel. Penelitian telah menunjukkan bahwa semakin lama berada di luar

rumah memiliki risiko yang meningkat terjadinya pterigium. Selain itu

paparan terhadap radiasi sinar UV juga memiliki peranan yang penting

4
sehingga dapat disimpulkan pterigium berkaitan erat dengan paparan sinar

matahari pada mata.

2. Usia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan prevalensi

pterigium, dimana terjadi peningkatan angka kejadian pterigium sesuai

dengan meningkatnya usia dimana dijumpai adanya hubungan yang erat,

risiko meningkat dan mencapai puncak pada usia 70-81 tahun. Beberapa teori

mengatakan ada hubungan usia dengan kejadian pterigium. Tetapi mekanisme

pastinya belum diketahui. Sampai saat ini mekanisme yang paling

berhubungan adalah paparan sinar UV (Rezvan, et al. 2012).

3. Faktor genetik, beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga

dengan pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan

riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom

dominan.

4. Faktor lain, iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer

kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya

limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari

pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan

partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterigium.

2.4 Patofisiologi

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih

sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran

yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor

lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,

5
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan

lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film

menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori.

Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori

ini.

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal

basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi

dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel

bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan

terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi

degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian

menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran

bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan

inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan

defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada

permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva

ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan

pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan

karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat

sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.

6
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan

phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum

dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal.

Lapisan fibroblast pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang

berlebihan. Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,

dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan

luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterigium cenderung terus

tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi

(Garg, 2009)

2.5 Klasifikasi

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,

yaitu :

a. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan

kepala pterigium (disebut cap pterygium).

b. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi

membentuk membran tetapi tidak pernah hilang (Donald et al, 2005).

Pembagian lain pterigium yaitu (Kanski, 2007) :

1) Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi

dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering

asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan

pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

2) Tipe II : menutupi kornea sampai 4 mm, bisa primer atau rekuren setelah

operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisme.

7
3) Tipe III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi

yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis

subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan

pergerakan bola mata.

Gambar 2.1 Tipe Pterigium

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :

a. Derajat 1 : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

b. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm

melewati kornea.

c. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil

mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 –

4 mm)

d. Derajat 4 : pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan (Tjahjono, 2006)

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering

tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Pasien biasanya mengeluhkan adanya

8
iritasi ringan dengan keluhan mata merah, kering, atau terasa ada benda pada

mata. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

1. Merasa kelilipan saat berkedip, dapat tidak memberikan keluhan

2. Dapat menimbulkan astigmatisme yang akan memberikan keluhan gangguan

penglihatan akibat pterigium mencapai daerah pupil

3. Muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral

atau didaerah kornea. Bagian puncak dari jaringan pterigium ini biasanya

menampakkan garis coklat-kemerahan yang merupakan tempat deposisi besi

yang disebut garis Stocker.

4. Pembuluh yang terdapat pada konjungtiva akan memberikan mata lebih

merah (Ilyas, 2009).

Gambar 2.2 Mata dengan Pterigium

9
2.7 Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,

gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan

adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada

daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan

riwayat trauma sebelumnya.

Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada

permukaan konjungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan

tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Pterigium paling sering

ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat

pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme

ireguler yang di sebabkan oleh pterigium (Laszuarni, 2009).

2.8 Diagnosis Banding

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama

yaitu pinguekula dan pseudopterygium.

a. Pinguekula

Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada

konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami

10
inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden

meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang

dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan.

Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula.

Gambar 2.3 Perbedaan Pterigium dan Pinguecula

b. Pseudopterigium

Pertumbuhan yang mirip dengan pterigium, pertumbuhannya membentuk

sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration.

Pseudopterygium mirip dengan pterigium, dimana adanya jaringan parut

fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda

dengan pterigium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan

okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal,

trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi

pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan

muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium

11
pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterigium. Pada

pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan

pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang

berbeda dengan true pterygium (Laszuarni, 2009).

Gambar 2.4 Mata dengan Pseudopterygium

2.9 Penatalaksanaan

Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterigium ringan sering ditangani

dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans,

vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala

terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk mencegah progresifitas, beberapa

peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet.

Indikasi eksisi pterigium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi

adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4

mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya

gangguan pergerakan bola mata.

12
Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata

yang licin. Suatu teknik yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium

dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah

limbus. Memisahkan pterigium ke arah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-

kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah

eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik

operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :

1) TEKNIK BARE SCLERA

a. Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi

lokal.

b. Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum.

c. Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterigium dengan spuit 1 cc.

d. Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai

pinggir limbus.

e. Kemudian pterigium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah

badannya dengan menggunakan gunting

2) TEKNIK CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT

a. Setelah pterigium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur.

b. Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama,

diperkirakan lebih besar 1 mm dari bare sclera yang diukur, kemudian

diberi tanda.

c. Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah

mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft.

13
d. Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang

akan digraft.

e. Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan

menggunakan vicryl 8.0

2.10 Komplikasi

Komplikasi dari pterigium antara lain (Fisher, 2013) :

1. Distorsi dan/atau penurunan penglihatan

2. Kemerahan

3. Iritasi

4. Parut pada konjungtiva dan kornea

5. Diplopia akibat keterlibatan otot ekstraokular yang akan menghambat

pergerakan bola mata. Pada pasien yang belum menjalani operasi, parut

pada rektus media merupakan penyebab tersering.

Komplikasi pasca operatif :

1. Infeksi

2. Reaksi alergi terhadap bahan jahit

3. Diplopia

4. Tidak bersatunya graft konjungtiva

5. Parut kornea

6. Komplikasi yang jarang antara lain : perforasi bola mata, perdarahan

vitreus, atau retinal detachment

Komplikasi jangka panjang post operasi dengan radiasi beta adalah

penipisan kornea dan/atau sklera atau disebut juga ektasia yang dapat timbul

14
tahunan setelah operasi. Komplikasi tersering operasi pterigium adalah

kekambuhan post operasi, dimana eksisi sederhana memilki tingkat kekambuhan

50-80%. Akan tetapi tingkat kekambuhan telah menurun hingga 5-15% dengan

teknik autograft konjungtiva/limbal atau dengan transplantasi membrane amnion

(Fisher, 2013).

2.11 Prognosis

Prognosis visual dan kosmetik setelah eksisi pterigium termasuk baik.

Prosedur dapat ditoleransi oleh pasien dan selain rasa tidak nyaman beberapa hari

post operasi, sebagian besar pasien dapat menjalankan aktivitas semula dalam 48

jam post operasi. Pasien yang mengalami kekambuhan dapat diterapi dengan

berbagai teknik operasi (Fisher, 2013).

2.12 Pencegahan

Berdasarkan patogenesis yang menyatakan bahwa penyebab utama

pterigium adalah paparan sinar UV, maka pencegahan pterigium yang utama

adalah dengan meminimalisir paparan terhadap sinar UV. Edukasi pasien

merupakan pencegahan utama untuk pterigium. Pasien di edukasi mengenai

pemakaian topi dan kacamata dengan lensa yang dilapisi untuk mencegah

masuknya sinar UV ke mata. Edukasi ini sangat penting terutama pada individu

yang tinggal atau beraktivitas di daerah tropis dan subtropis dan pekerjaan yang

berisiko tinggi seperti nelayan, petani, pekerja bangunan, dan lain-lain (Fisher, et

al., 2013).

15
BAB 3
KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata

dan merupakan yang tersering di Indonesia. Hal ini di karenakan oleh letak

geografis Indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh

sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium.

Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih

banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien pada umur antara 20 dan 49

tahun karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun

(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi

benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium hanya perawatan secara konservatif dapat diberikan

anti inflamasi. Pada pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah

sangat mengganggu bagi penderita seperti gangguan visual dan gangguan

pergerakan bola mata. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan

menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

16

Anda mungkin juga menyukai