Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ubi Jalar

Ubi jalar mempunyai banyak nama atau sebutan, antara lain ketela

rambat, huwi boled (Sunda), tela rambat (Jawa), sweet potato (Inggris), dan shoyu

(Jepang). Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian dan tergolong tanaman

semusim (berumur pendek). Menurut Rukmana (1997) tanaman ubi jalar termasuk

tumbuhan semusim (annual) yang memiliki susunan tubuh utama terdiri dari

batang, ubi, daun, bunga, buah, dan biji. Batang tanaman berbentuk bulat, tidak

berkayu, berbuku-buku, dan tipe pertumbuhannya tegak atau merambat

(menjalar). Panjang batang tanaman bertipe tegak antara 1m- 2 m, sedangkan pada

tipe merambat (menjalar) antara 2 m – 3 m. Ukuran batang dibedakan atas tiga

macam, yaitu besar, sedang, dan kecil. Warna batang biasanya hijau tua sampai

keungu-unguan.

Tanaman ubi jalar dalam sistematika (taksonomi) tumbuh diklasifikasikan

sebagai berikut (Juanda dan Cahyono, 2000):

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Convolvulales

Famili : Convolvulaceae

Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea batatas L.Sin batatas edulis choisy.

9
10

Ubi jalar memiliki cukup banyak kerabat dekat dengan kangkung, antara

lain kangkung air(Ipomea aquatika Forsk), kangkung darat (Ipomea reptans L.

Poir), kangkung pagar atau kangkung hutan (Ipomea crassicaulus sin. I fistulosa

Marf). Kangkung hutan sering digunakan sebagai batang atas pada penyambungan

dengan batang bawah ubi jalar untuk memperoleh produktivitas ubi yang tinggi

dan berukuran besar (Rukmana, 1997).

2.2. Dasar Teori

2.2.1. Teori Usahatani

Pada umumnya ciri usahatani di Indonesia adalah kepemilikan lahan

sempit, pendapatan rendah, modal yang dimiliki rendah, pengetahuan rendah

sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani. Ilmu usahatani adalah ilmu

yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan, mengoordinir faktor-

faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga

memberikan manfaat yang sebaik-baiknya (Soekartawi 1986).

Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang

mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasi dan mengoordinasikan

penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga

usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah 2006).

Menurut Soekartawi (2006) bahwa usahatani merupakan salah satu ilmu yang

mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara

efisien dan efektif untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu

tertentu. Suatu usahatani dikatakan efektif jika petani dapat mengalokasikan


11

sumberdaya yang dimiliki secara baik, sedangkan dikatakan efisien jika

pemanfaatan sumberdaya dapat menghasilkan keluaran yang melebihi masukan.

2.2.2. Teori Fungsi Produksi

Secara umum, istilah produksi diartikan sebagai penggunaan atau

pemanfaatan sumber daya yang mengubah suatu komoditas menjadi komoditas

lain yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertianapa (what), di mana (where)

atau kapan (when) komoditas itu dilokasikan, maupun dalam pengertian apa yang

dapat dilakukan oleh konsumen terhadap komoditas tersebut.Istilah produksi

berlaku untuk barang maupun jasa, karena istilah komoditas memang mengacu

pada barang dan jasa, keduanya sama-sama dihasilkan dengan mengerahkan

modal dan tenaga kerja.Produksi merupakan konsep arus (flow concept),

maksudnya adalah produksi merupakan kegiatan yang diukur sebagai tingkat-

tingkat output per unit periode/waktu, sedangkan outputnya sendiri senantiasa

diasumsikan konstan kualitasnya (Boediono, 1982; Miller dan Meiners, 2000).

Produksi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menambah nilai

guna suatu barang dan dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mengubah input

menjadi output. Jumlah output akan dipengaruhi oleh besar atau kecilnya input

dan teknologi yang digunakan. Hubungan antara jumlah penggunaan input dan

jumlah output yang dihasilkan, dengan tingkat teknologi tertentu. Disebut fungsi

produksi. Input dalam kegiatan produksi dapat dikelompokkan menjadi input tetap

atau fixed input dan input variabel atau variable input. Input tetap adalah faktor

produksi yang jumlahnya selalu tetap meskipun jumlah outputnya berubah,

misalnya peralatan dan mesin-mesin. Input variabel merupakan faktor produksi


Biaya
MC

ATC

AVC
AFC
0 Kuantitas
12

yang jumlahnya selalu berubah apabila output berubah, misalnya tenaga kerja dan

bahan baku (Soekartawi, 1987).

Menurut Soekartawi (1990), fungsi produksi adalah hubungan fisik antara

variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang

dijelaskan adalah output dan variabel yang menjelaskan adalah input. Secara

matematis, fungsi produksi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y = f ( X1, X2, X3,…,Xn)

Keterangan :
Y = tingkat produksi (output)
f = bentuk hubungan yang mentransformasikan faktor-faktor produksi dengan
hasil produksi
Xi = berbagai input yang digunakan dalam proses produksi (input)

Berdasarkan persamaan fungsi produksi tersebut, petani dapat melakukan

tindakan yang mampu meningkatkan produksi (Y) dengan cara sebagai berikut

(Soekartawi, 1990) :

1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan; atau

2. Menambah jumlah beberapa input (lebih dari satu) dari input yang

digunakan.

Selanjutnya menurut Soekartawi (2002), faktor produksi dalam pertanian

adalah semua korbanan yang diberikan pada usahatani agar usahatani tersebut

mampu tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Faktor produksi dikenal pula

dengan istilah inputatau production factor atau korbanan produksi. Faktor

produksi sangat menentukan besar kecilnya produksi yang diperoleh.Untuk

menghasilkan suatu produk secara efektif dan efisien, diperlukan pengetahuan

hubungan antara faktor produksi (input)dan faktor produksi (output). Hubungan


13

antara output dan input dapat digambarkan dalam suatu grafik fungsi produksi

(Gambar 2.1.).

Y
I II II
Total Produk Fisik

B
Total Produk fisik

X
Y Input Variabel
Produk Fisik Dari Setiap Unit Input

Produk fisik
rata-rata
X
Input Variabel
Produk fisik marginal

Gambar 2.1.Kurva Fungsi Produksi(Miller dan Meiners, 2000)

Grafik pada gambar 2.1 fungsi produksi terbagi pada tiga tahapan produksi

yang lazim disebut Three Stages of Production.Tahap pertama, kurva APP dan

kurva MPP terus meningkat.Semakin banyak penggunaan faktor produksi, maka

semakin tinggi produksi rata-ratanya. Tahap ini disebut tahap tidak rasional,

karena jika penggunaan faktor produksi ditambah, maka penambahan output total

yang dihasilkan akan lebih besar dari penambahan faktor produksi itu sendiri.
14

Tahap kedua adalah tahap rasional atau fase ekonomis, di mana berlaku

hukum kenaikan hasil yang berkurang.Dalam tahap ini, terjadi perpotongan antara

kurva MPP dengan kurva APP pada saat APP mencapai titik optimal. Pada tahap

ini masih dapat meningkatkan output, walaupun dengan persentase kenaikan yang

sama atau lebih kecil dari kenaikan jumlah faktor produksi yang digunakan.

Tahap ketiga disebut daerah tidak rasional, karena apabila penambahan

faktor produksi diteruskan, maka produktivitas faktor produksi akanmendekati

nol. Dengan demikian, penambahan faktor produksi justru akan menurunkan hasil

produksi (Miller dan Meiners, 2000).

Menurut Boediono (1982), fungsi produksi dari semua produsen dianggap

tunduk dan patuh pada suatu hukum yang disebut The Law of Diminishing

Returns, yang berarti bahwa bila satu macam input ditambah penggunaannya,

sedangkan input-input lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari

setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula-mula menaik, tetapi

kemudian seterusnya menurun bila input tersebut terus bertambah.

Hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang dapat ditunjukan melalui

hubungan antara kurva TPP (Total Physical Product) atau kurva TP (Total

Produk), kurva MPP (Marginal Physical Product) atau Marjinal Produk (MP), dan

kurva APP (Average Physical Product) atau produk rata-rata dalam grafik fungsi

produksi (Miller dan Meiners, 2000).

Menurut Boediono (1982), Marginal Physical Product (MPP) adalah

tambahan output yang dihasilkan dari penambahan satu unit input variabel, yang

dapat dirumuskan sebagai berikut:


15

ΔY
MPP x 1=
ΔX

The Law of Diminishing Returns sering pula disebut The Law of

Diminishing Marginal Physical Product, hukum ini mengakatakan bahwa bila

satu macam input ditambah penggunaannya sedangkan input-input lain tetap

maka tambahan tadi mula-mula menaik, tetapi kemudian seterusnya menurun bila

input tersebut terus ditambah. Demikian pula (input-input lain tetap), akan

menurunkan mulai dari titik tertentu. Hal ini dapat diformulakan sebagai berikut:

ΔY ΔY ΔY
, ,… ,
ΔX 3 ΔX 4 ΔX n

Kurva Total Physical Product (TPP) adalah kurva yang menunjukkan

tingkat produksi total (= Y) pada berbagai tingkat penggunaan input variabel

(input-input lain dianggap tetap). TPP = f(X) atau Y = f(X). Kurva Marginal

Physical Product (MPP) adalah kurva yang menunjukkan tambahan(atau

kenaikan) dari TPP, yaitu ΔTPP atau ΔY, yang disebabkan oleh penggunaan

tambahan1 (satu) unit input variabel.

ΔTPP ΔY df ( X )
MPPx= = =
ΔX ΔX dX

Kurva Average Physical Product (APP) adalah kurva yang menunjukkan

hasil rata-rata per unit input variabel pada berbagai tingkat penggunaan input

tersebut.

TPP Y f (X)
APP= = =
X X X
16

Di antara fungsi produksi, yang umum dibahas dan dipakai pada produksi

pertanian adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi Cobb-Douglas adalah

suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel. Variabel

yang satu disebut variabel dependen atau variabel yang dijelaskan (Y), dan yang

lain disebut variabel independen atau variabel yang menjelaskan (X).

Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi, yaitu

variabel dari Y akan dipengaruhi oleh variabel dari X. Dengan demikian, kaidah

pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas

(Soekartawi, 2002).

Dalam penelitian ini, fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk

mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi. Menurut Sutiarso

(2010), secara matematis, fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diformulasikan

dengan rumus berikut:

β β
Y i= β 0 X 1i1 X 2i2 … X βk e μ
k i

Atau dalam persamaan logaritma, bisa dituliskan sebagai berikut:

ln Y i=In β 0+β 1 In X 1i + ¿ …+β In X +μ1 In e ¿


k ki

di mana:
Y = variabel terikat (dependent variabel)
X = variabel bebas (independent variabel)
β 0 ... , β 1 , … , β k = koefisien regresi
i = 1, 2, … , n = nomor observasi
j = 1, 2, … , k = nomor variabel
e = log natural (= 2,71828...)
μ1 = kesalahan pengganggu
17

Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah

bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka ada beberapa persyaratan yang

harus dipenuhi, yaitu:

1. Tidak ada pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol

adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).

2. Asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi adalah tidak ada

perbedaan teknologi pada setiap pengamatan.

3. Tiap variabel X adalah perfect competition.

4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim sudah

tercakup dalam faktor kesalahan (Soekartawi, 1990).

Menurut Soekartawi (1987), ada tiga alasan pokok mengapa penggunaan

fungsi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti, yaitu:

a. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan

dengan fungsi yang lain.

b. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan

koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas.

c. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran Returns

to Scale.

