Anda di halaman 1dari 17

TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

JIWA DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

OLEH :
SYAIPUL RIZAHANI, S.Kep
NIM : 19.31.1448

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


STIKES CAHAYA BANGSA BANJARMASIN
TAHUN 2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
JIWA DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

OLEH :
SYAIPUL RIZAHANI S.Kep
NIM : 19.31.1448

Banjarmasin, 24/06/2020
Mengetahui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

Fadhil Al Mahdi, S.Kep.,Ns.,M.MKes ( )


TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
JIWA DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

Pengertian Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan
karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan
mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu
mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat
menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/bermusuhan,
bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri
keputusasaan (Stuart,2006). Sumber: googleimage.com

Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya
sendiri dan yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya yang
mungkin pada waktu yang singkat. Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak
diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan
keputusanterakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain,
2008).

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Keliat 1991 : 4). Risiko bunuh diri dapat diartikan
sebagai resiko individu untuk menyakitidiri sendiri, mencederai diri, serta mengancam
jiwa. (Nanda, 2012)

Sehingga dari beberapa pendapat diatas, bunuh diri merupakan tindakan yang
sengaja dilakukan seseorang individu untuk mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara.
Dan seseorang dengan gangguan psikologi tertentu atau sedang depresi dapat pula
beresiko melakukan bunuh diri. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang bunuh diri,
dapat dari faktor eksternal seperti lingkungan dan faktor internal seperti gangguan
psikologi dalam dirinya
 Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori yaitu (Stuart, 2006):
• Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin
mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama
lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
• Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
• Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi
jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.

 Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
• Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong
seseorang untuk bunuh diri.
• Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
• Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor
dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
 Psikodinamika
Etiologi Resiko Bunuh Diri
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri ada dua
faktor, yaitu factor predisposisi (factor risiko) dan factor presipitasi (factor
pencetus).
 Faktor predisposisi
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku
resiko bunuh diri meliputi:
• Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat klien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.

• Sifat kepribadian

Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko


bunuh diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
• Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,kehilangan yang
dini, dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan bunuh diri.
• Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan
dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa
perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal
mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama.
Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang
ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri
• Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama
didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned
around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan
kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis,
individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya
dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih
sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang
yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan
objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga
ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi
• Sosiokultural
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan
masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur
atau tidak dengan masyarakatnya
 Faktor presipitasi
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum,kehilangan
pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang
mencoba atau melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga
membuat individu semakin rentan untukmelakukan perilaku bunuh diri.
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah perasaan
terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan
yang berarti, kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres, perasaan
marah/bermusuhan dan bunuh diri sebagai hukuman pada diri sendiri, serta cara utuk
mengakhiri keputusasaan.

 Pengkajian
Faktor predisposisi
• Diagnosis psikiatri
Klien kemungkinan sudah dengan diagnosis psikotik akut.
• Sifat kepribadian
Sifat kepribadian pada klien yang meningkatkan resiko bunuh diri adalah
adanya teman khayalan sehingga klien selalu berusaha melindunginya
dengan mengorbankan dirinya sendiri yang bisa membahyakan.
• Lingkungan psikososial
Biasanya klien mulai mengalami gangguan adalah ketika misalnya dia
diserang dan dicoba dibunuh oleh kakaknya yang baru keluar penjara
dimana kakaknya mengalami dendam terhadapnya.
• Biologis
Keteurunan dengan gangguan jiwa mempengaruhi.
• Psikologis
Perilaku yang ditujukan oleh klien dengan selalu melindungi teman
khayalannya yang merupakan cerminana dirinya tersebut karena dia ingin
teman khayalan tersebut tidak seperti dirinya sekarang. Dia juga merasa
bersalah dengan apa yang terjadi pada kakaknya sehingga dia juga tertekan.
klien akan selalu berusaha melindungi dengan cara yang membahayakan
dirinya tanpa dia sadari tersebut. Karena pada dunia klien, teman khayalan
yang dia lihat itu nyata dan perlu perlindungannya.
• Sosiokultural:
Hubungan dengan orang disekitarnya, klien memiliki hubungan yang baik
dan misalnya hubungan dengan kakaknya sangat tidak baik. Dan hal
tersebut salah satu yang melatarbelakangi apa yang dialaminya sekarang.
• Faktor presipitasi
Faktor pencetus dari kasus klien adalah adanya rasa bersalah terhadap
kakaknya, dan adanya perasaan dendam dari kakaknya yang terus ingin
menyerang klien, sehingga teman khayalan klien muncul sebagai cerminan
dirinya.

