Anda di halaman 1dari 15

PITIRIASIS VERSIKOLOR DAN

DIAGNOSIS BANDINGNYA

(Ruam-ruam bercak putih pada kulit)

PENDAHULUAN

Banyak kelainan kulit berupa bercak putih (makula hipopigmentasi) salah satu

diantaranya adalah penyakit Pitiriasis Versikolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur /

Pityrosporum orbiculare (P.orbiculare) / P. ovale. Pitiriasis versikolor merupakan penyakit

infeksi jamur superfisial kronis pada kulit yang ditandai dengan makula hipopigmentasi dan

skuama.

Penyakit ini dikenal untuk pertama kali sebagai penyakit jamur pada tahun 1846 oleh

Eichsted. Robin pada tahun 1853 memberi jamur penyebab penyakit ini dengan nama

Microsporum furfur dan pada tahun 1889 oleh Baillon species ini diberi nama Mallassezia

furfur. Penelitian selanjutnya dan sampai sekarang menunjukkan bahwa Malassezia Furfur

dan Pityrosporum Orbiculare merupakan organisme yang sama.1,3,4

EPIDEMIOLOGI

Pitiriasis versikolor adalah penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai di daerah

tropis oleh karena tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir semua usia

terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Tidak ada perbedaan antara pria dan

wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa penderita berusia 20-30 tahun dengan

perbandingan 1,09% pria dan 0,6% wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum ada

namun diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedang di

negara subtropis yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit jamur.2,3,4

ETIOLOGI

Pada kulit terdapat flora normal yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis

versikolor ialah Pityrosporum orbiculare yang berbentuk bulat atau pityrosporum ovale yang

berbentuk oval. Keduanya merupakan organisme yang sama, dapat berubah sesuai dengan

lingkungannya, misalnya suhu, media dan kelembaban.


PATOGENESIS

Tinea versikolor timbul bila M. Furfur berubah bentuk menjadi bentuk miselia karena adanya

faktor predisposisi, baik eksogen maupun endogen. Faktor eksogen meliputi panas dan

kelembaban. Hal ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis versikolor banyak dijumpai di

daerah tropis dan pada musim panas di daerah sub tropis. Faktor eksogen lain adalah

penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana mengakibatkan peningkatan konsentrasi

CO2, mikroflora dan pH.

Faktor endogen berupa malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi

imunosupresan, hiperhidrosis dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu diabetes

melitus, pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan dan penyakit-penyakit berat

memudahkan timbulnya pitiriasis versikolor.

Patogenesis dari makula hipopigmentasi oleh terhambatnya sinar matahari yang masuk

ke dalam lapisan kulit yang akan mengganggu proses pembentukan melanin, adanya toksin

yang langsung menghambat pembentukan melanin, dan adanya asam azeleat yang dihasilkan

oleh Pityrosporum dari asam lemak dalam sebum yang merupakan inhibitor kompetitif dari

tirosinase.

GAMBARAN KLINIS

Lesi pitiriasis versikolor terutama dijumpai di bagian atas dada dan meluas ke lengan

atas, leher, tengkuk, perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus yang

khusus dimana lesi hanya dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau mendapatkan

tekanan pakaian , misalnya pada bagian yang tertutup pakaian dalam. Dapat pula dijumpai

lesi pada lipatan aksila, inguinal atau pada kulit muka dan kepala.

Penderita pada umumnya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula berwarna putih

(hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal ringan yang umumnya

muncul saat berkeringat. Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung lama sakit dan

luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular. Sedangkan lesi

primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama halus. Pada kulit

hitam atau coklat umumnya berwarna putih sedang pada kulit putih atau terang cenderung

berwarna coklat atau kemerahan. Makula umumnya khas berbentuk bulat atau oval tersebar
pada daerah yang terkena. Pada beberapa lokasi yang selalu lembab, misalnya pada daerah

dada, kadang batas lesi dan skuama menjadi tidak jelas.

Pada kasus yang lama tanpa pengobatan lesi dapat bergabung membentuk gambaran

seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Beberapa kasus di daerah berhawa dingin dapat

sembuh total. Pada sebagian besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi

makula hipopigmentasi yang akan menetap hingga beberapa bulan tanpa adanya skuama.

DIAGNOSIS

Diagnosis klinis Pitiriasis versikolor ditegakkan berdasarkan adanya makula

hipopigmentasi, hiperpigmentasi, atau kemerahan yang berbatas sangat tegas, tertutup

skuama halus. Pemeriksaan dengan lampu Wood akan menunjukkan adanya pendaran

(fluoresensi) berwarna kuning keemasan pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopis

sediaan skuama dengan KOH memperlihatkan kelompokan sel ragi bulat berdinding tebal

dengan miselium kasar, sering terputus-putus (pendek-pendek), yang akan lebih mudah

dilihat dengan penambahan zat warna tinta Parker blue-black atau biru laktofenol. Gambaran

ragi dan miselium tersebut sering dilukiskan sebagai meat ball and spaghetti.

Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan kerokan menggunakan skalpel tumpul

atau menggunakan selotip (cellotape) yang dilekatkan pada lesi. Pembuktian dengan biakan

M. Furfur tidak diagnostik oleh karena M.furfur merupakan flora normal kulit.

PENGOBATAN

Pitiriasis versikolor dapat diterapi secara topikal maupun sistemik. Tingginya angka

kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai 60% pada tahun pertama dan 80% setelah

tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan terapi profilaksis untuk mencegah rekurensi.

1. Pengobatan topikal 3,4,8

Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat yang dapat

digunakan ialah:

 Selenium sulfida 1,8% dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat digosokkan

pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum mandi.

 Salisil spiritus 10%


 Turunan azol misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol dalam

bentuk topikal

 ulfur presipitatum dalam bedak kocok 4-20%

 Larutan Tiosulfas natrikus 25% , dioleskan sehari 2 kali sehabis mandi selama 2

minggu

2. Pengobatan sistemik

Pengobatan sistemik diberikan pada kasus pitiriasis versikolor yang luas atau jika

pemakaian obat topikal tidak berhasil1,4,9. Obat yang dapat diberikan adalah:

 ketokonazol 200 mg/hari selama 10 hari

 itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari, disarankan untuk kasus kambuhan atau

tidak responsif dengan terapi lainnya.

PENCEGAHAN

Untuk pencegahan dapat disarankan pemakaian 50% propilen glikol dalam air atau

sistemik ketokonazol 400 mg/hari sekali sebulan.

Pada daerah endemik untuk pencegahan penyakit dapat disarankan pemakaian

ketokonazol 200 mg/hari selama 3 hari setiap bulan atau itrakonazol 200 mg sekali sebulan

atau pemakaian sampo selenium sulfid sekali seminggu.

PROGNOSIS

Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus

diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan

langsung negatif.

Jamur penyebab pitiriasis versikolor merupakan bagian dari flora normal dan kadang-

kadang tertinggal dalam folikel rambut. Hal ini yang mengakibatkan tingginya angka

kekambuhan, sehingga diperlukan pengobatan profilaksis untuk mencegah kekambuhan.

Masalah lain adalah menetapnya hipopigmentasi dan diperlukan waktu yang cukup lama

untuk repigmentasi. Namun hal tersebut bukan akibat kegagalan terapi, sehingga penting

untuk memberi informasi kepada pasien bahwa bercak putih tersebut akan menetap beberapa

bulan setelah terapi dan akan menghilang secara perlahan.

DIAGNOSIS BANDING (Ruam-ruam bercak putih pada kulit)


Diagnosis banding meliputi ruam-ruam bercak putih pada kulit seperti vitiligo, pitiriasis

alba, morbus hansen , hipopigmentasi post inflamasi , chemical leukoderma, progressive

macular hipomelanosis, dan pinta .

1. Morbus Hansen

Makula hipopigmentasi yang terdapat pada penderita Morbus Hansen mempunyai ciri-

ciri khas yaitu makula anestesi, alopesia, anhidrosis dan atrofi. Lesi dapat satu atau banyak,

berbatas tegas dengan ukuran bervariasi. Terdapat penebalan saraf perifer. Kelainan ini terjadi

karena menurunnya aktivitas melanosit. Pada pemeriksaan histopatologi jumlah melanosit

dapat normal atau menurun. Terdapat melanosit dengan vakuolisasi dan mengalami atrofi

serta menurunnya jumlah melanosom.

Patogenesis terjadinya hipomelanosis pada penyakit ini adalah sebagai berikut:

1. Efek langsung invasi Mycobacterium Leprae ke dalam melanosit

2. Digunakannya dopa sebagai substrat oleh sistem enzim Mycobacterium leprae

3. Perubahan pembuluh darah yang mengakibatkan atrofi melanosit.

Terapi untuk makula hipopigmentasi pada leprae dapat dipertimbangkan pemberian

PUVA.

2. Vitiligo

Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial

ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas dan asimtomatis.

Makula hipomelanosis pada vitiligo yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur,

bergaris tengah beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong

dengan tepi berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai

skuama. Vitiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah yang

terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat paha),

daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor permukaan

tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku). Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan

sel melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif. Pada pemeriksaan dengan lampu

Wood makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini membedakan lesi
vitiligo dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi lainnya.

Patogenesis vitiligo belum dapat dijelaskan dengan pasti. Dikemukakan 3 teori yaitu:

1. Teori autoimun

Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun. Pada penderita vitiligo dapat ditemukan

autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik disebut autoantibodi anti melanosit. yang

bersifat toksik terhadap melanosit atau menghambat pembentukan melanin. Hal ini disokong

dengan meningkatnya insiden vitiligo pada penderita penyakit autoimun.

2. Teori neurogenik

Teori mengatakan bahwa mediator neurokimia seperti asetilkolin, epinefrin dan nor

epinefrin yang dilepaskan oleh ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang

menghancurkan melanosit atau menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut

diproduksi berlebihan sel melanosit didekatnya akan rusak.

3. Teori autositotoksik

Teori ini berdasarkan biokimia melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa produk

antara dari biosintesis melanin adalah monofenol atau polifenol. Sintesis berlebihan dari

produk antara tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit.

Penatalaksanaan vitiligo meliputi:

1. Tabir surya

Tujuan penggunaan tabir surya adalah untuk melindungi kulit yang terlibat agar tidak

mengalami reaksi terbakar surya dan tidak terjadi tanning pada kulit yang normal. Yang

dianjurkan adalah tabir surya dengan SPF lebih dari 30.

2. Kosmetik penutup

Tujuan penggunaan kosmetik penutup adalah untuk menyembunyikn lesi vitiligo

sehingga tidak tampak. Merek yang tersedia misalnya Covermark (Lydia O’Leary),

Dermablend, Vitadye dan Dy-o-Derm. Biasanya warna disesuaikan dengan warna kulit dan

tidak mudah hilang.

3. Kortikosteroid topikal
Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berlandaskan pada teori autoimun. Jika

tidak ada respon selama 2 bulan maka terapi dianggap tidak akan berhasil. Evaluasi perlu

dilakukan setiap 2 bulan untuk mencegah timbulnya atropi kulit dan telangiektasia.

4. Pemakaian psoralen dengan UVA

Psoralen secara topikal ataupun sistemik yang diikuti oleh pajanan terhadap sinar UVA

(PUVA) menyebabkan proliferasi sel-el pigmen didalam umbi rambut dan perpindahan sel-sel

pigmen tersebut kedaerah kulit yang putih (hipopigmentasi)

5. Minigrafting

Minigrafting dapat digunakan pada vitiligo segmental yang stabil dan tidak dapat diobati

dengan tehnik yang lain.

6. Bleaching

Terapi ini digunakan untuk vitiligo yang luas, gagal dengan terapi PUVA, atau menolak

PUVA. Yang digunakan adalah Monobenzylether of hydroquinon 20% cream , dioleskan 2

kali sehari . Biasanya dbutuhkan waktu 9-12 bulan agar terjadi depigmentasi.

3. Hipopigmentasi post inflamasi

Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi

misalnya lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopik, psoriasis, parapsoriasis gutata kronis,

dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi

primernya. Hal ini khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita

psoriasis.

Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan mulai menghilang

setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar matahari.

Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari

melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari

edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya .


Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan

menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya.

Terapi biasanya sesuai dengan penyakit dasarnya. Setelah proses inflamasi menyembuh

maka warna kulit yang asli akan perlahan kembali. Hal ini mungkin dapat dipercepat dengan

paparan sinar matahari

4. Pitiriasis alba

Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan

priasama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda

atau sesuai warna kulit dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema menghilang lesi yang

dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang

berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4 sampai 20.

Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering di sekitar mulut, dagu,

pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi umumnya asimtomatik

tetapi dapat juga terasa gatal dan panas.

Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan terdapat

hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya

batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan lampu

wood.

Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca inflamasi

dan efek penghambatan sinar ultra violet oleh epidermis yang mengalami hiperkeratosis dan

parakeratosis.

Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan namun penyakit ini dapat menyembuh

sendiri seiring dengan meningkatnya usia, namun pernah dilaporkan lesi yang menetap

hingga dewasa. Terapi yang dapat diberikan berupa kortikostroid topikal. Untuk lesi pitiriasis

alba yang luas dapat digunakan PUVA.

5.Chemical leukoderma

Chemical leukoderma adalah hipomelanosis yang didapat akibat paparan berulang

bahan kimia tertentu terutama derivat phenol dan sulfhydril. Telah dilaporkan terjadinya

leukoderma pada pekerja yang terpajan monobenzil eter hidrokuinon (MBEH) yang
digunakan sebagai antioksidan. MBEH tidak hanya ditemukan pada desinfektan dan

germisida tapi juga pada tape adhesive, kontrasepsi diafragma , baju karet, kondom karet,

boneka karet, sarung tangan karet dan lain-lain.

Leukoderma yang diakibatkan oleh MBEH dapat menyerupai vitiligo. Makula

hipopigmentasi berwarna putih susu tidak hanya terjadi di tempat aplikasi tetapi juga dapat

terjadi lesi satelit berupa makula hipopigmentasi gutata pada bagian tubuh lainnya yang

biasanya permanen. Untuk berkembangnya leukoderma ini dapat tidak didahului erupsi iritan

atau dermatitis kontak sebelumnya. Pada stadium awal leukoderma bersifat reversibel jika

paparan dihentikan.

Hipomelanosis oleh karena hidrokuinon biasanya tidak berbatas tegas, tidak terjadi

depigmentasi penuh dan tidak ada lesi satelit. Kelainan ini bersifat reversibel. Pada

pemeriksaan histologi leukoderma karena bahan kimia tidak mempunyai gambaran

diagnostik yang khas untuk dibedakan dengan vitiligo. Pada makula tidak ditemukan

melanosit dan tidak ada perubahan pada epidermis dan dermis.

Terdapat banyak kemungkinan mekanisme terjadinya leukoderma akibat bahan kimia.

Hal-hal ini mencakup inhibitor kompetitif tirosinase, hambatan oksidasi sintesis tirosinase,

gangguanada sintesis melanosom, gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit

atau berkurangnya sintesis melanin di melanosom. Sulfhidril merupakan bahan sitotoksik

yang menggangu pembentukan melanin dengan cara menghambat tirosinase atau lebih

mengutamakan pembentukan phaeomelanin dan metabolitnya dibanding melanogenesis.

Diagnosis dugaan chemical leukoderma dapat dibuat berdasarkan riwayat paparan ulang

terhadap bahan kimia yang telah diketahui dapat menyebabkan leukoderma. Chemical

leukoderma harus selalu dijadikan diagnosis banding vitiligo. Namun tidak ada tes definitif

atau histologi untuk membedakan vitiligo dengan chemical leukoderma.

Chemical leukoderma bersifat irreversibel jika bahan kimia tersebut tidak segera

dieliminasi dengan segera. Leukoderma lokal dan masih pada tahap awal dapat pulih kembali

dengan cara menghentikan bahan kimia yang dicurigai dan jika perlu dengan oral atau topikal

PUVA.

Leukoderma yang disebabkan oleh hidrokuinon biasanya pulih secara spontan., terutama

jika ditambah dengan sinar ultra violet.


6. Progressive macular hipomelanosis

Progressive macular hipomelanosis (PMH) adalah suatu kondisi yang sering dijumpai di India

Barat ditandai dengan makula hipopigmentasi yang menyebar cepat pada badan. Ditemukan

terutama pada usia muda terutama wanita usia 18-25 tahun. Sering disangka sebagai pitiriasis

versikolor dan pitiriasis alba.

Lesi berbentuk makula hipopigmentasi dengan batas tidak tegas, tidak berskuama,

berukuran numular dan dapat berkonfluen dengan predileksi di badan bagian muka dan

belakang. Patogenesis PMH belum diketahui. Beberapa hipotesis telah diajukan. Menurut

Guilet dkk kelainan ini terjadi karena campuran gen kulit hitam dan putih yang berasal dari

orang tua penderita. Dugaan ini timbul karena kelainan ini banyak dijumpai pada ras

campuran. Menurut Wiete dkk kelainan ini diakibatkan oleh Propionibacterium acnes.

Makula hipopigmentasi timbul karena P. Acnes diduga menghasilkan zat yang menghambat

melanogenesis seperti mekanisme hipopigmentasi pada pitiriasis versikolor. Hal ini

berdasarkan pengamatannya bahwa lesi makula hipopigmentasi pada PMH memberikan

flouresensi berwarna merah dan bersifat folikular jika dilakukan pemeriksaan lampu Wood.

Borelli menduga kelainan ini karena genodermatosis namun tidak ada data-data yang

mendukung.

Gambaran mikroskopis pada lesi menunjukkan melanin sedikit berkurang. Pemeriksaan

ultrastruktural menunjukkan pergeseran melanosom tipe IV ke melanosom tipe I-III yang

kecil. Penemuan ini menunjukkan bahwa kelainan ini mungkin merupakan hasil dari

perubahan ukuran dan distribusi melanosom.

Kelainan ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan apapun tapi dapat

menyembuh secara spontan dalam waktu 3 bulan hingga 4 tahun. 7 Wiete dkk (2004)

melakukan penelitian pengobatan dengan benzoil peroxide dan antibiotik topikal yang

berfungsi untuk menekan P.acnes dan merangsang melanogenesis dengan hasil yang bagus.

7. Pinta (Carate, Mal de Pinta, Azul)


Pinta yang berarti bercak berwarna dalam bahasa Spanyol, disebabkan oleh Treponema

carateum. Pinta adalah satu-satunya treponematosis dengan manifestasi klinis terbatas pada

kulit. Seperti sifilis, pada pinta terdapat 3 stadium klinis namun berbeda dengan sifilis pada

pinta lesi dari berbagai stadium dapat ditemukan bersamaan pada satu pasien.

Lesi primer timbul antara 3 hingga 60 hari setelah inokulasi, berupa papul eritem, satu

atau lebih. Dalam beberapa minggu berkembang menjadi plak ireguler, hiperkeratotik,

likenifikasi dan dapat mencapai ukuran diameter 20 cm. Lesi timbul pada daerah yang

terbuka misalnya tangan, kaki, lengan, wajah dan leher. Lesi dapat bertahan hingga tahunan

atau sembuh secara spontan dengan sisa berupa hipopigmentasi.

Lesi sekunder (pintids) timbul antara 1 hingga 12 bulan kadang tahunan setelah

munculnya lesi primer, berupa papul eritem yang berkembang menjadi plak. Lesi sekunder

mungkin tidak dapat dibedakan dengan lesi primer, namun biasanya lebih kecil dan tidak

gatal. Beberapa lesi dapat berbentuk anular atau sirsinata dengan batas yang meninggi

dimana jumlah treponema ditemukan tinggi. Lokasi lesi dapat pada lesi primer yang pertama,

atau di badan, telapak tangan, dan telapak kaki. Sejalan dengan waktu, lesi berubah warna

menjadi coklat atau tembaga dan kadang biru, abu-abu atau hitam. Dalam 1 plak dapat

dijumpai lebih dari satu warna.

Lesi tersier timbul 3 bulan sampai 10 tahun setelah lesi sekunder. Gambaran klinis

utama berupa depigmentasi seperti vitiligo disertai warna coklat, biru, merah dan ungu. Lesi

mempunyai batas yang tidak teratur dan berukuran bervariasi. Makula timbul simetris pada

penonjolan tulang misalnya pergelangan tangan, jari tangan, tumit, telapak tangan, tumit, dan

disekitar lesi lama.Hanya pasien dengan stadium lanjut yang bisa mengalami vitiligo (vitiligo

pinta).

Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan akantosis, spongosis, hiperkeratosis,

degenerasi mencair sel basal. Treponema dapat ditemukan diepidermis pada stadium primer,

sekunder, dan tersier tapi tidak ditemukan treponema pada makula depigmentasi.

Terapi yang diberikan berupa injeksi Penisilin Benzathin single dose 1,2 MU untuk

dewasa dan anak usia diatas 10 tahun. Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan

tetrasiklin 4x500 mg atau doksisiklin 2x100mg selama 15 hari.

Lesi primer atau sekunder dapat hilang setelah terapi diberikan namun lesi stadium
lanjut akan menetap seumur hidup.

KESIMPULAN

1. Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial kronis yang disebabkan oleh M.furfur
2. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa makula hipopigmentasi dengan

skuama halus diatasnya, flouresensi kuning emas dengan lampu Wood dan ditemukannya

sel tunas dengan hifa pendek pada pemeriksaan KOH.

3. Penatalaksanaan meliputi terapi topikal dan sistemik.

4. Terdapat berbagai bentuk kelainan hipopigmentasi yang menyerupai pitiriasis versikolor

dengan berbagai faktor penyebab dan patogenesis yang berbeda. Karena itu diperlukan

pemeriksaan yang terperinci untuk menegakkan diagnosis yang tepat supaya dapat

dilakukan penatalaksanaan yang terarah dengan hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rippon. Superficial Infection. Dalam: Medical Mycology. Third edition. WB Saunders

company. Philadelphia. 1988:154-9.


2. Radiono S. Pitiriasis Versicolor. Dalam: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, dkk, editor.

Dermatomikosis Superfisialis. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001:17-20.

2. Partosuwiryo S, danukusumo HAT. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Diagnosis dan

Penatalaksanaan dermatomikosis. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 1992:65-9.

3. Faegemann JN. Pityriais (Tinea) Versicolor, Tinea Nigra and Piedra. Dalam: Jacob PH,

Nall L, editor. Antifungal Drug Therapy. Marcel Dekker. New York. 1990:23-5.

4. Klenk AS, Martin AG, Heffernan MP. Yeast infectio: Candidiasis, Pityriasis (Tinea)

Versicolor. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, dkk, editor. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. Sixth edition. Mc Graw-Hill. New York. 2003 : 2014 -

6.

5. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. FKUI. Jakarta. 2005:99-101.

6. Ortonne JP, Bahadoran P, dkk. Hypomelanosis and Hypermelanosis. Dalam: Freedberg

IM, Eisen AZ, Wolff K, dkk, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

Sixth edition. Mc Graw-Hill. New York. 2003 : 836-862.

7. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Medical

Multimedia Indonesia. Jakarta. 2005:33-4.

8. Weeks J, Moser SA, Elewski BE. Superficial cutaneous fungal infection. Dalam:

Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD. Ed. Clinical Mycology. Oxford. New York 2003:

367-9.

9. Achyar RY. Kelainan-kelainan hipopigmentasi dan vitiligo. Dalam: Simposium Kelainan

Pigmentasi Kulit dan Penanggulangannya. PADVI Cabang Jakarta Raya 1988: 46-59.

10. Nasution D. Penanggulangan kelainan hipopigmentasi dan vitiligo. Dalam: Simposium

Kelainan Pigmentasi Kulit dan Penanggulangannya. PADVI Cabang Jakarta Raya. 1988:

61-6.

11. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keempat. FKUI. Jakarta. 2005:289-300.

12. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Color atlas & synopsis of clinical

dermatology.. Fourth edition. Mc Graw-Hill. New York 2001:312-20.

13. Westerhof W, Relyveld GN, Kingswijk MM, dkk. Propionibacterium acnes and the
pathogenesis of Progressive macular hypomelanosis. Available at:

www.archdermatol.com February 2004.

14. Westerhoff W, Relyveld GN, Kingswijk MM, dkk. Treatmen of Progressive macular

hypomelanosis. Abstrak Kongres Nasional Perdoski IX. Jakarta 2005.

15. Sanches MR. Endemic (Nonvenereal) treponematosis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ,

Wolff K, dkk, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Sixth edition. Mc

Graw-Hill. New York. 2003 : 2188-92

16. Kahn IW, Schmidt B, Aberer W, Abere E. Pinta in Austria (or Cuba?) Import of an extinct

disease?. Available at: www.archdermatol.com june 1999.

Anda mungkin juga menyukai