Menurut Golden (1992), yodium termasuk dalam klasifikasi/ kategori nutrient type 1,
bersama dengan zat gizi lain seperti besi, selenium, kalsium, thiamine dll. Type 1 ini mempunyai
cirri yang apabila kekurangan maka gangguan terhadap pertumbuhan bukan merupakan tanda
yang pertama melainkan timbuk setelah tahap akhir dari kekurangan zat gizi. Tanda spesifiklah
yang pertama kali yang pertama kali akan timbul. Dalam kekurangan yodium , dapat
menyeybabkan gangguan akibat kekurangan yodium yang sering disebut Iodine Deficiency
Disorder (IDD). Dalam type 2, pertumbuhan akan terganggu terlebih dahulu, tetapi memberikan
penilaian biokimia cairan tubuh yang normal. Nutrient yang termasuk ini adalah potassium,
natrium, zinc dll.
Interaksi antara yodium dengan mineral dan vitamin lain perlu di teliti lebih lanjut. Baik
secara laboratorium dengan menggunakan hewan percobaan maupun di lapangan terhadap
manusia. Penelitian yang melihat interaksi secara langsung antara yodium dengan vitamin A
pernah dilakukan namun perlu di konfirmasi lebih lanjut. Penelitian oleh van Stujivenberg dkk,
(1999) misalnya yang mengambil 115 anak di Afrika Selatan usia 6-11 tahun yang diberi biscuit
selama 43 minggu sampai lebih dari 12 bulan dibandingkan dengan control. Biscuit
mengandung besi, yodium, dan betha carotene sedangkan control adalah biscuit yang tidak
difortifikasi. Pada akhir intervention, terlihat pada tidak ada perbedaan perubahan dalam
pengecilan kelenjar tiroid anak-anak secara sigifikan. Akan tetapi, terjadi penurunan jumlah
anak-anak yang mempunyai eksresi yodium rendah (100 ug/L) dari semula berjumlah 97,5%
menjadi tinggal 5,4%. Peningkatan eksresi urin tersebut sangat signifikan (p<0.0001).
a. Selenium
Untuk sementara interaksi antara yodium dengan selenium dalam proses penyerapan
belum ada atau masih diperdebatkan. Kalaupun ada interaksi ini sangat kompleks atau signifikan.
Sementara peneliti lain menemukan temuan yang berbeda. Roti et al (1996) mendapatkan bahwa
administrasi selenium pada perempuan yang euthyroid tidak mengubah fungsi thyroid sama
sekali. Juga cukup menarik untuk diamati bahwa Zagrodzki menemukan interaksi hanya pada
perempuan yang ia duga berkait dengan respons sexlinked hormone terhadap afektifitas interaksi
tersebut. Sementara beberapa peneliti lebih melihat interaksi tersebut dalam kerangka yang lebih
besar yang melibatkan zat gizimikor lain, termasuk Fe, Cu dan Zn.
Secara hipotetik, interaksi antara dua zat atau lebih zat gizi, terutama zat gizimikro, dapat
terjadi di berbagai tingkat ketersediaan dalam tanah,a ir, dan tumbuh-tumbuhan yang ada dalam
wilayah tertentu, dalam proses arbsorpsi dan yang utama dalam proses metabolisme.
Pada binatang percobaan ditemukan bahwa kekurangan selenium meningkatkan kadar
T3 di jantung, sehingga dapat menimbulkan peningkatan denyut jantung dan palpasi.
Selenoprotein yang juga terlibat dalam interaksi metabolisme yodium ialah iodotyronine
deiodinase yang berfungsi merubah thyroxine (T4) menjadi bentuk aktif dari hormone thyroid
triiodothyronine (T3) (Satoto, 2001). Enzim tersebut merupakan selenium-dependent enzymes
selain merupakan katalisator utama dalam perubahan thyroxin (T4) menjadi triidotyronine (T3)
juga merupakan katalisator yang merubah T3 menjadi T2 untuk mempertahankan level T3.
Selain itu salah satu contoh dari selenoprotein yang berhubungan dengan metabolisme yodium
adalah glutathione peroxidase, berfungsi sebagai antioksidan utama dalam tubuh manusia dan
binatang(Satoto, 2001). Dengan adanya gambarana diatas, jelas bahwa akibat kekurangan
selenium asupan T3 dalam sel tubuh juga menurun.
b.Thosianat
Tiosiant dikenal sebagai zat geitrogenik yaitu zat yang dapat menghambat transport aktif
yodium dalam kelenjar tiroid dan yang paling potential dari zat geitrogenik yang lain. Menurut
Bourdoux (1993) dalam Thaha (2001) melaporkan bahwa disuatu populasi bila perbandingan
antara eksresi yodium dan tiosanat dalam urin (ug/g) kurang dari 3, maka daerah tempat populasi
itu berada mempunyai resiko yang berpotensial untuk terjadinya gondok endemic. Makin kecil
perbandingan antara eksresi yodium dan thyiosinat dalam urin maka semakin tinggi tingkat
endemisitasnya. Namun demikian, menurut Larsen dan Ingbar dalam Thata (2001), hambatan
oleh pengaruh tiosonat hanya efektif bila konsentrasi yodium plasma normal atau rendah.
Golden MHN, specific defiency versus growth failure: type 1 and type 2 nutrients. SCN News;
1992. 12:10-14.
Dijkhuizen MA, Wieringa FT. Vitamin A, iron and zinc deficiency in Indonesia:
Micronutrient interactions and effects of supplementation. PhD Thesis. The Netherlands:
Wageningan University, 2001.
Lonnerdal B. ―Vitamin-mineral Interactions‖. In: Bodwell CE, Erdman JW, editors.
Nutrient Interactions. New York: Marcel Dekker Inc, 1988.
Joint FAO/WHO Expert Consultation on Human Vitamin and Mineral Requirements.
Vitamin and Mineral Requirements in human nutrition, 2nd edition. Geneva: WHO & FAO,
2004.
Tanumiharjo SA. Vitamin A and iron status are improved by vitamin A and iron
supplementation in pregnant Indonesian women. J Nutr. 2002;132(7): 1909-12.
Sumarno I, Saraswati E, Prihartini S. Dampak suplementasi pil besi + folat dan vitamin
C terhadap peningkatan kadar Hb pada ibu hamil anemia. Penel Gizi Makan. 1996; 19:
12-9.
Purwaningsih E. Pengalaman suplementasi besi dan seng untuk menurunkan prevalensi
anemia pada bayi umur 4-6 bulan: uji klinik di lapangan. Jurnal Kedokteran Media
Medika Indonesiana FK UNDIP 2005; 40(3).