Menurut Soekartawi (2003), Returns to Scale (RTS) perlu diketahui untuk

mengetahui apakah kegiatan dari suatu usaha yang diteliti mengikuti kaidah,

Increasing, Constant atau Decreasing Returns to Scale. Apabila persamaan fungsi

produksi Cobb-Douglas dipakai untuk menjelaskan, maka besaran elastisitas

adalah lebih besar dari satu, lebih kecil dari satu atau sama dengan satu. Misalnya,
18

bila lebih besar dari satu, maka berlaku anggapan bahwa terjadi adanya

Increasing RTS pada kegiatan usahatani yang diteliti. Anggapan demikian

biasanya dikenal dengan istilah sesuai dengan kejadian yang sebenarnya, di mana

setiap petani selalu mengharapkan tambahan unit input yang dipakai untuk

menambah output. Selanjutnya, terdapat tiga kemungkinan (alternatif) pengujian

skala usaha, yaitu:

1. Decreasing Returns to Scale (DRS), bila ( β 1 + β 2 +…+ β k ) ⊲ 1

Dalam keadaan demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan

faktor produksi (input) melebihi proporsi penambahan produksi. Artinya, apabila

penggunaan faktor produksi naik 1%, maka produksi akan turun kurang dari 1%.

2. Constant Returns to Scale (CRS), bila ( β 1 + β 2 +…+ β k )= 1

Dalam keadaan demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan

faktor produksi (input) akan proporsional dengan penambahan produksi. Artinya,

apabila penggunaan faktor produksi ditambah 1%, maka produksi akan bertambah

sebesar 1%.

3. Increasing Returns to Scale (IRS), bila ( β 1 + β 2 +…+ β k ) ⊳ 1

Dalam keadaan demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan

faktor produksi (input) akan menghasilkan penambahan produksi yang

proporsinya lebih besar. Artinya, apabila penggunaan faktor produksi ditambah

1%, maka produksi akan bertambah lebih dari 1%.

2.2.3. Teori Produktivitas

Produktivitas adalah rasio dari total output dengan input yang

dipergunakan dalam produksi (Heady, 2002). Selanjutnya, Heady menjelaskan


19

bahwa berkenaan dengan lahan, produktivitas lahan berkesesuaian dengan

kapasitas lahan untuk menyerap input produksi dan menghasilkan output dalam

produksi pertanian.

Produktivitas yang tinggi menyebabkan tingkat produksi yang sama dapat

dicapai dengan biaya yang lebih rendah. Dengan kata lain, produktivitas dan biaya

mempunyai hubungan terbalik. Jika produktivitas makin tinggi, maka biaya

produksinya akan lebih rendah. Perilaku biaya juga berhubungan dengan periode

produksi.Dalam jangka pendek ada faktor produksi tetap yang menimbulkan biaya

tetap, yaitu biaya produksi yang besarnya tidak tergantung pada tingkat

produksi.Dalam jangka panjang karena semua faktor adalah variabel, biayanya

juga variabel, artinya besarnya biaya produksi dapat disesuaikan dengan tingkat

produksi (Soekartawi, 2002).

Rumus menghitung produktivitas lahan dapat di hitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

Produksi
Produktivitas=
Luas Lahan

Keterangan:
Produktivitas = ton/ha.

2.2.4. Teori Biaya

Menurut Soekartawi (1995), biaya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap

didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan,

walaupun produksi yang diperoleh banyak ataupun sedikit, misalnya sewa tanah,

alat pertanian, dan lain sebagainya.Biaya tidak tetap didefinisikan sebagai biaya
20

yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, contohnya adalah

pupuk, benih, obat-obatan dan upah tenaga kerja. Biaya total merupakan

penambahan antara total biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable

cost), sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut:

TC= TFC + TVC

Keterangan :
TC= Total Cost (Total Biaya)
TFC= Total Fixed Cost(Total Biaya Tetap)
TVC= Total Variable Cost (Total Biaya Variabel)

Cost

TC
CC

TVC
C

TFC
CCC
0 Y

Gambar 2.2.Kurva TC, TFC dan TVC (Boediono, 1982)

Kurva TFC mendatar pada Gambar 2.2 menunjukkan bahwa besarnya

biaya tetap tidak tergantung pada jumlah produksi. Kurva TVC membentuk huruf

S terbalik, menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat produktivitasnya

dengan besarnya biaya. Kurva TC sejajar dengan TVC menunjukkan bahwa

perubahan biaya total semata-mata ditentukan oleh perubahan biaya variabel

(Rahardja, 2000).
21

Selanjutnya menurut Rahardja (2000), biaya rata-rata adalah biaya yang

harus dikeluarkan oleh produsen dalam memproduksi satu unit output. Besarnya

biaya rata-rata adalah biaya total dibagi jumlah output. Oleh karena TC = FC +

VC, maka biaya rata-rata sama dengan biaya tetap rata-rata ditambahkan dengan

biaya variabel rata-rata, sehingga dapat diketahui rumus berikut:

ATC= AFC+ AVC


Keterangan:
ATC = Average Total Cost (Biaya total rata-rata)
AFC = Average Fixed Cost (Biaya tetap rata-rata)
AVC = Average Variable Cost (Biaya variabel rata-rata)

Gambar 2.3. Kurva MC, ATC, AVC dan AFC (Boediono,1982).

Kurva AFC terus menurun, karena biaya tetap persatuan output semakin

kecil dengan meningkatnya output. Walaupun demikian, kurva AFC tidak pernah

menjadi nol (asimtotik). Kurva ATC polanya sama dengan kurva AVC, mula-

mula menurun, akan tetapi tidak pernah berpotongan (asimtotik). Pola ini

berkaitan dengan hukum kenaikan hasil yang semakin menurun (The Law of
22

Diminishing Returns). Kurva AVC dan ATC mencapai minimum bila keduanya

memotong kurva MC (Marginal Cost).

2.3.5. Teori Keuntungan

Keuntungan merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total,

dan biaya itu terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Keuntungan merupakan

tujuan dari setiap usaha, sehingga semakin besar keuntungan tersebut diperoleh

maka semakin layak usaha tersebut diusahakan. Secara matematis analisis

keuntungan dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi,1995).

Menurut Sukirno (2001), keuntungan adalah perbedaan nilai uang dari

hasil penjualan yang diperoleh dengan seluruh biaya yang dikeluarkan.

Keuntungan adalah selisih dari total penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan.

Secara matematis, keuntungan dapat diformulasikan sebagai berikut:

π = TR - TC π =TR−TC
= P∙Y - C = P⋅Q − (TFC+TVC )

Keterangan:
π = Keuntungan
TR = Total Revenue (Penerimaan Total)
TC = Total Cost (Biaya Total)
P = Price (Harga produksi)
Q = Quantity (Jumlah produksi)
TFC = Total Fixed Cost (Total Biaya Tetap)
TVC = Total Variable Cost (Total Biaya Variabel)

Menurut Soekartawi (1990), asumsi yang berlaku dalam pendugaan fungsi

keuntungan adalah:

1. Petani atau pengusaha selalu berusaha untuk

memaksimumkan keuntungan usahanya.


23

2. Petani atau pengusaha adalah price takers (suatu harga

yang ditentukan oleh kekuatan pasar (pasar persaingan sempurna) atau

melalui pengendalian harga yang dilakukan pemerintah).

3. Fungsi produksi dalam fungsi keuntungan adalah berbentuk

concave (cekung).

Rp
TC
TR

Keuntungan Total
0 Y

Gambar 2.4. Kurva Keuntungan (Boediono, 1982)

Berdasar Gambar 2.4 keuntungan maksimum ditunjukkan oleh jarak

vertikal antara kurva TR dan TC yang paling lebar yang menunjukkan selisih TR

dan TC paling besar. Posisi ini menunjukkan slope dari garis singgung TR sama

dengan slope dari garis singgung TC.

Menurut Boediono (1982), produsen dianggap akan selalu memilih tingkat

output (Y) di mana produsen bisa memperoleh keuntungan total yang maksimum.

Apabila telah mencapai posisi ini, maka keuntungan telah berada pada posisi
24

equilibrium, yaitu posisi di mana tidak ada kecenderungan untuk mengubah

volume dan harga outputnya. Jika terjadi pengurangan atau penambahan volume

output (penjualan), maka keuntungan totalnya justru menurun,dengan demikian,

keuntungan maksimum tercapai ketika posisi Marginal Revenue (MR) sama

dengan Marginal Cost (MC) atau dirumuskan sebagai berikut:

∆TR ∆TC MR=MC= ΔTR = ΔTC


= ΔY ΔY
∆Y ∆Y

.6. Teori Efisiensi Biaya


2.2

Efisiensi adalah suatu upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya

untukmendapatkan produksi yang sebesar-besarnya (Soekartawi, 1994). Efisiensi

merupakan tujuan esensial dalam alokasi sumberdaya. Setiap usahatani

memilikitujuan, yaitu memaksimumkan keuntungan yang ingin diperoleh.

Efisiensi dapatdigolongkan menjadi tiga macam, yaitu: efisiensi teknis, efisiensi

harga, danefisiensi ekonomis. Suatu penggunaan faktor produksi dikatakan

efisiensi secarateknis apabila faktor produksi yang dipakai menghasilkan produksi

yangmaksimum. Efisiensi harga tercapai apabila produsen mendapat keuntungan

yanglebih besar dari kegiatan usahataninya, misalnya karena pengaruh

harga.Sementara itu, dikatakan efisiensi secara ekonomis, jika usaha yang

dilakukanprodusen mencapai efisiensi teknis sekaligus efisiensi harga

(Soekartawi, 1995.).

Menurut Soekartawi (1995) efisiensi suatu usahatani dipengaruhi

olehpenerimaan dan total biaya yang dikeluarkan selama proses produksi.


25

Suatuusahatani adalah efisien, jika penerimaan yang diterima lebih tinggi

dibandingkandengan biaya. RC-ratio adalah singkatan dari Returns Cost Rasio,

yaitu perbandingan antara penerimaan dan biaya produksi. Secara matematik, hal

ini dapat dituliskan sebagai berikut:

a = R/C

Keterangan:
a = Efisiensi Biaya
R = Revenue = Penerimaan = P x Q
C = Biaya = FC + VC

Selanjutnya menurut Soekartawi (1995), FC diartikan sebagai biaya yang

dikeluarkan dalam usahatani yang besar kecilnya tidak tergantung dari besar

kecilnya output yang diperoleh, sedangkan VC (biaya tidak tetap) diartikan

sebagai biaya yang dikeluarkan untuk usahatani yang besar kecilnya dipengaruhi

oleh perolehan output. Secara teoritis, R/C = 1 artinya produsen tidak memperoleh

untung dan tidak pula mengalami rugi. Sementara, jika R/C > 1, maka usahatani

tersebut dikatakan menguntungkan, sedangkan jika R/C < 1, maka petani

mengalami kerugian.

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian Wyrandhana (2012) menyimpulkan bahwa rata-rata biaya

usahatani ketela rambat selama satu masa tanam adalah Rp 16.603.666,00 per

hektar, dengan penerimaan rata-rata sebesar Rp 23.400.000,00 per hektar, dan

diperoleh keuntungan sebesar Rp 6.796.333,94 per hektar per usahatani.

Usahatani ketela rambat di Kabupaten Karanganyar telah efisien dengan nilai

(R/C = 1,41).
26

Selanjutnya, penelitian Herdiman (2010) menyimpulkan bahwa Hasil

analisis biaya usahatani menunjukkan bahwa total biaya usahatani ubi jalar per

hektar sebesar Rp 8.912.701,59, yang terdiri dari biaya tunai sebesarRp

6.125.225,40 dan biaya diperhitungkan sebesar Rp 2.787.476,19. Dari struktur

biaya yang dikeluarkan petani responden dapat dilihat bahwa dalam budidaya ubi

jalar ini petani telah menjadikan ubi jalar sebagai usahatani komersial dimana

petani lebih banyak menggunakan faktor produksi yang yang didapatkan secara

tunai. Hasil analisis penerimaan usahatani menunjukkan total penerimaan

usahatani petani responden di Desa Gunung Malang untuk lahan seluas satu

hektar selama satu musim tanam sebesar Rp 15.902.603,17, sehingga pendapatan

usahatani dari budidaya ubi jalar tersebut sebesar Rp 9.777.377,78 atas biaya tunai

dan Rp 6.989.901,59 atas biaya total. Dari hasil analisis pendapatan usahatani juga

didapatkan kesimpulan bahwa kegiatan usahatani ubi jalar petani responden di

Desa Gunug Malang layak untuk dijalankan karena menghasilkan nilai R/C yang

cukup tinggi yaitu 2,60 untuk R/C atas biaya tunai, dan R/C atas biaya total

sebesar 1,78.

Penelitian Masyuri (2017) menghasilkan rata-rata keuntungan yang

diterima oleh petani sebesar Rp 10.298.903,7 tersebut diperoleh dari rata-rata total

penerimaan sebesar Rp 18.531.848,7 dikurangi dengan rata-rata total biaya

sebesar Rp 8.232944,96. Jadi, dengan adanya total penerimaan yang lebih besar

daripada total biaya yang dikeluarkan oleh setiap petani menyebabkan usahatani

mengalami keuntungan. Pada penggunaan biaya pada usahatani ubi jalar di


27

Kecamatan Panti adalah efisien. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil nilai R/C

ratio yaitu sebesar 2,25 yang berart nilai R/C ratio > 1.

Penelitian (Pradikta 2009) Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata

terhadap produksi yaitu luas lahan,pupuk, pestisida dan tenaga kerja,sedangkan

jumlah benih dan manajerial berpengaruh tidak nyata terhadap produksi usahatani

kedelai di Kecamatan Bangsalsari. Usahatani kedelai di Kecamatan Bangsalsari

adalah menguntungkan, yaitu sebesar Rp. 1,228.108 per hektar. Sementara

berdasarkan strata luas lahan, tidak menunjukkan adanya perbedaan keuntungan

yang signifikan di antara strata luas lahan. Faktor produksi, harga jual, dan biaya

produksi berpengaruh secara signifikan terhadap keuntungan usahatani kedelai di

Kecamatan Bangsalsari.

Hasil penelitian Sizda Septiandini (2012), yang berjdul Studi Produksi Dan

Keuntungan Usahatani Tembakau Kasturi Di Kabupaten Jember menyatakan

tidak ada perbedaan keuntunan yang signifikan di antara strata luas lahan pada

taraf uji 10%. Tingkat keuntungan yang per hektar yang di peroleh golongan

petani luas sebesar Rp 17.134.406 lebih tinggi dibandingkan golongan petani

sempit yang sebesar Rp 16.150.009. Namun, usahatani tembakau kasturi di

Kabupaten Jember dapat dikatakan menguntungkan secara ekonomis.

Keuntungan usahatani yang didapat oleh petani merupakan hasil dari

penerimaan dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan selama proses usahatani

tersebut berjalan (Hernanto, 2003). Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

pendapatan usahatani ubi jalar antara lain dengan cara meningkatkan produksi. Akan

tetapi untuk melakukan hal ini petani sering kali terbentur masalah permodalan, karena
28

dengan meningkatkan produksi berarti petani membutuhkan modal awal usaha yang

lebih besar. Sementara itu, besar kecilnya penerimaan petani juga bergantung pada

jumlah produksi yang dihasilkan dan harga jual ubi jalar tersebut. Sedangkan tingkat

harga ubi jalar cenderung selalu rendah dan berfluktuatif, Dalam hal ini petani hanya

bertindak sebagai price taker, sehingga posisi tawar petani sangat kecil.

Anda mungkin juga menyukai