Anda di halaman 1dari 9

KONSEPSI PENGAMBILAN SIKAP DALAM MENENTUKAN HUKUM SYARI'AT BAIK TAKLIFIY MAUPUN

WADH'IY TERHADAP PELAKSANAAN IBADAH MAHDHOH MAUPUN GHOIRU MAHDHOH DI MASA


MENJELANG PEMBERLAKUAN NEW-NORMAL PANDEMI COVID-19

Mustaqim, M.Pd. (Penyuluh Agama Islam Non PNS Kota Salatiga )

Sikap kita dalam menentukan hukum syari'at baik taklifiy maupun wadh'iy terhadap
pelaksanaan ibadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh di tengah mewabahnya pandemi virus
corona menjelang pemberlakuan new normal saat ini, yang perlu kita kaji di antaranya sebagai
berikut;

1. Sholat jum'at;

2. Dzikir dan do'a bersama;

3. Menuntut ilmu di majlis ta'lim;

4. Mushofahah (bersalaman);

5. Menolak jenazah terpapar covid-19.

1. Penyelenggaraan Shalat Jum’at


Secara Taklifiy hukum sholat jum’at adalah fardhu ‘ain, kefardhuan yang digariskan oleh al-
hakim/ al-syari’ tersebut dikhususkan bagi setiap muslim laki-laki, dimana ia dalam lapangan al-
hukmu al-syar’iy berkedudukan sebagai mahkum’ ‘alaih (subjek hukum) yang berstatus
mukallaf. Namun dikarenakan ada lain suatu hal, sehingga ia tidak boleh keluar rumah karena
ada ancaman mewabahnya Covid-19 yang masih melanda, yaitu potensi penyebaran virus
menjadi tinggi ketika satu sama lain saling mengadakan contact langsung tanpa ada
pembatasan sosial, meskipun pemerintah telah memberlakukan New Normal. Dalam hal ini,
hukum pelaksanaan sholat jum’at terperinci berdasarkan hukum wadh’iy yang bergulir
mengiringinya, antara lain :
a. Jika dalam suatu daerah didapati orang positif terpapar virus corona sehingga daerah
tersebut dinyatakan masih darurat covid, maka penyelenggaraan sholat jum’at tidak wajib
dilaksanakan dan wajib diganti dengan shalat dzuhur di rumah. Hal tersebut disebabkan
karena adanya kemadharatan yang nyata di tengah-tengah kita, berdasarkan dalil:
1
‫(عن عائشة أم المؤمنين) ال ضرر وال ضرر‬

1
‫ • لم يرو هذا الحديث عن سعيد بن أبي أيوب إال روح بن صالح • شرح رواية أخرى‬٩٠/١ ‫ المعجم األوسط‬،)‫ هـ‬٣٦٠( ‫الطبراني‬
Artinya; dari ‘Aisyah Ummi al-Mu’minin, ”tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh membahayakan orang lain.”

Hadis tersebut menunjukkan adanya larangan, dan larangan menunjukkan keharaman.


Dengan demikian, haram untuk melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri dan
haram melakukan tindakan yang dapat membahayakan orang lain.

Dari ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum penyelenggaraan shalat jum’at secara
taklify adalah wajib diganti dengan shalat dzuhur di rumah, hukum wadh’iy sebagai situasi
yang menentukan hukum tersebut adalah adanya “sebab” berupa “kemadharatan” yang
nyata.

Status kewajiban mengganti shalat jum’at dengan shalat dzuhur didasarkan pada kaidah

fiqh; ‫المبدل‬ ‫ أن المبدل له حكم‬, “ bahwa pengganti memiliki hukum yang sama dengan yang
diganti”. Sebagaima hukum tayamum menjadi pengganti wudhu dalam keadaan darurat,
maka shalat dhuhur juga dijadikan sebagai pengganti shalat jum’at karena dalam keadaan
darurat. Dengan demikian, apa yang berlaku dalam ketentuan pelaksanaan sholat jum’at,
juga berlaku dalam ketentuan pelaksanaan shalat dzuhur, sebagaimana ketentuan yang
berlaku dalam wudhu juga berlaku dalam tayamum.

b. Jika dalam suatu daerah didapati orang berstatus ODP, dan atau PDP yang tidak dikarantina,
sehingga daerah tersebut dinyatakan belum sampai berstatus darurat covid, maka
pelaksanaan sholat jum’at wajib dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan.

‫ال يجوز تعطيل المصالح المحققة أو الغالبة خوفا من وقوع المفاسد الموهومة أو النادرة‬

“Tidak boleh mengabaikan maslahat yang sudah nyata, hanya karena takut terjerumus pada
mafsadah yang belum nyata atau yang langka.”

c. Jika dalam suatu daerah didapati orang berstatus ODP, dan atau PDP yang dikarantina,
sehingga daerah tersebut dinyatakan tidak berstatus darurat covid, maka pelaksanaan
sholat jum’at wajib dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan.

‫المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة‬

“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata”.
Hal ini karena memperhatikan hukum kewajiban mendirikan sholat jum’at dengan memakai
standar Suurul-balad (batas desa), sehingga masing-masing desa memiliki hukum tersendiri ” ‫لكل‬
‫” بلد حكمه‬.

2. Dzikir dan Do’a bersama


Pada dasarnya pensyari’atan dzikir dan do’a bersama sebagaimana yang telah digariskan oleh
al-hakim/ al-Syari’ secara taklifiy, hukumnya adalah sunnah mustahabbah (kesunahan yang
sangat dianjurkan). Hal ini berdasarkan hadis keutamaan dzikir, sebagaimana riwayat Imam
Muslim;

‫ َال‬:َ‫سلَّ َم أَنَّهُ قَال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫علَى النَّبِي‬ َ ‫س ِعي ٍد ْال ُخد ِْري ِ أَنَّ ُه َما‬
َ ‫ش ِه َدا‬ َ ‫ع ْن أَبِي ُه َري َْرة َ َوأَبِي‬
َ
‫علَ ْي ِه ِم‬ ْ َ‫ َونَزَ ل‬،ُ‫الرحْ َمة‬
َ ‫ت‬ َ ‫ َو‬،ُ‫ع َّز َو َج َّل إِ َّال َحفَّتْ ُه ُم ْال َم َالئِ َكة‬
َّ ‫غ ِشيَتْ ُه ُم‬ َ َ‫يَ ْقعُ ُد قَ ْو ٌم يَ ْذ ُك ُرونَ هللا‬
) ‫ َو َذ َك َر ُه ُم هللاُ فِي َم ْن ِع ْن َدهُ (رواه مسلم‬،ُ‫س ِكينَة‬ َّ ‫ال‬

Artinya, “Dari Abi Hurairah RA dan Abi Said Al-Khudri RA bahwa keduanya telah menyaksikan
Nabi SAW bersabda, ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berzikir kepada Allah ‘azza wa
jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan
turun di hati mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di
sisi-Nya,” (HR. Muslim).
Terlebih dzikir yang dilakukan setelah shalat;

‫وسئل النبي صلى هللا عليه وسلم أي الدعاء أسمع أي أقرب إلى اإلجابة قال جوف الليل‬
‫ودبر الصلوات المكتوبات رواه الترمذي‬

Artinya, “Rasulullah SAW ketika ditanya perihal doa yang paling didengar, yaitu doa yang paling
dekat dengan ijabah menjawab, ‘(doa) Di tengah malam dan setelah shalat lima waktu,’ HR At-
Tirmidzi,”2

Dalam hal ini, hukum wadh’iy memberi implikasi terhadap hukum pelaksanaan dzikir dan do’a
tersebut berdasarkan situasi penentu hukumnya, yaitu sebagai berikut;
a. Jika dalam suatu daerah terdapat orang positif terpapar virus corona sehingga daerah
tersebut dinyatakan darurat covid, maka kesunnahan (mustahabbah) dari

2
Syekh M Nawawi Banten. Kasyifatus Saja. Indonesia. Daru Ihyail Kutubi al Arabiyyah, Hlm. 65.
penyelenggaraan dzikir dan do’a bersama tersebut menjadi hilang, sehingga justru
menjadi makruh tahrim (perbuatan yang dibenci dan meniscayakan dosa berdasarkan
larangan atas sebuah perbuatan yang datang dari dalil yang memungkinkan takwil).
Bahkan, jika ada larangan secara tegas dari pemerintah atas dasar pencegahan
penyebaran virus Covid-19, maka penyelenggaraannya justru menjadi haram. Hal
tersebut disebabkan karena adanya kemadharatan yang nyata di tengah-tengah
manusia:

‫ال ضرر وال ضرر‬


”tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”

b. Jika dalam suatu daerah didapati ada orang berstatus ODP dan atau PDP yang tidak
dikarantina, sehingga daerah tersebut dinyatakan belum meningkat sampai berstatus
darurat covid, maka penyelenggaraannya menjadi makruh tanzih sebanding dengan
khilaful-aula (menyalahi yang utama). Artinya, sebaiknya tidak dilakukan, dan jika tetap
ingin melakukannya maka tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan sesuai yang
ditetapkan oleh pemerintah.

‫تصرف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحة‬


“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berdasarkan kemaslahatan”

c. Jika dalam suatu daerah didapati ada orang berstatus ODP dan atau PDP yang
dikarantina, sehingga daerah tersebut dinyatakan tidak berstatus darurat covid, maka
kesunnahan pelaksanaan dzikir dan do’a bersama tersebut tetap ada, dan tentu dengan
memperhatikan protokol kesehatan.

3. Menuntut Ilmu di Majlis Ta'lim


Hadis nabi;

3
‫مسلم‬
ٍ ِ ‫العلم فريضةٌ على‬
‫كل‬ ِ ‫طلب‬
َ َّ ، ‫بالصين‬
‫فإن‬ ِ ‫العلم ولو‬
َ ‫(عن أنس بن مالك) اطلُبُوا‬

Dari Anas bin Malik; “Tuntutlah ilmu walau di Negri Cina, sebab menuntut ilmu agama itu
wajib atas tiap orang muslim.”
Perintah sekaligus pernyataan nabi dalam hadis tersebut dapat dipahami bahwa menuntut
ilmu hukumnya adalah wajib, kewajiban tersebut berlaku bagi setiap muslim baik laki-laki

3
‫ • متنه مشهور وإسناده ضعيف وروي من أوجه كلها ضعيفة • أخرجه العقيلي في «الضعفاء‬٧٢٤/٢ ‫ شعب اإليمان‬،)‫ هـ‬٤٥٨( ‫البيهقي‬
١١٨/٤( »‫ وابن عدي في «الكامل في الضعفاء‬،)٢٣٠/٢( »‫)الكبير‬
maupun perempuan dalam keadaan apapun dan kapanpun. Karena kefardhuan yang
dishighotkan mubalaghoh (bentuk kata yang menyatakan sangat/ kuat) tersebut sifatnya
umum. Hanya saja, metode mencari ilmu itu yang perlu dibahas lebih lanjut dalam konteks
ini.
Jika dalam mencari ilmu cara pengupayaannya melibatkan kerumunan masa yang
dikhawatirkan akan menjadi penyebaran virus corona sehingga tampak madharat yang nyata
baik karena terdapat ODP/PDP atau tidak ada ODP/PDB sekalipun, maka sementara waktu
perkumpulannya itu hukumnya adalah makruh tanzih, bahkan menjadi makruh tahrim dan
bahkan bisa menjadi haram tergantung pada hukum wadh’iy yang bergulir mengiringinya.

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

“Mencegah bahaya lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”

Dengan demikian, hukum mencari ilmu adalah tetap wajib, namun hukum pengupayaannya
terperinci menyesuaikan situasi penentu hukum yang ada (wadh’iy), karena tentu ada cara
lain selain dengan berkumpul di jama’ah majlis ta’lim ketika dikhawatirkan ada bahaya yang
lebih besar mengancam.

4. Mushofahah/ bersalaman
Mushofahah (bersalaman) baik ketika bertemu atau berpisah, pada dasarnya sangat
dianjurkan karena dapat mempererat silaturraihm dan melenyapkan rasa dendam.
Sebagaimana hadis;

‫وم‬ ِ َّ ‫ و َمن كانَ يُؤْ ِم ُن‬،ُ‫ض ْيفَه‬


ِ َ‫باَّلل والي‬ َ ‫اآلخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم‬
ِ ‫وم‬ ِ َّ ‫] َمن كانَ يُؤْ ِم ُن‬:‫[عن أبي هريرة‬
ِ َ‫باَّلل والي‬
4
‫ت‬ ْ َ‫اآلخ ِر َف ْليَقُ ْل َخي ًْرا ْأو ِلي‬
ْ ‫ص ُم‬ ِ ‫وم‬ ِ َ‫باَّلل والي‬ ِ َ‫اآلخ ِر فَ ْلي‬
ِ َّ ‫ و َمن كانَ يُؤْ ِم ُن‬،ُ‫ص ْل َر ِح َمه‬ ِ

Dari Abi Huroiroh; “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia
memulyakan tamunya, barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah
ia bersilaturrahim, dan barang siapa beriman kepada Allah dan rosulnya hendaklah ia
berkata yang baik atau diam.”

5
‫يفترقا‬ ُ ‫فيتصافحان إال‬
ِ ‫غفر لهما قبل أن‬ ِ ‫يلتقيان‬
ِ ‫ين‬
ِ ‫] ما من ُمسل َم‬:‫[عن البراء بن عازب‬

4
‫) • شرح رواية أخرى‬٤٧( ‫ ومسلم‬،‫) واللفظ له‬٦١٣٨( ‫ • [صحيح] • أخرجه البخاري‬٦١٣٨ ‫ صحيح البخاري‬،)‫ هـ‬٢٥٦( ‫البخاري‬
Dari al Barro’ bin ‘Azib; “Tiadalah dari dua orang Islam yang berjumpa lalu saling
bersalaman, melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.”
Dan dalam hadits lain dikatakan:

6
‫يذهب الغ ُّل عن قلو ِبكم‬
ُ ‫] تصافحوا‬:‫[عن عبدهللا بن عمر‬

Dari Abdullah bin ‘Amr; “Hendaklah kalian berjabat tangan agar lenyap rasa dendam yang
ada dalam hati-hatimu sekalian.”

Dalam kondisi mewabahnya Covid-19 ini, protokol kesehatan harus selalu diperhatikan
supaya mata rantai penularan virus dapat diputus, salah satunya adalah dengan tidak
mengadakan kontak langsung dengan orang lain. Atas dasar itu, hukum bersalaman dalam
keadaan demikian, terperinci sebagai berikut;
a. Jika orang yang kita ajak atau mengajak kita bersalaman terkonfirmasi positif terjangkit
virus corona, maka hukum bersalaman dengannya adalah haram. Disebabkan adanya
madharat nyata yang mengancam.
b. Jika orang yang kita ajak atau mengajak kita bersalaman berstatus ODP atau PDP, maka
hukum bersalaman dengannya adalah makruh tahrim. Disebabkan adanya potensi
madharat meskipun belum nyata.
c. Jika orang yang kita ajak salaman atau mengajak kita bersalaman berstatus ODP atau
PDP dan telah melampaui masa karantina, maka hukum bersalaman dengannya adalah
makruh tanzih atau setara dengan khilaful-aula (sebaiknya tidak). Disebabkan adanya
potensi madharat meskipun belum nyata.
Kaidah fiqh menyatakan:

‫الدفع أولى من الوقاية‬


“Menolak lebih diutamakan dari mencegah”

Pemahamannya, menghindarkan diri dari masuknya corona ke sekitar kita, lebih baik
diupayakan dari perlindungan diri terhadap corona yang berkeliaran disekitar.

‫الدفع أقوى من الرفع‬


“Menolak itu lebih kuat daripada mengangkat (menghilangkan)”

5
‫ • سكت عنه [وقد قال في رسالته ألهل مكة كل ما سكت عنه فهو صالح] • أخرجه أبو داود‬٥٢١٢ ‫ سنن أبي داود‬،)‫ هـ‬٢٧٥( ‫أبو داود‬
‫) • شرح رواية أخرى‬١٨٥٤٧( ‫ وأحمد‬،)٣٧٠٣( ‫) وابن ماجه‬٢٧٢٧( ‫) والترمذي‬٥٢١٢(
6
‫ وابن عدي في‬،)٦٧/٤( »‫ • ضعيف • أخرجه العقيلي في «الضعفاء الكبير‬١٠٢ ‫ النوافح العطرة‬،)‫ هـ‬١١٨١( ‫محمد جار هللا الصعدي‬
ً‫) بنحوه مطوال‬٢٢٤/٢( »‫ وابن حبان في «المجروحين‬،)٢٠٥/٦( »‫«الكامل في الضعفاء‬
Kaidah tersebut dapat dipahami bahwa menjaga diri agar tidak jatuh sakit lebih utama untuk
diupayakan daripada menghilangkan penyakit atau bahkan mengobati setelah sakit.

5. Menolak jenazah terpapar Covid-19


Pada dasarnya syariat Islam telah mewajibkan setiap individu termasuk Muslim untuk
menghormati jenazah, terlebih jika jenazah itu umat Islam. Kewajiban tersebut masuk dalam
kategori fardhu kifayah. Artinya, jika dalam suatu daerah tidak ada sebagian yang mau
merawatnya, maka berdosalah muslimin dalam daerah itu.

Para ulama sepakat bahwa kewajiban terhadap mayit ada 4, sebagaimana dalam hadis:

‫ وأنا‬،‫عا في رأسي‬ ُ ‫أج ُد‬


ً ‫صدا‬ ِ ‫] ر َجع رسو ُل هللاِ ﷺ ِمن البَقيعِ فو َجدني وأنا‬:‫]عن عائشة أم المؤمنين‬
‫عليك‬
ِ ُ‫ فقُ ْمت‬،‫ت قَبْلي‬ َّ ‫ ما‬:‫وارأْسا ْه! ث َّم قال‬
ِ ‫ضر ِك لو ِم‬ َ ،ُ‫ بل أنا يا عائشة‬:‫وارأْسا ْه! فقال‬
َ :ُ‫أقول‬
َ
.7‫الحديث‬ ..‫ ودفَ ْنت ُ ِك‬،‫عليك‬
ِ ُ‫ وصلَّيْت‬،‫ وكفَّ ْنت ُ ِك‬،‫س ْلت ُ ِك‬
َ ‫فغ‬
Dari ‘Aisyah umm al-mu’minin: Rasulullah(s.a.w) pulang dari al-Baqi’ dan baginda(s.a.w)
mendapatiku sedang aku mengeluh karena sakit kepala, akupun berucap: “Aduh kepalaku!”
Tetapi baginda saw berkata – sedang dia sudah mulai merasa sakit: “Tetapi akulah, wahai
Aisyah, yang merasa sakit kepala.” Lalu kata Nabi, “Apa salahnya kalau engkau yang mati
lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkan
kau dan menguburkan kau!”.. al-hadits.

Oleh karena itu, siapapun jenazahnya harus diperlakukan dengan baik. Jika jenazah Islam
tidak menularkan penyakit, maka dimandikan hingga bersih dan suci, dikafani sesuai syariat,
kemudian dikubur dengan penuh penghormatan. Artinya, Tidak boleh diremehkan atau
mendapatkan penghinaan, apalagi jika sudah mendapatkan pemulasaran jenazah secara
medis oleh dokter.

Dengan demikian, mendapati jenazah terpapar covid-19 yang sudah mendapatkan


pemulasaran jenazah secara medis dari dokter, maka menolak jenazah tersebut hukumnya
sebagai berikut;
a. Makruh tahrim, jika disinyalir masih ada tempat lain di luar pemakaman penduduk
setempat yang bisa dijadikan sebagai tempat pemakaman jenazah tersebut.

7
»‫ والنسائي في «السنن الكبرى‬،‫) بنحوه‬٥٦٦٦( ‫ • أصله في البخاري • أخرجه البخاري‬١/٢٢١ ‫ إرشاد الفقيه‬،)‫ هـ‬٧٧٤( ‫ابن كثير‬
‫) باختالف يسير‬٢٥٩٥٠( ‫ وأحمد‬،)١٤٦٥( ‫ وابن ماجه‬،)٧٠٨٠(.
b. Haram, jika disinyalir tidak ada tempat lain yang bisa dijadikan tempat pemakaman
selain makam setempat.

Oleh karenanya, dalam keadaan apapun, kita harus mempertimbangkan dan selalu
mendahulukan kepentingan sosial beragama (hirosatu al-din) daripada sosial ilmiah, budaya
dan lainnya, demi menakar antara kemaslahatan dan kerusakan secara terukur.

Catatan:
Kemaslahatan yang harus dipelihara ialah kepentingan dunia dan kepentingan akhirat;
atau kepentingan dunia sekaligus kepentingan akhirat secara bersamaan. Begitu pula
halnya dengan kerusakan yang sudah tidak diragukan lagi keberadaannya.
Masing-masing kemaslahatan dan kerusakan ini dapat diketahui melalui akal pikiran, atau
melalui ketetapan agama, atau melalui keduanya sekaligus.
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci cara untuk mengetahui kemaslahatann dan
kerusakan, berikut peringkat-peringkatnya.
Dengan jelas beliau menulis dalam bukunya, Qawa'id al-Ahkam fi Ishlahi al-Anam:
"Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat diketahui dengan akal, sekaligus
menjadi bagian terbesar dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum ajaran agama
diturunkan, orang yang berakal telah mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu
kebaikan dan menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri manusia, menurut
pandangannya merupakan sesuatu yang terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang
dianggap paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap
kerusakan dianggap paling membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik.
Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih) atas kemaslahatan yang tidak
diterima (marjuh) juga merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan terhadap
kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan yang belum dianggap pasti juga merupakan
sesuatu yang baik."8
Orang-orang yang bijak tentu sepakat dengan pendapat di atas. Begitu pula, berbagai
ajaran syari'ah mengharamkan darah, harta kekayaan, dan kehormatan; dan menganjurkan
kepada kita untuk melakukan sesuatu yang terbaik, baik berupa perkataan maupun
perbuatan.

8
al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdul Salam al-Sulami al-Syafi’i, Qawa'id al-Ahkam fi Ishlahi al-Anam.
Daru al-Qalam.

Anda mungkin juga menyukai