 Respon terhadap stres


• Kognitif
Biasanya klien sejak mengalami gangguan ini terganggu, kemampuan
menulis bisa sangat menurun dan cenderung hanya mengulang tulisan
yang sudah pernah di tulis sebelumnya.
• Afektif
Klien seringkali merasakan cemas akan serangan, dan selain itu bayangan
dari masa lalunya terus saja datang membayangi
• Fisiologis:
sering kali merasakan keringat dingin dan susah tidur ketika bayangan dari
masa lalunya sudah mulai ada, dan klien selalu mencemaskan teman
bayangannya.
• Perilaku
Biasanya klien sehari-harinya berperilaku seperti orang normal lainnya
dalam menjalani aktivitas hariannya, hanya saja orang sekeliling klien
sering melihat klien mengobrol sendiri seolah ada orang lain didepannya
yang diajak mengobrol. Selain itu, klien sering berperilaku yang
membahayakn seperti menabrakkan mobilnya sendiri dan menjatuhkan
dirinya sendiri seperti orang yang sedang dipukuli
• Sosial
Hubungan sosial klien dengan sekitar baik, tidak mengalami gangguan

 Kemampuan Mengatasi Masalah/ Sumber Coping


• Kemampuan personal:
Biasanya klien kurang bisa mengendalikan dirinya apabila sudah
menyangkut dengan teman bayangannya, sehingga menurut orang sekitar
klien sering melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya.
• Dukungan social:
Biasanya Pada awalnya, keluarga dan temannya tidak mengetahui apa
yang sedang dialami klien, akan tetapi ketika mengetahui klien sedang
sakit keluarga dan temannya memberikan dukungan penuh pada klien
agar cepat sembuh

 Keyakinan positif:
Klien memiliki keyakinan penuh bahwa dirinya akan sembuh dengan
keyakinan padaNya, selain itu dukungan dari keluarga dan orang sekitar
juga menjadi penyemangat tersendiri baginya.

 Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri

 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Noc Nic


Resiko Bunuh Diri 1. Pengendalian Diri 1. Membantu klien untuk mengenali
Terhadap Bunuh Diri
masalah yang sedang dialami.
2. Manajemen perilaku
a. Bantu klien untuk menurunkan
resiko perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri dengan
cara:
1) Kaji tingkatan resiko yang
dialami klien: tinggi, sedang,
rendah
2) Kaji level Long-Term Risk:
lifestyle, dukungan sosial,
tindakan yang bisa
membahayakan dirinya
b. Bantu klien untuk meningkatkan
harga diri
1) Tidak menghakimi dan
bersikap empati
2) Mengidentifikasi aspek
positif yang dimiliki
Berikan jadwal aktivitas
harian yang terencana untuk
klien dengan control impuls
yang rendah
4) Lakukan terapi kelompok
dan terapi kognitif serta
perilaku bila diindikasikan

3. Surveillance: safety
a. Berikan lingkungan yang aman
(safety)
1) Tempatkan klien di ruang
perawatan yang mudah
dipantau
2) Mengidentifikasi dan
mengamankan benda-benda
yang dapat membahayakan
klien
3) Berikan ruangan yang
nyaman, dan aman yaitu
dengan situai lingkungan
yang cukup cahaya dan
jendela yang tidak terbuka
lebar untuk menghindari
kemungkinan klien lari dari
ruang perawatan
4) Ketika memberikan obat oral,
dampingi klien dan pastikan
semua obat telah diminum
5) Monitor keadaan klien scara
kontinyu
Batasi orang dalam ruangan
klien
4. Active Listening
a. Bantu klien untuk mendapatkan
dukungan sosial
1) Informasikan kepada
keluarga dan saudara bahwa
klien membutuhkan
dukungan sosial yang
adekuat
2) Dorong klien melakukan
aktivitas sosial
3) Jadilah pendengar yang baik
bagi klien dan bantu klien
untuk mengatasi masalah
5. Afirmasi Positif
Berikan reinforcement positif kepada
klien

 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien resiko


bunuh diri salah satunya adalah dengan terapi farmakologi. Menurut
(videbeck, 2008), obat- obat yang biasanya digunakan pada klien resiko
bunuh diri adalah SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) (fluoksetin
20 mg/hari per oral), venlafaksin (75- 225 mg/hari per oral), nefazodon (300-
600 mg/hari per oral), trazodon (200-300 mg/hari per oral), dan bupropion
(200-300 mg/hari per oral). Obat-obat tersebut sering dipilih karena tidak
berisiko letal akibat overdosis.

Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan sistem


neurotransmiter monoamin di otak khususnya norapenefrin dan serotonin.
Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan membantu mengatur
keinginan, kewaspadaan, perhataian, mood, proses sensori, dan nafsu makan

• PRINSIP KEPERAWATAN

Menetapkan hubungan terapeutik, kontak sering dan singkat secara bertahap, peduli,
empati, jujur, menepati janji dan memenuhi kebutuhan dasar klien. Pada umumnya
melindungi dari perilaku yang membahayakan, tidak membenarkan ataupun
menyalahkan halusinasi klien, melibatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan
asuhan keperawatan dan mempertahankan perilaku keselarasan verbal dan nonverbal.

• IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Pelaksanaan Keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan

spesifik untuk membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang

mencangkup permasalahan kesehatan dan memfasilitasi koping (Keliat, 2005). Adapun

jenis-jenis pelaksanaan keperawatan sebagai berikut:

• Independen, merupakan tindakan keperawatan yang dilakuksn tanpa arahan atau


superpisi dari operasi.

• Dependen, merupakan tindakan keperawatan yang disertai intruksi kesehatan


yang lain yang di implementasikan dan perawat bertanggung jawab untuk
mengaflikasikan inturksi yang perlu ditanyakan.

• Kolaborasi atau Interdependen, merupakan tindakan keperawatan yang dibuat


perawat bersama tim kesehatan lainnya.

Tindakan keperawatan pada asuhan keperawatan gangguan jiwa dilaksanakan


dalam bentuk straetgi pelaksanaan tindakan keperawatan.

• EVALUASI KEPERAWATAN

Evaluasi keperawatan adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari

tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien

terhadap tindakan yang telah dilaksanakan.

Tujuan evaluasi keperaawatan adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai

tujuan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan

sehingga perawat dapat mengambil keputusan untuk mengakhiri rencana tindakan

keperawatan.
Evaluasi dapat dibagi menjadi dua yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan selesai

melaksanakan tindakan. Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan

respon klien pada tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.

Evaluasi dapat dilakukan dengan pendekatan SOAP sebagai pola pikir, dimana masing-

masing huruf tersebut diuraikan sebagai berikut:

S : respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

O : respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan.

A : analisa ulang terhadap data subjektif untuk menyimpulkan apakah

masalah masih tetap atau muncul masalah bari atau ada data yang

kontradiksi dengan masalah yang ada.

P : perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon

klien
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A, dkk. 2005. Keperawatan Jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC

Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama. Bandung.

Captain. 2008. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Alih bahasa
oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC.

Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tidakan Keperawatan (LP dan SP) revisi 2012. Jakarta: Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai