Anda di halaman 1dari 254

HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN (Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Buku ini merupakan salah satu referensi hukum kepariwisataan.


Pembahasan di dalamnya merupakan sajian interdisipliner dengan
mencoba memadukan pengetahuan hukum dan kebijakan publik.
Buku ini mencoba mengisi kekurangan referensi dalam kajian
◼ Isharyanto
hukum kepariwisataan yang mash langka di Indonesia. ◼ Maria Madalina
◼ Ayub Torry S.K.
Sebagaimana diketahui, pembangunan pariwisata memiliki arti
yang sangat penting jika ditinjau dari berbagai aspek. Dari sisi
ekonomi, dalam beberapa tahun terakhir, pariwisata memberikan
kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), baik melalui
devisa maupun perputaran ekonomi.

Sektor pariwisata juga membuka peluang usaha jasa pariwisata,


baik langsung maupun tidak langsung, serta membuka banyak
peluang kerja. Dari berbagai negara, menunjukkan industri
pariwisata selalu menempati urutan ke-4 atau ke-5 penghasil
devisa bagi negara. dalam konteks Indonesia, seiring dengan
manajemen otonomi daerah, maka pemerintahan lokal memiliki
peran penting dalam pembangunan pariwisata tersebut.

HUKUM KEPARIWISATAAN
& NEGARA KESEJAHTERAAN
Halaman Moeka Publishing (Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)
wwww.halamanmoeka.net
wwww.halamanmoeka.com
E: halamanmoeka@gmail.com
GH

HUKUM KEPARIWISATAAN
& NEGARA KESEJAHTERAAN
GH

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

◼ Isharyanto
◼ Maria Madalina
◼ Ayub Torry S.K.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼i


HUKUM KEPARIWISATAAN
& NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal)

Penulis:
◼ Isharyanto
◼ Maria Madalina
◼ Ayub Torry S.K.

Editor:
Isharyanto
Desain:
Tim HalamanMoeka.com

Cetakan pertama, Desember 2019


ISBN: 978-602-269-362-8

ii ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


GH

Kata Pengantar
GH

P
eranan sektor pariwisata nasional semakin penting sejalan
dengan perkembangan dan kontribusi yang diberikan
sektor pariwisata melalui penerimaan devisa, pendapatan
daerah, pengembangan wilayah, maupun dalam penyerapan
investasi dan tenaga kerja serta pengembangan usaha yang
tersebar di berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Menurut Buku
Saku Kementerian Pariwisata (2016), kontribusi sektor pariwisata
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada tahun 2014
telah mencapai 9 % atau sebesar Rp 946,09 triliun. Sementara
devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2014 telah mencapai Rp
120 triliun dan kontribusi terhadap kesempatan kerja sebesar 11
juta orang. Melalui mekanisme tarikan dan dorongan terhadap
sektor ekonomi lain yang terkait dengan sektor pariwisata,
seperti hotel dan restoran, angkutan, industri kerajinan dan lain-
lain. Melalui multiplier effect-nya, pariwisata dapat dan mampu
mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan
kerja. Itulah mengapa, percepatan pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dapat dilakukan
dengan mempromosikan pengembangan pariwisata.
Naskah buku ini pada awalnya adalah laporan penelitian
Hibah Strategi Nasional (Stranas) Kementerian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Tahun 2018. Kemudian dimodifikasi
dan ditata ulang dalam format buku untuk dapat diterbitkan
sehingga infor masi yang terkandung di dalamnya dapat dibaca
khalayak yang lebih luas lagi. Sisi menarik naskah ini karena ia
menyajikan penelitian kebijakan kepariwisataan di tingkat lokal

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ iii


dengan obyek pengamatan pluralisme lokal. Titik penting perlu
dilihat adalah konsep pluralisme lokal sendiri. Sebagai negara
kepulauan yang kaya akan ragam etnis, bahasa, dna budaya, dan
juga kekayaan pemandangan alam yang bagus, Indonesia di
masa depan nampaknya dikembangkan dari masalah ini. Sektor
kepariwisataan juga tidak terlepas dari pluralisme lokal ini. Oleh
sebab itu, peranan pemerintah daerah menjadi penting. Naskah
ini mengkonfirmasi peranan pemerintaha daerah tersebut dari sisi
hukum dan kebijakan publik. Harus diakui referensi soal itu masih
langka dalam wacana kebijakan kepariwisataan di Indonesia.
Kepada tim peneliti/penulis dan semua pihak yang sudah
membantu diterbitkannya buku ini diucapkan terimakasih. Karena
masih banyak kekurangan dan kelemahan, maka tegur sapa dan
kritik yang membangun dari semua pihak akan diterima dengan
senang hati. Semoga buku ini dapat memenuhi fungsinya.

Surakarta, 4 Desember 2019


Penulis

iv ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


GH

Daftar Isi
GH

KATA PENGANTAR ................................................................. iv


KATA PENGANTAR ................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Permasalahan................................................................................ 7
C. Tujuan Khusus............................................................................... 7
D. Temuan yang dihasilkan ........................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 9


A. State of the Art Bidang yang Diteliti ..................................... 9
B. Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan dan Hasil
yang Sudah Dicapai .................................................................... 11

BAB III METODE PENELITIAN ................................................ 13


A. Jenis Penelitian ............................................................................. 13
B. Sumber Data ................................................................................. 13
C. Lokasi Penelitian .......................................................................... 14
D. Cara Memperoleh Data ............................................................. 15
E. Analisis Data .................................................................................. 15
F. Bagan Alir Penelitian .................................................................. 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................. 17


A. Perspektif Pemerintahan dalam Penyelenggaran
Kebijakan Kepariwisataan ................................................................... 17
1. Aspek-aspek Penting Terkait dengan Pemerintahan dan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼v


Kewenangan ................................................................................. 17
2. Kebijakan Penyelenggaraan Kepariwisataan .................... 24
B. Kebijakan Pariwisata dan Relasi Pusat-Daerah ...................... 40
1. Konteks Kewenangan dan Permasalahan .......................... 40
2. Pelaksanaan Urusan Kepariwisataan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah .......................................................................... 43
C. Pluralisme Lokal dalam Kebijakan Kepariwisataan .............. 56
1. Keragaman Hayati dan Kebhinekaan Budaya ................... 56
2. Relasi dengan Kepariwisataan ................................................ 61
3. Perlindungan terhadap Hak-Hak Kebudayaan ................. 63
4. Kebhinekatunggalikaan............................................................. 68
5. Sejarah dan Warisan Budaya .................................................... 69
6. Pengembangan Karakter Bangsa ........................................... 72
D. Paham Negara Kesejahteraan dalam Pengaturan
Kepariwisataan di Indonesia ........................................................ 74
1. Pewadahan dalam Konstitusi................................................... 74
E. Negara Kesejahteraan dalam Formulasi Peraturan dan
Kebijakan Kepariwisataan ............................................................ 80
F. Praktik Penyelenggaraan Kebijakan Kepariwisataan .......... 122
1. Kota Surakarta .............................................................................. 122
2. Kota Batu ........................................................................................ 131
3. Provinsi Bali.................................................................................... 137
G. Analisis Kebijakan Kepariwisataan Berbasis Pluralisme
Lokal untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan............ 190

BAB V PENUTUP .................................................................... 197


A. Simpulan......................................................................................... 197
B. Saran ................................................................................................ 197

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 198

vi ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


BaB I

GH

PENDAHULUAN
GH

A. Latar Belakang
Penelitian model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme
lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan penting untuk
dilakukan karena minimal 4 (empat) pertimbangan sebagai
berikut. Pertimbangan pertama, Pariwisata merupakan sektor
yang semakin penting karena memberi manfaat ekonomi bagi
penduduk. Dampak yang ditimbulkan pariwisata terhadap
perekonomian bukan hanya berasal dari pengeluaran
wisatawan tetapi juga dari penciptaan lapangan pekerjaan
serta pengembangan sarana dan prasarana. Pariwisata
secara global menyumbang 9% gross domestic product (GDP)
atau USD 6 triliun, menciptakan 120 juta pekerjaan langsung
dan 125 juta pekerjaan tak langsung di bidang pariwisata. Di
suatu negara, pariwisata berdampak terhadap peningkatan
produksi barang kebutuhan wisatawan; tumbuhnya usaha
jasa layanan pariwisata dan jasa akomodasi; peluang
pekerjaan bagi masyarakat lokal; peningkatan pendapatan
masyarakat lokal; meningkatnya aksesibilitas jalan dan jasa
transportasi; dan bertambahnya layanan utilitas air bersih,
listrik, dan telekomunikasi. Manfaat pariwisata cenderung
meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan
pariwisata dunia. Dari tahun 1995 sampai tahun 2014, jumlah
kedatangan wisatawan dunia mempunyai kecenderungan
meningkat. Pertimbangan kedua, telah dilakukan pemetaan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼1


wilayah-wilayah Indonesia dalam kerangka 50 tujuan
destinasi wisata nasional. Kemudian, konsep perencanaan
pariwisata di tingkat satuan pemerintahan daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) telah disusun dalam sebuah Peraturan
Daerah tentang melalui pendekatan komprehensif berkaitan
dengan seluruh aspek, termasuk elemen sosial-ekonomi,
lingkungan, dan kelembagaan. Namun, dengan intensistas
dan kuantitas yang tidak sama, tiap-tiap destinasi wisata
nasional memiliki persoalan yang dapat memengaruhi
pengembangan daya saing pariwisata seperti (i) peningkatan
konsumsi bahan bakar minyak; (ii) peningkatan produksi
sampah; (iii) banjir dan sistem drainase yang kurang baik;
(iv) tingkat pencemaran tinggi; dan (v) belum optimalnya
penataan ruang dan peruntukan lahan. Rendahnya kualitas
lingkungan hidup menjadi lebih buruk karena pengaruh
kesenjangan ekonomi, selain itu, jumlah dan pertumbuhan
penduduk tidak sebanding dengan daya tampung wilayah,
dan rendahnya sikap positif tentang kesehatan dan
pencemaran lingkungan. Ketiga, Pemerintah berkeinginan
untuk menarik wisatawan asing sebesar 20 juta kunjungan
pada 2019. Pencapaian kunjungan wisatawan asing selama
11 bulan pertama tahun 2016 telah mencapai 10.405.947
kunjungan atau tumbuh sekitar 10 persen dari periode yang
sama tahun sebelumnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan selama November 2014, jumlah kunjungan
turis mencapai 1 juta. Angka tersebut tumbuh hampir 20
persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.
Pemerintah menargetkan kunjungan wisman pada tahun
2017 sebesar 12 juta kunjungan. Dengan capaian sementara
hingga November 2016, dibutuhkan sekitar 1,6 juta kunjungan
wisman lagi, sehingga dapat menembus target yang dipatok
selama 2016. Untuk mewujudkan capaian tersebut, isu daya

2◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


saing destinasi wisata menjadi mendesak untuk diperhatikan.
Daya saing dan keberlanjutan sebuah kawasan pariwisata
ini mempunyai hubungan timbal balik yang saling
mendukung iklim usaha dan keberlanjutan lingkungan.
Keempat, Indonesia memiliki keragaman destinasi wisata.
Segala kegiatan pengembangan pariwisata mencakup
berbagai segi yang sangat luas yang menyangkut berbagai
segi kehidupan masyarakat mulai dari angkutan, akomodasi,
makanan dan minuman, cinderamata dan pelayanan (service).
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pengembangan
pariwisata merupakan kegiatan kompleks, menyangkut
wisatawan, kegiatan, sarana prasarana, objek dan daya tarik,
fasiltas penunjang, sarana lingkungan dan sebagainya.1 Oleh
karena itu, dalam pengembangannya harus memperhatikan
terbinanya mutu lingkungan. Tata letak peruntukan perlu
dilakukan untuk menghindari benturan antara kepentingan
pariwisata dengan kepentingan pencagaran. Melalui zonasi
yang baik keanekaragaman dapat terpelihara, sehingga
wisatawan atau pengunjung dapat memilih rekreasi yang
baik. Alur pengembangan pariwisata nasional dan kawasan
pariwisata daerah dapat dilihat pada Gambar 1.1.

1
Lihat Otto Soemarwoto .1993. Pengembangan Pariwisata dan Dampak
yang Ditimbulkannya. Yogyakarta: Andi.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼3


Di lain pihak, A.Mathieson dan G.Wall yang dikutip
Marpaung2 menyatakan bahwa karakter suatu kawasan
wisata dan penghuninya akan mempengaruhi kapasitas
pengembangan dan pelayanan wisata dan akan berdampak
terhadap kawasan atau komponen lingkungan yang
berada di sekitarnya, seperti pada komponen (a) karakter
dan sifat lingkungan alam (b) struktur pembangunan dan
perkembangan ekonomi (c) struktur sosial budaya (d)
struktur politik dan institusi dan (e) tingkat pengembangan
dan perencanaan pariwisata. Pada sisi ini, basis pluralisme
lokal menjadi layak untuk ditelaah lebih lanjut untuk
desain pengembangan kebijakan kepariwisataan yang
berkelanjutan. Pluralisme sebagai dasar pengembangan
2
Happy Marpaung. 2000. Pengetahuan Pariwisata. Bandung: Alphabeta.

4◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


kebijakan kepariwisataan tersebut dapat digambarkan dalam
alur gambar 1.2.

Pandangan positif efek kebijakan kepariwisataan


menunjuk kepada 3 (tiga) hal penting yaitu, sumbangan
sektor ini terhadap pemasukan devisa, penciptaan lapangan
kerja, pengembangan usaha dan keterkaitan dengan sektor
lain. Dalam aras makro, target pengembangan pariwisata
yang dicanangkan dalam aras negara selalu dikaitkan
dengan pemasukan devisa. Devisa dibutuhkan suatu negara
dalam rangka menunjang program pembangunan di negara
tersebut. Devisa yang masuk melalui sektor pariwisata
akan menambah cadangan devisa negara. Jika pariwisata

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼5


berkembang berarti negara mempunyai cadangan devisa
yang cukup untuk membiayai impor barang-barang modal
dan bahan baku dalam rangka menunjang pengembangan
sektor industri yang lain. Dari perspektif mikro, aktivitas
pembangunan pariwisata menciptakan lapangan kerja baik
secara langsung maupun tidak langsung. Penyerapan tenaga
kerja bisa secara tidak langsung terjadi jika pengembangan
sektor pariwisata mendorong perkembangan sektor
lain di luar pariwisata. Allcock (2006) dan Tetsu (2006),
berpendapat bahwa pariwisata juga dapat menjadi bagian
integral pembangunan ekonomi suatu negara jika dapat
menggerakkan sektor yang lain.3 Keterkaitan antar sektor
dapat dijelaskan sebagai akibat permintaan sektor pariwisata
terhadap produk dari sektor lain. Selain itu dengan demikian
maka perkembangan kegiatan pariwisata akan mendorong
berkembangnya entrepreneur lokal. Para pengusaha lokal
terlibat dengan membuka usaha sesuai dengan kebutuhan
para wisatawan.
Kerangka penting untuk mengkonfirmasi efek positif
di atas perlu ditelaah dalam prinsip negara kesejahteraan.
Dalam konteks ini, negara kesejahteraan menjadi tujuan
yang memang harus diupayakan dan diperjuangkan semua
pihak. Sehubungan dengan ini, diperlukan ancangan
akademik yang serius untuk membaca fasilitasi hukum
dalam pengembangan kebijakan kepariwisataan berbasis
pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan.
Hal ini memperoleh justifikasi dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025, yang antara lain mengatakan
bahwa pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung
terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
3
Sadar Pakarti Budi, 2016, Model Strategi Pengembangan Kawasan
Pariwisata Yang Berdaya Saing Dan Berkelanjutan : DKI Jakarta, Disertasi
Program Studi Arsitektur Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan.

6◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


mengatur permasalahan yang berkaitan dengan eknomi,
terutama dunia usaha dan dunia industri, serta menciptakan
kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan
hukum.4

B. Permasalahan
Penelitian dirancang untuk dilaksanakan dalam 2 (dua)
tahun penelitian. Untuk tahun 1, fokus penelitian diarahkan
kepada rekonstruksi dan analisis faktor-faktor penting yang
berpengaruh signifikan terhadap kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif
pemangku kepentingan yaitu pemerintah daerah. Sementara
itu, untuk tahun 2, fokus penelitian adalah formulasi model
kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk
mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Untuk
memberikan panduan dalam rangka analisis fokus penelitian
tersebut, dirumuskan masalah sebagai berikut:
Tahun 1 : Bagaimanakah konstruksi dan analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis
pluralisme di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan
daerah?
Tahun 2 : Bagaimanakah formulasi model kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan
negara kesejahteraan (welfare state)?

C. Tujuan Khusus
1. Menyajikan skema dan uraian yang memuat konstruksi
dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme di tingkat lokal dalam

4
Lihat UU No, 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang
2005-2025 Bab IV 1.3. Angka 6 Mewujudkan Indonesia yang Demokratis
Berlandaskan Hukum.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼7


perspektif pemerintahan daerah.
2. Menyusun formulasi model kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara
kesejahteraan (welfare state).

D. Temuan yang dihasilkan


Tahun 1
Uraian yang memuat konstruksi dan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme
di tingkat lokal dalam perspektif pemerintahan daerah. Uraian
ini diharapkan menyajikan paparan mengenai: (i) perspektif
pemerintahan daerah dalam mensinergikan prinsip-prinsip
hukum kepariwisataan internasional dan nasional yang
berlaku dewasa ini untuk landasan kebijakan di daerah;
(ii) perspektif pemerintahan dalam analisis faktor-faktor
penting yang berpengaruh signifikan terhadap kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal; dan (iii) perspektif
pemerintahan daerah soal variabel kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme lokal yang dapat memperkuat manfaat
terhadap komunitas sosial, ekonomi, budaya penduduk, dan
lingkungan.

8◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


BaB II

GH

TINJAUAN PUSTAKA
GH

A. State of the Art Bidang yang Diteliti


Untuk mendapatkan penelitian yang state of the art,
penilitian harus mencakup perkembangan terkini tentang
topik yang relevan, menentukan kontribusi penelitian,
menentukan novelty penelitian, memastikan tidak ada
duplikasi dan plagiarisme, dan menggunakan sumber
jurnal. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini berfokus pada
perkembangan terkini dari topik yang relevan, menentukan
kontribusi penelitian berupa pengembangan model,
menentukan kebaruan model kebijakan kepariwisataan yang
berbasis pluralisme lokal untuk mencapai negara kesejahteraan
(welfare state). Dalam mencapai tujuan penelitian, dipastikan
tidak ada duplikasi, plagiarism penelitian dan dengan merujuk
pada sumber jurnal, prosiding, buku, dan sumber luar
jaringan maupun dalam jaringan.
Obyek penelitian ini secara substantif berbeda dengan
penelitian bidang hukum kepariwisataan yang pernah
dilakukan sebelumnya. Dapat disebutkan misalnya:
1. Penelitian berupa disertasi oleh Ida Bagus Wiyasa Putra
berjudul Fungsi Hukum dallam Pengaturan Pariwisata
sebagai Bentuk Perdagangan Jasa Fungsi Hukum dallam
Pengaturan Pariwisata sebagai Bentuk Perdagangan
Jasa yang merupakan mengambil konep kebijakan
kepariwisataan dengan menyerap General Agreement

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼9


on Trade in Services dalam pengaturan perdagangan jasa
pariwisata internasional (Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang, 2010).
2. Penelitian berupa tesis oleh Violetta Simatupang, yang
berjudul Pengaturan Usaha Jasa Pariwisata Berdasarkan
General Agreement on Trade in Servises-WTO dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, yang mengamati soal konten perjanjian
GATS WTO dalam aspek kepariwisataan (Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, 2010).
3. Penelitian berupa disertasi oleh Happy Marpaung,
yang berjudul Hukum Kepariwisataan dalam Paradigma
Otonomi Daerah pada Era Globalisasi, yang menguraikan
kesesuaian prinsip-prinsip hukum kepariwisataan
nasional terhadap hukum kepariwisataan di daerah
untuk melaksanakan otonomi daerah (Fakultas Hukum
Universitas Parahiyangan, 2008).
4. Penelitian berupa disertasi oleh Violetta Simatupang, yang
berjudul Hukum Kepariwisataan Berbasis Ekspresi Budaya
Tradisional Menuju Negara Kesejahteraan, yang berbicara
sinergi hukum kepariwisataan internasional terhadap
hukum kepariwisataan nasional yang berlandaskan
Pancasila (Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 2015).
5. Penelitian berupa disertasi oleh Alimuddin Rizal Riva’i,
yang berjudul Kekuatan Memaksa dalam Pemasaran
Relasional dan Dampaknya terhadap Strategic Marketing
Outcomes (Studi Empirik pada Industri Pariwisata Indonesia),
yang berbicara mengenai dampak kekuatan memaksa
terhadap kepercayaan, komitmen relasional, kerjasama
pemasaran, nilai-nilai hubungan jangka panjang (loyalitas,
keeratan hubungan, dan pesan berantai); dan dampak
nilai-nilai hubungan jangka panjang dengan luaran-luaran

10 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


pemasaran strategis (sinergitas kerjasama, keunggulan
posisional bersaing dan kinerja pemasaran) (Fakultas
Ekonomi, Universitas Diponegoro, 2009).
6. Penelitian berupa disertasi oleh Wawanudin, yang berjudul
Kajian Pengembangan Pariwisata Tanjung Lesung Dalam
Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, yang
berbicara mengenai gagasan alternatif pengembangan
pariwisata dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan wisata (Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, 2013).

B. Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan


dan Hasil yang Sudah Dicapai
Research group telah melakukan studi pendahuluan
dengan melakukan berbagai pengamatan dan kajian dari
penelitian maupun jurnal yang telah dilakukan oleh peneliti lain
sebelumnya. Berdasarkan beberapa kajian terhadap penelitian
sebelumnya maka penelitian ini memiliki relevansinya
untuk melakukan sinergisitas terhadap penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh penelitian lain. Secara internal studi
pendahuluan yang telah dilakukan Research group dan hasil
yang sudah dicapai dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Kegiatan Hasil yang Sudah Dicapai
Pengkajian Peraturan Perundang-undangan telah memenuhi
terhadap peraturan persyaratan sebagai pengatur dan pengendali
perundangan- perilaku para pemangku kepentingan secara
undangan hierarki. Peraturan pemanfaatan pariwisata alam
pemanfaatan juga telah memenuhi kecukupan isi yang dicirikan
pariwisata alam di oleh adanya kejelasan tujuan, objek hukum,
kawasan konservasi sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas
bagi pelaksana. Namun dalam implementasinya
peraturan pemanfaatan pariwisata alam belum
mendapat respon positif dari pelaksana peraturan
maupun kelompok sasaran peraturan.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 11


Pengamatan terhadap Kelembagaan menunjukkan penerapan prinsip-
lembaga yang prinsip tata kelola pariwisata yang lebih baik.
dibentuk berdasarkan Prinsip-prinsip tata kelola pariwisata meliputi
keinginan dari daerah dimensi legitimasi, transparansi, akuntabilitas,
dalam pengelolaan inklusifitas, keadilan, keterkaitan, dan daya tahan.
kepariwisataan Hasil penilaian kinerja lembaga yang terendah
adalah menyangkut daya tahan yang sangat
ditentukan dari kemampuan untuk beradaptasi,
melihat dan merespons ancaman, dan memiliki
kapasitas yang diperlukan untuk berlanjutnya
kehidupan organisasi. Faktor pengungkit
terbesarnya adalah sumber daya manusia, sehingga
bagi lembaga di tingkat lokal dapat meningkatkan
daya tahannya dengan lebih meningkatkan pula
kompetensi dari sumber daya manusia di dalamnya.
Pengkajian dampak Banyak penelitian dilakukan untuk melihat
kepariwisataan bagi seberapa besar dampak tersebut bagi masyarakat,
masyarakat lokal terutama terhadap kebudayaan masyarakat lokal.
Namun belum banyak penelitian dilakukan
mengenai dampak pariwisata terhadap kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat lokal. Misalpun ada
lebih ke arah penerimaan devisa negara dari sektar
ini.
Identifikasi terhadap Faktor ekonomi seperti pendapatan nasional,
aliran investasi inflow/outflow barang/jasa pariwisata, nilai tukar
pariwisata Indonesia riil, harga riil pariwisata Indonesia, penyediaan
sangat dipengaruhi investasi dari sektor pertanian yang digunakan
oleh pendapatan per dalam pariwisata, belanja pemerintah, krisis
kapita Indonesia, ekonomi, maupun faktor keamanan merupakan
tingkat suku bunga, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
harga pariwisata penawaran pariwisata Indonesia.
Indonesia, jarak
ekonomi, dan nilai
tukar riil
Identifikasi terhadap Dengan adanya kejenuhan pembangunan hotel
peluang investasi berbintang lima, kemudian adanya masa krisis
terhadap pariwisata moneter serta perkembangan sosial, politik dan
keamanan di dalam negeri, maka perlu diketahui
peluang investasi terhadap pariwisata, apakah
perlu dikembangkan lebih lanjut ataukah perlu
diadakan evaluasi kebijakan yang tidak menolak
pariwisata.

12 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


BaB III

GH

METODE PENELITIAN
GH

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan sosio-legal research. Penelitian ini
merupakan kajian terhadap hukum dengan menggunakan
pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial. Menurut
Mardzuki penelitian sosio-legal research hanya menempatkan
hukum sebagai gejala sosial. Oleh karenanya, dalam penelitian
ini selalu dikaitkan masalah sosial.5

B. Sumber Data
Data penelitian dapat diidentifikasi dalam 2 kategori
sebagai berikut:
1. Data primer, yaitu merupakan sumber data yang diperoleh
langsung dari sumber asli (tidak melalui media perantara).
2. Data sekunder, yaitu merupakan sumber data penelitian
yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media
perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data
sekunder meliputi: (i) bahan hukum primer, yaitu sumber
hukum yang otentik, yang mencakup peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, dan bahan hukum adat
yang tercatat; (ii) bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang
memperjelas atau memiliki kaitan dengan sumber hukum
otentik seperti risalah penyusunan dokumen hukum, hasil
riset, atau artikel/jurnal yang relevan.
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Pradana Media
Grup, Jakarta, hlm. 87.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 13


C. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan sebagai berikut:
Lokasi Alasan Data yang Diharapkan
Pemerintah 1. Jejak sejarah yang terentang Data mengenai: (i) perspektif
Kota panjang dari masa Kasultanan pemerintahan daerah dalam
Surakarta Pajang dan Kasunanan Surakarta mensinergikan prinsip-
(Provinsi menjadikan Solo dilimpahi warisan prinsip hukum kepariwisataan
Jawa budaya benda dan tak bendawi, internasional dan nasional
Tengah) sehingga memiliki daya tarik wisata yang berlaku dewasa ini untuk
yang kuat. Namun, tidak cuma landasan kebijakan di daerah;
mengandalkan Keraton Surakarta (ii) perspektif pemerintahan
sebagai daya tarik, Pemerintah Kota dalam analisis faktor-faktor
Solo menata kota dan merevitalisasi penting yang berpengaruh
potensi wisata, berbagai terobosan signifikan terhadap kebijakan
kreatif diwujudkan. kepariwisataan berbasis
2. Tahun 2010, total wisatawan pluralisme lokal; dan (iii)
sebanyak 942.541, tahun 2011 perspektif pemerintahan
melonjak menjadi 1.300.832 orang, daerah soal variabel kebijakan
tahun 2012 tercatat 1.305.820, kepariwisataan berbasis
dan tahun 2013 jumlah wisatawan pluralisme lokal yang dapat
Nusantara dan mancanegara memperkuat manfaat terhadap
menjadi 1.480.135. Wisatawan komunitas sosial, ekonomi,
domestik masih mendominasi. Pada budaya penduduk, dan
2013, misalnya, jumlah wisatawan lingkungan.
domestik 1.468.625 orang.
Kota Batu 1. Sistem pengelolaan pariwisata di Data mengenai: (i) perspektif
(Provinsi Kota Batu, Prov. Jawa Timur, saat pemerintahan daerah dalam
Jawa ini boleh disebut sebagai salah satu mensinergikan prinsip-
Timur) di antara yang terbaik di Indonesia, prinsip hukum kepariwisataan
Selama sekira 14 tahun sejak internasional dan nasional
Kecamatan Batu yang termasuk yang berlaku dewasa ini untuk
Kab. Malang, dimekarkan menjadi landasan kebijakan di daerah;
kota administratif dan kini disebut (ii) perspektif pemerintahan
Kota Batu, kawasan perbukitan dalam analisis faktor-faktor
yang awalnya merupakan pedesaan penting yang berpengaruh
dengan daerah pertanian kini signifikan terhadap kebijakan
berubah menjadi kiblat tujuan wisata kepariwisataan berbasis
idaman banyak orang. pluralisme lokal; dan (iii)
2. Dari sektor andalan pariwisata perspektif pemerintahan
tersebut, Pemkot Batu pada 2015 daerah soal variabel kebijakan
mampu mengisi kas daerah melalui kepariwisataan berbasis
APBD sebesar Rp 725 miliar dan pluralisme lokal yang dapat
Rp 580 miliar di antaranya berasal memperkuat manfaat terhadap
dari pajak industri pariwisata. komunitas sosial, ekonomi,
Pada APBD 2016, Pemkot Batu budaya penduduk, dan
memasang target pendapatan Rp 1 lingkungan.
triliun yang 75%-80% berasal dari
sektor pariwisata.

14 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Kabupaten 1. Meskipun memiliki puluhan objek Data mengenai: (i) perspektif
Bandung wisata, Kabupaten Bandung Barat, pemerintahan daerah dalam
Barat Jawa Barat, hanya mendapat mensinergikan prinsip-
(Provinsi sokongan pendapatan asli daerah prinsip hukum kepariwisataan
Jawa dari sektor wisata sebesar Rp38 juta internasional dan nasional
Barat) per tahun. PAD itu berasal dari tiga yang berlaku dewasa ini untuk
lokasi, yakni Situ Ciburuy, Curug landasan kebijakan di daerah;
Malela, dan Goa Pawon. (ii) perspektif pemerintahan
2. Selain minim penataan, promosi dalam analisis faktor-faktor
yang dilakukan pun terkesan penting yang berpengaruh
seadanya. Hanya melalui pamflet signifikan terhadap kebijakan
dan brosur dari pameran ke pameran kepariwisataan berbasis
ditambah promosi di internet dan pluralisme lokal; dan (iii)
media massa. Jika melihat anggaran perspektif pemerintahan
promosi pariwisata, sebenarnya daerah soal variabel kebijakan
tidaklah sedikit. Tahun ini, anggaran kepariwisataan berbasis
promosi di Bidang Pariwisata KBB pluralisme lokal yang dapat
mencapai Rp 1,8 miliar. memperkuat manfaat terhadap
komunitas sosial, ekonomi,
budaya penduduk, dan
lingkungan.

D. Cara Memperoleh Data


Cara memperoleh data dilakukan dengan wawancara
terstruktur. Dalam hal ini, wawancara adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab, sambil bertatap muka antara responden dengan
peneliti menggunakan alat yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara). Wawancara dapat dilakukan dengan
tatap muka maupun melalui telpon.

E. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data,
menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun
kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan
dipelajari dan membuat kesimpulan. Kategori analisis adalah
analisis data nonstatistik. Data yang diperoleh ditulis dalam
bentuk laporan atau data yang terperinci. Laporan yang disusun
berdasarkan data yang diperoleh direduksi, dirangkum, dipilih

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 15


hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting.
Data hasil mengikhtiarkan dan memilah-milah berdasarkan
satuan konsep, tema, dan kategori tertentu akan memberikan
gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan juga
mempermudah peneliti untuk mencari kembali data sebagai
tambahan atas data sebelumnya yang diperoleh jika diperlukan.

F. Bagan Alir Penelitian

16 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


BaB IV
GH

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


GH

A. Perspektif Pemerintahan dalam Penyelenggaran


Kebijakan Kepariwisataan
1. Aspek-aspek Penting Terkait dengan Pemerintahan
dan Kewenangan
Usaha untuk mencapai tujuan negara sebagai organisasi
kekuasaan6, pemerintah menempati kedudukan yang
istimewa. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya
bahwa pemerintah diatur oleh hukum khusus yaitu hukum
6
Sumber kekuasaan dijelaskan oleh empat teori kedaulatan sebagai
berikut: Pertama, teori kedaulatan Tuhan, yang dikembangkan antara lain
oleh Agustinus, Thomas Aquino dan Marsilius pada abad ke-15. Teori
ini menjelaskan sumber hukum kekuasaan itu dari Tuhan. Kedua, teori
hukum alam, yang dikembangkan antara lain oleh Johanes Althusius.
Teori ini mengajarkan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat. Kekuasaan
tidak lagi dipandang berasal dari Tuhan. Kekuasaan yang ada pada rakyat
diserahkan kepada seseorang yang disebut raja untuk menyelenggarakan
kepentingan masyarakat. Ketiga, teori kedaulatan hukum, yang dipelopori
oleh Krabbe. Teori ini mengajarkan bahwa segala kekuasaan dalam suatu
negara berdasarkan atas hukum. Keempat, teori kedaulatan negara yang
dikembangkan oleh Jellinek dan Otto Mayer. Teori ini mengajarkan bahwa
pangkal kekuasaan negara tidak diperoleh dari siapapun dan kekuasaannya
tidak perlu diberi penjelasan apapun. Tidak terlepas dari teori kedaulatan
tersebut, dalam konteks Indonesia Sjachran Basah berpendapat bahwa
kekuasaan negara Indonesia bersumber kepada duet intergral secara
harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat
berdasarkan prinsip monodualistik selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya
konstitutif. Lihat: Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000),
150; Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia
(Jakarta: Dian Rakyat, 1980), 6; dan Sjachran Basah, Perlindungan Hukum
Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara (Bandung: Alumni, 1992), 2.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 17


administrasi sebagai instrumen pemerintah untuk secara
aktif turut campur dalam kehidupan bersama masyarakat7
dan sekaligus hukum yang memberikan perlindungan
kepada anggota kehidupan bersama itu.8 Negara adalah
suatu organisasi masyarakat untuk mengatur kehidupan
bersama. Untuk mencapai tujuan bersama itu disusun
suatu tatanan pemerintahan sebagai sarana pelaksana
tugas negara, beserta pembagian tugas dan batas
kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara adalah
suatu abstraksi yang oleh hukum dipersonifikasi dan
diangkat sebagai realita hukum.9 Sebagai suatu abstraksi,
pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya
tanpa melalui organnya.10, 11 Organ tersebut dikenal
sebagai “jabatan” , yaitu pendukung hak dan kewajiban,
sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan
perbuatan hukum (rechtsdelingen) baik menurut hukum
publik maupun menurut hukum privat. Ditambahkan
bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam suatu
7
Ove Eriksson, “Evaluation of interventions in the government sector in
Sweden: a need for change,” Policy and Practice in Health and Safety, no.
1 (t.t.): 75–89.
8
Jukka-Pekka Salmenkaita dan Ahti Salo, “Rationales for Government
Intervention in the Commercialization of New Technologies,” Technology
Analysis and Strategic Management 14, no. 2 (2002): 183–200; Chris
Warhurst, “The knowledge economy, skills and government labour market
intervention,” Policy Studies 29, no. 1 (2008): 71–86; Dobre Claudia
I. dan Costin I. Răsăuţeanu, “Global Economic Crisis and Government
Intervention,” Economic Sciences Series 16, no. 2 (2016): 14–19.
9
Dalam hukum administrasi positif Indonesia tepatnya pada pasal 1 angka 2
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 Tahun 2004
digunakan istilah “badan” atau “pejabat” untuk menyebut abstraksi itu.
Dikatakan bahwa: “badan atau pejabat tata usaha negara adalah pelaksana
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
10
Lukman Hakim, “Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan,” Jurnal Konstitusi 4, no. 1 (2011): 5–21.
11
Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia.

18 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun
pada pengadilan perdata dan administrasi.12
Dari segi hukum administrasi, pelaksanaan sebuah
kebijakan diatur dalam norma-norma yang berhubungan
dengan “wewenang pemerintah, pelaksanaan tugas
pemerintahan, dan melindungi hak-hak administratif
rakyat.”13 Dalam hal ini, ia berhubungan dengan
peraturan-peraturan hukum publik “yang berkaitan
dengan pemerintahan umum.”14,15,16 Walaupun menjadi
domain pemerintah, yang mungkin dijauhkan dari
pengadilan17, namun dalam pelaksanaan wewenang
tadi diperlukan peraturan perundang-undangan dan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh badan18
12
Hakim, “Kewenangan Organ Negara Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan.”, 7. Menurut Indroharto yang dipersonifikasi itu adalah
“jabatan”, bukan “pejabat”. Dijelaskan bahwa istilah “pejabat” dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-
undang No. 9 Tahun 2004 kurang tepat digunakan, karena lebih menunjuk
kepada manusianya, yaitu orang yang memangku jabatan. Jadi yang
dimaksud sebenarnya adalah jabatan atau „ambt‟ suatu kedudukan, suatu
fungsi untuk melaksanakan urusan pemerintah. Lihat: Indroharto, Usaha
Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (I)
(Jakarta: Sinar Harapan, 1993).
13
W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Sinar Grafika,
2018), 1.
14
Ibid., 3.
15
Esparraga Francisco dan Ian Ellis, Administrative Law (Oxford: Oxford
University Press, 2011)., 2.
16
William. Jr Fox, Understanding Administrative Law (New York: Lexis
Publishing, 2000)., 3.
17
Gbemende Johnson, “Legislative ‘Allies’ and Judicial Oversight of
Executive Power,” Justice System Journal 38, no. 2 (2017): 116–34.
18
Pengertian “pejabat” menurut pengertian bahasa adalah pegawai
pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan). Dalam bahasa
Belanda istilah “pejabat” disalin antara lain menjadi “ambtdrager”, yang
diartikan sebagai orang yang diangkat dalam dinas pemerintah (negara,
propinsi, kotapraja, dan sebagainya). Lihat dalam: Anton M. Moeliono
dan Et.al, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 19


administrasi.19 Indroharto mengambil kesimpulan bahwa
ukuran yang harus dipakai adalah masalah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang
dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintah. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa badan atau pejabat
tata usaha negara adalah apa dan siapa saja berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang
dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan
tanpa memandang aparat resmi dalam struktur hierarkis
pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan
suatu badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan
tata usaha negara adalah tidak relevan dengan mencari
landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur
hierarki pemerintahan.20
Tentu saja aturan-aturan itu tidak hanya bersumber
kepada hukum domestik saja, akan tetapi berkaitan juga
dengan aturan-aturan hukum internasional.21 Landasan
hukum internasional masih mencerminkan prinsip-
prinsip kedaulatan Westphalian, yang seringkali tampil
sebagai mitos dan retorika. Dalam konsepsi ini, negara
adalah wilayah fisik yang didefinisikan sebagai ruang
“ within which domestic political authorities are the sole
arbiters of legitimate behavior.”22 Negara dapat menjadi

1995)., 62; A. Teeuw, Kamus Indonesia-Belanda (Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama, 1999)., 50; dan N.E. Algra dan et.al, Kamus Istilah
Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia (Jakarta: Bina Cipta,
1983)., 374.
19
W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Sinar
Grafika, 2018)., 4.
20
Ibid.
21
Isharyanto, Hukum Internasional dalam Pusaran Politik dan Kekuasaan
(Jakarta: Pustaka Pedia, 2017).
22
Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy (Pricenton NJ:
Princeton University Press, 1999).

20 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


bagian sistem hukum internasional dengan menyetujui
peraturan tertentu. Demikian juga, negara dapat memilih
untuk tetap menegaskan kedaulatan mereka sendiri dan
menghindari keterlibatan internasional.23 Secara formal,
kedaulatan Westphalia bukan saja hak untuk mandiri, untuk
dikecualikan, terbebas dari campur tangan eksternal. Tapi
juga hak untuk diakui sebagai subyek otonom dalam sistem
internasional, mampu berinteraksi dengan negara lain dan
menandatangani kesepakatan internasional.24 Dengan
latar belakang pemahaman kedaulatan ini, sebuah sistem
hukum internasional, yang meliputi negara-negara dan
dibatasi oleh prinsip persetujuan negara, menampakkan
eksistensinya.25
Perkembangan wewenang pemerintah dipengaruhi
oleh karakteristik tugas yang dibebankan kepadanya.
Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu
menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai
organisasi kekuasaan.26 Dalam khazanah ilmu-ilmu
23
Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New Brunswick, USA:
Transaction Publisher, 2006)., 35.
24
Isharyanto, Hukum Internasional dalam Pusaran Politik dan
Kekuasaan., 26.
25
Ibid., 4.
26
E. Utrecht membedakan istilah “kekuasaan” (gezag, authority) dan
“kekuatan” (macht, power). Dikatakan bahwa “kekuatan” merupakan
istilah politik yang berarti paksaan dari suatu badan yang lebih tinggi
kepada seseorang, biarpun orang itu lebih tinggi kepada seseorang,
biarpun orang itu belum menerima paksaan tersebut sebagai sesuatu
yang sah sebagai tertib hukum positif. “kekuasaan” adalah istilah
hukum. Kekuatan akan menjadi kekuasaan apabila diterima sebagai
sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang
lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit). Soerjono Soekanto
mengemukakan pengertian “kekuasaan” sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pemegang
kekuasaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa adanya kekuasaan tergantung
dari hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, atau dengan kata
lain antara pihak yang memiliki kemampuan melancarkan pengaruh

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 21


kenegaraan terdapat beberapa macam dari tugas negara.
Mac Iver mengemukakan tiga tugas pemerintah dengan
menggolongkan menjadi: (1) cultural function; (2) general
welfare function; (3) economic control function.27 Di antara
beberapa pendapat sarjana yang dikemukakan di atas
tidak terdapat perbedaan yang prinsip pada pengertian
“kekuasaan” dan “wewenang”. Pertama: “kekuatan”
menurut Utrecht sama dengan: “kekuasaan” menurut
Soerjono Soekanto, yaitu kemampuan badan yang lebih
tinggi untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak
yang ada pada pemegang kekuasaan, biarpun kemampuan
tersebut mempunyai atau tidak mempunyai dasar
yang sah. Kedua: kekuasaan, (Bagir Manan dan Utrecht)
sebagai hak yang sah untuk berbuat atau tidak berbuat.
Ketiga, wewenang, Bagir Manan) yaitu kemampuan yang
diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk melakukan
tindakan tertentu yang dimaksud untuk menimbulkan
akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus

dan pihak lain menerima pengaruh itu dengan rela atau karena
terpaksa. Beda antara “kekuasaan” dan “wewenang” (authority) adalah
bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat
dinamakan kekuasaan, sedang “wewenang” adalah kekuasaan yang
ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan
atau mendapat pengakuan dari masyarakat. Menurut Bagir Manan
“kekuasaan” (macht) tidak sama artinya dengan wewenang. Kekuasaan
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat wewenang berarti
hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Lihat: Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: Rajawali, 1988),
79-80; Bagir Manan, “Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam
Rangka Otonomi Daerah,” dalam Seminar Nasional Pengembangan
Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir
dalam Rangka Penataan Ruang (Bandung: Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, 2000).
27
Ateng Syarifudin, Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan
Hukum Dan Pemerintahan Yang Baik ((Bandung: PT Citra Adtya Bakti,
1996)., 15.

22 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


kewajiban (rechten en plichten). Hak adalah kebebasan
untuk melakukan (tidak melakukan) atau menuntut pihak
lain untuk melakukan (tidak melakukan) tindakan tertentu.
Pengertian ketiga yang paling relevan bagi negara hukum
demokrasi yang memberikan keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
Indroharto secara negatif merumuskan: “…tanpa
adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundangundangan yang berlaku, maka
segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki
wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya”.28 Asas
legalitas ditujukan untuk memberikan perlindungan
kepada anggota masyarakat dari tindakan pemerintah.
Dengan asas ini kekuasaan dan wewenang bertindak
pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi (predictable).
Wewenang pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan
perundang-undangan memberikan kemudahan bagi
masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat
dapat menyesuaikan dengan keadaan demikian.29
Indroharto mempersoalkan apakah asas legalitas dalam
pengertian wetmatigheid van bestuur harus dilaksanakan
secara mutlak. Mengingat berkembangnya konsepsi
negara hukum modern merupakan perpaduan antara
konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Di dalam
konsep ini tugas negara atau pemerintah menurut Bagir
Manan tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan
atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggung
jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum
dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.30
28
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (I)., 83.
29
Ibid., 84.
30 Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 23


2. Kebijakan Penyelenggaraan Kepariwisataan
a. Kerangka Pemahaman Kebijakan Publik
Penelitian ini harus dipahami sebagai analisis kebijakan
publik, yang dalam hal ini adalah pariwisata. Penciptaan
dan promosi kebijakan publik terkait erat dengan peran
yang dimainkan oleh pemerintah.Tidak ada kesepakatan
konsensus mengenai konsep kebijakan publik.
Beberapa penulis memahami kebijakan publik sebagai
fenomena politik yang longgar31, yang lain sebagai
instrumen politik32 dan penulis lain mendefinisikan
kebijakan berdasarkan pada pemangku kepentingan.33
Wilson mengkategorikan pengertian kebijakan publik
termasuk tindakan-tindakan pemerintah yang berhasil
maupun mengalami kegagalan.34
Para ahli mendefinisikan kebijakan publik sebagai
bagian dari aktivitas pemerintah yakni program yang
dirumuskan oleh para aktor selaku pengambil keputusan
untuk menyelesaikan masalah publik.35 Menurut Laswell
Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian,” dalam Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Lampung (Lampiung: Fakultas Hukum
Universitas Lampung, 1996)., 16.
31
T. Dye, Understanding Public Policy (Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
1992)., 2.
32
J. E. Anderson, Public policy making (New York, NY: CBS College
Publishing, 1984).3.
33
W. I. Jenkins, Policy analysis: Apolitical and organizational perspective
(London: Robertson, 1978)., 15.
34
Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi
ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik, V
(Jakarta: Bumi Aksara, 2016), 13.
35
B. Adhikari dan J. Lovett, “Institutions and collective action: Does
heterogeneity matter in community-based resource management?,”
Journal of Development Studies 42, no. 3 (2006): 426–445; Katja
Arzt, “The dynamic infl uences of institutions and designprinciples
on the outcomes of a local agricultural–environmental decision-
making process” (Conference on the Human Dimensions of Global
Environmental Change, Amsterdam, 2007).

24 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dan Kaplan kebijakan publik merupakan program yang
diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-
nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu.36 Sedangkan
Easton mendefinisikan kebijakan publik sebagai
akibat aktivitas pemerintah.37 Disisi lain, Anderson
berpandangan bahwa kebijakan publik merupakan
tindakan para aktor dalam menangani suatu masalah.38
Lester dan Steward mendefinisikan kebijakan publik
sebagai proses atau pola aktivitas pemerintah maupun
keputusan yang diranang untuk menangani masalah
publik.39 Selanjutnya, Peters mendefinisikan kebijakan
publik sebagai sejumlah aktivitas pemerintah yang
secara langsung maupun melalui perantara memiliki
pengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.40
Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai
serangkaian keputusan yang diambil oleh aktor politik
atau sekumpulan aktor dalam menentukan tujuan dan
cara mencapai tujuan tersebut dalam berbagai situasi,
secara prinsip memiliki kaitan dengan kekuasaan dan
kekuatan para aktor dalam mencapai tujuan tersebut.
kebijakan publik merupakan bagian dari pemerintah,
dan merupakan keputusan yang dirumuskan oleh
pemerintah untuk mencapai tujuan.41 Howlett dan
36
Laswell, Harold dan Abraham Kaplan, Power and Society (New
Heaven: Yale University Press, 1970), 71.
37
Easton, David, A System Analysis of Political Life (New York: Willey,
1965), 212.
38
Anderson, James, Public Policy Making (Boston: Houghton Mifflin,
2000), 4.
39
James P. Lesters dan Joseph Steward Jr., Public Policy : An Evolutionary
Approach (Belmonth: Wadsworth, 2000).
40
Guy Peters, American Public Policy (New Jersey: Chatam House,
1993), 4.
41
Jenkins Smith, Democratic Politics and Policy Analysis (California :
Wadsworth: Inc.Hall, 1990).

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 25


M.Ramesh mendefinisikan kebijakan publik sebagai
fenomena yang kompleks mencakup pelbagai
keputusan oleh beberapa individu dan organisasi.42
Berbagai definisi tentang kebijakan publik yang telah
diuraikan menunjukan bahwa aktor menjadi kunci
utama dalam kebijakan publik karena kewenangannya
dalam merumuskan, mengimplementasi dan
mengevaluasi kebijakan publik.
Wahab melanjutkan bahwa sebuah kebijakan
publik memiliki empat karakter sebagai berikut.
Pertama, kebijakan publik merupakan tindakan yang
sengaja dilakukan dan mengarah kepada tujuan
tertentu. Kedua, kebijakan pada hakekatnya terdiri dari
tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola.
Ketiga, kebijakan adalah realitas tindakan pemerintah
dalam bidang-bidang tertentu. Keempat, kebijakan
publik mungkin berbentuk positif, mungkin berbentuk
negatif.43
Fenna mengusulkan klasifikasi kebijakan publik
berdasarkan tema dan tujuan yang menjadi arah
kebijakan.44 Penulis ini menyoroti (i) kebijakan yang
terkait dengan produksi, yang difokuskan pada
peningkatan aktivitas ekonomi dan standar hidup
penduduk; (ii) kebijakan yang terkait dengan distribusi
kekayaan dan peluang akses; (iii) kebijakan yang
berkaitan dengan konsumsi barang, jasa dan sumber
daya dengan hubungan yang erat dengan lingkungan;
(iv) kebijakan yang terkait dengan identitas dan
42
Michael Howlett dan M. Ramesh, Studying Public Policy : Policy
Cycles and Policy Subsystem (Oxford: Oxford University Press, 1995).
43
Ibid., 23.
44
A Fenna, Australian public policy (Sydney: Pearson Education Australia,
2004).

26 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


kewarganegaraan dan akhirnya, (v) kebijakan reflektif
yang menjelaskan proses pelaksanaan kebijakan dan
peraturan dan kendali mereka.
Analisis yang disajikan akan lebih dekat dengan
jenis kebijakan pertama. Umumnya, ketika menjelaskan
komponen kebijakan publik, sebagian besar penulis
sepakat tentang menekankan peran lembaga
pemerintah, keberadaan tujuan dan masalah, konteks
atau lingkungan di mana kebijakan dikembangkan,
aktor, penciptaan instrumen dan efeknya.45 Disiplin
yang muncul dari studi kebijakan publik dicirikan oleh
pertentangan antara teori dan penelitian.46 Meskipun
ada banyak teori provokatif dan berpotensi penting,
penelitian empiris yang sistematis untuk menguji
mereka sebagian besar masih kurang.47 Banyak peneliti
terdahulu fokus mengkaji aspek kebijakan pariwisata
terkait dengan Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Daerah (RIPPARDA) di Indonesia tetapi tidak
lagi relevan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan.48 Selanjutnya, beberapa
45
Lihat Anderson, Public policy making.; M. Considine, Making public
policy: Institutions, actors, strategies (Cambridge: Polity Press, 2005).,
Dye, Understanding Public Policy.; C. M. Hall, Tourism planning.
Policies, processes and relationships (London: Pearson Prentice Hall,
2008).
46
John Jerrim dan Robert de Vries, “The limitations of quantitative social
science for informing public policy,” Evidence & Policy: A Journal of
Research, Debate and Practice 13, no. 1 (2017): 117–33.
47
Hadyn Ingram, “Clusters and gaps in hospitality and tourism academic
research,” International Journal of Contemporary Hospitality
Management 8, no. 7 (1996): 91–95; Patricio Aroca, Juan Gabriel Bilda,
dan Serena Volo, “Tourism statistics: Correcting data inadequacy,”
Tourism Economics 23, no. 1 (2017): 99–112.
48
Lihat misalnya Basri, “Kajian Empiris Pelaksanaan Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Daerah Kalimantan Barat” (Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012). Baca juga

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 27


peneliti terdahulu fokus mengkaji komunikasi, sumber
daya, sikap dan disposisi pelaksana serta struktur
birokrasi dari implementasi kebijakan kepariwisataan.49
Selain itu, penelitian kepariwisataan menyinggung
isu ekonomi50, kegiatan pariwisata51, organisasi
penyelenggara pariwisata52, peran serta masyarakat53,
Basri; Y. Habibuw, “Implementasi Kebijakan Program Pengembangan
Pariwisata Daerah: Studi Kasus RIPP di Mojokerto” (Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 1997); A. Kadir,
“Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata Daerah”
(Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 1996).
49
Lihat misalnya E. Mouw, “Implementasi Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Bahari di Kabupaten Halmahera Barat” (Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012); R. Veriani,
“Implementasi Pengembangan Kebijakan Pariwisata Kebumen” (Tesis
Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2009).
50
Lihat misalnya William Haydock, “The ‘Civilising’ Effect of a ‘Balanced’
night time ecpnomy for ‘better people’: Class and the Cospmopoilitan
Limit in the Consumption and Regulation of Alcohol in Bournermout,”
Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 6, no. 2
(2014): 172–85.
51
O’Sullivan Diane, Pickernell David, dan Senyard, Julienne, “Public
Sector Evaluation of Festivals and Special Events,” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 1 (2009): 19–36. Baca
juga Getz, Donald, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals
and Events : Institutionalization of a New Paradigm,” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 61–78.
52
Yaghmour, Samer dan Scott, Noel, “Inter-Organizational Collaboration
Characteristics and Outcomes : A Case Study of The Jeddah Festival,”
Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2
(2009): 115–30; Theodoraki, Eleni, “Organisational Communication
on the Impacts of the Athens 2004 Olympic Games,” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 141–55;
Smith, Andrew, “Spreading The Positive Effects of Major Events to
Peripheral Areas,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and
Events 1, no. 2 (2009): 231–46.
53
Roberts, Ken, “Can Employment Policies Improve a Society’s
Leisure ?.,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events
2, no. 1 (2010): 82–87; Doherty, Alison, “The Volunteer Legacy of A
major Sport Event,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure,
and Events 2, no. 1 (2010): 185–207; Saayman, Melville, “The Socio-

28 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dan pariwisata berkelanjutan.54
Dilihat dari sudut alasan professional, maka
penelitian kebijakan publik dimaksudkan untuk
menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan
guna memecahkan masalah sosial sehari-hari.55 Menurut
Dunn56, analisis kebijakan bermula ketika politik
praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar
dapat memecahkan masalah publik, India barangkali
merupakan asal muasal tradisi ini, ketika Kautilya
sebagai penasihat kerajaan Mauyan di India Utara,
menulis Arthashastra sekitar tahun 300 SM yang antara
lain berisi tuntunan pembuatan kebijakan. Sedangkan di
Eropa, Plato (427- 327 SM) menjadi penasihat penguasa
Sisilia, Aristoteles (384-322 SM) mengajar Alexander
Agung hingga Nichollo Machiavelli (1469-1527) yang
menjadi konsultan pribadi sejumlah bangsawan
di Italia kuno. Analisis kebijakan mulai memeroleh
tempat yang terhormat di abad pertengahan ketika
munculnya profesi spesialis kebijakan. Ketika birokrasi
muncul, profesi mereka dikenal sebagai pegawai
negeri. Seiring perkembangannya, munculnya statistik
membuat analisis kebijakan berkembang ketika advis
dapat dikuantifikasi. Di Inggris-London Manchester
Economic Impact of an Urban Park : The Case of Wilderness National
Park,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no.
3 (2010): 247–64.
54
Hall, Michael C., “Innovation and Tourism Policy in Australia and
New Zealand : Never the Twain Shall Meet ?,” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 2–8;
Dredge, Dianne, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and
Events:Institutionalisation of a new Paradigm a Response,” Journal of
Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 1–13.
55
Solichin Abdul Wahab, op.cit., 37.
56
Dunn, William, Public Policy Analysis : An Introduction (New Jersey:
Pearson Education, 2004).

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 29


muncul the statistical society.57 Pada tahun 1910, A.
Lawrence Lowell dalam pidatonya mengemukakan
perlunya pendekatan empiris dalam studi politik.
Pada tahun 1930 di Inggris, presiden Roosevelt
mendorong perkembangan ilmu kebijakan termasuk
di dalamnya analisis kebijakan. Pada abad ke-20,
Amerika mempunyai sebuah lembaga riset keb ijakan
Rand Corporation. Pada masa kini, analisis kebijakan
menempati posisi khas dalam administrasi negara.58
Kebijakan publik memiliki beberapa tahapan,
diantaranya tahap isu kebijakan, perumusan kebijakan,
implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.59
Selanjutnya, Nugroho berpendapat bahwa isu
kebijakan terdiri atas masalah dan tujuan, yang berarti
kebijakan publik dapat berorientasi pada kehidupan
publik, dan dapat pula berorientasi pada tujuan yang
hendak dicapai pada kehidupan publik60. Isu kebijakan
menggerakan pemerintah untuk merumuskan
kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan
masalah.61 Setelah dirumuskan, kebijakan publik
57
P.C.A. Synmann, “Public policy in Anglo-Americal law,” Comparative
and International Law Journal of Southern Africa `19, no. 2 (1986):
220–35.
58
Lihat dalam Peter Eisinger, The rise of the entrepreneurial state: State
and local economic development policy in the United States (Madison:
University of Wisconsin Press, 1988).
59
Riant Nugroho, Public Policy (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), 114.
60
Ibid., 115-116.
61
Devid Thacher dan Martin Rein, “Managing Value Conflict in Public
Policy,” Governance 17, no. 4 (2004): 457–86; Howard Cosmo,
“The Policy Cycle: A Model of Post-Machiavellian Policy Making?,”
Australian Journal of Public Administration 64, no. 3 (2005): 3–13;
Johann Höchtl, Peter Parycek, dan Ralph Schöllhammer, “Big data in
the policy cycle: Policy decision making in the digital era,” Journal
of Organizational Computing and Electronic Commerce 26, no. 1–2

30 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


tersebut dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat.62 Setelah itu, proses perumusan,
pelaksanaan dievaluasi untuk menilai apakah telah
dirumuskan dan diimplemetasikan dengan baik sesuai
dengan tujuan yang ditentukan sebagai pertimbangan
dilakukannya revisi kebijakan atau diberhentikan.63
Pandangan Nugroho memberikan gambaran tentang
kompleksitas dalam setiap proses yang mana
membutuhkan kerjasama pelbagai aktor dalam setiap
tahapan baik perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan untuk menyelesaikan masalah publik melalui
kebijakan yang tepat.64
Perumusan kebijakan merupakan merupakan
salah satu tahap yang penting dalam pembentukan
kebijakan publik.65 Formulasi kebijakan akan berkaitan
dengan beberapa hal yaitu cara bagaimana suatu
masalah, terutama masalah publik memperoleh
perhatian dari para pembuat kebijakan, cara bagaimana
merumuskan usulan-usulan untuk menganggapi
masalah tertentu yang timbul, cara bagaimana memilih
salah satu alternatif untuk mengatasi masalah publik.66
(2016): 147–69.
62
Veronica Vecchi, Manuela Brusoni, dan Elio Borgonovi, “Public
Authorities for Entrepreneurship: A management approach to execute
competitiveness policies,” Public Management Review 16, no. 2 (2014):
256–73.
63
Keston K. Perry, “The Dynamics of Industrial Development in a
Resource-Rich Developing Society: A Political Economy Analysis,”
Journal of Developing Societies 34, no. 3 (2018): 264–96.
64
Ibid.
65
Antik Bintari dan Landrikus Hartarto Sampe Pandiangan, “Formulasi
Kebijakan Pemerintah Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah
(Bumd) Perseroan Terbatas (Pt) Mass Rapid Transit (Mrt) Jakarta Di
Provinsi Dki Jakarta,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 2 (2016): 221.
66
Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta:
Gadjah Mada University, 2003), 26.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 31


b. Praksis Pariwisata dan Efek Terdampak
Pariwisata adalah produk kompleks di mana faktor
ekonomi dan politik bergabung dengan alam geografis
dan rekreasi.67 Dengan demikian, kebijakan pariwisata
dapat didefinisikan sebagai bidang multidisiplin.68
Dalam konteks ini, definisi kebijakan pariwisata
bervariasi, meskipun perlu diperhatikan pandangan
Hall dan Jenkins, yang mengatakan bahwa kebijakan
pariwisata adalah apa pun yang dipilih atau dilakukan
oleh pemerintah untuk pariwisata, sebuah interpretasi
yang menyediakan peneliti pariwisata dengan ruang
lingkup investigasi yang luas. Bagaimanapun, penelitian
dalam kebijakan pariwisata harus fokus pada langkah-
langkah pemerintah yang diambil dengan tujuan
mempengaruhi pariwisata.69 Tidak ada konsensus yang
jelas mengenai cara di mana studi tentang kebijakan
pariwisata harus didekati, atau bidang minat yang harus
dimasukkan.70 Ada sudut ekonomi yang menganggap
kebijakan pariwisata sebagai cabang ekonomi yang
dicirikan oleh serangkaian keunikan.71
Banyak penelitian yang berfokus pada hubungan
antara pengembangan pariwisata dan pertumbuhan
67
C. M. Hall, Tourism and politics. Policy, power and place (Chichester:
John Wiley & Son, 1998)., 8.
68
D. L. Edgell, International tourism policy (New York: Van Nostrand
Reinhold, 1990).
69
C. M. Hall dan J. M. Jenkins, Tourism and public policy (London & New
York: Routledge, 1995).
70
Rodoula Tsiotsou dan Vanessa Ratten, “Future research directions in
tourism marketing,” Marketing Intelligence & Planning 28, no. 4 (2010):
533–44.
71
Marie-Louise Mangion dkk., “Measuring the Effect of Subsidization on
Tourism Demand and Destination Competitiveness through the AIDS
Model: An Evidence-Based Approach to Tourism Policymaking,” Tourism
Economics 18, no. 6 (2012): 1251–72.

32 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


ekonomi.72 Hasilnya juga menunjukkan bahwa faktor
ekonomi memiliki dampak yang signifikan terhadap
pengembangan pariwisata di suatu negara; khususnya,
di mana, di beberapa negara, pengembangan
pariwisata memiliki efek positif pada pertumbuhan
ekonomi.73 Di negara-negara Eropa dan Amerika
Latin di mana pariwisata telah menjadi sector yang
terkelola, ada korelasi negatif antara pengembangan
pariwisata dan pertumbuhan ekonomi.74 Selain itu,
telah ditunjukkan di beberapa negara atau wilayah
yang faktor-faktor seperti tingkat profesionalisme
pariwisata (diukur sebagai proporsi pendapatan
pariwisata dalam produk domestik bruto negara itu
[PDB]) bersama dengan bentuk negara (kepuauan
atau tidak), kekayaan, ukuran, dan lokasi geografis,
mempengaruhi hubungan antara pengembangan
pariwisata dan pertumbuhan ekonomi.75 Dalam studi
empiris yang dilakukan di Taiwan, Kim, Chen, dan Jang
menyelidiki interaksi antara jumlah wisatawan yang
72
.F. Chen dan S.Z. Chiou‐Wei, “Tourism expansion, tourism uncer-
tainty and economic growth: New evidence from Taiwan and Korea,”
Tourism Management 30, no. 6 (2009): 812–18; B. Fayissa, C. Nsiah,
dan B. Tadasse, “Impact of tourism on economic growth and development
in Africa,” Tourism Economics 14, no. 4 (2008): 807–18; Po W.C. dan
Huang B.N., “Tourism development and economic growth‐a nonlinear
approach,” Physica A: Statistical Mechanics and its Applications 38, no.
7 (2008): 535–542.
73
Fayissa, Nsiah, dan Tadasse, “Impact of tourism on economic growth
and development in Africa”; S. Malik dkk., “Tourism, economic growth
and current account deficit in Pakistan: Evidence from co‐integration
and causal analysis,” European Journal of Economics, Finance and
Administrative Sciences 22 (2010): 21–31.
74
Malik dkk., loc.cit.
75
T.N. Sequeira dan C. Campos, “International tourism and economic
growth: A panel data approach” (Fondazione Eni Enrico Mattei Nota di
Lavoro, 2005).

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 33


mengunjungi Taiwan dan PDB dan berpendapat bahwa
ada hubungan kausal antara pengembangan pariwisata
dan pertumbuhan ekonomi.76 Chen dan Chiou-Wei
berpendapat bahwa pengembangan pariwisata dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi.77
Di antara studi tentang pengaruh faktor ekonomi
pada pengembangan pariwisata, Ramesh dan Thea
Sinclair menunjukkan bahwa nilai tukar dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya mempengaruhi pilihan
wisatawan yang masuk.78 Yap (2012) menguji pengaruh
nilai tukar terhadap jumlah wisatawan dan menemukan
bahwa fluktuasi mata uang mempengaruhi pariwisata
di beberapa negara, seperti Malaysia dan Selandia
Baru.79 Naidoo, Ramseook-Munhurrun, dan Seetaram
menguraikan hubungan antara siklus bisnis dan industri
hotel dan merancang strategi operasi berdasarkan
hubungan ini.80 Lettau dan Ludvigson menunjukkan
bahwa hubungan kecenderungan jangka panjang
yang sama antara aset pasar saham dan konsumsi dan
menunjukkan efek penjelas dari nilai keamanan pada
konsumsi.81
76
H.J. Kim, M.H. Chen, dan S.C. Jang, “Tourism expansion and economic
development: The case of Taiwan,” Tourism Management 27, no. 5
(2006): 925–33.
77
Chen dan Chiou‐Wei, “Tourism expansion, tourism uncer- tainty and
economic growth: New evidence from Taiwan and Korea.”
78
D. Ramesh dan M. Thea Sinclair, “Market shares analysis the case of
French tourism demand,” Annals of Tourism Research 30, no. 4 (2003):
927–941.
79
G. Yap, “An examination of the effects of exchange rates on Australia’s
inbound tourism growth: A multivariate conditional volatility approach,”
International Journal of Business Studies 20, no. 1 (2012): 111–32.
80
P. Naidoo, P. Ramseook‐Munhurrun, dan A.K. Seetaram, “Marketing
the hotel sector in economic crisis: Evidence from Mauritius,” Global
Journal of Business Research 5, no. 2 (2011): 1–12.
81
M. Lettau dan S. Ludvigson, “Consumption, aggregate wealth,

34 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Para peneliti kini telah memeriksa dampak
krisis besar terhadap pengembangan pariwisata
dalam jangka pendek, mengakui sebagai faktor yang
signifikan. Cheron dan Ritchie mengemukakan bahwa
bencana alam memiliki dampak signifikan pada rencana
perjalanan turis dari Eropa, Amerika Serikat, Selandia
Baru, dan Australia.82 Lee dan Strazicich berpendapat
bahwa krisis besar akan mempengaruhi wisatawan
yang berkunjung ke Taiwan dalam jangka pendek;
khususnya, ketika terjadi penurunan yang cukup besar
dalam jumlah wisatawan yang mengunjungi Taiwan
saat serangan wabah sindrom pernafasan akut (SARS)
menyapu seluruh dunia pada paruh pertama tahun
2003.83 Wang juga menunjukkan bahwa keamanan
dan kesehatan adalah dua faktor yang mempengaruhi
aktivitas wisatawan.84 Avraham meneliti pariwisata di
Mesir, menjelajahi krisis yang dihadapi oleh industri
pariwisata karena perang, serangan teroris, kekacauan
politik internal, dan banyak peristiwa negatif lainnya
dalam beberapa dekade terakhir.85
Pariwisata adalah kepergian orang-orang
sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-
and expected stock returns,” Journal of Finance 3 (2001): 815–
49.
82
E.J. Cheron dan J.R.B. Ritchie, “Leisure activities and perceived risk,”
Journal of Leisure Research 14, no. 2 (2010): 139–154.
83
J. Lee dan M.C. Strazicich, “Minimum LM unit root test with two
structural breaks,” Review of Economics and Statistics 85, no. 4 (2003):
1082–1089.
84
Y.S. Wang, “The impact of crisis events and macroeconomic activity on
Taiwan’s international inbound tourism demand,” Tourism Management
30 (2009): 75–82.
85
E. Avraham, “Destination marketing and image repair during tourism
crises: The case of Egypt,” Journal of Hospitality and Tourism
Management 28 (2016): 41–48.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 35


tempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerja
sehari-hari serta kegiatan-kegiatan mereka selama
berada di tempat tujuan tersebut.86 A.J. Burkart dan
S. Malik mengatakan pariwisata adalah perpindahan
orang untuk sementara dan dalam jangka waktu
pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat di mana mereka
biasanya hidup dan bekerja, dan kegiatan-kegiatan
mereka selama di tempat tujuan itu.87 Sementara itu,
Salah Wahab mengatakan bahwa pariwisata adalah
suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar
yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara
orang-orang dalam suatu daerah lain untuk sementara
waktu dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam
dan berbeda dengan apa yang dialaminya di mana ia
bertempat tinggal.88
Dengan demikian, ada sejumlah elemen sebagai
pendukung pengertian pariwisata yaitu (1) Perjalanan
di lakukan untuk sementara waktu; (2) Perjalanan itu
dilakukan antara satu tempat ke tempat yang lain; (3)
Perjalanan itu dikaitkan dengan pertamasyaan atau
rekreasi; dan (4) orang yang melakukan perjalanan itu
tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan
semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.89
Pariwisata adalah kegiatan dinamis yang
melibatkan banyak manusia serta menghidupkan
berbagai bidang usaha. Pariwisata mengandung
kepentingan yang bersifat kompleks: kepentingan
86
Nyoman S. Pendit, Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1980), 30.
87
Lihat dalam Soekadijo, Anatomi Pariwisata: Memahami sebagai
Systemic Linkage (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), 3.
88
Lihat dalam Oka A. Yoeti, Pengantar Ilmu Pariwisata (Bandung:
Angkasa, 1996), 107.
89
Baca juga Ibid., 109.

36 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


pribadi menyangkut gaya hidup90, prestise91,
kesenangan (hiburan)92, kepuasan93, kebebasan94 dan
kepentingan publik seperti kepentingan politik95,
kepentingan ekonomi96, kepentingan budaya,
bahkan kepentingan ideologi.97 Spilani menjelaskan
bahwa pariwisata merupakan gejala insani yang
bersifat semesta, teratur, dan ajek, kerap muncul
tanpa ruang dan waktu.98 Selama beberapa dekade,
masyarakat mulai dari daerah metropolitan utama
hingga kota-kota kecil dan desa-desa telah berusaha
untuk membangun merek mereka dan menarik
90
Sanda Renko dan Kristina Buar, “How Changing Lifestyles Impact
The Development Of Some Special Interests Of Tourism: The Case Of
Spa Tourism In Croatia,” International Journal of Management Cases 5
(2008): 101–10.
91 Wong Simon Chak-keung dan Liu Gloria Jing, “Will parental influences
affect career choice?: Evidence from hospitality and tourism management
students in China,” International Journal of Contemporary Hospitality
Management 22, no. 1 (2010): 82–101.
92
Mot Teodora, “Buzias as a cultural and therapeutic tourism destination,”
Scientific Papers Animal Science and Biotechnologies 47, no. 2 (2014):
321–24.
93
Honggang Xu, “Managing Side Effects of Cultural Tourism
Development - The Case of Zhouzhuang,” Systems Analysis
Modelling Simulation 43, no. 2 (2003): 175–88.
94
William Allan M. dkk., “Tourism and international retirement
migration: new forms of an old relationship in southern Europe,”
Tourism Geographies 2, no. 1 (2000): 28–49.
95
Vannarith Chheang, “The Political Economy of Tourism in Cambodia,”
Asia Pacific Journal of Tourism Research 13, no. 3 (2008): 281–97;
Jason A. Douglas, “What’s political ecology got to do with tourism?,”
Tourism Geographies 16 (2014): 8–13.
96
Roche Sarah, F. Spake Deborah, dan Joseph Mathews, “A model of
sporting event tourism as economic development,” Sport, Business and
Management: An International Journal 3, no. 3 (2013): 145–71.
97
Sarbini Mbah Ben, Filsafat Pariwisata: Sebuiah Kajian Filsafat Praktis
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), 3.
98
James J. Spillani, Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 37


pengunjung dengan mengadakan acara-acara yang
direncanakan dari semua jenis dan ukuran, mulai dari
acara besar (misalnya World Expos, Olympic Games
atau FIFA WorldCup) hingga festival musik regional
dan turnamen olahraga pemuda. Hari ini, penawaran,
pementasan, dan pengelolaan acara telah menjadi
bagian dari pengembangan masyarakat yang sehat
di banyak tempat di seluruh dunia.99 Yang pasti, acara
yang direncanakan biasanya memainkan peran penting
bagi masyarakat di mana mereka berlangsung.100 Selain
harapan yang dirasakan dari manfaat ekonomi101 , nilai
sosial maupun budaya tidak hanya bagi penonton acara
tetapi juga warga masyarakat.102 Munculnya pariwisata
massal pada pertengahan tahun 1900 secara dramatis
meningkatkan potensi peristiwa untuk memengaruhi
perkembangan sosial dan ekonomi di sebagian besar
wilayah.103 Thomas dan Wood (2003) mencatat bahwa
99
Martin Wallstam, Dimitri Ioannides, dan Robert Pettersson, “Evaluating
the social impacts of events: in search of unified indicators for effective
policymaking,” Journal Of Policy Research In Tourism, Leisure And
Events 10, no. 1 (2018).
100
G. Bowdin, Events management (London: Routledge, 2012).
101
J. Arnegger dan M. Herzt, “Economic and destination image impacts of
mega-events in emerging tourist destinations,” Journal of Destination
Marketing & Management 5, no. 2 (2016); D. Getz dan S. Page, Event
studies: Theory, research, and policy for planned events, 3 ed. (London:
Routledge, 2016).
102
L Chalip, “Beyond impact: A general model for sport event leverage,”
dalam Sport tourism: Interrelationships, impacts and issues, ed. oleh
B. W. Ritchie dan D. Adair (Clevedon: Channel View Publications,
2004); M. Deldago, Celebrating urban community life: Fairs, festivals,
parades, and community practice (Toronto: University of Toronto
Press, 2016); N. Schulenkorf dan D. Edward, “Maximizing positive
social impacts:Strategies for sustaining and leveraging the benefits of
intercommunity sport events in divided societies,” Journal of Sport
Management 26, no. 5 (2012): 379–90.
103
D. Getz, Event tourism: Concepts, international case studies, and

38 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


pemerintah dan Destination Management Organizations
(DMO) di tingkat lokal, regional dan nasional semakin
beralih ke perencanaan kegiatan strategis sebagai
sarana untuk memaksimalkan dampak positif untuk
tujuan pengembangan destinasi. Untuk melakukan
perencanaan acara strategis, perlu mengakses informasi
mendalam mengenai berbagai acara dan dampaknya
terhadap masyarakat setempat.104 Sampai hari ini,
penilaian ekonomi ex-post telah mendominasi wacana
evaluasi even-even kepariwisataan. Selanjutnya,
kerangka kerja yang digunakan untuk memutuskan
manfaat peristiwa dalam konteks kebijakan memiliki
parameter ekonomi yang ditargetkan secara
berlainan.105 Namun demikian, terdapat pengakuan
yang berkembang mengenai perlunya memahami
dampak sosial yang terkait dengan even-even
tersebut.106 Memang, dimasukkannya nilai-nilai sosial ke
dalam pembuatan kebijakan tercermin dari perubahan
sikap pada tahun 1990-an ketika otoritas lokal mulai
research (New York: Cognizant Communication Corp, 2013).
104
Brown, S dkk., “Event evaluation: Definitions, concepts and a state of
the art review,” InternationalJournal of Event and Festival Management
6, no. 2 (2015): 135–57; Wood, E., “Measuring the economic and social
impacts of local authority events,” International Journal of Public
Sector Management 18, no. 1 (2005): 37–53.
105
L. Dwyer dkk., “A framework for assessing ‘tangible’ and ‘intangible’
impacts of events and conventions,” Event Management 6, no. 3 (2000):
175–91.
106
C. Arcodia dan M. Whitford, “Festival attendance and the development
of social capital,” Journal of Convention & Event Tourism 8, no. 1
(2006): 1–18; Brown, S dkk., “Event evaluation: Definitions, concepts
and a state of the art review”; L. Fredline, L. Jago, dan M. Deery, “The
development of a generic scale to measure the social impacts of events,”
Event Management 8, no. 1 (2003): 23–37; E. Wood, “An impact
evaluation framework: Local government community festivals,” Event
Management 12, no. 3 (2009): 171–85.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 39


menerima sesuatu yang positif sebagai tujuan formal
dalam intervensi sektor publik107 Hal ini tidak kurang
penting mengingat peran komunitas itu sendiri dalam
keseluruhan produk tujuan pariwisata.108

B. Kebijakan Pariwisata dan Relasi Pusat-Daerah


1. Konteks Kewenangan dan Permasalahan
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 dapat
diketahui bahwa secara konstitusional pemerintahan
daerah memiliki hak untuk menetapkan Peraturan
Daerah (Perda) dan peraturan-peraturan lainnya dalam
rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Peraturan-peraturan lain yang dimaksudkan dapat berupa
peraturan Gubernur atau Bupati atau Walikota, dan
keputusan Gubernur atau Bupati atau Walikota. Ketentuan
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan Daerah yang
memiliki hak otonom mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri. Mengatur merupakan
perbuatan menciptakan norma hukum yang dituangkan
dalam peraturan daerah. Pelimpahan wewenang dari
Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah
meliputi kewenangan dibidang pemerintahan. Fungsi
pembentukan kebijakan dilaksanakan oleh DPRD,
sedangkan fungsi pelaksana kebijakan dilaksanakan oleh
Gubernur /Bupati/Walikota.
Dasar hukum mengenai kepariwisataan di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UU
107
Wood, E., “Measuring the economic and social impacts of local
authority events.”
108
G. Moscardo, “Analyzing the role of festivals and events in regional
development,” Event Management 11, no. 1 (2007): 23–32.

40 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Kepariwisataan). Menurut ketentuan yang diatur dalam
Pasal 1 angka 3 UU Kepariwisataan bahwa “Pariwisata
adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh
masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan Pemerintah
Daerah.” Untuk sektor pariwisata, Kementerian Pariwisata
memberikan dukungan terkait kegiatan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan untuk mempercepat pengembangan
daya tarik wisata di daerah. Dalam implementasinya,
kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak
selalu berjalan dengan baik di daerah. Pemilihan lokasi
hingga pada bentuk fasilitas yang akan dikembangkan
perlu diidentifikasi lebih lanjut terlebih dahulu sebelum
kegiatan dilaksanakan. Oleh karenanya diperlukan peran
serta pemerintah untuk mendukung pengembangan
daya tarik wisata, supaya pelaksanaan kegiatan terkait
dekonsentrasi dan tugas pembantuan dapat berjalan
dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan di daerah dan
selaras dengan strategi pembangunan pariwisata nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional (RIPPARNAS) ditetapkan 50 Destinasi Pariwisata
Nasional (DPN) dan 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
(KSPN). KSPN adalah kawasan yang memiliki fungsi utama
pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan
pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting
dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya
alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan
dan keamanan. Pembagian perwilayahan tersebut dibagi
kembali kedalam 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata
Nasional (KPPN). Pengembangan KPPN kemudian

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 41


difokuskan pada pengembangan daya tarik yang dimiliki
oleh KPPN tersebut yang memiliki nilai strategis baik
secara potensi wisata, pasar, sosial, ekonomi, budaya dan
terutama memberikan dampak pada perbaikan kualitas
masyarakat di sekitar destinasi. Terdapat 16 Kawasan
Strategi Pariwisata Nasional (Flagship 2012-2014) yang
menjadi fokus dari Kementerian Pariwisata, 16 kawasan
tersebut berada dalam kawasan prioritas yang terbagi
dalam beberapa wilayah di Indonesia, yakni Sumatera,
Jawa, Kalimantan, BaliNusa Tenggara, Sulawesi dan
PapuaKepulauan Maluku.
Kondisi 16 KSPN sampai pada akhir tahun 2014
terdapat 3 KSPN berada pada tahapan perintisan yaitu
KSPN Menjangan-Pemuteran dsk, KSPN EndeKelimutu
dsk dan KSPN Tanjung Puting dsk. KSPN yang berada
pada tahapan pembangunan sebanyak 4 KSPN yaitu
KSPN Kintamani-Danau Batur dsk, KSPN Rinjani dsk, KSPN
Komodo dsk dan KSPN Raja Ampat dsk. Sebanyak 3 KSPN
berada pada tahapan pemantapan yaitu KSPN Kepulauan
Seribu dsk, KSPN Bromo-Tengger-Semeru dsk dan KSPN
Wakatobi dsk. Untuk tahapan revitalisasi terdapat 6
KSPN yaitu KSPN Toba dsk, KSPN Kota Tua-Sunda Kelapa
dsk, KSPN Bromo-Tengger-Semeru dsk, KSPN KutaSanur-
Nusa Dua dsk KSPN Toraja dsk dan KSPN Bunaken dsk.
Sedangkan fokus pengembangan KSPN pada tahun 2015-
2019 bertambah menjadi 25 KSPN. Pada tahun 2015-
2019, pengembangan KSPN mencapai 20 provinsi dan 45
kabupaten/kota.
Beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini dalam
pengembangan kepariwisataan dapat diidentifikasi
ke dalam faktor sebagai berikut. Pertama, Lemahnya
perintisan untuk membuka dan membangun daya

42 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


tarik wisata baru di destinasi pariwisata sesuai dengan
kecenderungan minat pasar. Kedua, Lemahnya manajemen
potensi daya tarik wisata di destinasi pariwisata dalam
bersaing dengan destinasi lain untuk menarik minat dan
loyalitas segmen pasar wisatawan yang ada. Ketiga, Belum
berkembangnya inovasi manajemen produk dan kapasitas
daya tarik wisata terutama yang berorientasi pada upaya
konservasi lingkungan. Keempat, Kurangnya keragaman
nilai daya tarik wisata dalam berbagai tema dengan
memanfaatkan dan mengangkat keunikan serta kekhasan
lokal wilayah. Kelima, Belum adanya upaya terpadu untuk
menangani revitalisasi daya tarik wisata di destinasi yang
mengalami degradasi, baik degradasi lingkungan, sosial
budaya dan ekonomi. Keenam, Lemahnya kualitas sumber
daya manusia dan dukungan prasarana umum dan fasilitas
pariwisata.

2. Pelaksanaan Urusan Kepariwisataan Pemerintah dan


Pemerintah Daerah
Tidak dapat dipungkiri sektor kepariwisataan di negara
kita diharapkan dapat menjadi salah satu sektor penting
penghasil devisa negara. Tahun kunjungan wisatawan
yang dicanangkan pemerintah diharapkan kunjungan
wisatawan asing terus meningkat. Dengan meningkatnya
kunjungan wisatawan asing tersebut diharapkan akan
dapat menghasilkan devisa negara. Pada dekade sebelum
tahu 1990 an sumber devisa negara dari minyak dan gas
bumi, maka untuk saat ini dan lebih-lebih untuk masa
yang akan datang sumber devisa yang bersumber dari
minyak dan gas bumi tidak lagi menjadi andalan. Hal
ini disebabkan karena cadangan minyak dan gas bumi
yang kita miliki terus berkurang. Bahkan pada suatu saat

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 43


cadangan minyak dan gas bumi akan habis. Untuk itu perlu
dicari jalan keluar untuk mengatasi makin menipisnya
cadangan minyak dan gas bumi yang kita miliki. Salah
satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut, sektor
pariwisata diharapkan dapat menggantikan minyak dan
gas bumi tersebut sebagai sumber devisa negara. Untuk
itu pembangunan sektor pariwisata perlu mendapat
perhatian untuk terus dikembangkan baik kuantitas
maupun kualitasnya. Pengembangan sektor pariwisata,
selain menghasilkan devisa bagi negara, juga dapat
menjadi sumber pendapatan daerah, menyediakan
lapangan kerja, menambah pendapatan masyarakat
terutama masyarakat yang berdomisili di sekitar obyek
wisata, dapat meningkatkan pembangunan daerah
dan pada akhirnya tingkat kesejakteraan masyarakat
meningakat.
Dengan Otonomi Daerah, sesuai dengan
kewenangannya Pemerintah Kabupaten/Kota dituntut
untuk bekerja keras dalam melaksanakan pembangunan
termasuk pembangunan dalam sektor kepariwisataan
di daerahnya masing-masing untuk dapat mening
katkan kesejarteraan bagi masya rakatnya. Pemerintah
Daerah harus mengetahui benar kondisi fisik/alam
maupun kondisi manusia yang merupa kan karakter
wilayahnya, sehingga pemanfaatan ruang tepat sasaran.
Dalam mengembangkan sektor pariwisata harus ada
komintmen/ kesungguhan dari Pemerintah Daerah
mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
pengendalian dan pengawasan. Tanpa adanya komitmen
dari pemerintah daerah mustahil pembangunan sektor
pariwisata ini berkembang sesuai dengan harapan.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam

44 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


pengembangan daya tarik wisata, Kementerian Pariwisata
memberikan dukungan pendanaan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan. Arah kebijakan dan strategi
yang terkait dengan pengembangan daya tarik wisata
melalui dekonsentrasi dan tugas pengembangan ke
daerah adalah pengembangan daya tarik wisata dengan
melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas penataan
daya tarik pariwisata melalui revitalisasi daya tarik wisata,
pemeliharaan daya tarik wisata, perintisan daya tarik
wisata, pembangunan daya tarik wisata, dan fasilitasi/
pendukungan koordinasi pengembangan daya tarik wisata
yang dapat berupa fasilitasi/pendukungan amenitas/
fasilitas pariwisata serta bimbingan teknis pengembangan
daya tarik wisata.
Pelaksanaan asas dan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dilaksanakan untuk peningkatan daya saing
kepariwisataan Indonesia dengan sasaran utama adalah
terciptanya diversifikasi destinasi pariwisata dengan
indikator adalah jumlah lokasi daya tarik wisata di DPN
yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata. Fokus
pengembangan untuk tahun 2014 adalah di 16 Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pelaksanaan kegiatan
tugas pembantuan di tahun 2014 sesuai dengan target
indikator kinerja kegiatan yang telah ditentukan. Indikator
kinerja kegiatan adalah jumlah lokasi daya tarik wisata di
DPN yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata
melalui pendukungan pembangunan daya tarik wisata
dengan kegiatan dekon pemantauan dan evaluasi dana
tugas pembantuan di lokasi-lokasi daya tarik wisata yang
dilaksanakan oleh kabupaten/kota.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada
wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 45


administratif untuk melaksanakan kewenangan
pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur
sebagai kepala daerah provinsi berlaku pula selaku
wakil pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali
pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah termasuk dalam
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota.
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan
dari sistem dan prosedur penugasan pemerintah kepada
daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi
penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena
tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat
dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi
dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan
dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan
pembangunan, dan layanan umum. Tujuan pemberian
tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan
tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu
penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan
pembangunan bagi daerah dan desa. Terkait dengan
penyelenggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
Kementerian Pariwisata sebagai institusi yang
memberikan bantuan untuk pengembangan daya tarik
wisata belum memiliki konsep daya tarik wisata (DTW)

46 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


yang baku, sehingga masih banyak kendala dalam
penyaluran dana. Selain itu pemerintah provinsi sebagai
wakil dari pemerintah pusat belum memiliki data yang
akurat mengenai potensi daya tarik wisata yang berada
di kawasannya. Ini disebabkan karena pemerintah
kabupaten/kota tidak melaporkan potensi yang dimiliki
ke pemerintah provinsi. Masalah koordinasi antara
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota masih
menjadi isu dalam implementasi bantuan. Kurangnya
koordinasi ini mengakibatkan ketidaksesuaian antara
dana yang diberikan untuk pembangunan fisik tugas
pembantuan oleh pemerintah pusat dengan yang
dibangun oleh pemerintah daerah. Selain itu, ketidaksiapan
materi sebagaimana disebabkan oleh kurangnya
data dasar potensi dan daya tarik wisata di beberapa
daerah menyebabkan lemahnya atau terhambatnya
implementasi penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan di daerah. Idealnya daerah memiliki rencana
pengembangan pariwisata yang tertuang dalam Rencana
Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA)
atau lebih diturunkan lagi dalam Rancangan Induk
Pengembangan Obyek Wisata (RIPOW) atau siteplan daya
tarik wisata yang ada di daerah, akan tetapi belum semua
daerah memiliki kebijakan pembangunan pariwisata
dan belum semua daya tarik yang ada dipetakan secara
lebih terperinci. Kriteria pengajuan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan salah satunya adalah asas prioritas
pembangunan, dimana pengajuan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan dialamatkan kepada fasilitas atau
dukungan pengembangan daya tarik yang sudah memiliki
desain situs berikut kebutuhan fasilitas penunjang yang
daerah tidak mampu untuk membangunnya dalam posisi

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 47


prioritas pembangunan tertentu, sehingga membutuhkan
dukungan pemerintah pusat. Hal yang kemudian ditemui
dalam kegiatan koordinasi regional yang diselenggarakan
oleh Kementerian Pariwisata dalam upaya menampung dan
menginventarisasi kebutuhan pengajuan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan dari daerah dirasakan kurang
efektif. Hal ini dikarenakan mekanisme yang tidak berjalan
beriringan antara perencanaan yang dipersiapkan oleh
pemerintah daerah dengan target dari pemerintah pusat.
Akibatnya kedatangan pemerintah daerah yang diwakili
oleh pemerintah provinsi dalam menuangkan kebutuhan
dari hanya satu daya tarik yang kemudian dapat diajukan
menjadi kegiatan yang spontan, dimana banyak daerah
yang tidak atau belum memegang dokumen prioritas
pembangunan di deaerahnya. Hal ini kemudian berpotensi
mengakibatkan ketidaktepatan sasaran dari dekonsentrasi
dan tugas pembantuan dari pusat tersebut. Prosedur
sebagaimana diatur dalam pengajuan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan tidak sepenuhnya terikuti dengan
prosedur spontanitas yang dihadapi. Kendala lain yang
kemudian dihadapi adalah tumpang tindih kewenangan
dan program atas pembangunan fasilitas sebagaimana
diajukan dalam dekonsetrasi dan tugas pembantuan. Hal
ini dikarenakan ego sektoral yang tidak mengkoordinasikan
secara holistik terkait pembangunan sebuah daerah dari
setiap sektor yang terlibat. Akibatnya terdapat pendanaan
ganda yang berujung kepada ketidaktepatan sasaran
pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, dukungan yang
kemudian dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah terletak pada
mekanisme komunikasi, koordinasi, sinkronisasi terkait
program pembangunan daerah dan kaitannya dengan

48 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


semua sektor. Untuk memaksimalkan pengembangan
daya tarik wisata dapat dilakukan inventarisasi kebutuhan
fisik dan non fisik yang dapat dikembangkan berdasarkan
tahapan pengembangan pariwisata yaitu perintisan,
pembangunan, pemantapan dan revitalisasi. Pendanaan
dalam rangka dekonsentrasi pemantauan dan evaluasi
tugas pembantuan bidang pengembangan destinasi
pariwisata dialokasikan untuk kegiatan bersifat non fisik,
yaitu kegiatan yang menghasilkan luaran yang tidak
menambah aset tetap. Sedangkan pelaksanaan tugas
pembantuan pengembangan destinasi pariwisata berupa
kegiatan yang menghasilkan luaran yang menambah aset
tetap atau bersifat fisik, antara lain berupa bangunan,
peralatan, dan jalan.
Ada sebagaian kewenangan pemerintah kabupaten/
kota yang diserahkan kewenangannya kepada pemerintah
desa. Desa merupakan Self Community yaitu komunitas
yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman
bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan
mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan
kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa
yang memiliki otonomi asli sangat strategis. Salah satu
kewenangan pemerintah kabupaten/kotamadya yang
diserahkan ke desa adalah bidang pariwisata. Sampai saat
ini, tidak dapat dipungkiri pariwasata mempunyai peranan
yang sangat besar sebagai lokomotif pembangunan
ekonomi. Pariwisata memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun
pendapatan perkapita penduduk.
Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah hanya memberikan
dasar hukum secara tidak langsung bagi penyelenggaraan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 49


urusan kepariwisataan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemberian kewenangan secara tidak langsung itu sejalan
dengan konsep otonomi daerah, asas-asas maupun prinsip-
prinsip penyelenggaraan pemerintah di daerah yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Konsep otonomi daerah yang
dianut dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah
otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. Adapun yang
dimaksudkan dengan kewenangan otonomi luas adalah
kekuasaan daerah yang bersifat utuh dan bulat baik dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian
dan evaluasi terhadap penyelenggaraan semua bidang
pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter,
dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya
yang dimaksudkan dengan otonomi nyata adalah
kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan wewenang
pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada
dan diperlukan secara tumbuh, hidup, dan berkembang
di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi
daerah yang bertanggungjawab ialah keleluasaan daerah
yang disertai pertanggung jawaban sebagai konsekuensi
adanya pemberian hak dan kewenangan kepada daerah
dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikulnya
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Adapun
tujuan pemberian otonomi berupa adanya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah maupun antar daerah dalam
rangka menunjang keutuhan Negara Kesatuan Republik

50 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Indonesia.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain asas Desentralisasi di daerah juga dilaksanakan
asas Dekonsentrasi dan asas Tugas Pembantuan dimana
ketiga jenis asas dimaksud terkandung dalam Pasal
18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 beserta Penjelasanya, yang seyogyanya diterapkan
secara konsisten dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah dengan ditetapkannya melalui ketentuan
perundang-undangan.Adanya otonomi daerah yang
merupakan akibat dari adanya penyerahan dan
pelimpahan urusan pemerintahan kepada suatu tingkat
daerah tertentu untuk diatur dan diurus sebagai urusan
pemerintahan kepada suatu tingkat daerah tertentu untuk
diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Dalam rangka melaksanakan cara cara pembagian urusan
dikenal adanya system otonomi yang dikenal sejak dulu,
yakni cara pengisian rumah tangga daerah atau sistem
otonomi rumah tangga daerah. Urusan pariwisata masuk
ke dalam otonomi nyata, bertanggungjawab, dan dinamis.
Urusan pariwisata termasuk kedalam urusan pilihan yang
diserahkan kepada pemerintahan daerah dimana urusan
pariwisata disesuaikan dengan factor-faktor objektif di
daerah, misalnya, Provinsi Bali yang kaya akan potensi
pariwisata. Sehingga Pemerintah daerah dapat menjamin
akan mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dengan adanya potensi pariwisata yang dimiliki.
Tanggung jawab pemerintah daerah adalah mengolah
potensi pariwisata tersebut dengan meningkatkan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 51


pemasukan daerah dari bidang kepariwisataan sehingga
diharapkan akan dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan antardaerah yang serasi sehingga laju
pertumbuhan antar daerah dapat seimbang. Urusan
pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengaturan teknis untuk masingmasing bidang atau
sub bidang urusan pemerintahan diatur dengan
Peraturan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintahan
Nonkementerian yang membidangi urusan pemerintahan
yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Menteri
Dalam Negeri.
Dalam penelitian ini dilakukan pengkajian
terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan . Undang-Undang No. 10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan ini dikaji karena secara normatif
terdapat permasalahan hukum yang timbul yaitu
norma kabur. Kekaburan norma tersebut dapat dilihat
pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan pada BAB X Bagian Kedua tentang Badan
Promosi Pariwisata Daerah pada ayat (2) nya menyebutkan
bahwa “Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana
disebutkan dalam ayat (1) merupakan lembaga swasta
dan bersifat mandiri”. Sedangkan dalam ayat (4)
Pasal 43 UndangUndang No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan menyebutkan juga bahwa “Pembentukan
Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur/
Bupati/Walikota.” Dalam bunyi pasal tersebut terdapat

52 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


pengaturan yang tidak jelas mengenai wewenang
pemerintah daerah sehingga menimbulkan banyak
penafsiran. Kekaburan ini juga karena tidak ada kejelasan
apakah dalam memfasilitasi pembentukan Badan Promosi
Pariwisata Daerah ini pemerintah daerah hanya bersifat
menganjurkan, sampai pada pembentukannya ataukah
sampai kepada pengawasannya.
Penelitian lapangan menghasilkan data menarik.
Selain dinas pariwisata, di Provinsi Bali terdapat satu
organisasi yang juga mengurusi pariwisata yaitu Badan
Pariwisata Bali (Bali Tourism Board) yang selanjutnya
disebut dengan BTB. BTB merupakan organisasi yang
berstatus mandiri agar dapat secara aktif berpartisipasi
meningkatkan pembangunan kepariwisataan Bali yang
berlandaskan pariwisata budaya.BTB sebagai gabungan
dari sejumlah organisasi kepariwisataan di Bali bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan
memfasilitasi industri dan pemerintah dalam meningkatkan
mutu objek wisata dan segenap faktor pendukungnya.
Visi BTB adalah menjadi organisasi yang mengelola daerah
tujuan wisata secara professional dan memiliki daya saing
dengan negara lain. Misi BTB juga untuk mempromosikan,
membangun dan mengelola Bali sebagai daerah tujuan
wisata unggulan. BTB sudah mengambil langkah-langkah
strategis bersama Dinas Pariwisata Derah Provinsi
Bali dengan menyusun rancangan aksi pemasaran,
promosi Bali, merangsang kedatangan wisatawan secara
berkesinambungan, meningkatkan ksadaran masyarakat
Bali akan kepariwisataan, menjembatani dan mengaktifkan
komunikasi dua arah serta pertukaran ide antara
pemerintah dan sektor swasta. BTB sebagai kumpulan
organisasi kepariwisataan memiliki tanggungjawab

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 53


menjaga pariwisata Bali karena berhubungan dengan
bisnis atau usaha yang dimiiki anggotannya.Bahkan BTB
Bali berbeda dengan organisasi serupa di seluruh Indonesia.
BTB di Bali bersifat mandiri tidak mendapatkan bantuan
dari pemerintah dalam menjalankan organisasinya.
Sementara di daerah lain organisasi semacam BTB
mendapatkan alokasi dana untuk melakukan berbagai
kegiatan promosi. Baik dinas pariwisata maupun BTB
memiliki tugas yang sama yaitu memajukan pariwisata
Bali. Disamping itu dengan dikeluarkannya UU No. 10
tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menggantikan
Undang-Undang Kepariwisataan sebelumnya yaitu UU
No. 9 Tahun 1990 pemerintah memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah dalam Pembentukan Badan
Promosi Pariwisata Daerah. Badan Promosi Pariwisata
Daerah Ini merupakan lembaga swasta dan bersifat
mandiri. Khususnya di Provinsi Bali, kalau kita lihat sudah
terdapat dinas pariwisata dan BTB yang memiliki tujuan
yang sama yaitu untuk mempromosikan pariwisata di Bali.
Dengan adanya bunyi Pasal 43 ayat (1) UU No. 10 Tahun
2009, maka untuk urusan pariwisata sendiri Bali akan
memiliki tiga badan yang mempunyai tujuan yang sama
dalam bidang kepariwisataan.
Berdasarkan uraian di atas, Dinas Pariwisata, Badan
Pariwisata Bali (Bali Tourism Board /BTB) dan Badan
Promosi Pariwisata Daerah memiliki kesamaan. Meskipun
memiliki kesamaan, hal ini tidak akan menyebabkan
tumpang tindihnya tugas diantara ketiga badan tersebut,
mengingat BTB dan Badan Promosi Pariwisata Daerah
memiliki bidang kerja sendiri-sendiri. Disamping itu
BTB dan Badan Promosi Pariwisata Daerah merupakan
badan swasta yang bersifat mandiri. Hal ini tidak akan

54 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


mempengaruhi kinerja dari Dinas Pariwisata. Upaya
promosi yang dilakukan Dinas Pariwisata Provinsi Bali
memang harus dikoordinasikan bersama Pemerintah Pusat
dan stakeholder karena Pemerintah Pusat memegang
dana yang akan digunakan, stakeholder yang paham dan
memiliki pengalaman sebagai praktisi pariwisata serta
masyarakat yang dapat diajak utuk berperan serta dalam
upaya promosi tersebut. Birokrasi kaku, sulitnya Organisasi
Perangkat Daerah Kepariwisataan mengambil langkah
cepat, efisien dan efektif bertentangan dengan sistem
kerja stakeholder yang responsif dan profesional dalam
mengambil keputusan. Sementara masyarakat dalam
hal ini hanya mampu menunggu reaksi dari Organisasi
Perangkat Daerah Kepariwisataan dan stakeholder
dalam mengambil langkah-langkah promosi. Unsur
politisi dan lobbying juga menjadi syarat utama dalam
mengembangkan urusan promosi termasuk sistem
promosi serta cara atau strategi promosi yang digunakan.
Dengan demikian, tugas, fungsi, keanggotaan dan sumber
pembiayaan dari Badan Pariwisata Bali (Bali Tourism
Board/BTB) dengan Badan Promosi Pariwisata Bali (BPPD)
tersebut memiliki kesamaan. Sehingga untuk dapat lebih
cepat terbentuknya Badan Promosi Pariwisata Daerah di
Provinsi Bali, Badan Pariwisata Bali (Bali Tourism Board/BTB)
dapat dijadikan embrio. Mengingat banyaknya persamaan
diantar kedua badan tersebut. Akan tetapi harus diadakan
penyempurnaan terhadap BTB untuk dapat dijadikan
sebagai Badan Promosi Pariwisata Daerah mengingat
pembentukannya masih berdasarkan Undang-Undang
Kepariwisataan yang lama yaitu UU No. 9 Tahun 1990
sehingga memerlukan beberapa penyesuaian dengan UU
No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 55


C. Pluralisme Lokal dalam Kebijakan Kepariwisataan
1. Keragaman Hayati dan Kebhinekaan Budaya
Latar belakang penelitian ini berdasarkan adanya fenomena
menarik tentang keragaman budaya di Indonesia.
Menurut sensus penduduk tahun 2010, perkembangan
penduduk Indonesia saat ini mencapai jumlah 237.556.363
jiwa, yang menempatkan Indonesia pada urutan
keempat dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat.
Penduduk Indonesia tersebar dari ujung Barat hingga
Timur, mulai dari Sumatra sampai Papua dengan kondisi
geografis yang berbeda-beda seperti wilayah pesisir,
tepian hutan, pedesaan, perkotaan, dataran rendah dan
pegunungan/dataran tinggi. Beragam suku bangsa hidup
berdampingan dengan latar belakang kehidupan yang
berbeda, Kondisi geografis tempat tinggal yang berbeda
tersebut menjadikan masyarakat di Indonesia memiliki
kehidupan beraneka ragam yang dipengaruhi oleh
budaya masing-masing sebagai warisan dari tiap generasi
sebelumnya. Selain itu faktor kebudayaan dari luar yang
masuk ke Indonesia dan penyebaran agama-agama besar
di pelosok wilayah Indonesia membuat terjadinya proses
akulturasi dan asimilasi serta menambah keragaman
budaya yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan
keseharian seperti agama, kebiasaan, tradisi, adat istiadat,
mata pencaharian, kesenian yang sesuai dengan ciri khas
suku-suku tersebut.
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang
unik di dunia. Mengingat Indonesia memiliki jumlah pulau
yang banyak, serta mempunyai keragaman hayati dan
kebinekaan budaya tinggi. Ditilik dari keragaman pulau,
kini paling tidak telah tercatat tidak kurang dari 18.110
buah pulau dengan ukuran kecil dan besar di Indonesia.

56 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Namun, dari sejumlah pulau-pulau tersebut baru sekitar
5.707 pula yang telah diberi nama.109 Di antara pulau-
pulau di Indonesia, 5 pulau di antaranya dikenal sebagai
pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua. Kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sebagai negara maritim, memiliki luas lautan
mencapai 2/3 (75%) dari seluruh kawasan Indonesia.
Panjang pantai negara kita mencapai 81.000 km. Karena
itu, apabila peta kawasan NKRI ditumpang tindihkan
di atas peta Amerika Serikat. Maka, tampak bahwa luas
kawasan NKRI hampir sama dengan luas Amerika Serikat,
hanya perbedaannya Indonesia adalah sebuah pulau,
sedangkan Amerika Serikat adalah sebuah daratan.110
Ditilik dari kategori tersebut, paling tidak di
Indonesia memiliki 47 tipe ekosistem alami terestrial yang
membentang dari pesisir hingga wilayah pegunungan
tinggi. Misalnya, ekosistem alami terestrial dapat dibedakan
atas tiga macam kelompok vegetasi, yaitu vegetasi pamah/
dataran rendah (0-1.000 m dpl); vegetasi pegunungan,
terdiri pegunungan bawah (1.000-1.500 m dpl) dan
pegunungan atas (1.500-2.400 m dpl) dan vegetasi sub-
alpin (2.400-5.000 m dpl); serta vegetasi monsun di daerah
kering dengan curah hujan rendah (kurang dari 1.500
mm/tahun, dengan nilai evapotransipirasinya melebihi
curah hujannya). Sedangkan keragaman ekosistem bahari
di antaranya terdiri dari ekosistem pesisir, ekosistem
pantai, ekosistem mangrove, padang lamun, estuaria, dan
ekosistem laut terbuka. Sementara itu, ekosistem binaan
di negara kita sangat beragam, di antaranya hutan tanam;
109
S.D. Sastrapradja, Memupuk Kehidupan di Nusantara: Memanfaatkan
Keragaman Indonesia. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010), 76.
110
Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan
Reaita (Bandung: Universitas Padjajaran, 2006), 83.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 57


macam-macam agroekosistem seperti ladang berpindah,
sawah tadah hujan, sawah irigasi, sawah surjan, sawah
rawa, sawah pasang surut, kolam, tambak, perkebunan,
kebun, talum, dan pekarangan.111
Indonesia, selain memiliki keanekaan ekosistem dan
keanekaragaman hayati, juga memiliki keanekaan atau
kebinekaan suku bangsa dan bahasa. Indonesia telah
tercatat memiliki lebih dari 300 kelompok etnik. Aneka
ragam kelompok etnik tersebut bermukim di berbagai
lokasi/geografis dan ekosistem, seperti lingkungan
pesisir dan pedalam atau perairan daratan. Sementara
itu, berdasarkan bentuk mata pencahariannya berbagai
etnik tersebut dapat dibedakan menjadi lingkungan
sosial pemburuperamu, nelayan, berladang berpindah
atau berladang berotasi, petani menetap, serta industri
dan jasa.112 Misalnya, berbagai kelompok pemburu dan
peramu yang hidup di perairan, seperti Orang Laut di
perairan sekitar Batam, Irang Sekak di perairan utara Pulau
Bangka, dan Orang Bajau di sepanjang perairan sebelah
timur Pulau Sulawesi. Berbagai kelompok masyarakat
nelayan di Indonesia dicatat di berbagai kawasan pesisir.
Contohnya, masyarakat nelayan di Bagan Siapi-api dari
suku Cina, nelayan Marunda, Muara Karang dan Cilincing
dari suku bangsa Betawi; nelayan Pelabuhan Ratu masih
bagian dari suku Sunda, nelayan Cilacap di pantai Selatan
Jawa, nelayan Cirebon dan Gresik di pantai utara Jawa;
masyarakat pesisir Pulau Seram, pesisir utara Irian Jaya,
pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Kei.
Berbagai masyarakat pemburu dan peramu di
kawasan hutan di Indonesia, tercatat di antaranya Anak
111
Sastrapradja, 92-118.
J. Purba, ed., Pengelolaan Lingkungan Sosial (Jakarta: Yayasan Pustaka
112

Obor, 2006), 34.

58 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Dalam di Jambi, Orang Sakai di pedalaman Riau, Orang
Punan di Kalimantan Timur, Orang Asmat di Pedalaman
Irian Jaya bagian selatan; orang Nualu di Pedalaman Pulau
Seram, Maluku. Berbagai kelompok masya-rakat peladang
berpindah di Indonesia, dikenal di antaranya masyarakat
Baduy di Banten Selatan, masyarakat Kasepuhan di
Sukabumi Selatan bagian dari suku bangsa Sunda;
peladang Talang Mamak di pedalaman Riau, bagian suku
bangsa Malayu, masyarakat Kantu di Kalimantan Barat,
bagian dari kelompok suku bangsa Dayak. Sementara
itu, para petani penetap terutama para petani sawah di
berbagai suku bangsa di Indonesia.
Pada umumnya tiap suku di Indonesia mempunyai
bahasa lokal atau bahasa ibu yang berbeda-beda.
Mengingat Indonesia memiliki lebih dari 30 suku bangsa,
maka tak heran di Indonesia memiliki sekurangnya 655
bahasa lokal atau bahasa ibu. Jumlah bahasa lokal di
Indonesia menempati peringkat ke dua dari 25 negara
di dunia yang memiliki bahasa lokal di dunia yang
memiliki keanekaan bahasa lokal endemik setelah Papua
Guinea (847 bahasa).113 Dengan adanya berbahasa lokal
telah menyebabkan berbagai kelompok etnik memiliki
kemampuan untuk berfikir secara sistimatis dan teratur
serta berkembangnya aneka ragam pengetahuan lokal
di Indonesia. Misalnya, pengetahuan penduduk lokal
tentang botani, seperti pengenalan jenis-jenis tumbuhan,
pemanfaatan dan pengelolaannya. Pengetahuan
penduduk tentang ekologi pertanian atau agroekosistem,
seperti pengelolaan berbagai agroforestri tradisional,
seperti pekarangan dan sistem talun-kebun di Jawa
113
L. Maffi, “Linguistic Diversity,” dalam Cultural and Spiritual Values
of Biodiversity, ed. oleh D. Posey (London: Intermediate Technology
Publications, 1999), 21–35.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 59


Barat; sistem dukuh lembur atau leuweung lembur di
Baduy, Banten Selatan; kaliwo atau kalego di Sumba
Barat; repong damar di Krui, Lampung; kaleka di Bangka
dan Belitung, Sumatera; pelak di Kerinci Jambi, Sumatera;
parak di Maninjau, Sumatera Barat; lembo atau simpukng
atau lepu atau pun pulung bue di Kalimantan Timur, dan
tembawang di Kalimantan Barat.114
Selain itu, beberapa kelompok etnik di Indonesia
juga telah memiliki pengetahuan lokal untuk mengelola
kawasan hutan secara berkelanjutan, misalnya dikenal
sistem pengelolaan hutan dengan sistem tanah ulen di
masyarakat Dayak Kalimantan Timur (sistem zonasi hutan
keramat pada masyarakat Baduy115 dan sistem zonasi
tradisional pada masyarakat Toro, di kawasan enclave
Taman Nasional Lore, Sulawesi Tengah.116 Tidak hanya itu,
beberapa kelompok masyarakat lokal dengan berbekal
pengetahuan lokalnya telah mampu mengelola sumber
daya air secara berkelanjutan, seperti sistem sasi di
Maluku, Sulawesi dan Papua, dan sistem lubuk larangan di
Sumatera.117
114
J. Iskandar, Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia
(Bandung: Humaniora Utama Press, 2001); H. de Forestra dkk., Ketika
Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan
Masyarakat (Bogor: International Centre for Research in Agroforestry,
2000).
115
J. Iskandar, “Pelestarian Daerah Mandala dan Keragaman Hayati Oleh
Orang Baduy,” dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya Dalam
Konservasi Keragaman Hayati, ed. oleh H. Soedjito, Y. Purwanto, dan
E. Sukara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009).
116
G. Baso, “Mophilonga Katuvua: Konsepsi Masyarakat Adat Toro
Dalam Mempertahankan Kelestarian Sumberdaya Hutan,” dalam Situs
Keramat Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati,
ed. oleh H. Soedjito, Y. Purwanto, dan E. Sukara (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, 2009), 240–66.
117
Z.B. Lubis, “Lubuk Larangan: Revivalisasi Situs Keramat Alami di
Kabupaten Mandailing Natal,” dalam Situs Keramat Alami: Peran

60 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Pada masa kini dengan kemajuan komunikasi global
dan meningkatnya hubungan antar budaya, menimbulkan
pemikiran dan kesadaran bahwa di balik keragaman
tersebut timbul berbagai kekuatan dan kekayaan budaya
hingga timbulnya berbagai permasalahan sosial. Hal
ini berdasarkan adanya perbedaan pendapat yang
memandang keragaman budaya berupa kekayaan
yang dikandung tiap budaya di dunia sebagai sesuatu
yang positif, sementara ada pula yang menganggap
perbedaan budaya tersebut mengakibatkan hilangnya
rasa kemanusiaan dan menjadi akar berbagai konflik.

2. Relasi dengan Kepariwisataan


Dikaitkan dengan kepariwisataan, maka keragaman atau
pluralism lokal menampakkan basis pada kebudayaan.
Tedi Sutardi berpendapat bahwa kebudayaan berdasarkan
antropologi, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.118
Hal ini mengisyaratkan bahwa hampir seluruh tindakan
manusia adalah kebudayaan. Dari uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena
meliputi seluruh aspek hidup yang ada dalam diri individu
berupa kemampuan berpikir, bertindak dan berperilaku,
serta dilaksanakan guna kelangsungan kehidupan
bermasyarakat. Kebudayaan di Indonesia merupakan
entitas yang tak berhenti mengalami perubahan, dan
kecepatan transformasi sosio-kultural ini bervariasi.
Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati, ed. oleh H. Soedjito, Y.
Purwanto, dan E. Sukara (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009).
118
Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya (Bandung:
Setia Purna Inves, 2010), 10.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 61


Dinamika kebudayaan yang seperti ini di Indonesia tidak
pernah serupa antara daerah satu dengan daerah yang
lain, antara kelompok budaya satu dengan yang lainnya,
serta antara kurun waktu yang satu dengan kurun waktu
yang lain. Proses pembentukan dan perubahan terus
berlangsung karena adanya (a) dinamika internal, sebagai
hasil dari interaksi antarunsur kebudayaan dan antara
unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan lingkungan
alam, dan (b) adanya pengaruh-pengaruh eksternal, yang
terjadi karena semakin meningkatnya kemajuan teknologi
komunikasi dan transportasi global.
Didalam pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan
bahwa Negara berkuajiban memajukan kebudayaan
Nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai nilai budayanya, sehingga
kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh oleh seluruh
warga Negara. Oleh karena itu kebudayaan Indonesia yang
mencerminkan nilai nilai luhur bangsa harus dilestarikan
guna memperkokoh jati diri bangsa, mempertinggi
harkat dan martabat bangsa serta memperkuat ikatan
rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita
cita bangsapada masa depan. Kebudayaan Indonesia
yang memiliki nilai nilai luhur harus dilestarikan guna
memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan
kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan
kebanggaan Nasional, memperkukuh kesatuan bangsa
serta meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai arah
kemajuan kehidupan bangsa. Berdasarkan pada amanat
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 itu, Pemerintah mempunyai kewajiban

62 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan.
Sehubungan dengan itu, keseluruhan kistalisasi nilai-
nilai bangsa Indonesia yang meliputi; gagasan, perilaku
dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia
Indonesia yang dikembangkan melalui proses belajar dan
adaptasi terhadap lingkunganya yang berfungsi sebagai
pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara perlu untuk terus dilestarikan dan dikelola
sebagai dasar dan jiwa dalam membangun bangsa.
Dengan melandaskan kepada pluralisme lokal
tersebut, maka kebijakan kepariwisataan diharapkan
membawa akibat terhadap pelindungan terhadap hak-
hak berkebudayaan, kebhineka tunggalikaan, sejarah dan
warisan kebudayaan, serta pembentukan karakter bangsa.
Berikut ini ditinjau secara singkat akibat-akibat tersebut.

3. Perlindungan terhadap Hak-Hak Kebudayaan


Sebagai tindak lanjut dari Universal Declaration of Human
Rights oleh PBB sebagaimana telah dibahas di atas,
kemudian Komisi PBB tentang HAM telah menyusuli dengan
International Bill of Right pada Tahun 1966 yang berisi dua
dokumen, yaitu: The International Covenant on Civil and
Political Right dan The International Covenant on Economic
Social and Cultural Right. Dengan dikeluarkanya kedua
perjanjian ini maka memberikan implikasi kepada semua
negara anggota PBB dengan ketentuan ketentuan sebagai
berikut: (1) ketentuan-ketentuan deklarasi universal HAM
menjadi mengikat secara hukum; (2) hak-hak asasi manusia
termasuk di dalamnya hak-hak berkebudayaan yang harus
dilindungi menjadi lebih rinci, detail, dan jelas; dan (3)
tata cara pelindungan terhadap hak-hak tadi yang harus
diikuti oleh semua negara anggota menjadi lebih jelas.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 63


Mendasarkan kepada semangat penyepakatan terhadap
realisasi dan pelindungan nilai-nilai dasar sebagai standar
perilku manusia secara universal sebagaimana telah
dibuktikan dalam sejarah perjuanganya, dan dengan
diakselerasikan oleh proses globalisasi yang begitu cepat,
maka keseluruhan pelindungan terhadap hak-hak tadi
bukanlah lagi menjadi monopoli Barat, akan tetapi sudah
merupakan kesepakatan mondial yang bukan saja perlu
diratifikasi oleh semua negara di bumi yang satu ini, akan
tetapi lebih dari itu wajib direalisasikan secara universal,
meskipun pelaksanaanya dapat secara khusus disesuaikan
dengan pembangunan sosial ekonomi dan kebudayaan di
masing-masing negara.
Sebagaimana yang terjadi di banyak negara
berkembang, persoalan perjuangan menegakan nilai nilai
universal sebagai standar perilaku manusia Indonesia
terbukti telah mendapatkan perhatian mendasar mulai dari
para founding fathers negara Indonesia dalam menyusun
dan meletakan dasar-dasar negara sampai dengan para
penerus dalam menyusun Peraturan Perundangan baru
dan meratifikasi segenap konvensi mengenai penegaan
nilai-nilai universal tadi. Secara historis upaya tadi telah
dimulai sejak menjelang dirumuskanya Undang-undang
Dasar 1945, 1949, serta 1950, kemudian pada sidang
Konstituante (1956 – 1959) dan pada penegaan Orde
Baru menjelang sidang MPRS 1968 sampai dengan akhir
dasawarsa 1980an. Namun demikian, kalau kita amati,
hak-hak asasi termasuk di bidang kebudayaan di dalam
UUD 1945 yang menjadi dasar kehidupan bernegara kita,
ternyata tidak termuat secara eksplisit dalam suatu piagam
tersendiri, melainkan tersebar dan beberapa hanya
bersifat implisit dalam berbagai pasal, terutama pada

64 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Pasal 27 sampai dengan Pasal 31. Bahkan dapat dikatakan,
hak-hak yang mencakup bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya, jumlahnya relatif terbatas dan telah
dirumuskan secara singkat. Hal ini sangat bisa dipahami
mengingat bahwa keseluruhan naskah tadi disusun di
akhir pendudukan Jepang dan dalam situasi yang tidak
kondusif dan mendesak. Di samping itu, kehadiran tentara
Jepang di Indonesia juga tidak menciptakan iklim yang
kondusif untuk menegakkan dan merumuskan hakhak tadi
secara lengkap. Lagi pula, pada waktu UUD 45 dirumuskan
Deklarasi Universal Hak Asasi juga belum lahir. Namun
demikian, sebetulnya jika rumusanrumusan yang implisit
tadi dianalisis secara teliti, ternyata kita akan menemukan
kandungan-kandungan nilai-nilai dasar universal hak-hak
asasi manusia tadi, termasuk hak berkebudayaan jauh
lebih banyak dari yang semula kita duga.
Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 kita telah
diawali dengan pengakuan dan deklarasi tentang
“freedom to be free”, bahwa kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
keadilan. Secara implisit, pernyataan ini adalah sebuah
pengakuan terhadap hak-hak asasi kolektif suatu bangsa
untuk hidup bebas dari segala penindasan oleh bangsa lain
dan sekaligus menegaskan kedudukan yang sejajar dari
semua bangsa di dunia. Pengakuan akan hak-hak kolektif
suatu bangsa ini sebetulnya jauh lebih maju dari Deklarasi
Universal HAM yang hanya mengakui setiap orang adalah
merdeka dantidak boleh diperbudak olehorang lain.
Selanjutnya, dalam alinea kedua menyebutkan bahwa
Indonesia diharapkan menjadi negara yang adil dan
makmur. Konstruk adil di sini sekali lagi menegaskan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 65


Indonesia sebagai negara hukum. Kekuasaan hendaklah
dijalankan secara adil dan amanah, artinya negara tidak
boleh bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Penyebutan Indonesia sebagai negara yang
“makmur” mengandung maksud yang berhubungan
erat dengan hak-hak rakyat di bidang ekonomi. Artinya,
negara berkwajiban menjamin kesejahteraan masyarakat
secara material sesuai dengan harkatdan martabatnya
sebagai manusia. Alinea ketiga yang menegaskan hasrat
bangsa Indonesia untuk “berkehidupan berkebangsaan
yang bebas”, di samping menegaskan sekali lagi pada
hak-hak kolektif manusia yang dimiliki sebuah bangsa,
juga dalam perspektif individual telah sejalan dengan
pasal 27 Deklarasi Universal HAM, bahwa Indonesia
telah menyatakan “setiap orang berhak untuk turut serta
dengan bebas dalam hidup berkebudayaan masyarakat”.
Sedangkan pada alinea keempat, menegaskan tujuan
pembentukan pemerintah Indonesia untuk “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan
ketertiban dunia ”telah menegaskan kewajiban
pemerintah negara Indonesia untuk “melindungi segenap
bangsa” dalam makna yang luas termasuk dari berbagai
ancaman dan perlakuan sewenang wenang”. Memajukan
kesejahteraan umum juga mengandung arti yang sangat
luas, termasuk kesejahteraan lahir dan batin. Sedang
konstruk hak “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam
alinea ini juga berarti berhubungan dengan hak-hak sosial
dan pendidikan. Sedangkan pada bagian akhir alinea
keempat, yang mengandung nilai dasar inti Pancasila;
yaitu ”Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang

66 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
sesungguhnya telah menegaskan doktrin hak-hak asasi
manusia dalam bidang politik, sosial, dan budaya yang
menjadi tekananutama dari Deklarasi Universal HAM.
Memasuki ruang analisis batang tubuh UUD 1945,
khususnya yang tercantum secara eksplisit pada pasal
28, konstitusi kita juga mengamanahkan penjaminan
dan pelindungan terhadap hak bangsa Indonesia
untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan “dan sebagainya”. Konstruk “dan
sebagainya” telah mengacu pada sifat tidak terbatas dari
jaminan hak yang dikandung dalam Pasal 28 itu. Jaminan
dan pelindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 ternyata selaras
dengan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM yang telah
menetapkan “Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan,
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan keterangan dan pendapat pendapat dengan
cara apapun dan tidak memandang batas-batas.
Kandungan Pasal 28 UUD 1945 juga sangat gayut dengan
Pasal 20 dalam Deklarasi Universal yang menegaskan: (1)
setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul
dan mengadakan rapat dengan tidak mendapat gangguan
dan (2) tidak seorangpun dapat dipaksa memasuki salah
satu perkumpulan.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 67


4. Kebhinekatunggalikaan
Dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen (4) sebagai landasanfilosofis dan yuridis
tertinggi mengamatkan bahwa: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.”
Sedangkan pada Pasal 32 Undang-Undang
Dasar 1945 Amandemen (4) sebagai landasanyuridis
mengamanatkan bahwa: (1) Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional. Dalam memajukan
kebudayaan Indonesia perlu disadari bahwa bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan beraneka
ragam budaya yang akan terus tumbuh dan berkembang
sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat yang
terus berubah. Penghargaan terhadap keragaman budaya
menjadi harmoni melalui pemahaman terhadap suku
bangsa yang lain.
Pengakuan dan pemahaman yang bersandar pada
keberagaman multietnik dan budaya akan melahirkan
sikap toleransi, harmoni, dan demokratis yang menjadi ciri
masyarakat multikultural dan membuat semakin kukuhnya
jati diri bangsa. Kesadaran akan jati diri dipengaruhi oleh
pemahaman kebudayaan secara kontinyu yang diperoleh
dari proses belajar, penyesuaian diri dari satu generasi
ke generasi berikutnya, sehingga keberadaan bangsa itu

68 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dalam masa kini dan dalam proyeksi ke masa depan tetap
bertahan pada ciri khasnya sebagai bangsa dan tetap
berpijak pada landasan falsafah dan budaya sendiri.
Kebudayaan dalam bentuk keragaman ras dan suku
bangsa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang perlu
ditumbuhkembangkan tidak hanya untuk memperkukuh
jati diri, melainkan juga memperkokoh citra bangsa dan
situasi keberagaman suku bangsa yang berkembang dapat
bertahan dan sekaligus menjadi dasar kehidupan bangsa
yang maju seiring dengan perkembangan peradaban saat
ini. Kebudayaan Indonesia yang lama di sini diharapkan
dapat bertahan dan semakin kuat, dan dapat turut berperan
di tengah dinamika peradaban dunia, ketetapan untuk
memajukan kebudayaan menjamin kebebasan masyarakat
untuk berekspresi dan mengembangkan kreatifitas yang
sekaligus juga memelihara dan mengembangkan nilai-
nilai budaya baru.

5. Sejarah dan Warisan Budaya


Praktek kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari
kondisi historis dan sosialbudaya di Indonesia secara
umum. Berkaitan dengan konteks kesejarahan bangsa
Indonesia beserta kebudayaannya, Muchlis PaEni (2008),
mendefinisikan sejarah sebagai peristiwa yang terjadi
pada masa lampau (past events, res gestae). Sejarah
sebagai suatu peristiwa yang dianggap penting dan
dituliskan oleh penulis sejarah untuk mencari kebenaran
dengan cara mencari hal yang pasti, tegas, dan mendasar
tentang masa lampau manusia beserta segala aspek yang
melingkupinya, termasuk dalam hal ini adalah sejarah
peradaban (kebudayaan). Upaya penulisan sejarah untuk
mengungkap masa lalu kebudayaan kita dilandasi pada

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 69


fakta-fakta yang menggambarkan interaksi antara manusia
dengan berbagai dinamikanya. Dinamika perkembangan
penulisan sejarah sebagai sebuah disiplin setidaknya
dalam teori atau filsafat sejarah didasarkan pada filsafat
positivisme, yaitu sejarah sebagai sebuah wacana
narative. Sementara itu, di dalam historiografi tradisional
Nusantara, kita mengenal beberapa istilah seperti babad,
serat, sajarah, carita, wawacan, hikayat, tutur, tambo,
silsilah, cerita-cerita manurung, dongen, mitos, maupun
himpunan pengalaman yang diriwayatkan secara lisan
yang di dalamnya memuat (baik simbolis maupun tidak)
fakta-fakta sejarah kebudayaan Nusantara di masa lampau.
Dalam konteks ini penulisan sejarah tidak harus dibingkai
dalam romantisasi tertentu ataupun dibebani oleh suatu
misi dari suatu rezim kekuasaan tertentu. Masyarakat kita
memerlukan pemahaman sejarah beserta nilainya yang
didasarkan atas fakta secara alamiah, kritis, obyektif, dan
tentu saja ilmiah. Dengan demikian, sejarah kebudayaan
dapat diartikan sebagai hasil kajian yang merupakan
upaya membangun pengetahuan tentang peristiwa atau
fakta yang berkaitan dengan masyarakat dan budayanya
yang pernah terjadi dalam masyarakat.
Dalam konteks peninggalan sejarah peradaban in-
situ inilah PaEni (2008) menjelaskan bahwa benda cagar
budaya merupakan aset kekayaan budaya bangsa yang
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan
sejarah, ilmu pengetahuan, serta kebudayaan itu
sendiri, sehingga perlu dilestarikan (dilindungi,
dikembangkan, hingga dimanfaatkan) dan menjadi
subjek dalam pembangunan kebudayaan nasional untuk
membangkitkan dan memupuk kesadaran terhadap
pentingnya jati diri bangsa dan kepentingan nasional

70 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


yang lain. Benda budaya mempunyai fungsi dan bermakna
penting sebagai bukti sejarah karena mengandung nilai-
nilai inspiratif yang mencerminkan tingginya nilai budaya
dan dapat dimanfaatkan sebagai pencitraan kehidupan
berbangsa, yaitu sebagai kebanggaan kebudayaan
nasional danlandasan pengembangan jati diri bangsa.
Untuk menentukan benda tinggalan sejarah kebudayaan
yang bernilai penting dan berpeluang dijadikan sebagai
benda cagar budaya perlu dilakukan penilaian dan kajian
melalui lembaga kepakaran. Upaya pelestarian terhadap
benda cagar budaya dilakukan melalui ketentuan-
ketentuan dalam pelbagai prinsip pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan yang, setidaknya,
berdasarkan pada UndangUndang No. 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Pemahaman mengenai sejarah
peradaban sebagaimana dijelaskan sebelumnya sangat
erat kaitannya dengan realita masyarakat dan kebudayaan
bangsa Indonesia di masa sekarang. Selanjutnya mengenai
sosio-kultural bangsa Indonesia, premis bahwa karakter
setiap kebudayaan itu bersifat partikular, tumbuh dalam
lingkup wilayah yang relatif “kecil” atau terbatas, dan oleh
karenanya kecil kemungkinan untuk terjadi homogenisasi,
itu benar adanya. Kendati demikian, tidak bisa dimungkiri
juga bahwa kebudayaan satu dengan yang lain dapat saling
mempengaruhi, bertukar atau “saling meminjamkan”
unsur-unsurnya, sehingga dalam proses yang demikian
itu dapat melahirkan apa yang disebut sebagai akulturasi
maupun asimilasi budaya, yang secara kasat mata dapat
disaksikan berbagai gejalanya dari masa lalu sampai saat
ini, seperti kisah-kisah dan penokohan wayang Jawa
yang erat hubungannya dengan tradisi bangsa India di
Asia Selatan, hingga globalisasi bahasa, gaya hidup, dan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 71


fesyen pada masyarakat perkotaan di masa kini. Gejala-
gejala yang demikian itu dapat dibuktikan dan ditelusuri
lebih jauh dengan melihat lansekap kebudayaan bangsa
Indonesia, dulu dan sekarang.
Lebih lanjut, secara sosiologis kekayaan bangsa ini
secara kultural itulah yang dapat dijadikan sebuah potensi
tersendiri bagi bangsa Indonesia apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain di dunia. Potensi sosio-kultural
bangsa Indonesia yang khas ini ketika dijabarkan lebih
lanjut secara terperinci, setidaknya terdapat beberapa
hal yang merupakan lansekap kebudayaan nasional
secara umum, yaitu: (1) keanekaragaman kearifan lokal,
(2) keanekaragaman bahasa, (3) keanekaragaman seni, (4)
keaneka-ragaman warisan budaya, (5) keanekaragaman
religi, (6) keanekaragaman falsafah hidup, dan (7) budaya
nasional dan globalisasi. Ketujuh ragam potensi itu
merupakan intisari yang termanifestasi dalam tiap-tiap
diri pada ratusan etnis, subetnis tempatan (lokal), dan juga
pada masyarakat perkotaan yang telah termodernisasi di
seantero Nusantara.

6. Pengembangan Karakter Bangsa


Lansekap karakter bangsa yang merupakan ciri bangsa
Indonesia apabila dipandang dari aspek-aspek sosial
setidaknya memiliki tiga elemen atau unsur sebagai hal-
hal strategis, yaitu: (1) pluralitas dalam masyarakat, (2)
pluralitas institusi sosial, dan (3) pluralitas pola adaptasi
(atau sistem ekonomi). Ketiga unsur tersebut merupakan
sebuah fakta sosial, yang telah ada sebelum munculnya
negera Indonesia sebagai kesatuan politik. Berbagai
fakta sosial tersebut tidak terlepas dari realita sosial yang
sebenarnya juga merupakan posisi strategis bagi bangsa

72 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Indonesia, yakni bahwa secara kuantitas atau dengan
jumlah penduduk sekitar 231 juta jiwa, yang mana
total populasi masyarakat Indonesia menempati posisi
keempat i dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.
Sehubungan dengan total populasi itu, maka secara
sosiologis masyarakat Indonesia terbentuk ke dalam
realitas sosial dan kultural yang khas. Artinya, bahwa
keberagaman atau kemajemukan dalam masyarakat
sangat kentara dalam kehidupan sehari-hari dan terbagi
ke dalam kategori-kategori sosial tertentu, yaitu berupa
kelompok, golongan, lapisan, relasi, hingga jejaring
sosial. Kategorisasi sosial semacam ini bisa kita tengarai
lebih lanjut dan lebih menukik ke dalam dengan melihat
pada sistem sosial yang berlaku di sana, seperti adanya
berbagai pranatapranata sosial berupa perangkat nilai,
kepercayaan, pandangan hidup, norma, dan aturan-aturan.
Norma-norma atau tata-aturan yang disepakati dan ditaati
bersama dan biasanya telah ditetapkan terlebih dahulu
dalam kelompok-kelompok maupun melalui organisasi-
organisasi atau institusi-institusi sosial sebagaimana telah
disinggung sebelumnya. Mengenai sistem sosial yang
berlaku ini biasanya mewujud dalam lingkup keluarga,
kampung, desa, hingga kelompok sosial yang lebih luas,
yaitu negara. Dalam konteks pembangunan nasional
kebudayaan, keberagaman atau pluralitas sosial yang
demikian itu tentu saja dapat menjadi modal penting.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 73


D. Paham Negara Kesejahteraan dalam Pengaturan
Kepariwisataan di Indonesia
1. Pewadahan dalam Konstitusi
Paham sosialis yang berkembang pada abad ke-19
memunculkan gagasan tentang negara kesejahteraan
sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah yang
Kapitalis-Liberalis. Sistem kapitalis sangat mengagungkan
produksi sebagai kekuatan dalam menentukan
kompetisi.119 Dalam sistem ini pemodal-pemodal besar
memiliki kekuasaan atas kebijakan perekonomian di dalam
suatu negara. Pada beberapa kasus, kapitalis melahirkan
monopoli perdagangan.
Paham negara kesejahteraan (welfare state) menjadi
“penawar” dalam menghadapi sistem kapitalis yang
berkembang semakin pesat.120 Tidak mengherankan
apabila sejarah mencatat bahwa paham negara
kesejahteraan justru lahir dan berkembang dari negara-
negara kapitalis yang kuat dominasi individualisme dan
produksi, seperti Inggris dan Prancis.121 Program dari
119
Ariza Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan
Islam dan Kapitalisme,” Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia 5, no. 5
(2015): 14.
120
Duco Bannink dan Marcel Hoogenboom, “Hidden change: disaggregation
of welfare state regimes for greater insight into welfare state change,”
Journal of European Social Policy 17, no. 1 (2007): 19–32.
121
Ahmad Dahlan dan Irfaan Santoso, “Menggaas Negara Kesejahteraan,”
Jurnal el-Jizya 2, no. 1 (2014): 1–22. Di Inggris, implementasi paham
negara kesejahteraan bermula dari kebijakan atas kesehatan yang
digagas oleh William Henry Beveridge sehingga berdiri British National
Health Service. Di Jerman, negara kesejahteraan lazim dikenal dengan
wohlfahrstat, bermula dari gagasan Otto von Bismarc membentuk
sistem asuransi sosial. Di Prancis, dikenal kebijakan solidarity and
insertion yang menekankan pada sikap saling menguntungkan dan
saling membantu. Negara kesejahteraan yang konon paling ideal yakni
Swedia, Gunnar Myrdal menggagas kebijakan terkait standar gizi dan
full employment. Diskusi lebih lanjut, lihat Ahmad Dahlan, “Krisis

74 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


negara kesejahteraan ini bertujuan untuk mengangkat
kondisi warga negara yang lemah agar tetap bertahan
hidup dan menikmati kesejahteraan masyarakat
kapitalis.122 Negara kesejahteraan yang dipraktekkan
di Eropa dan AS merupakan bentuk perlindungan dari
negara terhadap masyarakat kelompok miskin, penderita
cacat fisik serta pengangguran agar tidak tergilas oleh
mesin kapitalisme.123 Khusus di Eropa, perlindungan
negara tersebut dikonkretkan dengan berbagai program
jaminan sosial baru seperti program pensiun, program
jaminan orang cacat dan santunan bagi pengangguran.124
Negara kesejahteraan atau welfare state yaitu suatu
negara yang memberikan tunjangan jaminan sosial
(social security benefits) yang luas seperti pelayanan
kesehatan negara, pensiun negara, tunjangan sakit
dan pengangguran, dan lain sebagainya.125 Kamus
Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi negara
kesejahteraan negara adalah “negara yang mengusahakan
kesejahteraan rakyat dengan mengatasi anarki produksi
dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan hidup
warga dengan memberantas pengangguran”.126 Negara
kesejahteraan juga di definisikan sebagai model ideal
Negara Kesejahteraan,” Harian Suara Merdeka, 28 Mei 2008.
122
Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan Islam
dan Kapitalisme.”
123
Edi Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan :
Mengkaji Peran Negara dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di
Indonesia,” http://www.policy.hu/suharto/mamakIndo10, 2004.
124
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagio, Mimpi Negara
Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), 28.
125
Christopher Pass dan Bryan Lowes, Collins Kamus Lengkap Ekonomi,
trans. oleh Tumpal Rumapea dan Posman Halolo (Jakarta: Erlangga,
1999), 691.
126
Save M.Dagun, Kamus Besar Imu Pengetahuan (Jakarta: LKPN, 2000),
708.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 75


pembangunan yang fokus pada optimalisasi peran negara
dalam memberikan pelayanan sosial kepada warga negara
secara universal dan komprehensif.127
Pada perkembangannya, paham negara kesejahteraan
ini dianut oleh negara modern, maju dan berkembang.
Setelah Perang Dunia II, negara baru terutama di Asia
memiliki obsesi membangun negara kesejahteraan,
seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, telah cukup
berhasil membangun negara kesejahteraannya.128
Menurut Pierson,
“Kata kesejahteraan (welfare) di dalamnya
paling tidak mengandung tiga subklasifikasi,
yakni: (1) Social welfare, yang mengacu kepada
penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic
welfare, yang mengacu kepada jaminan
keamanan melalui pasar atau ekonomi formal;
dan (3) State welfare, yang mengacu kepada
jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui
agen dari negara. Negara Kesejahteraan (welfare
state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu
negara dimana pemerintahan negara dianggap
bertanggung jawab dalam menjamin standar
kesejahteraan hidup minimum bagi setiap
warga negaranya”.129

Negara kesejahteraan merupakan strategi


memberikan peran lebih besar kepada negara dalam
menyelenggarakan sistem jaminan sosial (social
127
Edi Suharto, Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik (Bandung:
Alfabet, 2007), 57.
128
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, loc.cit.
129
Pierson Christopher, Welfare State: The New Political Economy of
Welfare (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2007).

76 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


security).130 Kati , turner jeanSistem jaminan sosial yang
diberikan disusun secara terencana, terlembaga dan
berkesinambungan. Terdapat tiga sumber struktural
welfare state, Pertama, kebijakan institusi ditujukan pada
upaya menciptakan masyarakat pekerja. Kedua, niat atau
keinginan dari otoritas yang berkuasa untuk mendorong
solidaritas nasional bersama-sama meningkatkan
kesejahteraan sosial. Ketiga, skema yang jelas mengenai
kesejahteraan sebagai bentuk jaminan sosial untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.131
Di awal kemerdekaan, Indonesia juga menegaskan
diri sebagai negara yang menganut paham negara
kesejahteraan sebagai implementasi dari negara hukum.
Pendiri bangsa menganggap bahwa bentuk negara
kesejahteraan merupakan pilihan tepat. Gagasan
mengenai negara kesejahteraan dalam konteks Indonesia
tersebut dituangkan dalam rumusan sila kelima Pancasila
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pancasila
merupakan dasar negara dan sumber dari segala sumber
hukum dalam tata hukum Indonesia, sehingga semua
rumusan dalam Pancasila harus dipedomani dalam
penyusunan kebijakan.
Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum
yang kemudian disebut sebagai negara hukum.132 Negara
130
Kati Kuitto, “From social security to social investment? Compensating
and social investment welfare policies in a life-course perspective,”
Journal of European Social Policy 26, no. 5 (2016): 442–59; Richard
V. Burkhauser dan John A. Turner, “Life-Cycle Welfare Costs of Social
Security,” Public Finance Review 9, no. 2 (1981): 123–42; Jean D.
Triegaardt, “Social policy domains: Social welfare and social security
in South Africa,” International Social Work 45, no. 3 (2002): 325–36.
131
Anthony Giddens, Beyond Left and Right : Tarian Ideologi Alternatif
di Atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme, Cetakan 2 (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003).
132
Soemardi, Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 77


kesejahteraan merupakan kelompok negara hukum
materiil. Indonesia merupakan “Negara Kesejahteraan”
(walvaarstaat) dan bukan “Negara Penjaga Malam”
(nachtwachterstaat). Moh. Hatta menggunakan istilah
“Negara Pengurus”.133
Soekarno memandang bahwa keadaan kapitalisme
Eropa berbeda dengan kapitalisme di Indonesia.
Kapitalisme Eropa terfokus pada kepabrikan dan industrial
yang menghasilkan kaum protelar yang tidak memiliki alat
produksi, sedangkan Indonesia terfokus pada perkebunan
yang menghasilkan kaum petani yang melarat yang tidak
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.134
Indonesia mencoba membangun sistem ideal untuk
memberikan jaminan kesejahteraan sosial kepada warga
negara. Salah satunya dengan ratifikasi Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948) yang pada Pasal 22 dan
Pasal 25 mengatur mengenai jaminan sosial.135 Pembukaan
UUD 1945 menuangkan komitmen atas paham negara
kesejahteraan ini,“Pemerintah melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah dan memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. UUD 1945
sebelum amandemen mengatur kesejahteraan sosial
dalam Bab XIV yang didalamnya memuat Pasal 33 tentang
sistem perekonomian dan Pasal 34 tentang kepedulian

Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (Bandung: Bee


Media Indonesia, 2010), 255.
133
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang
BPUPKI/PPKI (Jakarta: Prapanca, 1959), 299.
134
Yudi Latif, Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, Cetakan 4 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012), 520.
135
Eddy Kiswanto, “Negara Kesejahteraan (Welfare State) : Mengembalikan
Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia,”
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik 9, no. 2 (2005): 91.

78 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak
telantar) serta sistem jaminan sosial.136 Artinya, platform
sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia
adalah kesejahteraan sosial. Dalam berbagai literatur
disebutkan bahwa sejatinya Indonesia menganut model
“Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare
state) atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan
atau welfare pluralism. Model ini menekankan kewajiban
negara dalam memberikan jaminan sosial, dan
pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan
kesejahteraan sosial yang merata.
Konstitusi pasca amandemen menegaskan kembali
tentang negara kesejahteraan. Hal tersebut dapat
dicermati dalam tambahan ketentuan-ketentuan sosial
ekonomi, yakni terakomodirnya ketiga konsep rezim
negara kesejahteraan. Yakni residual welfare state, universal
welfare state, social insurance welfare state.137 Pertama,
konsep residual welfare state tertuang dalam Pasal 34
ayat (1), kedua, konsep universal welfare state tertuang
dalam Pasal 27 ayat (2) yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan yakni bahwa setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, Pasal 28H
menuangkan kebijakan sosial berupa jaminan sosial,
Pasal 31 yang memetakan kebijakan pendidikan bahwa
Pemerintah mengusahakan satu pendidikan nasional bagi
semua warga negara dan wajib membiayainya, Pasal 33
mengenai kebijakan ekonomi dan Pasal 34 ayat (2) (3), (4).

136
Djauhari, “Pergeseran Pemikiran Negara Kesejahteraan Pasca
Amandemen UUD 1945,” Jurnal Pembaharuan Hukum 1, no. 3 (2014):
318.
137
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial : Institusionalisasi dan
Konstitusionalisasi kehidupan Sosial Masyarakat Madani (Jakarta:
LP3ES, 2015), 112.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 79


Ketiga, konsep social insurance welfare state yang tertuang
pada Pasal 28C ayat (2). Pada Pasal 34 ayat (2) dan ayat
(3). Pada Pasal 34 ayat (2) muncul klausula mengenai
sistem jaminan sosial (social security system). Sistem ini
sudah terlembaga dengan baik di negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Utara. Kekuatan sistem ini terketak
pada iuran jaminan sosial yang merupakan faktor utama
terlaksananya Pasal 34 ayat (1) mengenai pemeliharaan
fakir miskin dan anak terlantar oleh negara.

E. Negara Kesejahteraan dalam Formulasi


Peraturan dan Kebijakan Kepariwisataan
a. Masa Hindia Belanda Hingga Orde Lama
Industri pariwisata dimulai pada masa Hindia Belanda.138
Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan
dari para individu dan sekelompok individu yang diawali
dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di
luar tempat tinggalnya.139 Cikal bakal pariwisata di Hindia
Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu
perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan
motor), perkumpulan sosial masyarakat dan komersial,
serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis
pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius
Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang
138
Citra pariwisata Indonesia pada masa kolonial telah dikenal melalui
penggambaran akan gunung, sawah, pantai, ataupun keeksotisan
warganya dengan beragam aktivitas keseharian mereka. Citra ini
kemudian dituangkan kedalam sebuah aliran seni lukis yang dikenal
sebagai aliran Mooi Indie (Hindia Belanda yang indah). Lihat: Yesaya
Sandang dan Rindo Bagus Sanjaya, “Pariwisata Indonesia Dalam
Citra Mooi Indie: Dahulu Dan Sekarang,” Jurnal Studi Pembangunan
Interdisiplin 24, no. 2 (2015).
139
Achmad Sunjayadi, “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeee:
Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda 1891-1942” (Disertasi Doktor
Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, 2017).

80 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri
Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van
Heutsz.140 Pada masa tersebut tepatnya pada tahun 1908
terbentuk asosiasi bernama Vereeniging Toeristenverkeer
in Nederlandsch Indie yang mengatur lalu lintas pariwisata.
Kemudian pada tahun 1910 terbentuklah Vereeneging
Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan biro pariwisata
pertama di Indonesia.141
Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J.
Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar
pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam
mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada 1905, Karel
Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan
pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya
jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi
pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M.
Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan
soal promosi pariwisata di Hindia Belanda. Akhirnya,
pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata
(Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia.
Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda,
pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan
vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di
Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan
Kihinkai, khususnya dalam bentuk perhimpunan yang
terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta.
Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari pihak
140
Gladys Angelika, “Awal Mula Pariwisata di Indonesia,” www.historia.
co.id, 7 Juli 2017, https://historia.id/budaya/articles/awal-mula-
pariwisata-di-indonesia-PMLx3.
141
Ibid.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 81


swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan
perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam
susunan pengurus VTV. Untuk mendukung kegiatannya,
VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun
di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor
cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan,
serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu,
Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai.
Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan
baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, upaya
lain yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama
dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda
guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda.
Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai
organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang,
Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan
Batavia. Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku
yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia
Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.
Pendudukan Jepang mengakibatkan kegiatan
pariwisata di Indonesia terhenti. Geliat pariwisata
kembali dirasakan tahun 1955, pada tahun tersebut
terjadi banyak perisitiwa yang mempengaruhi
perkembangan kepariwisataan di Indonesia. Pada
tahun yang sama dibentuk Direktorat Pariwisata dalam
lingkungan Kementerian Perhubungan. Pada masa
Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan
pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun
1961-1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS
Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-
Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada masa

82 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian
pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih
pada pembangunan dan pembenahan perekonomian
nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan
diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan
dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar
dan industri berat.

b. Masa Orde Baru


Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi
dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan
nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada
dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai
pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25
tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima
Tahun (PELITA) I sampai dengan V. Di masa Orde Baru
pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian
pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya
kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam
Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama
yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun
1998/99. Pembangungan Jangka Panjang tersebut
kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan
yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita Pertama-Repelita Keenam).
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam
Repelita Pertama (1969/70-1973/74) tidak dilakukan
secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui
pentahapan dengan berbasis pada pengembangan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 83


wilayah. Tahap pertama difokuskan pada wilayah
Indonesia bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal
ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan
di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah.
Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk
semua wilayah Indonesia, namun akan dilakukan secara
bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai
titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulaupulau
lainnya di Indonesia, mengingat pulau Bali sudah
terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata
yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya.
Kemudian tahap kedua, difokuskan di Indonesia Bagian
Barat dan berpusat di Medan.
Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan
pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk
“Tourist Information Center” terutama di Bali dan Jakarta.
Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara
asing masuk ke Indonesia dibentuk “National Facilitation
Commitee” yang bertugas mempersiapkan peraturan-
peraturan yang terkait dengan hambatan masuknya
wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia, misalnya
“special air agreement”. Dalam tahun 1972, usaha
promosi berhasil memast ikan akan dilangsungkannya
Konperensi Pasific Area Travel Association di Indonesia
tahun 1974. Hal ini membuka kesemp atan yang
sangat baik bagi promosi pariwisata Indonesia di dunia
pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifik
khususnya.
Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah
dalam mendukung pembangunan kepariwisataan
dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek
pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum,

84 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor
swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama
telah dilaksanakan prog ram rehabilitasi obyek-obyek
pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata.
Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata
berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja
profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam
rangka memenuhi pasar tenaga kerja tersebut telah
didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik
oleh pemerintah , sep erti Pusat Pendidikan Pariwisata
(Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh
swasta. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9
Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata
Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan
pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.
Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta
tersebut bertugas membantu Menteri Perhubungan
dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal
Pariwisata. Kebijakan-kebijakan tersebut telah mampu
meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia
cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang
berkunjung ke Indonesia sekitar 297,6 ribu orang atau
mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2
kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar
245,64 persen.
Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita
Ketiga (1979/80-1983/84) ditujukan untuk meningkatkan
penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan
memperkenalkan keb udayaan bangsa dengan tetap
berupaya melestarikan keindahan alam dan keunikan
budaya yang merupakan daya tarik wisata dan difokuskan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 85


pada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatankegiatan:
(1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih
diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang
mempunyai potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata
dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil
mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri
dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi
masyarakat; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata
akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk
Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan
wisata melalui upaya pemberian kemudahan kepada
wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu
meninggalkan Indonesia. Untuk itu akan dilakukan
berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan,
meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa,
seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival);
memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan
pelayanan sarana angkutan (penerbangan, kereta api,
bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan
biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal
yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru
penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang
Pariwisata yang meliputi upaya untuk (i) meningkatkan
kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui
pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan
pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii)
menyusun undangundang kepariwisataan nasion al serta
peraturanperaturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan
bimbingan dan penataran kepada para pengusaha biro
perjalanan, pengusaha restoran, pengusaha hotel, dan
pengusaha jasa usaha pariwisata.
Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan

86 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


wisman ke Indonesia, pada tahun 1983 Pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun
1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata.
Kebijakan tersebut memuat kebijakan pemberian bebas
visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan
untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka
3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya
wisatawan asing ke Indonesia yaitu Mokmer (Biak),
Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan
menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar,
Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon
dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi
wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada
akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan
wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar
24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam
Repelita Keempat (1984/85-1988/89) diarahkan pada
pengembangan beberapa kawasan wisata terutama
untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk
Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan
wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan
Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam
rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi
wisman masuk ke Indonesia dengan kebijakan bebas
visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988
pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara
(Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio
(Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan),
dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut,
yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 87


Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri.
Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi
di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif
berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah
bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam
Repelita Kelima (1989/90-1994/95) diarahkan pada
upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa,
memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya,
keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan
jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam
rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan
nasional di samping untuk mendorong peningkatan
kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung
kebijakan tersebut diperlukan langkahlangkah antara
lain melakukan diversifi kasi produk dan atraksi wisata
dengan pendekatan Wilayah Tujuan Wisata (WTW), yaitu
suatu wilayah yang meliputi beberapa Provinsi atau daya
tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi
suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi.
Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat
adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan
pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan
pameran di Indonesia; dan wisata kapal pesiar me lalui
kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar inter
nasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan
transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut,
serta obyek wisata lainnya. Dalam masa Repelita V inilah
kemudian ditetapkan UU No. 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan.
Mencermati UU No. 9 tahun 1990, dalam undang-
undang tersebut tampa usaha mengintegrasikan paham

88 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


negara kesejahteraan. Dapat dilihat dari rumusan
ketentuan menimbang huruf b :
“bahwa kepariwisataan mempunyai
peranan penting untuk memperluas dan
memeratakan kesempatan berusaha dan
lapangan kerja, mendorong pembangunan
daerah, memperbesar pendapatan nasional
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat serta memupuk rasa
cinta tanah air, memperkaya kebudayaan
nasional dan memantapkan pembinaannya
dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa
dan mempererat persahabatan antar
bangsa”.142

Undang-undang ini pada awal pembentukannya


sudah berorientasi, pertama pada masalah perluasan
dan pemerataan kesempatan berusaha dan lapangan
kerja. Artinya, sektor pariwisata disadari merupakan
peluang usaha bagi masyarakat sekitar untuk mendapat
pekerjaan. Dengan kesadaran tersebut, pemerintah akan
turut andil dalam usaha mengelola usaha pariwisata.
Kedua, sektor pariwisata disadari memiliki peran dalam
meningkatkan pembangunan daerah. Pembangunan
daerah berbanding lurus dengan kesejahteraan
masyarakat daerah apabila pengelolaannya dilakukan
dengan baik. Ketiga, memperbesar pendapatan nasional,
dalam hal ini termasuk pendapatan karena memacu
investor yang masuk ke Indonesia, maupun wisatawan
luar negeri yang berkunjung di Indonesia. Tentu
kedatangan investor dan wisatawan manca negara akan
142
Ketentuan menimbang huruf UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisatan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 89


menambah pendapatan negara, namun perlu dipahami
pula bahwa hanya pariwisata yang pengelolaannya
baik, yang akan dilirik oleh para pendatang tersebut.
Sehingga pengelola usaha pariwisata musti berlomba-
lomba untuk menyelenggarakan dan mengelola usaha
pariwisata secara profesional untuk hasil yang maksimal.
Dengan pendapatan nasional yang meningkat,
harapannya yakni peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Keempat, memperkaya kebudayaan
nasional dan memantapkan pembinaannya dalam
rangka memperkukuh jati diri bangsa dan mempererat
persatuan antar bangsa. Hal ini berhubungan dengan
perkuatan karakter nasional untuk dapat dipertontonan
atau dipersandingkan dengan kebudayaan negara lain
dalam kegiatan-kegiatan pengenalan budaya. Hubungan
antar bangsa yang terlain dengan baik akan berakibat
baik pula pada perekonomian nasional.
Dapat dicermati pula dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun
1990 yang menegaskan asas adil dan merata dalam
penyelenggaraan kepariwisataan,
“Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan
berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan
dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada
diri sendiri”.143

Lebih lanjut di Pasal 3 UU No. 9 Tahun 1990


menjelaskan soal tujuan kepariwisataan, yang di
dalamnya juga memuat ketentuan mengenai perluasan
dan pemerataan kesempatan bekerja dan lapangan kerja
demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,
143
Pasal 2 UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisatan

90 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Huruf c
“memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha
dan lapangan kerja”
Huruf d
“meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”144
Indonesia menganut paham “Negara
Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state)
atau dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan
atau welfare pluralism. Paham ini menekankan kewajiban
negara dalam memberikan jaminan sosial, dan
pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi mewujudkan
kesejahteraan sosial yang merata. Dalam Pasal 30 UU No.
9 Tahun 1990 diatur mengenai partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan kepariwisataan serta proses
pengambilan kebijakan.
Pasal 30
“(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan kepariwisataan.
(2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan,
Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui
penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan”.
Diatas merupakan point-point dalam UU
No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Dalam
ketentuannya, sudah terlihat upaya untuk menjamin
kesejahteraan rakyat dari sektor pariwisata. Namun
Undang-undang ini juga memiliki kelemahan yakni
pengaturan berfokus pada usaha pariwisata yakni
144
Pasal 3 Huruf c dan huruf d UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 91


pemberian izin dan penetapan retribusi.
Pada Repelita keenam (1993/94-1998/99) yang
merupakan tahapan pertama Pembangunan Jangka
Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan
MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara 1993-1998. Sejalan dengan amanah
GBHN 1993, secara umum kebijakan pembangunan
kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan
untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas
dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan
kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya
kebudayaan nasional dengan tetap mempertahankan
kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilai-
nilai agama, mempererat persahabatan antarbangsa,
memupuk cinta tanah air, serta memperhatikan
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup.
Pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk
mendorong pengembangan, pengenalan, dan
pemasaran produk nasional. Pembangunan Jangka
Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung
sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan
Pembangunan lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan
terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998
yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru dan melahirkan
era Reformasi. Peristiwa tersebut mengakibatkan situasi
dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya
berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan
wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari
tahun 1997.

92 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


c. Masa Pasca Reformasi
Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal
dengan masa transisi. Dalam masa tersebut kebijakan
perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu
pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun.
Sesuai dengan amanah GBHN 1999 – 2004, arah
kebijakan pembangunan nasional dituangkan
dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun
(Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-
Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun
2000-2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN
disebutkan bahwa pariwisata merupakan salah satu
sektor yang mendukung pembangunan ekonomi. Dalam
periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata
diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan
Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada upaya
pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun
sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002
dan tahun 2005. Kedua peristiwa tersebut tentu saja
berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang
berkunjung ke Indonesia.
Kebijakan pariwisata tersebut dilaksanakan
melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan
pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan
dan memperluas diversifi kasi produk dan kualitas
pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan
masyarakat, kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 93


alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan
kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian
lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan
memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri.
Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatankegiatan
pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan
reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan
pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan
strategi pemasaran industri pariwisata dengan
penekanan pada keterpaduan antara produk dan
pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber
daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan
kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk
wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM
pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuan-
tujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan
lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan
koordinasi.
Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005 – 2025 dan dalam rangka
memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi
dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan
diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi
dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan
perluasan kesempatan kerja. Pengembangan
kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona
keindahan alam dan potensi nasional sebagai
wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan
berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang
terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah
tersebut kemudian dijabarkan dalam rencana lima

94 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
RPJMN Pertama merupakan penjabaran
lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan
keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005-
2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden
Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan
dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung
peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global
dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional
“Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor”.
Pada tahun 2009 disahkan UU No. 10 Tahun 2009
yang menggantikan UU No. 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan. Keistimewaan UU No. 10 Tahun 2009
salah satunya adalah adanya kebebasan melakukan
perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam
wujud berwisata yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Ketentuan seperti ini tidak ada dalam Undang-
Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.
Keistimewaan yang lain yaitu dengan dimasukkannya
unsur penting yang kini tengah menjadi isu dunia pada
umumnya.Hal tersebut terkait kepariwisataan yang
merupakan bagian pembangunan nasional yang harus
dilakukan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Dua istilah penting berkelanjutan dan bertanggungjawab
belum ada pada pengaturan dalam Undang-Undang
No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Ketentuan
lain yang merupakan suatu perubahan besar dalam
kepariwisataan adalah dicantumkannya Badan Promosi
Pariwisata. Dalam Bab X mengamanatkan pembentukan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 95


suatu Badan Promosi Pariwisata.Salah satu dari Badan
Promosi yang diamanatkan untuk dibentuk oleh
UndangUndang No. 10 tahun 2009 adalah Badan Promosi
Pariwisata Daerah. Badan ini dibentuk karena muncul
kebutuhan adanya sebuah lembaga/unit yang mampu
berperan sebagai pelaksana pengembangan pemasaran
dan promosi dalam konteks industri pariwisata secara
keseluruhan, yang tugasnya mengembangkan program/
kegiatan pemasaran dan promosi secara profesional.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan, maka keberadaan Badan
Promosi Pariwisata (baik di tingkat pusat maupun daerah)
telah memiliki payung hukum bagi pembentukannya.
Badan Promosi Pariwisata diatur secara khusus dalam
Bab X Undang-Undang tersebut, dan khusus untuk
Badan Promosi Pariwisata Daerah diatur dalam Pasal
43-49. Sesuai Undang-Undang tersebut, pembentukan
Badan Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota.
Terdapat beberapa perbedaan antara UU No. 9
Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dengan UU No. 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Setidaknya terdapat
10 (sepuluh) hal yakni:
1. Perubahan paradigma, konsepsi dan perubahan
regulasi di bidang kepariwisataan. Dapat dilihat dari
prinsip-prinsip penyelenggaraan kepariwisataan
yakni:
(a). menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya
sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam
keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan
sesama manusia, dan hubungan antara manusia

96 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dan lingkungan; b. menjunjung tinggi hak asasi
manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;
(c). memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat,
keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas; (d.)
memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
(e). memberdayakan masyarakat setempat; (f ).
menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah,
antara pusat dan daerah yang merupakan satu
kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah,
serta keterpaduan antar pemangku kepentingan;
(g). mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan
kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata;
dan (h). memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Ketentuan menimbang pada UU. No 10 tahun 2009
yang menjelaskan bahwa tujuan dari pariwisata untuk
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana
terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD
1945.
3. Ketentuan menimbang pada UU No. 10 tahun 2009
yang menjelaskan bahwa peraturan dimaksudkan
untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam
berpariwisata.
4. UU No. 9 Tahun 1999 berorientasi pada usaha
pariwisata, hal ini dikritik dan kemudian dirumuskan
dalam UU No. 10 Tahun 2009 yang menyatakan
bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi
industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran,
dan kelembagan kepariwisataan
5. UU No. 10 tahun 2009 menganut asas demokrasi
dalam berpariwisata.
6. Tujuan dalam pariwisata yang tertuang dalam UU No.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 97


10 tahun 2009 salah satunya yaitu mengangkat citra
bangsa, Ketentuan tersebut tidak terdapat dalam UU
No. 9 tahun 1990.
7. Terdapat perluasan ruang lingkup usaha dalam UU 10
tahun 2009 yakni penambahan pengaturan tentang
kegiatan hiburan dan Spa.
8. Era otonomi daerah, memengaruhi pengaturan
dalam UU No.10 tahun 2009 yang memberikan
amanat kepada Pemerintah daerah untuk memegang
peranan penting dalam mengatur dan mengelola
pelaksanaan pariwisata.
9. Dalam UU No. 10 tahun 2009 terdapat pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten dalam mengelola
pariwisata.
10. Dalam UU No 10 tahun 2009 terdapat badan promosi
pariwisata.
Pemerintah dan Pemerintah daerah memiliki
peran penting dalam membentuk peraturan dan
kebijakan pariwisata yang ideal untuk mewujudkan
negara kesejahteraan. Peraturan dan kebijakan
pariwisata yang ideal perlu dirumuskan mengingat
pariwisata merupakan salah satu andalan perolehan
devisa yang dapat meningkatan pendapatan nasional
maupun daerah.145
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang di dunia, artinya Indonesia seharusnya
menunjukkan antusiasmenya dalam melaksanakan
pembangunan negara. Pembangunan perlu
dilaksanakan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.

145
Made Metu Dhana, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap
Wisatawan (Surabaya: Paramita, 2012), 1.

98 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Pembangunan perlu diimbangi dengan peraturan
agar berjalan dengan lancar, sesuai dan mencapai
tujuannya. Formulasi peraturan yang baik dibutuhkan
untuk membentuk suatu peraturan sebagai pendobrak
pembangunan nasional.146
Salah satu amanah Undang-undang No. 10
Tahun 2009 adalah pemerintah harus segera menyusun
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
(RIPPARNAS) dan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) bagi daerah sebagai
acuan pokok pembanguan kepariwisataan. Sejalan
dengan amanah tersebut pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
(RIPPARNAS) 2010-2025. Berdasarkan RIPPARNAS,
pendekatan pembangunan adalah pendekatan
perwilayahan, yaitu Perwilayahan Destinasi Pariwisata
Nasional (DPN). Perwilayahan pembangunan DPN
merupakan hasil perwilayahan pembangunan
kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPN
(ada 50 DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional
yang selanjutnya disingkat KSPN (ada 88 KSPN).
Disamping RIPPARNAS, pembangunan kepariwisataan
juga harus tetap mempertimbangkan tata ruang
nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI
No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan
Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pengembangan
ke 50 DPN tersebut tidak mungkin dilakukan secara
bersamaan melainkan dilakukan secara bertahap dan

146
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
(Bandung: Alumni, 2004).

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 99


terfokus selama 15 tahun sehingga pemanfaatan dana
pembangunan baik yang bersumber dari Pemerintah
maupun Swasta dapat optimal. Dalam periode 5 (lima)
tahun kedua pelaksanaan RIPPARNAS, pembangunan
kepariwisataan diprioritaskan pada (i) mengembangkan
DPN yang berpotensi untuk menjadi titik tolak
penyebaran wisatawan ke daerah lain dan mampu
menciptkan multiplier effect perekonomian bagi daerah
lain di Indonesia; (ii) mengembangkan destinasi wisata
lainnya yang merupakan rangkaian dari destinasi yang
telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya ;
dan (iii) Destinasi yang terletak dalam Kawasan Strategis
Nasional (KSN) dan Kawasan Andalan menurut Undang-
undang No. 26 Tahun 2007.
Dalam Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2011
tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa
pembangunan kepariwisataan nasional meliputi
destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, industri
parisiwata dan kelembagaan kepariwisataan.
Pembangunan industri pariwisata bertujuan untuk
menggerakan perekonomian nasional. Oleh karena itu,
pembangunan industri wisata selain harus memberikan
dampak positif berupa peningkatan terhadap devisa
Negara juga harus dapat meningkatkan perekonomian
di lokasi-lokasi tujuan wisata misalnya meningkatkan
jumlah tenaga kerja, meningkatkan jumlah wisatawan
lokal maupun mancanegara, meningkatkan
perkembangan kebudayaan dan seni budaya Indonesia,
semakin maraknya bisnis kuliner, perhotelan, restoran
serta sarana dan transportasi yang lebih mudah. Dengan
kata lain pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan

100 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


masyarakat lokal. Masyarakat juga terus dituntut aktif
untuk mengembangkan industri kreatif.
Pembangunan industri pariwisata masih
terhambat perkembangannya karena masih belum
maksimalnya pengaturan terkait sertifikasi usaha
pariwisata bagi pengusaha pariwisata (Pasal 53,
Pasal 54 dan Pasal 55 UU No 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan). Peraturan Pemerintah No 52 Tahun
2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi
Usaha Pariwisata menyatakan bahwa Pengusaha
Pariwisata wajib memiliki Sertifikat Usaha Pariwisata
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Pasal 24 PP No 52 Tahun 2012), namun belum
ada penegakan hukum yang tegas bagi pengusaha
yang tidak memiliki sertifikasi usaha Selain itu adanya
isu kepemilikan di tempat tujuan wisata (destinasi)
yang sering memunculkan konflik antara pengusaha
pariwisata dan nelayan dalam kaitanya dengan Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (amanat
Pasal 7 UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU
No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau Pulau Kecil ) belum banyak ditindaklanjuti
oleh pemerintah daerah setempat.
d. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki dan Materi Muatan
Peraturan Perundang-Undangan terkait Kebijakan
Kepariwisataan
Hasil inventarisasi regulasi yang terkait kebijakan
kepariwisataan, ditemukan sebanyak 47 (empat puluh
tujuh ) peraturan perundang-undangan, yang terdiri
dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang, 21 (dua puluh satu)
Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh) Peraturan Presiden,
dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-47 regulasi

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 101


tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan)
PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan)
Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2
(dua) Peraturan Menteri terkait. Metode yang digunakan
dalam melakukan analisis dan evaluasi hukum terhadap
peraturan perundang-undangan adalah didasarkan
pada 5 dimensi penilaian, yaitu: (1) Dimensi Ketepatan
jenis peraturan perundang-undangan; (2) Dimensi
kejelasan rumusan; (3) Dimensi kesesuaian dengan asas-
asas; (4) Dimensi potensi disharmoni ketentuan: dan (5)
Efektivitas pelaksanaan Peraturan perundang-undangan.
Penilaian ketepatan jenis peraturan ditinjau dari
berbagai sudut pandang, yaitu dimulai dari namanya,
politik hukumnya, dasar hukumnya, maupun dari materi
muatannya. Penamaan suatu peraturan perundang-
undangan seharusnya mencerminkan materi muatannya.
Hal ini juga dijelaskan dalam Lampiran II Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, petunjuk No 3.
Disebutkan dalam petunjuk tersebut bahwa nama
peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat
dengan hanya menggunakan satu kata atau frasa, tetapi
secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi
peraturan perundang-undangan. Politik hukum suatu
peraturan perundang-undangan dapat diketahui dari
konsiderans menimbang dan penjelasan umumnya, dari
penjelasan tersebut dapat diketahui arah kebijakan yang
ingin dicapai dengan peraturan perundang-undangan
dimaksud. Dengan demikian dapat dianalisis apakah
materi muatan yang tercantum dalam ketentuan pasal
sudah sejalan dengan arah yang ingin dicapai.
Analisis juga ditinjau dari dasar hukum yang

102 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


mengamanatkan dibentuknya suatu peraturan
perundang-undangan. Pada dasarnya Undang-Undang
merupakan pelaksanaan dari amanat atau penjabaran dari
ketentuan pasal dalam UUD 1945, Peraturan Pemerintah
pelaksanaan amanat atau menjalankan ketentuan pasal
dalam Undang-Undang, Peraturan Presiden pelaksanaan
amanat atau penjabaran ketentuan pasal dari Undang-
Undang atau Peraturan Perundang-undangan dan/
atau dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan. Sedangkan Peraturan Menteri
pelaksanaan amanat atau penjabaran ketentuan pasal
dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri dapat pula mengatur lebih lanjut
atas dasar kewenangan pendelegasian dari Undang-
Undang, namun hanya sebatas peraturan yang bersifat
teknis administratif (petunjuk No. 211 Lampiran II UU
No. 12 Tahun 2011). Pada bagian dasar hukum dalam
suatu peraturan perundang-undangan, memuat dasar
kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan (dasar hukum formil) dan PUU yang
secara materiil dirujuk dalam membentuk peraturan
perundang-undangan lebih lanjut (dasar hukum
materiil). Suatu norma yang lebih rendah berlaku
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri
lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (Grundnorm).
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka
dapat dianalisis apakah materi muatan dalam suatu
peraturan perundang-undangan sesuai dengan tingkat
hierarkinya. Dengan demikian, materi muatan masing-

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 103


masing hierarki dapat dibedakan, perbedaan tersebut
dilihat dari cara perumusan normanya pada masing-
masing jenis peraturan peraturan perundang-undangan.
Norma dalam peraturan perundang-undangan pada
jenjang yang semakin ke atas, maka seharusnya semakin
abstrak, begitu juga sebaliknya. Norma dalam peraturan
perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke
bawah mudah dilaksanakan, begitu juga sebaliknya. Dari
hasil analisis terhadap 28 (dua puluh delapan) peraturan
perundang-undangan, berdasarkan ketepatan jenis
peraturan perundang-undangan pada umumnya sudah
sesuai dengan jenis hierarki dan materi muatan peraturan
perundang-undangan. Semua peraturan perundang-
undangan yang di analisis telah memenuhi ketepatan
jenis peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini, dapat ditunjukkan melalui analisis
sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomo 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, yang merupakan delegasi dari Pasal
20 dan Pasal 21 UUD 1945;
2. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil, yang merupakan delegasi dari Pasal 5 ayat
(1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal
33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan yang merupakan delegasi Pasal 20, Pasal
22D ayat (1), Pasal 25A ayat (3), dan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang merupakan delegasi

104 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal
22D ayat (2), dan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945;
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yang merupakan delegasi Pasal 5
ayat(1), Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945;
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, yang merupakan delegasi Pasal 5 ayat(1),
Pasal 20, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, yang merupakan delegasi Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1).
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, yang merupakan delegasi Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, dan Pasal 33 serta Ketetapan MPR Nomor
XVI/MPR/1998;
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; dan
10. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan, yang merupakan delegasi Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya, untuk tingkat Peraturan Pemerintah,


kesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut
dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional 2010-2025, yang merupakan delegasi Pasal
9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 105


Kepariwisataan;
2. Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2012 tentang
Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di
bidang Pariwisata, yang merupakan delegasi Pasal
55 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan;
3. Peraturan Pemerintah No 62 Tahun 2010 Tentang
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, yang
merupakan delegasi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
4. Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 Tentang
Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, yang merupakan delegasi Pasal 59 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
5. Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah, yang merupakan delegasi Pasal
232 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
6. Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang
merupakan delegasi Pasal 20 ayat (6) tentang
Penataan Ruang;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang tentang Pasal
13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 37 ayat (8), Pasal
38 ayat (6), Pasal 40, Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat
(2), Pasal 48 ayat (5), Pasal 48 ayat (6), dan Pasal 64,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang

106 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Bentuk Dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam
Penataan Ruang, yang merupakan delegasi Pasal
65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan, yang
merupakan delegasi Pasal 10, Pasal 12, 14, Pasal 17,
Pasal 20, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 34, Pasal
37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 58, Pasal 59 ayat
(3), Pasal 268, dan Pasal 273 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, yang merupakan
delegasi Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak;
11. Peraturan Pemerintah Nomor No. 5 Tahun 2010
tentang Kenavigasian, yang merupakan delegasi
Pasal 177, Pasal 183 ayat (2), Pasal 184, Pasal 186 ayat
(2), Pasal 196, dan Pasal 206 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2013Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian,
yang merupakan delegasi Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
13. Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017 tentang
Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, yang
merupakan delegasi Pasal 61, Pasal 71, dan Pasal

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 107


111 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
14. Peraturan Pemerintah No.142 Tahun 2015 tentang
Kawasan Industri, yang merupakan delegasi Pasal 63
ayat (5) dan Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun
2014 tentang Perindustrian;
15. Peraturan Pemerintah No PP No.107 Tahun 2015
tentang Izin Usaha Industri, yang merupakan delegasi
Pasal 108 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
Tahun Tahun 2015-2035, yang merupakan delegasi
Pasal 9 ayat (5) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Perindustrian;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Hutan, yang merupakan delegasi
Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 35, dan Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
18. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Dan Taman
Wisata Alam, yang merupakan delegasi Pasal 17
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

108 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Ekosistemnya;
19. Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2004 tentang
Badan Nasional Sertifikasi Profesi, yang merupakan
delegasi Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan
20. Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional, yang merupakan
delegasi Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003.

Selanjutnya, terdapat 12 (dua belas) Peraturan


Presiden yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan
kepariwisataan, yang jika dianalisis kesesuaian dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
menampakkan hal sebagai berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Produktivitas Nasional, yang merupakan
delegasi Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2016 tentang
Penghargaan Kepariwisataan, yang merupakan
delegasi Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
3. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2014 tentang
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan
Kepariwisataan, yang merupakan delegasi Pasal 35
UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 Tentang
Pengawasan Dan Pengendalian Kepariwisataan, yang
merupakan delegasi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
5. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2015 Tentang

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 109


Pelaksanaan Koordinasi Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional,
yang merupakan delegasi Pasal 53 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
6. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi Di Wilayah PesisirDan Pulau-Pulau Kecil,
yang merupakan delegasi Pasal 34 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
7. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 tentang
Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
yang merupakan delegasi Pasal 33 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
8. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Kelautan Indonesia, yang merupakan
delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
9. Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2015 tentang
Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke Indonesia,
yang tidak ditemukan dasar pengaturan dalam
peraturan yang lebih tinggi;
10. Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2016 tentang
Bebas Visa Kunjungan, yang merupakan merupakan
delegasi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945;
11. Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 Tentang
Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri
Perikanan Nasional, yang merupakan delegasi

110 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Industri Perikanan
Nasional; dan
12. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang
merupakan delegasi Pasal 5 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem
Pelatihan Kerja Nasional.

Sementara itu, dalam jenjang Peraturan Menteri,


terdapat 6 (enam) peraturan, yang jika dianalisis
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi menampakkan analisis sebagai berikut:
1. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pendaftaran usaha Pariwisata, yang
merupakan delegasi Pasal 15 ayat (2) UndangUndang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Menteri Pariwisata No 1 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Sertfikasi Usaha Pariwisata,
yang merupakan delegasi Pasal 22 ayat (2), Pasal 23
ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi
dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata;
3. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
Per.17/Men/2008 Tentang Kawasan Konservasi
Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, yang
merupakan delegasi Pasal 28 Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
4. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
Per. 20/Men/2008 Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau
dan Perairan di Sekitarnya, yang merupakan delegasi

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 111


Pasal 26 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau
Kecil;
5. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor
17/Permen-Kp/2013 Tentang Perizinan Reklamasi Di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan KP No 28/Permen-KP/2014, yang
merupakan delegasi Pasal 21 dan Pasal 28 Peraturan
Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan
6. Peraturan Menteri Pariwisata No 3 Tahun 2017
tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Bidang Pariwisata di Bidang Koordinasi Penanaman
Modal, yang merupakan delegasi Peraturan Menteri
Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi Penanaman
Modal dan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor
1 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Pariwisata Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Badan Koordinasi
Penanaman Modal.

Jika dicermati lebih lanjut, nampak bahwa dalam


rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan sebagian telah dapat
disusun dan diundangkan seperti:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional 2010-2025 merupakan delegasi dari Pasal 9

112 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional 2010-2025 merupakan delegasi dari Pasal 9
UU No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
3. Peraturan Presiden Nomor No 64 Tahun 2014 tentang
Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan
Kepariwisataan merupakan delegasi Pasal 35 UU
Kepariwisataan;
4. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2014 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Kepariwisataan
merupakan delegasi Pasal 23 ayat (4) UU No 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan; dan
5. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun
2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, yang
merupakan delegasi Pasal 15 ayat (2) UU No 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan;
6. Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 1 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata
yang merupakan delegasi dari Pasal 22 ayat (2), Pasal
23 ayat (2), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi
dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata.

Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang


Kepariwisataan sebagaimana tersebut diatas telah
sesuai dengan jenis, hierarki dan materi muatan
sebagaimana yang didelegasikan oleh peraturan
perundang-undangan diatasnya. Di samping itu terdapat
satu peraturan perundang-undangan yang belum
disusun yang merupakan amanat Undang-Undang
Kepariwisataan yaitu terkait Kawasan Pariwisata Khusus

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 113


yang diamanatkan untuk disusun Undang-undangnya,
namun sampai saat ini Undang-Undang tersebut
belum terbentuk. Selanjutnya, Ada 3 (tiga) peraturan
perundang-undangan yang tidak didelegasikan secara
tegas dan peraturan perundang-undangan yang disusun
untuk melaksanakan kekuasaan pemerintahan, yaitu
(1) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Kebijakan Kelautan Indonesia; (2) Peraturan Presiden
Nomor 105 Tahun 2015 tentang Kunjungan Kapal Wisata
(Yacht) Asing ke Indonesia; dan (3) Peraturan Presiden
Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa Kunjungan.
Mengingat Undang-Undang Nomor 10 Tahun
20009 tentang Kepariwisataan dan peraturan perundang-
undangan di bawahnya merupakan norma pangkal
dalam kebijakan terkait, maka penelitian ini mencoba
melakukan kajian dan analisis terhadap regulasi ini.
Undang-Undang ini meliputi 70 pasal dan seluruhnya
masih berlaku karena belum pernah perubahan,
pencabutan, dan pernyataan tidak berlaku mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun analisis yang dapat
disajikan adalah sebagai berikut:
1. Dalam Undang-Undang ini tidak ditemukannya
ketentuan yang dapat menyebabkan tidak
terjaminnya pemberian peluang kepada masyarakat
dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan
keputusan. Dengan kata lain, Undang-Undang belum
mengatur partisipasi masyarakat agar masyarakat
mudah memberikan informasi kepada pemerintah
tentang kepariwisataan; mendorong masyarakat
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan
kepariwisataan; mengembangkan pelembagaan
dan mekanisme pengambilan keputusan yang

114 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


memungkinkan kelompok atau organisasi masyarakat
dapat terlibat secara efektif. Bentuk partisipasi
ini mislanya keikutsertaan dalam penyusunan
peraturan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan sampai dengan evaluasi. Caranya
dengan musyawarah, konsultasi publik, kemitraan
atau penyampaian aspirasi melalui e-gov. Oleh karena
itu perlu ditambahkan ketentuan terkait Partisipasi
Masyarakat untuk mengisi kekosongan hukum;
2. Dalam Undang-Undang tidak diketemukan
ketentuan yang mendorong peningkatan
kemandirian bangsa dan adanya ketentuan yang
mendorong kesejahteraan bangsa. Dalam UU
kepariiwstaan ini , konsep komponen 4A ( Attraction,
Ammenity, Accesibility dan Anciliary) belum diatur
tersendiri meskipun dalam Ketentuan Umum
(lihat Pasal 1 angka 6) sudah disinggung, padahal
komponen tersebut harus ada dalam obyek untuk
pengembangan obyek pariwisata dikembangkan
juga di dunia. Memberikan arahan kepada Daerah
apabila ingin mengembangkan pariwisata harus
mengembangkan komponen 4A tersebut, dengan
berhasilnya pemerintah mengembangkan konsep 4A
tersebut akan menghasilkan kontribusi investasi yang
besar bagi pemerintah, sehingga pemerintah bisa
mandiri otomatis masyarakatnyapun akan sejahtera;
3. Pasal 2 berisi maksud dan tujuan. Sebagaimana
petunjuk No. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam petunjuk huruf c dikatakan bahwa
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan
tujuan seharusnya masuk dalam ketentuan umum

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 115


dan tidak dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab;
4. Pasal 3 berisi fungsi kepariwisataan. Penyebutan
fungsi kepariwisataan tidak diperlukan, karena tidak
akan operasional (tidak memiliki operator norma).
Fungsi dapat dituangkan dalam penjelasan umum
Undang-Undang, ketentuan umum atau dalam
Naskah Akademik;
5. Pasal 4 mengatur mengenai tujuan kepariwisataan.
Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum
dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat
diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk
penulisan norma tingkah laku yang memerlukan
operator norma agar dapat dioperasionalkan. Perlu
ditambahkan kata “harus” sebagai operator norma
tersebut. Sehingga norma ini memiliki konsekuensi
jika tidak tercapai tujuannya;
6. Pasal 5 UU kepariwisataan memuat prinsip
penyelenggaraan kepariwisataan. Prinsip prinsip
tersebut perlu ditambahkankan : (a) Prinsip
untuk memberikan kemudahan kepada para
pengusaha lokal dalam sekala kecil, dan menengah
(Program pendidikan yang berhubungan dengan
kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal
dan industri yang berkembang pada wilayah tersebut
harus mampu menampung para pekerja lokal
sebanyak mungkin); (b) Prinsip bahwa pembangunan
pariwisata harus mampu menjamin keberlanjutan,
memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini
dan tidak merugikan generasi yang akan dating
(Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata
berpotensi merusak lingkungan jika dihubungkan
dengan peningkatan jumlah wisatawan dan

116 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu
yang logis); (c) Prinsip adanya keterbukaan terhadap
penggunaan sumber daya seperti penggunaan air
bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan
sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak
disalah gunakan; dan (d) Prinsip adanya program
peningkatan sumberdaya manusia dalam bentuk
pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang
keahlian pariwisata sehingga dapat dipastikan bahwa
para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian
tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya
masingmasing sehingga program sertifikasi akan
menjadi pilihan yang tepat;
7. Pasal 6 mengatur asas-asas pembangunan
kepariwisataan. Penyebutan “pembangunan
kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ......”,tidak perlu
karena sebagaimana telah diuraikan diatas ketentuan
tentang asas, maksud dan tujuan tidak perlu di
masukan dalam pasal atau bab tersendiri. Ketentuan
asas seyogyanya tercermin dalam setiap perumusan
norma dalam Undang-Undang tersebut;
8. Pasal 13 ayat (4) mengatur perintah pembentukan
Undang-Undang Kawasan Pariwisata Khusus. Namun
dalam penjelasan hanya disebutkan kawasan strategis
yang memiliki kekhususan wilayah menjadi kawasan
pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-
undang sehingga tidak dirinci apa yang dimaksud
dengan kekhususan wilayah tersebut. Hal ini dapat
menimbulkan multi tafsir. Kata “ditetapkan “ kurang
tepat karena undang-undang sifatnya mengatur,
sehingga tidak memiliki kejelasan rumusan. Kalimat

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 117


yang tepat adalah kawasan pariwisata khusus diatur
dengan Undang-Undang;
9. Pasal 15 mengatur kewajiban pendaftaran usaha
pariwisata. Kewajiban mendaftarkan usaha pariwisata
apakah sama halnya dengan perizinan dan apakah
itu berlaku untuk semua jenis pariwisata termasuk
pariwisata bahari? Jika memang untuk semua jenis
pariwisata, bagaimana dengan izin lokasi dan izin
pengelolaan yang harus diperoleh bagi pengusaha
wisata bahari sebagaimana diatur dalam UU No 27
tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No
1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil? Demikian pula di dalam penjelasan
umum terkait Pasal 15 ayat (2) bahwa “Tata cara
pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Menteri
bersifat teknis dan administratif yang memenuhi
prinsip dalam penyelenggaran pelayanan publik yang
transparan meliputi, antara lain prosedur pelayanan
yang sederhana, persyaratan teknis dan administratif
yang mudah waktu penyelesaian yang cepat, lokasi
pelayanan yang mudah dijangkau, standar pelayanan
yang jelas, dan informasi pelayanan yang terbuka”.
Hal ini belum memberi kejelasan apakah pelayanan
pendaftaran tersebut dilakukan melalui pelayanan
terpadu satu pintu?;
10. Pasal 25-Pasal 26 menunjukkan tidak adanya akses
partisipasi masyarakat dan belum ada pengaturaan
terkait partisipasi masyarakat. Pasal 25 huruf a dan
Pasal 26 huruf a memuat kewajiban wisatawan
maupun pengusaha untuk menjaga dan menghormati
norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat setempat. Dalam

118 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


implementasinya sering terjadi konflik kepemilikan
lahan dalam untuk menjadi objek pariwisata,
khususnya terkait pariwisata bahari dimana sering
terjadi konflik kepemilikan lahan antara nelayan dan
pengusaha. Hal ini disebabkan karena seringkali
pengusaha tidak melibatkan masyarakat. Kewajiban
menghormati norma agama maupun adat istiadat dan
budaya yang ada di masyarakat belum sepenuhnya
menjadi perhatian pengusaha maupun pemerintah.
Partisipasi masyarakat penting agar masyarakat
mudah memberikan informasi kepada pemerintah
tentang kepariwisataan; mendorong masyarakat
untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan
kepariwisataan;
11. Pasal 36 menunjukkan adanya kelembagaan dan
kewenangan yang tumpang tindih. Keberadaan
Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) yang
berfungsi sebagai koordinator promosi pariwisata
saat ini dinilai tidak efektif karena fungsinya tumpang
tindih dengan organisasi kepariwisataan yang ada di
pusat dan daerah (Kemenpar dan dinas pariwisata di
daerah).Pembagian kewenangan dan tugas dalam
melakukan promosi pariwisata dengan lembaga/
organisasi kepariwisataan yang ada di pusat dan
daerah tidak jelas. Keberadaan BPPI malah semakin
membebani keuangan negara karena BPPI diberikan
bantuan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah,
padahal BPPI merupakan lembaga swasta dan
bersifat mandiri (Pasal 36 ayat 2);
12. Pasal 52-Pasal 53 belum mendorong optimalisasi

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 119


pengembangan sumber daya manusia. Pemerintah
dan Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan
sumber daya manusia. Dalam implementasinya
sumber daya manusia pariwisata yang diikutsertakan
pelatihan jumlahnya masih sedikit dibandingkan
dengan potensi pariwisata bahari yang ada di
Indonesia. Hal ini disebabkan biaya pelatihan di sektor
pariwisata yang sulit dijangkau apalagi jika pelatihan
yang diselenggarakan bersertifikat internasional;
13. Pasal 54 belum mendorong ada penegakan hukum
yang efektif. Belum efektifnya pengaturan terkait
sertifikasi usaha pariwisata bagi pengusaha pariwisata
(Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang No 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan jo Peraturan Pemerintah
No 52 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi
dan Sertifikasi Usaha Pariwisata) yang menyatakan
bahwa Pengusaha Pariwisata wajib memiliki Sertifikat
Usaha Pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan (Pasal 24 Peraturan Pemerintah
No 52 Tahun 2012), namun belum ada penegakan
hukum yang tegas bagi pengusaha yang tidak
memiliki sertifikasi usaha;
14. Pasal 62 mengatur sanksi bagi wisatawan. Setiap
wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi
berupa teguran lisan disertai dengan pemberitahuan
mengenai hal yang harus dipenuhi. Pasal ini tidak
sesuai dengan teknik penyusunan pembentukan
peraturan perundang-undangan. Dalam Lampiran
II Nomor 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, dikatakan bahwa substansi yang berupa
sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas

120 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi
administratif atau sanksi keperdataan;
15. Pasal 63 mengatur sanksi penguasaha pariwisata.
Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif. Dalam
Lampiran II Nomor 64 Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa
substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi
keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan
menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan. Kemudian jika norma yang memberikan
sanksi administratif atau keperdataan lebih dari satu
pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan
tersebut dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian
(pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanki
pidana, sanksi perdata, dan sanki administratif dalam
satu bab;
16. Pasal 64 mengatur sanksi pidana. Penegakan hukum
untuk sanksi pidana perlu merujuk pada hukum
materiil dan hukum formil dalam hukum pidana
(KUHP dan KUHAP). Dalam KUHP membedakan antara
aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum
untuk pelanggaran (antara lain dalam aturan atau
ketentuan tentang percobaan, concursus daluwarsa
dan sebagainya). Tidak ditetapkanya kualifikasi delik
apakah tindak pidana yang dimuat tersebut apakah
kejahatan ataukah pelanggaran telah menyebabkan
tidak dapat diberlakukannya beberapa aturan umum

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 121


dalam KUHP. Petunjuk No. 121 Lampiran II Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa
sehubungan adanya pembedaan antara tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran
dalam KUHP, maka rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbatan
yang diancam pidana, apakah kejahatan atau
pelanggaran. Oleh karena itu perlu ada penambahan
pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang
diancam pidana pada pasal 64 apakah pelanggaran
atau kejahatan. Dalam ketentuan Pasal 64 lamanya
pidana penjara bagi pelaku yang dengan sengaja dan
melawan hukum dengan pelaku karena kelalaiannya
sangat jauh bedanya sehingga kurang memenuhi
rasa keadilan. Oleh karena itu sesuai dengan petunjuk
No 114 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 menyatakan bahwa dalam menentukan lamanya
pidana atau banyaknya denda perlu di pertimbangkan
dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam
masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.

F. Praktik Penyelenggaraan Kebijakan


Kepariwisataan
1. Kota Surakarta
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang berada
di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Lokasi kota ini terbilang
sangat strategis, terletak pada pertemuan jalur dari
Semarang dan dari Yogyakarta menuju Surabaya dan
Bali. Seperti daerah yang lain, Kota Surakarta merupakan
daerah otonom yang berusaha untuk mengelola rumah
tangga daerahnya sendiri dengan segala potensi yang ada.

122 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Lahirnya undang-undang tentang pemerintahan
daerah memberi hak otonom bagi daerah untuk mengelola
dan memajukan daerah masing-masing dengan potensi
daerah yang ada. Potensi daerah yang dikelola menjadi
usaha pariwisata menjadi tawaran sebagai upaya untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.147
Kota Surakarta merupakan salah satu kota wisata
yang kaya akan potensi lokal. Salah satu keunikannya yakni
kota Surakarta merupakan bekas ibukota kerajaan, yang
kaya akan peninggalan sejarah kerajaan baik secara fisik
maupun perangkat pranata budaya.148 Hal tersebut yang
menjadikan daya tarik wisata kota Surakarta sekaligus
sebagai alasan pemilihan kota Surakarta dalam obyek
penelitian ini. Kota Pariwisata merupakan salah satu kota
dengan destinasi wisata yang menarik. Badan Promosi
pariwisata Kota Surakarta melakukan pemetaan potensi
wisata di Kota Surakarta. Berdasarkan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan (RIPKA) Kota Surakarta
tahun 2016-2026 Terdapat sedikit perbedaan antara peta
ruang lingkup wilayah dengan data dari Bappeda Kota
Surakarta. Data Bappeda menunjukkan pembangunan
dan pengembangan destinasi pariwisata terdisi dari 14
(empat belas) destinasi, yaitu:
1. Destinasi Pariwisata Keraton Surakarta Hadiningrat
dan sekitarnya;
2. Destinasi Pariwisata Pura Mangkunegaran dan

147
Praditya Budi Laksana, Riyanto, dan Abdullah Said, “Strategi Pemasaran
Pariwisata Kota Surakarta Melalui City Branding (Studi pada Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surakarta,” Jurnal Administrasi
Publik 3, no. 1 (2015): 73.
148
Amad Saeroji dan Deria Adi Wijaya, “Pemetaan Wisata Kuliner Khas
Kota Surakarta,” Jurnal Pariwisata Terapan 1, no. 1 (2017): 12.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 123


sekitarnya;
3. Destinasi Pariwisata Benteng Vastenburg dan
sekitarnya;
4. Destinasi Pariwisata Museum Radya Pustaka dan
sekitarnya;
5. Destinasi Pariwisata Wayang Orang Sriwedari dan
sekitarnya;
6. Destinasi Pariwisata Taman Sriwedari dan sekitarnya;
7. Destinasi Pariwisata Taman Balekambang dan
sekitarnya;
8. Destinasi Pariwisata Taman Satwa Taru Jurug dan
sekitarnya;
9. Destinasi Pariwisata Pasar Klewer dan sekitarnya;
10. Destinasi Pariwisata Pasar Gede dan sekitarnya;
11. Destinasi Pariwisata Pasar Antik Triwindu dan
sekitarnya;
12. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Laweyan dan
sekitarnya;
13. Destinasi Pariwisata Kampung Batik Kauman dan
sekitarnya;
14. Destinasi Pariwisata Kampung Situs Budaya Baluwarti
dan sekitarnya

Destinasi wisata di Surakarta menyebar di beberapa


daerah yang disebut sebagai kawasan strategis wisata
Kota. Kawasan strategis yang tersebar di beberapa titik
untuk pengembangan pariwisata daerah ini memiliki
andil besar dalam peningkatan pendapatan daerah.
Kawasan strategis inilah yang berpengaruh pula terhadap
perkembangan UMKM di Kota Surakarta. Dalam kajian
dari Bappeda mencatat setidaknya terdapat 8 (delapan)
kawasan strategis:

124 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


1. Kawasan strategis pariwisata Keraton Surakarta – Pasar
Gede yang meliputi Keraton Surakarta Hadiningrat –
Kampung Baluwarti – Alun-alun utara dan latan - Bank
Indonesia - Masjid Agung - Kampung Batik Kauman –
Pasar Klewer - Gedung Juang 45 - Beteng Vastenburg
- Masjid Gurawan – Kampung Pasar Kliwon -Kampung
Loji Wetan – Gladag - Koridor Jenderal Sudirman –
Tugu Pamandengan - Kreteg Gantung - Kampung
Balong - Pasar Gede.
2. Kawasan Strategis Pariwisata Sriwedari yang
meliputi Museum Radya Pustaka - Museum Ndalem
Wuryaningratan - Museum Keris - Loji Gandrung
Museum PON I Stadion Sriwedari - Jalan Bhayangkara-
Taman Sriwedari.
3. Kawasan Strategis Pariwisata Mangkunegaran yang
meliputi Pura Mangkunegaran - Masjid Al-Wustho -
Pasar Antik Triwindu – Koridor Ngarsopura - wisata
kuliner Keprabon – Ketelan - Kestalan.
4. Kawasan Strategis Pariwisata Balekambang yang
meliputi Stadion Manahan Taman Balekambang -
Pasar Burung dan Pasar Ikan Hias Depok.
5. Kawasan Strategis Pariwisata Kampung Batik Laweyan.
6. Kawasan Strategis Jurug yang meliputi Taman
Satwataru Jurug-Taman Ronggowarsito - Jembatan
Bengawan Solo - Sungai Bengawan Solo.
7. Kawasan Strategis Pariwisata Budaya dan Pendidikan
yang meliputi Taman Budaya Jawa Tengah - Universitas
Sebelas Maret-Institut Seni Indonesia – Solo Techno
Park.
8. Kawasan Strategis Kuliner.149

149
Ibid., 3.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 125


Kawasan wisata di atas diklasifikasikan berdasar
jarak yang berdekatan, sehingga memudahkan wisatawn
memilih alur perjalanan wisatanya. Perencanaan perjalanan
wisata merupakan hal penting dalam pariwisata. Dengan
perencanaan, dapat dipastikan soal tujuan, biaya
dan waktu. Ketidak tepatan dalam perencanaan akan
menyebabkan pemborosan biaya, waktu, tenaga bahkan
kegagalan perjalanan. Permasalahan alur perjalanan
wisata ini membutuhkan suatu gagasan berperspektif
teknologi tepat guna misal berupa website atau tool
cerdas yang dapat membantu wisatawan membuat
rencana perjalanan.150
Pada tahun 2017, Surakarta memiliki Perda No. 5
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.
Tujuan Peraturan Daerah ini yakni meningkatkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat Surakarta
sehingga dapat meningkatkan pula kesejahteraannya.
Kesejahteraan masyarakat meningkat karena terbukanya
lapangan pekerjaaan dari sektor wisata. Selain itu
dengan pengelolaan yang baik, dapat melestarikan alam,
lingkungan dan sumber daya. Wisata lokal juga dapat
memajukan kebudayaan daerah dan meningkatkan
rasa cinta tanah air.151 Ketentuan dalam perda ini tidak
bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya,
karena pada prinsipnya, “kemandirian daerah dalam
berotonomi tidak berarti daerah boleh membuat
peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi secara hierarki
150
Rosleini Ria Putri Zendrato, Adhie Tri Wahyusi, dan Bagus Ismail Adhi
Wicaksana, “Implementasi Semantic Trip Planning dalam Perancangan
Aplikasi Mobile Perencanaan Perjalanan Wisata di Wilayah Eks-
Karisidenan Surakarta,” Jurnal Techno 17, no. 1 (2016): 1.
151
Pasal 3

126 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


atau kepentingan umum.”152
Pada Pasal 9 Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017
diatur tentang bidang usaha pariwisata. Bidang usaha
yang diatur dalam pasal ini mengacu pada UU No.
10 tahun 2009. Untuk mengimplementasikan perda,
dibutuhkan suatu kebijakan agar Peraturan Daerah dapat
berjalan dengan optimal. Optimalisasi Perda berkorelasi
dengan terwujudnya pembangunan yang maksimal.
Pembangunan perlu dikawal oleh kebijakan yang
memberikan pedoman pelaksanaan berikut larangan-
larangan untuk memastikan proses pembangunan dapat
terarah, terpadu dan berjalan sesuai rencana-undang
sebelumnya (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990).
Letak perbedaannya, pada peraturan yang baru mengatur
pula tentang hiburan dan spa. Ketentuan ini di adopsi oleh
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2017.
Strategi pengembangan dan pemasaran pariwisata
merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dirumuskan
oleh pemerintah daerah Surakarta dengan tujuan
meningkatkan usaha pariwisata di kota Surakarta.
Pelaksanaan kebijakan tersebut mengacu pada norma
tertentu yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Norma yang dimaksud yakni Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
dan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Usaha Pariwisata.
Selain merumuskan strategi pengembangan,

152
Zulkarnain Umar, “Analisis Implementasi Kebjakan Standar Pelayanan
Minimal Untuk Peningkatan Kualitas Layanan Publik di Daerah,”
Jurnal Analisis dan Kebijakan Publik 3, no. 1 (2017): 6; Yusdiyanto,
“Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda
dan Peraturan Lainnya,” Jurnal Fiat Justisia Ilmu Hukum 6, no. 3
(2012): 7.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 127


Pemerintah Kota Surakarta juga merumuskan strategi
pemasaran destinasi wisata kota Surakarta. Terdapat
beberapa pilihan untuk strategi pemasaran destinasi
wisata Kota Surakarta. Pertama, Strategi Bundling153
Produk Pariwisata Koridor I. Dalam koridor ini mempunyai
beberapa destinasi wisata yang berkarakter kuat, misalnya
Benteng Vastenburg, Pasar Gedhe, Kampung Mbalong,
Alun Alun Utara, Pasar Klewer dan Keraton Surakarta.
Kawasan tersebut juga menjadi lokasi beberapa even
wisata yang mempunyai daya tarik sangat baik. Even
wisata, seperti SIPA, Apresiasi Musik Kebangsaan, Solo
Keroncong Festival, Gerebek Sudiro, Imlek, Sekatenan dan
Solo Great Sale. Strategi bundling produk direkomendasikan
adalah menggabungkan even wisata dengan destinasi
wisata yang menjadi lokasinya. Secara tidak sengaja,
hal ini sudah dilakukan hanya saja fokus penyelenggara
even wisata adalah pada penyelenggaran even wisata
dan belum memasarkan destinasi wisata yang menjadi
lokasinya. Bentuk penggabungan yang riil adalah dengan
menggunakan merek even wisata dan destinasi wisata
secara simultan, misalnya dengan menggunakan judul
even Vastenburg Solo International Performing Art, Pasar
Gedhe Imlek Festival dan sebagainya. Konsep bundling
produk lain adalah dengan menggabungkan destinasi
wisata, even wisata dan produk kuliner tertentu. Basis
utama produk adalah even wisata yang diselenggarakan
di destinasi wisata tertentu dengan daya tarik kuliner khas
Solo.
Kedua, Strategi fokus keunikan produk unggulan

153
Diskusi teoritis mengenai bundling lihat antara lain Wei-Jue Huang
dkk., “Bundling attractions for rural tourism development,” Journal of
Suistanable Tourim 24, no. 10 (2016): 1387–1402.

128 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


wisata.154 Strategi ini mengacu pada salah satu produk
unggulan yang menjadi ciri khas wisata kota Surakarta
yaitu keris. Strateginya adalah dengan menyusun paket
perjalanan menyusuri Koridor I dengan nama Solo Keris
Trail. Paket perjalanan pendek dengan berjalan kaki ini
dilakukan dengan asumsi Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta merealisasikan sidewalk (trotoar) yang ramah
pejalan kaki. Paket perjalanan pendek ini dilakukan
dengan mengunjungi destinasi wisata tertentu dengan
souvenir dan kuliner tertentu.
Ketiga, Strategi Komunikasi Pemasaran Destinasi
Wisata Kota Surakarta.155 Dinas Pariwisata dan Seni Budaya
Kota Surakarta bekerja sama dengan Dinas Perhubungan
Komunikasi dan Informatika sudah mengembangkan
aplikasi berbasis android yang berisi tentang informasi
destinasi wisata di Kota Surakarta, selain itu materi promosi
berupa leaflet, outdoor banner dan website sudah dibuat
dengan cara dan desain yang menarik. Dinas Pariwisata
Seni dan Budaya juga sudah melakukan kerjasama dengan
154
Perpektif teoritis mengenai strategi ini, lihat Rita R. Carballo dan
Carmelo J. León, “The influence of artistically recreated nature on
the image of tourist destinations: Lanzarote’s art, cultural and tourism
visitor centres and their links to sustainable tourism marketing,” Journal
of Sustainable Tourism 26, no. 2 (2018): 192–204; Chien-Min Chen,
Sheu Hua Chen, dan Hong Tau Lee, “The destination competitiveness
of Kinmen’s tourism industry: exploring the interrelationships between
tourist perceptions, service performance, customer satisfaction and
sustainable tourism,” Journal of Sustainable Tourism 19, no. 2 (2011):
247–64.
155
Penjelasan teoritis yang menarik soal ini, lihat Xavier Font dan Scott
McCabe, “Sustainability and marketing in tourism: its contexts,
paradoxes, approaches, challenges and potential,” Journal of Sustainable
Tourism 25, no. 7 (2017): 869–83; Alan Pomering, Gary Noble, dan
Lester W. Johnson, “Conceptualising a contemporary marketing mix for
sustainable tourism,” Journal of Sustainable Tourism 19, no. 8 (2011):
953–69.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 129


Angkasa Pura dan pengelola Bandara Internasional Adi
Soemarmo untuk memperluas cakupan komunikasi
pemasaran destinasi wisata Kota Surakarta.
Keempat, Strategi Efisiensi Biaya Paket Wisata
Backpacker Destinasi Wisata Kota Surakarta. Wisatawan
backpacker156 sering dipandang sebelah mata oleh
para penyedia jasa pariwisata karena dianggap mereka
termasuk kelas segmen ekonomis. Para penyedia jasa
pariwisata tidak menyadari bahwa wisatawan backpacker
mempunyai kekuatan besar sebagai pemberi referensi
bagi wisatawan lainnya. Hal ini dalam pemasaran lazim
disebut dengan word of mouth. Para backpacker ini
membagikan informasi tentang destinasi wisata yang
mereka kunjungi melalui media sosial berupa facebook,
instagram, path dan twitter. Mereka biasanya mempunyai
pengikut yang banyak. Hal ini seharusnya disadari oleh
para penyedia jasa pariwisata dengan menyediakan
paket wisata khusus bagi wisatawan backpacker dengan
biaya murah tetapi berharap pada efek word of mouth
dari kelompok wisatawan ini. Berkembangnya teknologi
dan informasi memaksa usaha pariwisata untuk terus
berinovasi agar tidak kalah bersaing. Terkait Kota Surakarta,
terdapat banyak penelitian mengenai pengembangan
kota pariwisata Surakarta dalam persepektif pemanfaatan
teknologi, misalnya aplikasi, web site, peningkatan sarana
prasana. Fasilitas dan sistem pelayanan merupakan sistem
penujang yang tidak dapat diabaikan. Jika tidak ada

156
Diskusi soal wisatawan jenis ini, lihat:Natalie Ooi dan Jennifer H.
Laing, “Backpacker tourism: sustainable and purposeful? Investigating
the overlap between backpacker tourism and volunteer tourism
motivations,” Journal of Sustainable Tourism 18, no. 2 (2010): 191–
206; Brendan Canavan, Journal of Sustainable Tourism 26, no. 4 (2018):
551–66.

130 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


fasilitas yang memenuhi pesyaratan, tidak ada pula obyek
yang dapat di operasionalkan oleh pelaku.

2. Kota Batu
a. Profil dan Program
Pertumbuhan ekonomi Kota Batu terbilang cukup
pesat terutama pada sektor pariwisata. Berkembangnya
sektor pariwisata di Kota Batu dibuktikan pada nilai
PDRB, dimana sektor yang memiliki nilai kontribusi
paling tinggi adalah sektor perdagangan, hotel dan
rumah makan dimana sektor tersebut berkaitan
erat dengan industri pariwisata.Kontribusi sektor
perdagangan, hotel, dan restoran yangmendominasi
yakni hampir mencapai 50% dari total PDRB Kota
Batu. Hal ini menandakan bahwa sektor pariwisata
merupakan sektor kunci dalam pembangunan Kota
Batu.Tingginya sektor perdagangan, hotel, dan
restoran pada PDRB Kota Batu mengindikasikan
bahwa pengeluaran wisatawan di Kota Batu cukup
besar. Kota Batu berhasil dalam menyediakan fasilitas
yang dibutuhkan oleh wisatawan. Namun, terdapat
permasalahan yaitu penurunan jumlah wisatawan
pada tahun 2009-2012 dengan rata-rata 13% tiap
tahunnya. Penurunan jumlah wisatawan tersebut
perlu mendapatkan perhatian khusus karena sebagai
indikasi kejenuhan wisatawan akan wisata di Kota Batu.
Penurunan jumlah wisatawan ini dapat mengakibatkan
menurunnya pendapatan daerah Kota Batu dan tentu
saja berdampak pada perekonomian Kota Batu. Apabila
tidak ada strategi perencanaan wisata Kota Batu,
dikhawatirkan perekonomian Kota Batu di masa datang
akan menurun. Selain itu, sebagai kota baru, pariwisata

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 131


Kota Batu dituntut untuk bersaing dengan wilayah lain
yang lebih dulu eksis yaitu Kota Malang dan Kabupaten
Malang dalam wilayah Malang Raya.
Kota Batu memiliki potensi alam yang menjadi
daya tarik utama sehingga menjadi tujuan untuk
tempat beristirahat.Karena keindahan alamnya maka
Kota Batu pada jaman kolonial Belanda mendapat
julukan “De Klein Switzerland” atau Swiss kecil di Pulau
Jawa. Namun, seiring perkembangannya, pada saat
ini daya tarik wisata di Kota Batu tidak hanya berbasis
pada alam tetapi juga buatan dan budaya. Kota Batu
memiliki 41 objek wisata berupa 14 objek wisata alam,
19 objek wisata buatan, dan 10 objek wisata budaya
yang tersebar di tiga kecamatan.
Berdasarkan potensi yang dimilikinya, maka visi
Kota Batu, ditetapkan sebagai sentra pertanian organik
berbasis kepariwisataan internasional. Potensi sektor
pertanian di Kota Batu telah mulai dikolaborasikan
dengan kegiatan sektor pariwisata yang diproyeksikan
menjadi salah satu andalan kegiatan penyumbang
perkembangan perekonomian daerah. Di Kota Batu
kolaborasi tersebut telah dikembangkan dalam
wujud seperti pengembangan agrowisata, kawasan
agropolitan, dan wisata hidup bersama masyarakat
(living with people). Menyadari adanya potensi-potensi
tersebut, pemerintah Kota Batu menetapkan rencana
pengembangan desa wisata dengan pilot projectnya
di Desa Punten. Meskipun sebelumnya, kepariwisataan
di Kota Batu lebih dikenal dengan keberadaan objek-
objek wisata yang berbasis pada alam, namun dalam
perkembangannya saat ini telah diperkaya dengan
kehadiran objek-objek wisata buatan yang jumlahnya

132 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


lebih banyak. Hal ini menyebabkan pengembangan
wisata alam menjadi kurang mendapat perhatian.
Kota Batu pun semakin mengukuhkan branding
sebagai Kota Wisata dengan menjadikan wisata
buatan sebagai wisata unggulan. Selecta, Jatim Park
I, Secret Zoo, dan Batu Night Spectaculer merupakan
objek wisata buatan yang ditetapkan sebagai wisatan
unggulan dalam RIPPDA Kota Batu. Sejak dibangun
dan dioperasikannya objek wisata buatan Jawa Timur
Park I hingga kehadiran objek wisata Predator Fun
Park sebagai wisata rekreatif dan edukatif, Kota Batu
semakin dikenal sebagai Kota Wisata andalan Provinsi
Jawa Timur. Sejak dibangunnya Jawa Timur Park I
pada tahun 2002, satu persatu objek wisata buatan
hadir dan menambah variasi khasanah objek wisata
buatan di Kota Batu seperti Batu Night Spectacular
(BNS), Batu Wonderland, Alun-alun Kota Batu, Balai
Benih Ikan Punten, Museum Satwa, Batu Secret Zoo,
Eco Green Park, Museum Angkut, dan yang terbaru
adalah Predator Fun Park. Selain itu, wisatawan yang
berkunjung ke Kota Batu didominasi oleh wisatawan
domestik sehingga wisata buatan dirasa sesuai dengan
minat wisatawan. Meskipun jumlah objek wisata buatan
di Kota Batu terus bertambah, namun juga menyimpan
sejumlah masalah, diantaranya adanya kecenderungan
wisatawan yang sudah pernah mengunjunginya kecil
kemungkinannya untuk berkunjung lagi sampai batas
waktu tertentu.

b. Pengembangan dan Kebijakan


Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah
Kota Batu Tahun 2010-2020 dan Peraturan Daerah Kota

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 133


Batu Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Batu 2010-2030, yaitu meningkatkan
posisi dan peran Kota Batu dari kota wisata menjadi
sentra wisata yang diperhitungkan di tingkat regional
atau bahkan nasional, dengan melakukan penambahan
ragam objek dan atraksi wisata, yang didukung oleh
sarana dan prasarana, serta unsur penunjang wisata
yang memadai dengan sebaran yang relatif merata
di wilayah Kota Batu guna memperluas lapangan
pekerjaan dalam rangka mengatasi pengangguran dan
meningkatkan pendapatan warga maupun PAD Kota
Batu yang berbasis pariwisata.
Dalam perkembangannya, kegiatan pariwisata
juga tidak lepas dari peran serta swasta dan juga
masyarakat. Peranan swasta yang terlibat dalam
pengembangan wisata besar sekali pengaruhnya,
seperti dalam pembangunan hotel, rumah makan,
panti pijat dan pengadaan biro perjalanan wisata
dan lain-lain. Pihak swasta yang ikut membantu
perkembangan pariwisata Kota Batu di antaranya adalah
Jawa Timur Park Group. Jawa Timur Park Group yang
didirikan oleh Paul Sastro asal Malang ini, merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang industri
pariwisata terbesar di Jawa Timur dan Pulau Jawa
dan banyak anak perusahaan tersebar khususnya di
wilayah Jawa Timur. Anak perusahaanya yang terletak
di Kota Batu di antaranya Jawa Timur Park 1, Jawa
Timur Park 2, Batu Night Spectaculer, Hotel Pohon Inn,
Pondok Jatim Park dan Eco Green Park. Alasan memilih
Kota Batu sebagai pembangunan wisata dari Jawa
Timur Park Group adalah keindahan Kota Batu dan
faktor lingkungan yang mendukung. Dengan adanya

134 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


investor tersebut secara tidak langsung membantu
pembangunan Kota Batu dalam hal perekonomian.
Mereka adalah pihak swasta yang ikut membantu
perkembangan pariwisata Kota Batu. Keberadaan
swasta dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat Kota Batu. Tingkat pengangguran di Kota
Batu pada tahun 2013 menurun menjadi 3.404 orang
atau 2,32 persen dibandingkan tahun 2012 kurang
lebih 6.000 orang atau 4,34 persen.
Swasta mendirikan fasilitas pendukung objek
wisata sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Batu
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan. Hal tersebut sejalan dengan visi
Kota Batu, yaitu Kota Batu sebagai Kota Wisata dan
Agropolitan di Jawa Timur. Kota Batu memiliki potensi
pariwisata yang besar, baik wisata alam, buatan,
maupun budaya yang ditunjang dengan adanya
fasilitas pendukung, berupa hotel dan perdagangan
souvenir atau cinderamata.
Pemerintah Kota Batu serius garap tiga Desa
Wisata di tahun 2018. Desa Pandanrejo, Desa Sidomulyo,
dan Desa Sumberejo adalah tiga desa yang akan dikaji
terkait potensi wisata untuk dikembangkan. Bukan
hanya dikembangkan, tiga desa ini juga diarahkan
Dinas Pemerintah Kota Batu untuk mampu mengelola
wisata dan tidak bergantung pada pemerintah. Semisal
Desa Sidomulyo dengan wisata petik apel dan petik
bunga. Usulan ini sebenarnya baru diprogramkan
di tahun 2018 ini, hal ini berkaitan dengan target
wisatawan di tahun 2018 yaitu 5 juta pengunjung. Di
tahun 2017 sendiri jumlah wisatawan yang datang ke
Kota Batu telah melewati target, yiatu mencapai 4,2
juta pengunjung.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 135


Kekayaan etnis dan budaya yang dimiliki Kota
Malang berpengaruh terhadap kesenian tradisional
yang ada. Salah satunya yang terkenal adalah Wayang
Topeng Malangan (Topeng Malang). Gaya kesenian ini
adalah wujud pertemuan tiga budaya (Jawa Tengahan,
Madura, dan Tengger). Hal ini terjadi karena Malang
memiliki tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur budaya
Jawa Tengahan yang hidup di lereng gunung Kawi,
sub-kultur Madura di lereng gunung Arjuna, dan sub-
kultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng gunung
Bromo-Semeru. Etnik masyarakat Malang terkenal
religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas dan bangga
dengan identitasnya.
Selain Tari Topeng juga berkembang seni
Tari Bantengan. Kesenian ini berkembang pesat
sejak tahun 1960an ketika jaman Orde Lama. Setiap
perayaan atau pawai hari ulang tahun kemerdekaan
negara kita senantiasa ditampilkan bersama dengan
Tari Liang Liong. Namun seiring kemunduran
perekonomian setelah masa itu, seni Tari Bantengan
mengalami kemunduran. Lima belas tahun terakhir,
seni Tari Bantengan mulai muncul kembali bahkan
mulai menjamur. Hampir setiap kecamatan di
wilayah Kabupaten dan Kota Malang, rata-rata ada
3-5 perkumpulan seni tari Bantengan. Terutama di
sekitar Kecamatan Tumpang, Poncokusumo, serta
Kota Batu. Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui
bahwa seni Tari Bantengan merupakan seni tari yang
berasal dari wilayah itu. Namun kebenarannya masih
diragukan, pengakuan Kota Batu menjadi kontroversi
di antara masyarakat pecinta seni serta para seniman
tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota Batu tersebut

136 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan berkembang
di seluruh wilayah Malang. Selain Tari Topeng dan Tari
Bantengan, di Malang juga terdapat kesenian kuda
lumping dan campursari. Dua kesenian ini mungkin
sudah dikenal diberbagai wilayah di Indonesia. ota Batu
yang telah menegaskan diri sebagai Kota Wisata harus
mempunyai tawaran lebih. Artinya, tidak hanya tawaran
obyek wisata keluarga dalam bentuk wahana-wahana
hiburan. Tidak juga hanya mengandalkan pesona alam
dalam bentuk wana wisata atau agrowisata petik buah.
Namun, segala potensi wisata yang menjadi daya tarik
wisata harus digarap demi sebesar-besarnya hajat
hidup masyarakat.

3. Provinsi Bali
a. Profil wisata provinsi Bali
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang wilayahnya tidak lebih dari 5.634,40 km² atau
5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529
km. Komposisi pulau terdiri dari satu pulau utama dan
beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti pulau
Menjangan (ujung timur) di kabupaten Jembrana, di
sebelah selatan Pulau Serangan (telah direklamasi) di
Kota Denpasar, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa
Ceningan, dan disebelah tenggara terdapat pulau
yang paling besar adalah Pulau Nusa Penida masuk
wilayah Kabupaten Klungkung. Wilayah terluas dimiliki
Kabupaten Buleleng seluas 1.365,88 km² atau hampir
setengah luas pulau Bali dari ujung timur sampai ke
ujung barat pulau Bali. Kabupaten atau pemerintahan
kota terkecil adalah Pemerintah Kota Denpasar seluas
123,98 km² sebagai Ibu Kota Pemerintah Provinsi Bali.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 137


Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan memiliki
luas yang hampir sama, hanya saja sebagian besar
Kabupaten Jembrana terdiri dari Hutan Taman Nasional
Bali Barat (TNBB). Untuk fungsi lahan kedua kabupaten
ini memiliki fungsi yang serupa yaitu lahan pertanian
dan perkebunan, bahkan Kabupaten Tabanan dikenal
sebagai lumbung beras Pulau Bali. Tidak jauh berbeda
dengan Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan,
Kabupaten Klungkung, Bangli dan Karangasem
memiliki kesamaan fungsi lahan, yaitu pertanian dan
perkebunan. Meskipun keseluruhan kabupaten/kota
di Bali bersentuhan dengan sektor pariwisata hanya
Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung yang
sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai basis
perekonomiannya, disamping sektor pertanian dan
perkebunan.
Pulau Bali sangat kaya akan keindahan alam dengan
budaya dan adat istiadat, masyarakat Bali dengan
budaya agrarisnya kental dengan kehidupan sosial yang
harmoni karena hubungan yang serasi antara manusia
dan alam, Tuhan, dan sesamanya. Konsep industri
pariwisata mengedepankan nilai-nilai pemenuhan
barang dan jasa beserta layanan secara profesional
dan proposional. Industri pariwisata di Bali selain
mendahulukan nilai-nilai kapitalis juga memberikan
nuansa sentuhan-sentuhan budaya di dalam setia
atraksinya. Konsep pariwisata yang diagung-agungkan
di Bali sebagai pariwisata dunia atau pariwisata global,
yang mana lebih mengedepankan nilai-nilai ekonomi
liberal persaingan bebas, dan persaingan modal antar
korporasi.
Desa Bali yang semula sebagian besar

138 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


masyarakatnya hidup di sektor pertanian dan berpegang
kuat pada adat yang diwariskan dari generasi ke
generasi tanpa banyak perubahan tradisi masyarakat
pedesaan, kini cenderungmakin individualistik di
dalam keanekaragaman profesi nonagraris dan lebih
erat dalam kaitannya sektor jasa. Peran adatpun
biasanya hanya menonjol pada kegiatan seremonial
atau upacara yang tidak memiliki kekuatan untuk
mengontrol perilaku masyarakat perkotaan. Budaya
hedonisme telah merasuki generasi muda dalam sikap
dan perilaku keseharian. Hal ini tercermin dalam cara
pandang, cara sikap, dan perilaku sosial keseharian.
Keengganan generasi muda dalam menggunakan
bahasa ibu (bahasa Bali) serta gaya berpakaian yang
terkesan mengikuti pola gaya westernisasi merupakan
salah satu indikatorperubahan yang terjadi di generasi
muda.
Indentitas dan kekhasan masing-masing desa
semakin lama semakin pudar. Desa dan Kota yang semula
hidup dengan segala perbedaan atau kebhinekaannya
dalam struktur dan stratifikasi masyarakat yang
awalnya desa dikenal cenderung homogen dan
masyarakat kota cenderung heterogen, kini secara
administratif dan birokratis, cenderung makin seragam
karena campur tangan negara. Kehadiran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa yang menghendaki kesamaan dalam bentuk
dan susunan pemerintahan desa di seluruh Indonesia
adalah pemicu pertama kali dimulainya penyeragaman
kegiatan pembangunan di pedesaan secara nasional.
Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupan
bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh,

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 139


kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan
kepentingan kelompok dan individu sebagai warga
masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang
lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis
dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan
masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar
warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara
musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada
asas kepatutan melalui lembaga-lembaga desa adat
(sangkepan/hasil atau sidang rapat desa). penyelesaian
perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum
sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan
masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang
rukun dan damai (harmonis). Suasana kehidupan
harmonis, pada masyarakat tradisional yang tersebut,
kini tampaknya telah berubah karena pengaruh
modernisasi, industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah
masyarakat mengalami proses globalisasi. Kehidupan
nonagraris dan globalisasi tersebut telah mengubah
masyarakt homogen menjadi masyarakat majemuk
(plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan
yang heterogen dengan bermacam kepentingan.
Di Bali pada umumnya, proses globalisasi telah
dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia
lainnya mengalami hal tersebut. Salah satu penyebab
terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah
ini adalah karena perkembangan pariwisata yang
telah berlangsung sejak lama. Suasana demikian,
mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang
antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan
dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat
juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan

140 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan
kehidupan dunia modern. Kelompok-kelompok sosial
baru tersebut umumnya menganut nilai dan norma
serta kebiasaan yan berbeda dengan nilai, norma, serta
kebiasaan masyarakat tradisional. Kelompok-kelompok
tersebut, juga mempunyai kepentingan yang berbeda-
beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana
demikian, masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai
suatu kesatuan yang utuh melainkan terdiri dari
bagian-bagian dan justru bagian-bagian inilah yang
lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruhan.
Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya
pengikat dalam masyarakat digantikan oleh ikatan
solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan
dalam kelompok dan kepentingan kelompok masing-
masing lebih diutamakan dibandingkan masyarakat
secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat
dalam pergaulan antar antar sesamapun tampak
mengalami pergeseran dari nilai kebersamaan ke nilai
individual dan komersial. Kondisi demikian memberi
peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik.
Banyak hal yang muncul sbagai sumber konflik dewasa
ini antara lain: tanah, status sosial (prestige), jabatan
dan peluang kerja, penguasaan aset-aset ekonomi dan
lain sebagainya. Sumber konflik yang paling menonjol
dewasa ini adalah, perbatasan wilayah, tanah, baik
tanah milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik
desa adat dan tak terkecuali tanah untuk penguburan.
Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali,
termasuk masyarakat pedesaan ke dalam pergaulan
luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah
menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat,

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 141


termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam
menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi
tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai
orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan
bertindak, keefektifan awig-awig (norma atau aturan
adat) sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusan-
keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik
di masyarakat yang dahulu umunya ditaati kini tidak
jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan
bagi sebagian kelompok masyarakat.
Sekarang sedang terjadi kemunduran tradisi,
norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan
yang telah mapan pada taraf yang cukup fenomenal.
Manusia mengalami perkembangan menakjubkan
dalam bidang material, tetapi bersamaan dengan itu
juga mengalami perkembangan yang terbatas dalam
bidang moral. Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat
dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah
menjadi kekuatan penting yang memaksa penyesuaian
nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Malahan
masyarakat global dewasa ini tengah menuju ke arah
sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan
yang semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai
kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan
maupun agama.

b. Kearifan Lokal Bali


Dalam perkembangannya kapitalisme pariwisata tidak
mementingkan nilai, makna dan fungsi pertunjukan
tarian di hadapan para wisatawan. Tarian hanyalah
sebuah atraksi seni atas keindahan dan nilai estetika,
seperti layaknya konsep pembangunan pariwisata

142 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


berkelanjutan maka pariwisata juga memiliki dua
muka yang menyatu, seperti memiliki dua arah yaitu
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dalam falsafah
masyarakat Bali dikenal yaitu Rhua Bhineda (Dua yang
berbeda). Jika pariwisata dikelola dengan baik dan
berkelanjutan maka akan menghasilkan manfaat
optimal bagi rakyat lokal, paling tidak bagi masyarakat
adat sekitarnya maupun pelaku pariwisata lainnya. Jika
dikelola dengan serampangan dan tidak terorganisir
secara rapi, maka masyarakat lokal dan adat hanya
mendapatkan ekses-ekses negatif, perubahan nilai-
nilai sosial budaya yang destruktif. Kerusakan ataupun
penurunan moral atas imbas pariwisata terhadap
masyarakat lokal (adat) akan susah dikembalikan. Inilah
yang disebut dengan taksu atau nilai magis pariwisata
budaya yang menghasilkan atraksi-atraksi pertunjukan
seni dan budaya dipandu latar keindahan alam Bali.
Seyogianya pariwisata budaya yang berkelanjutan
mempertahankan aspek-aspek local geneus atau
kearifan lokal sebagai roh terhadap daya tarik pariwisata
itu sendiri. Pariwisata budaya bukan hanya dilihat hal
atau pertunjukan yang tampak pada kasat mata saja.
Namun lebih pada pertimbangan kenapa nilai-nilai
kearifan lokal menjiwai pelaksanaan sikap dan perilaku
masyarakat dalam kaitannya dalam interaksi sosial
kesehariannya.
Setiap nilai-nilai kearifan lokal memiliki makna
terhadap sebab musabab kejadian atau momentum
kenapa hal ikhwal itu dilaksanakan. Misalnya
kehidupan pertanian masyarakat Bali mengajarkan
konsep, keseimbangan dan kesucian terhadap alam
yang terdiri dari unsur tanah, air, udara, matahari dan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 143


nikroorganisme. Hal ini merupakan salah satu konsep
Tri Hita Karana karena terdapat menjaga keseimbangan
alam harus serasi, selaras, dan berkesinambungan dari
generasi ke generasi berikutnya. Keseimbangan dalam
interaksi sosial terhadap pemilik lahan pertanian antara
satu petani dengan petani lainnya dilakukan dengan
sistem subak. Subak merupakan bagian dari kearifan
lokal masyarakat Bali untuk menjaga pendistribusian air
antara satu lahan dengan lahan lainnya secara adil dan
dan merata. Konsepsi pekerjaan bertani merupakan
Yadnya yaitu kepatuhan atau kewajiban manusia
bekerja dan mengolah alam sekaligus menjaga alam
ini sebagai titipan Tuhan.
Yadnya melalui upacara keagamaan terkadang
dirusak oleh unsur gengsi dan kehormatan. Banyak
upacara keagamaan dilakukan dengan menjual aset
ekonomi atau warisan dari para leluhurnya. Demi rasa
gengsi dan ingin dipandang terhormat di dalam tatanan
masyarakat sebuah keluarga terkadang menanggung
utang atau kehilangan aset untuk bekerja. Yadnya
merupakan upacara keagamaan yang sebagian orang
Bali dikatakan sebagai beban misalnya upacaara
Ngaben atau pembakaran mayat, di dalam upacara
Ngaben dapat menghabiskan untuk pelaksanaan
kegiatan tersebut hingga puluhan juta hingga ratusan
juta bahkan miliaran rupiah. Pada akhirnya masyarakat
mencari dan membuat konsensus bersama atas konsep
Yadnya ini. Ngaben lazimnya pada saat ini bilamana
tidak mampu dilakukan oleh sebuah keluarga sendiri
maka akan dikoordinir desa adar dengan sistem
Ngaben massal. Secara waktu, energi, dan pembiayaan
tentunya lebih murah dan terasa ringan bagi semuanya.

144 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Konsepsi dharma atau Yadnya yang didasari
oleh falsafah kerja adalah karunia Tuhan oleh karena
itu pendapatan yang diperoleh adalah milik Tuhan.
Manusia hanya memanfaatkannya sebatas yang dia
butuhkan. Selebihnya adalah milik Tuhan yang harus
dibagikan kembali ke masyarakat dalam bentuk
Yadnya. Berbagai bentuk Yadnya itu meliputi pertama,
Manusa Yadnya (Yadnya untuk kemanusiaan, aktivitas
atau kegiatan sosail yang terjadi di dalam dinamika
desa adat). Kedua, dewa Yadnya merupakan kegiatan-
kegiatan spiritual ataupun upacara keagamaan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, Bhuta
Yadnya yakni, Yadnya untuk upacara keagamaan yang
bersifat Bhuta dalam rangka keseimbangan dengan
kekuatan negatif yang ada di alam ini. Keempat, Pitra
Yadnya merupakan Yadnya untuk para leluhur dengan
segala dimensinya sebagai rasa hormat terhadap apa
yang telah dirintis dan diberikan kepada generasi
penerusnya. Kelima, Resi Yadnya merupakan Yadnya
kepada para pemimpin keagamaan.
Filosofi Tri Hita Karana merupakan filosofi yang
paling hakiki dari kehidupan komunal masyarakat
Bali, yang paling dihayati dan diimplementasikan
dalam usaha dan kegiatan pariwisata. Masyarakat Bali
merupakan masyarakat komunal yang semua aspek
kehidupan diwarnai dan dijiwai dengan konsep Tri Hita
Karana menekankan pada keserasian dan keseimbangan
konsep manusia terhadap alam, manusia terhadap
sesamanya, manusia terhadao Tuhannya. Cerminan
dari filosofi ini terlihat ketika mereka (masyarakat adat
Bali) dengan memberikan sesaji untuk keselamatan
dan kelancaran dalam melakukan pekerjaan.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 145


c. Desa Pakraman
1) Selayang pandang Desa Pakraman
Dalam masyarakat tradisional di Bali desa
adat terhimpun dalam wadah yang disebut
Desa Pakraman misalnya, menurut Sukarma
pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran
epsitemologi sosial yaitu dari ‘yang baik adalah
yang benar’ ke ‘yang benar adalah yang baik’.
Masyarakat tradisional beranggapan, ‘apa yang
baik menurut mereka’, ‘itulah yang benar bagi
mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului
kebaikan). Sebaliknya masyarakat modern
beranggapan, ‘apa yang benar menurut mereka’,
‘itulah yang baik bagi mereka’ (kebaikan tidak
dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran
adalah akal dan rasio sehingga yang benar adalah
yang masuk akal, dan/atau yang logis. Sebaliknya,
yang tidak masuk akal, tidak logis, dan irasional
adalah yang salah. Artinya masyarakat modern
lebih mengedepankan rasionalitas daripada
moralitas, sedangkan masyarakat tradisional lebih
mengutamakan moralitas daripada rasionalitas.
Walaupun ini buka soal pilihan, tetapi dapat
diduga di antara rasionalitas dan moralitas ini Desa
Pakraman mengalami anomali dan kebingungan
berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas
mengakibatkan ketersesatan moralitas sehingga
Desa Pakraman mengalami kesulitan mewujudkan
sukerta tata parhyangan , pawongan, dan
palemahan.
Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam

146 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun
2001 setidak-tidaknya dibentuk oleh beberapa
unsur pokok, yaitu kesatuan masyarakat hukum
adat, mempunyai satu-kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup menurut Hindu, ikatan
Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa), mempunyai
wilayah dan harta kekayaan sendiri, dan berhak
mengurus rumah tangganya sendiri. Di dalam
unsur ini hendak menegaskan bahwa sistem
sosial masyarakat adat Bali bercorak Hindu dan
ini menjadi semacam indentitas Desa Pakraman.
Aktivitas sosial-religius masyarakat adat yang
dijiwai oleh agama Hindu dimanifestasikan dalam
bentuk pemujaan kepada Ida Shang Hyang Widhi
melalui Kahyangan Tiga. Demikian juga substansi
awig-awig Desa Pakraman dijiwai oleh agama
Hindu, yaitu penjabaran dari falsafah Tri Hita
Karana. Parhyangan mengatur kegiatan manusia
melakukan hubungan dengan Tuhan, pawongan
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
dalam kegiatan sosial, dan palemahan berupa
perwujudan hubungan manusia dengan alam
yang menjadi tempat permukiman dan sumber
kehidupan masyarakat.
Ini berarti Desa Pakraman merupakan satu
kesatuan harmonis dari tiga gatra, yaitu krama
desa sebagai gatra pawongan membutuhkan
ruang untuk melaksanakan aktivitasnya, berupa
kewajiban hidup di wilayah Desa Pakraman,
yaitu gatra palemahan. Selain kesejahteraan juga
manusia memiliki kerinduan religius sehingga
memerlukan hubungan khusus denganTuhan, yaitu

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 147


gatra parhyangan. Kenyataannya, manusia adalah
bagian dari alam yang berpartisipasi membentuk
watak alam dan sebaliknya, juga alam turut serta
membangun karakter manusia. Demikian juga
untuk melangsungkan kehidupannya, manusia
tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan
alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial
tempat tempat menjalankan kehidupan sosial.
Dengan demikian, manusi amemengaruhi, bahkan
mengubah lingkungannya, karena itu antara
krama desa dan lingkungan desanya terdapat satu
jalinan saling memengaruhi. Krama desa sebagai
makhluk sosila membutuhkan jalinan komunikasi
harmonis untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan bersama dalam suasana aman dan
nyaman.
Bali sebagai pulau yang mana di setiap tempat,
memiliki budaya dan alam saling berpautan erat,
tempat tinggal sebuha masyarakat mapan dan
harmonis secara berkala digairahkan ritus-ritus
mempesona. Alamnya menyajikan keindahan
Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset
dewata nawa sanga yang menggetarkan rasa-
agama-budhi. Budaya Bali yang diwarnai pernak-
pernik upacara Yadnya menawarkan keramahan
orang Bali khas bhakti dalam tatanan dan tuntutan
santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-
acara. Perpaduan harmonis antara kelimpahan
upacara keagamaan, kesenian, dan pemandangan
hijau menggambarkan cari khas kebudayaan Bali.
Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali
menurut Mead dan Bateson (Picard, 2006) patut

148 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dilihat sebagai gejala yang harus dibahas dalam
kerangka psikologis-kulturalis. Dalam pandangan
mereka bahwa kebudayaan Bali menjadi semacam
sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang
menimbulkan sejenis skizofrenia-kultural. Dalam
setiap ucapan dan tindakan masyarakat pastinya
memiliki makna dan fungsi dalam setiap pemujaan
terhadap dewa dan para roh leluhur.
Ini sebabnya dalam komunitas adat, seperti
Desa Pakraman bahwa bagian masa lalu dan simbol
merupakan sarana untuk menangani ruang dan
waktu dengan memasukkan segala pengalaman
dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dama
masa depan distrukturkan oleh praktik-praktik
sossial yang sedang berlangsung. Agama sebagai
inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi
norma dalam dunia sosial, karena itu kekuasaan
Tri Murti yang secaera teologis dipahami sebagai
konsepsi kehadiran, sedangkan secara kontekstual
menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi, dan
restrukturisasi tatana nilai dalam kosmologi adat.
Menurut tindakan ini bukan rangkaian
kumpulan interaksi dan nalar, tetapi konsistensi
monitoring perilaku dan konteksnya yang
ditujukan pada keteraturan dan keseimbangan
sosial. Oleh karena itu, Sukarma (Sarad No. 109
Mei 2009) menegaskan bahwa tatanan nilai dalam
komunitas adat selalu dalam proses perubahan
sehingga tradisi tidak sepenuhnya statis. Artinya,
generasi baru harus menemukan ulang tradisinya
ketika mengambil alih warisan budaya dari
pendahulunya karena pewarisan nilai dalam suatu

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 149


komunitas tidak dimungkinkan tanpa proses
pembelajaran. Pengalaman belajar inilah upaya
merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan
agar Desa Pakraman senantiasa selaras dengan
nilai-nilai Hindu.
Istilah Desa Pakraman mulai dipergunakan
sejak dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Sebelumnya, lebih dikenal dengan desa adat
sesuai Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986
tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa
Adar sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Wayan
Surpha menyebut, sebagai desa dresta, desa adat
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di
Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu
kesatuian tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun-temurun
dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa)
yang mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan
sendiri, dan berhak mengurus rumah tangganya
sendiri.
Desa adat menampakkan dirinya sebagai
suatu organisasi kemasyarakatan dan sekaligus
merupakan suatu organisasi pemerintahan yang
berdiri sendiri di bawah kecamatan dan kota/
kabupaten di Bali. Desa adat adalah desa yang
otonom sehingga mempunyai kewenangan untuk
mengurus dan menyelenggarakan kehidupan
rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan
lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat sosial
religius dan sosila kemasyarakatan. Desa adat

150 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


memiliki struktur kepengurusan yang pada
umunya disebut dulu atau padulan dan berfungsi
untuk membantu tercapainya kepentingan para
anggotanya secara maksimal, terutama sekali
menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia
(terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa
aman dan nyaman).
Desa adat secara yuridis mendapat
pengyoman dan landasan hukum yang kuat
bukan saja dari Pancasila dan Pasal 18 UUD 1945
tetapi juga dari Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan negara berdasarkan
Ketuhana Yang Maka Esa dan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agama masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayannya itu. Tempat
pelembagaan ajaran-ajaran agama Hindu dalam
adat istiadatnya inilah yang disebut desa adat.
Dalam perkembangannya desa Bali
mengandung dua fungsi, dinas dan adat untuk
membedakannya dengan desa dinas yang diberi
tugas-tugas khusus dalam bidang pemerintahan
umum oleh penguasa yang berwenang sejak zaman
pemerintahan Belanda, pemerintahan militer
Jepang, sampai pemerintahan Republik Indonesia.
Sedangkan desa adar lebih banyak menekankan
urusan upacara keagamaan, seremoni ritual yang
bersifat religiusitas, persembahyangan desa. pada
proses selanjutnya setelah terjadi perubahan dan
tata sikap warga desa adat maka akhirnya muncul
perbaikan pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun
1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranana

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 151


Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman sehingga pada tahun 2001 diganti menjadi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman.
Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adata Mengenai kesatuan masyarakat
hukum adat, Van Hollenhoven menjelaskan untuk
mengetahui hukum, maka yang perlu diselidiki
adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah
mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan
hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum
dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara Soepomo mengemukakan
penguraian tentang badan-badan persekutuan itu
harus tidak didasarkan atau sesuatu yang dogmatik,
melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang
nyata dari masyarakat yang bersangkutan. Dari
pendapat-pendapat ini memperlihatkan bahwa
masyarakat yang mengembangkan hukum adat
ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts
Gemeenschapen).
Persekutaun hukum atau masyarakat hukum
ini didefinisikan sebagai orang-orang yang terikat
sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang
teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu,
kesatuan ini bersifat abadi, memiliki pimpinan,
serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud. Persekutuan-
persekutuan hukum di Indonesia awalnya menurut
Soepomo dapat dibagi menjadi dua golongan

152 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan
pertalian suatu keturunan (genealogi) dan
berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).
Soepomo menambahkan lagi susunan
yang didasarkan atas genealogi-teritorial.
Desa Pakraman yang ada di Bali, berdasarkan
persyaratan sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat sudah memenuhi unsur-unsurnya. Desa
Pakraman memiliki anggota kelompok yang
terdiri dari orang-orang yang terikat sebagai suatu
kesatuan dalam susunan yang teratur, Anggota
kelompok disebut krama, pengurus kelompok
disebut prajuru.
Dengan demikian, Desa Pakraman menempati
suatu wilayah tertentu yang disebut wewidangan
dengan batas-batas wilayah yang sudah mereka
tentukan. Kesatuan yang dibuat ini bersifat abadi
dan mereka memiliki aturan yang tertuang dalam
awig-awig (aturan) Desa Pakraman. Desa Pakraman
juga memiliki kekayaan sendiri, yang disebut
catu atau pelaba. Berdasar dasar susunannya,
Desa Pakraman merupakan kesatuan masyarakat
hukum adat yang berdasarkan lingkungan daerah
(teritorial). Menuru Soepomo, “orang-orang yang
bersama bertempat tinggal di suatu desa(di
Jawa dan Bali) atau di suatu marga (Palembang)
merupakan suatu golongan yang mempunyai tata
susunan ke dalam dan bertindak sebagai kesatuan
terhadap dunia luar.
Jika ditelaah lebih dalam lagi, Desa
Pakraman memiliki kelompok-kelompok kecil
yang berdasarkan pertalian suatu keturunan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 153


(genealogis). Mereka membentuk kelompok yang
disebut dadia. Ada juga kelompok-kelompok yang
didasarkan atas kesamaan fungsional. Mereka
membentuk kelompok yang disebut subak karena
memiliki kesamaan fungsi di bidang pertanian.
Des adat dengan sistem lingkungan terkecilnya
disebut banjar. Banjar adalah lembaga masyarakat
umat Hindu sepenuhnya berdasarkan keagamaan
dan adat. Secara nyata dasar keagamaan itu dapat
dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-upacara
agama yang berlangsung di desa adat seperti
upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-
lain, agama Hindu menjiwai dan meresapi segala
kegiatan Krama Desa.
Desa adat yang kemudian disesuaikan menjadi
Desa Pakraman merupakan suatu kesatuan
masyarakat sosial religius yang bersifat otonom,
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak
ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional
hukum adat yang diakui dan dihormati negara
sepetti diatur dalam Pasal 18B UUD NRI 1945,
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukuim adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarajat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang”.
Pengejawantahan Desa Pakraman
termasuk dalam kesatuan masyarakat hukum
adat sudah terjawab dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pertimbangan
hukum Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 (Kasus

154 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Pembentukan Kota Tual) dan Putusan Nomor
6/PUU-VI/2008 (Kasus pemindahan ibukota
Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai ke
Selatan). MK telah merumuskan kriteria atau tolok
ukur terpenuhinya ketentuan Pasal 18B ayat (2)
UUD NRI 1945 sebagai berikut:
1. Kesatuan masyarakat hukuma adat dapat
dikatakan masih hidup jika secara de facto
mengandung unsur-unsur antara lain ada
masyarakat yang warganya memiliki perasaan
kelompok; ada pranata pemerintahan adat,
ada harta kekayaan atau benda-benda adat
dan adanya perangkat norma hukum adat.
2. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
negara kesatuan apabila kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut tidak menggangu
eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik
dalam arti, keberadaannya tidak mengancam
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia, substansi norma hukum
adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kesatuan masyarakat hukum adat dan hak
tradisionalnya sesuai dengan perkembangan
masyarakat jika keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang (umum maupun
sektoral termasuk Perda), substansi hak-hak
tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh
wagra kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan maupun masyarakat yang lebih

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 155


luas serta tidak bertentangan dengan Hak
Asasi Manusia.

Dari penjelasan ini, Desa Pakraman telah


memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam
Pasal 18B ayat (2) UUD NR 1945. Karena itu, negara
mengakui dan menghormati keberadaannya
beserta hak-hak tradisionalnya yang disebut
otonomi desa. dalam pelaksanaan hak-hak
tradisionalnya, Desa Pakraman dilengkapi
kekuasaan mengatur kehidupan warganya.
Kekuasaan itu di antaranya: (1) kekuasaan untuk
menetapkan aturan-aturan untuk menjaga
kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram.
Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam
suatu rapat desa (paruman atau sangkep desa); (2)
kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan
organisasi yang bersifat sosial-religius; (3) kekuasaan
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang
menunjukkan adanya pertentangan kepentingan
antara warga desa atau berupa tindakan yang
menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan
yang berupa tindakan yang menyimpang dari
aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai
sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan
bermasyarakat, baik melalui perdamaian maupun
dengan memberikan sanksi adat.
Pengaturan tentang desa adat bisa
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal
1 ayat (12) menyatakan desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa

156 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat. Berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam Pasal 2 ayat (9) dinyatakan
negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa juga memuat tentang desa adat.
Pasal 96 menyatakan Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum
adat dan dapat ditetapkan menjadi desa adat.
Pasal 97 memuat tentang penetapan desa adat
sebagaimana dimaksud Psal 96 memenuhi syarat:
Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik
yang bersifat genealogis maupun fungsional.
Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan Ketiga, kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 157


2003 dengan jelas mendefinisikan Desa Pakraman
adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan
tiga atau kahyangan desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari
definisi ini sudah ditegaskan Desa Pakraman
merupakan suatu kesatuan masyarakat sosial
religius yang bersifat otonom, berhak mengurus
rumah tangganya sendiri. Dalam mekanisme
kehidupan Desa Pakraman, warga memiliki hak
antara lain hak untuk memilih pimpinan adat,
ikut dalam rapat (sankep/parum) adat, ikut serta
dalam Pemerintahan Desa Pakraman bersama,
dan berhak dipilih sebagai prajuru (pengurus)
adat. Kewajibannya melaksanakan ayahan (tugas)
adat dan tunduk serta taat kepada peraturan yang
berlaku bagi warga Desa Pakraman, yakni awig-
awig (aturan) baik tertulis maupun tidak tertulis,
paswara dan sima yang berlaku.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang
diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman
disebutkan bahwa Desa Pakraman di Provinsi Bali
yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah
selama berabad-abad, yang memiliki otonomi
asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga
terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat

158 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dan pembangunan. Desa Pakraman sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai
oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya
yang hidup di Bali sangat besar peranannya dalam
bidang agama dan sosial budaya sehingga perlu
diayomi, dilestarikan, dan diberdayakan.
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, Desa Pakraman didefinisikan sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama. Pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri yang berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.

2) Majelis Desa Pakraman


Desa Pakraman sebagai wilayah yang otonom
tidak selamanya berada dalam posisi “sendiri”.
Sejak 27 Februari 2004 terbentuk Majelis Desa
Pakraman (MDP). Kehadiran MDP membawa
angin baru bagi kehidupan Desa Pakraman di Bali.
Sebelum adanya MDP, Desa Pakraman seolah-
olah “yatim piatu”, tanpa “orangtua” untuk diajak
menimbang rasa dalam suka dan duka. Jika
ada Desa Pakraman memiliki masalah, mereka
menjadikan bupati sebagai tempat mengadu.
Padahal secara struktural bupati dan pemerintah
kabupaten tidak dapat disebut atasan Desa
Pakraman. Setelah terbentuknya MDP di Bali, ada

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 159


wadah bagi Desa Pakraman untuk bertukar pikiran
dalam merancang masa depan Desa Pakraman
yang lebih baik, meningkatkan kualitas prajuru,
merumuskan awig-awig dan perarem serta
menyelesaikan permasalahan yang muncul di
Desa Pakraman.
MDP sebagai satu-satunya organisasi tempat
berhimpunnya Desa Pakraman memiliki peran
strategis dalam usaha meningkatkan kualitas
Desa Pakraman baik dalam hubungan dengan
parhyangan, pawongan, maupun palemahan.
MDP memiliki tingkatan yang mulai dari
kecamatan dengan nama Majelis Desa Pakraman
yang mpembentukannya melalui Paruman Alit. Di
tingkat kabupaten/kota ada Majelis Desa Pakraman
yang pembentukannya melalui Paruman Madya. Di
tingkat provinsi ada Majelis Utama Desa Pakraman
yang pembentukannya melalui Paruman Agung.
MDP memiliki peran strategis dalam menjawab
tantangan dan permasalahan yang berkaitan
dengan Desa Pakraman. Pertama, memperkuat
kelembagaan Desa Pakraman melalui kerja sama
dengan pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah
kabupaten/kota dalam usaha melestarikan agama
Hindu sebagai jiwa Desa Pakraman dan jiwa Bali.
Kedua, sebagai media komunikasi antar krama
desa dan antar Desa Pakraman berdasarkan spirit
Bali mawacara. Ketiga, menjadi filter terhadap
pengaruh yang datang dari berbagai arah di luar
Desa Pakraman.
Untuk itu perlu adanya prosedur tetap
(protap) kerja sama Desa Pakraman yang dapat

160 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


dijadikan panduan bagi lembaga pemerintah
maupun swasta, parpol, LSM dan organisasi lain
dalam menjalin kontak dengan Desa Pakraman.
Selanjutnya secara proaktif membangun
komunikasi dan hubungan baik dengan
organisasi lain di luar Desa Pakraman dalam usaha
mewujudkan kedamaian di Bali (Bali Shanti).
Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda No. 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman, MDP mempunyai
tugas mengayomi adat istiadat, memberikan
saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak
baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk
pemerintah tentang masalah adat, melaksanakan
tiap keputusan-keputusan paruman dengan
aturan-aturan yang ditetapkan, membantu
penyuratan awig-awig, dan melaksanakan
penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
Ayat (2) menyatakan tentang kewenangan MDP,
antara lain merumuskan berbagai hal yang
menyangkut masalah-masalah adat dan agama
untuk kepentingan Desa Pakraman, sebagai
penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak
dapat diselesaikan di tingkat desa, dan membantu
penyelenggaraan upacara keagamaan di
kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Sebelum ada MDP, pada tahun 1968, terbentuk
Badan Musyawarah Desa Adat (Desa Pakraman)
sebagai wadah untuk mengkoordinasikan
pembinaan desa adat. Lembaga ini selanjutnya
dikuatkan legalitasnya melalui SK Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Bali Nomor 18/Kesra.II/c/19/1979
tentang Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA)

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 161


MPLA memiliki tugas memberi pertimbangan,
saran, usul mengenai permasalahan adat kepada
pemerintah daerah baik diminta maupun tidak,
dalam rangka pelaksanaan kebijakan pemerintah
daerah. MPLA juga mengadakan pembinaan
pembuatan awig-awig dan pembinaan adat
istiadat secara menyeluruh di dalam segala
aspeknya.

3) Awig-Awig (Peraturan) Desa Pakraman


Awig-awig merupakan tata dalam hidup
bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh
beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan,
pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek
kehidupan yang bersifat mantap dan berkelanjutan,
serta danya rasa identitas terhadap kelompok
di mana individu yang bersangkutan menjadi
anggotanya. Dalam kehidupan bermasyarakat,
manusia akan senantiasa berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga
diperlukan adanya norma-norma dan aturan-
aturan yang menentukan tindakan mana yang
boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.
Dalam kehidupan masyarakat adat Bali yang
diwadahi oleh Desa Pakraman, norma-norma
tersebut lazim disebut dengan istilah awig-awig,
sima, dresta, perarem, dan istilah-istilah lainnya.
Secara umum yang dimaksud dengan awig-awig
adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat
yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam

162 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


hubungan antara krama (anggota Desa Pakraman)
dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun
antara krama dengan lingkungannya.
Dengan pengertian demikian, menjadi
jelas bahwa semua Desa Pakraman mempunyai
awig-awig, walaupun mungkin bentuknya ada
yang belum tertulis. Belakangan, terutama sejak
tahun 1969, ada kecenderungan Desa Pakraman
menuliskan awig-awig-nya dalam bentuk dan
sistematika yang seragam. Tujuannya adalah
agar prajuju desa adat dan generasi mendatang
dapat lebih mudah mengetahui isi awig-awig
desanya. Awig-awig yang dijadikan pegangan
oleh prajuru Desa Pakraman dalam mengemban
kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan
kondisi objektif masing-masing Desa Pakraman.
Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan
antara awig-awig Desa Pakraman yang satu
dengan yang lainnya walaupun secara geografis
letaknya berdekatan. Perbedaan ini dianggap
normal dan lumrah sesuai dengan dengan asas
desa mawacara. Awig-awig secara proporsional
berisi aturan-aturan yang bertujuan menjaga
atau mewujudkan keseimbangan hubungan
antara manusia dengan Ida Sanghyang Widi
Wasa /Tuhan Yang Maha Esa (aspek parhyangan),
keseimbangan hubungan antara manusia dengan
manusia, (aspek pawongan), dan keseimbangan
hubungan manusia dengan alam lingkungan
(aspek palemahan).
Landasan Awig-awig Desa Pakraman mulai
dikenal masyarakat Bali sejak tahun 1986 setelah

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 163


keluarnya Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi
Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan,
Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Daerah
Tingkat I Bali. Sebelum lahirnya Perda ini, dipkaia
istilah bermacam-macam, di antaranya pangeling-
eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta,
cara, tunggul, kerta, palakerta dan sima. Dalam Bab
IV Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali Nomor
6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan
Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat.
Hukum Adat dalam Provinsi Dasrah Tingkat
I Bali disebutkan tentang Awig-awig Desa Adat
antara lain: Setiap Desa Adat agar memiliki awig-
awig tertulis, Awig-awig Desa Adat tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, Awig-awig Desa Adat dibuat dan
disahkan oleh krama Desa Adat , Awig-awig Desa
Adat dicatatkan di Kantor Bupati/Walikotamadya,
Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Sanksi yang diatur dalam awig-awig Desa Adat
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan rasa
keadilan dalam masyarakat.
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang”. Apa yang disebutkan

164 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


sebagai syarat untuk mendapat pengakuan
negara tentu harus dipenuhi oleh Desa Pakraman
termasuk awig-awig yang dimiliki. Pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini
mengandung empat konsekuensi. Pertama, suatu
kesatuan masyarakat diakui sebagai sautu kesatuan
masyarakat hukum sehingga dapat bertindak
sebagai subjek hukum yang berbeda dengan
anggota-anggotanya. Kedua, terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat dapat diletakkan hak
dan kewajiban serta dapat melakukan tindakan
hukum sebagai satu kesatuan. Ketiga, pada saat
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat, maka dengan sendirinya negara mengakui
sistem hukum yang membentuk dan menjadikan
kesatuan masyarakat adat itu sebagai kesatuan
hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya
berarti pengakuan terhadap struktur dan tata
pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma
hukum tata negara adat setempat.
Awig-awig Desa Pakraman sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat Hindu di Bali memiliki korelasi yang
sangat kuat dengan konsep Tri Hita Karana. Tri
Hita Karana merupakan tiga hubungan yang
harmoni yang harus dijalankan manusia untuk
mencapai kesempurnaan. Hubungan itu terdiri
dari hubungan manusia dengan Tuhan yang
diwujudkan dalam bentuk bhakti. Hubungan
manusia dengan manusia yan diwujudkan dalam
bentuk tresna. Hubungan manusia dengan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 165


lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk asih
(sih).
Keseimbangan dalam melaksanakan bhakti,
tresna, dan sih ini diwujudkan dalam perilaku
sehari-hari. Karena itulah awig-awig menjadi
konsep Tri Hita Karana ini sebagai landasan
filosofisnya. Dengan mengusung konsep ini
karma diharapkan berperilaku sesuai dengan
ajaran agama Hindu, di antaranya tat twan asi (aku
adalah kamu), persaudaraan, keharmonisa, dan
antikekerasan dalam hidup bersama.
Masyarakat Desa Pakraman selalu berusaha
bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya.
Hal ini didasarkan oleh kesadaran bahwa alam
semesta merupakan sebuah kompleksitas unsur-
unsur yang satu sama lain terkait dan membentuk
suatu sistem kesemestaan. Dari sini ditemukan
bahwa nilai dasar kehidupan adat di Bali adalah
nilai keseimbangan. Nilai keseimbangan ini lalau
diwujudkan ke dalam dua hal. Pertama, selalu
berusaha menyesuaikan diri dan menjalin dengan
elemen-elemen alam dan kehidupan yang berada
di sekelilingnya. Kedua, ingin menciptakan
suasana kedamaian dan ketentraman agar sesama
makhluk dan alam di mana manusia sebagai salah
satu elemen dari alam semesta.
Masyarakat kemudian menjadikan kedua hal
tersebut sebagai asas dalam kehidupan. Nilai dan
asas-asas ini dipersepsikan ke dalam ajaran filsafat
Tri Hita Karana. Tri artinya tiga; Hita artinya baik,
senang, gembira; Karana artinya sebab musabab,
sumbernya sebab. Secara singkat Tri Hita Karana

166 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


didefinisikan sebagai tiga hal yang menyebabkan
manusia mencapai kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kedamaian (I Made Suastawa Dharmayuda
dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Adat Bali,
Upada Sastra, Denpasar, h.6. 33).
Menurut I Gusti Ketut Kaler, unsur Tri Hita
Karana adalah jiwa (atman), tenaga atau kekuatan
(prana), dan badan wadag (sarira). Ketiga unsur
ini kemudian menjadi pola masyarakat Bali,
dalam pembuatan rumah dan desa. Dalam
rumah, unsur atman (Tuhan) ditempatkan di
merajan atau sanggah tempat ibadah sebagai
parhyangan rumah. Unsur prana adalah anggota
keluarga sebagai pawongan rumah. Unsur sarira
adalah keseluruhan pekarangan rumah sebagai
palemahan rumah.
Dalam desa, unsur atman berupa Pura
Kahyangan Tiga sebagai parhyangan desa. unsur
prana berupa krama desa sebagai pawongan
desa. unsur sarira berupa wilayah desa sebagai
palemahan desa. Awig-awig Desa Pakraman
sebagai pedoman perilaku sudah disusun
berdasarfkan Tri Hita Karana. Hubungan manusia
dan Tuhan diatur dalam Sukerta Tata Agama
(Parhyangan). Hubungana antara manusia dengan
manusia diatur dalam Sukerta Tata Pawongan.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan
masyarakat dan lingkungan alam diatur dalam
Sukerta Tata Palemahan.
Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis
awig-awig juga terjabarkan dalam falsafah Hindu
lainnya seperti Tri Mandala, Catur Purusa Artha,

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 167


Desa Kala Patra, Tat Twam Asi, dan Tri Upasaksi.
Awig-awig Desa Pakraman merupakan patokan
tingkah laku baik tertulis maupun tidak tertulis
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan
berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang
hidup dalam masyarakat. Dilihat dari pengertian
ini bisa dipastikan semua Desa Pakraman memiliki
awig-awig. Namun ada yang sudah tertulis dan
ada yang belum tertulis. Majelis Utama Desa
Pakraman (MUDP) mendata di Bali ada 1.488
Desa Pakraman. Sampai saat ini masih dilakukan
inventarisir beberapa Desa Pakraman yang sudah
menyuratkan awig-awignya dan beberapa yang
belum. Sejak tahun 1969 ada kecenderungan
Desa Pakraman menuliskan awig-awignya dalam
bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya
antara lain memberi peluang kepada prajuru
adat dan generasi yang akan datang untuk lebih
memahami isi awig-awig desanya.
Penulisan awig-awig ini dianggap penting
atas dasar pertimbangan bahwa hukum adat
dalam bentuk tidak tertulis yang berupa kebiasaan-
kebiasaan sangat sulit dikenali. Dengan penulisan
ini diharapkan kepastian hukum (rechtzekkerheid)
lebih terjamin dan penting untuk penemuan
hukum (rechtsvinding). Dengan kepastian hukum,
dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat
(awig-awig) akan memberi rasa kepastian dalam
bersikap dan bertindak hingga tak ada keragu-
raguan dalam penerapan hukum. Kepastian
hukum ini mencakup masyarakat, pasti bagi
prajuru, dan pasti untuk pemerintah. Dalam hal

168 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


penemuan hukum, penulisan hukum adat (awig-
awig) untuk memudahkan dalam hal menemukan,
mengetahui, dan memahami isi ketentuan hukum
adat. Dalam bentuknya yang tertulis akan sangat
mudah ditemukan oleh kalangan petugas hukum
dan generasi yang akan datang. Karena itu, perlu
adanya keseragaman dan penerbitan dalam
bentuk dan sistematikanya.
Hal yang tidak terpisahkan dalam penyusunan
awig-awig adalah patokan yang digunakan
merupakan cerminan dari nilai-nilai Pancasila,
antara lain mengatur tentang kewajiban krama
dalam kehidupan ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa; Pengakuan martabat yang sama sebagai
krama desa; adanya kekompakan dan kesatuan
sebagai pengikat; selalu bermusyawarah dalam
sangkepan atau paruman; adanya unsur suka-
duka dalam kehidupan bermasyarakat serta diikat
oleh kehidupan paras-paros. Sbagai hukum yang
tumbuh dari bawah, scara psikologis awig-awig
memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat.
Awig-awig diterima dan ditaati di dalam
masyarakat yang berada di wilayah Desa Pakraman
yang bersangkutan. Awig-awig jika dilihat dari
fungsinya merupakan alat kontrol sosial (hukum
sebagai sarana kontrol sosial). Hal ini dilihat dari
asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku
krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam
perilaku mereka, baik secara preventif maupun
represif.
Awig-awig juga berfungsi sebagai sarana untuk
mengubah masyarakat (social engineering) karena

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 169


kemampuannya merespon dan mengantisipasi
perubahan dalam masyarakat. Karena itu awig-
awig harus mengarahkan perubahan masyarakat
sesuai dengan rel yang telah dibakukan dalam
awig-awig tersebut. Dengan adanya awzig-
awig memudahkan tujuan Desa Pakraman yakni
kasukertan desa sekala-niskala (ketertiban,
ketentraman, dan kedamaian lahir batin) di Desa
Pakraman. Kasukertan desa tidak saja berlaku bagi
internal Desa Pakraman (krama desa) melainkan
berlaku juga bagi eksternal Desa Pakraman
terutama dengan Desa Pakraman tetangga
(pasuwitran nyatur desa).
Penulisan awig-awig bukanlah perkara
mudah, karena itu memerlukan pemikiran
bersama karena hasilnya akan dipakai bersama.
Substansi awig-awig menjadi hal yang penting
untuk dibahas sebelum menuliskan awig-awig.
Jangan sampai menuliskan awig-awig hanya untuk
kepentingan praktis sesaat, misalnya keperluan
lomab Desa Pakraman atau syarat mendapatkan
dana dalam rangka pembentukan Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Jika yang dilakukan hanya
untuk kepentingan sesaat, adakalanya Desa
Pakraman menyalin mentah-mentah awig-awig
Desa Pakraman lain. Hal ini tentu sangat tidak
disarankan karena sunbstansi awig-awig antara
lain Desa Pakraman dengan Desa Pakraman lain,
walaupun secara geografis berdekatan. Awig-awig
hasil salinana atau duplikasi ini nantinya tidak akan
dapat dipergunakan.
Dalam hal substansi, adakalanya ditemukan

170 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


norma-norma yang sulit diubah, padahal ada
keinginan untuk mengubah. Kadang tidak semua
hukum adat tidak tertulis (dresta) dapat dituangkan
dalam awig-awig tertulis. Bisa jadi karena kesulitan
saat merumuskannya dalam substansi awig-awig
tertulis atau bisa jadi karena kelupaan. Hal ini
jangan sampai menjadikan penyusunan awig-
awig tertulis menjadi tidak terealisasikan. Dresta
yang terlupakan biarkan tetap berlaku sebagai
awig-awig tidak tertulis. Di kemudian hari, ada
kesempatan untuk memasukkannya dalam
perarem pengele sebagai pelengkap awig-awig. Di
sinilah dresta mendapat tempat sehingga menjadi
bagian dari awig-awig tertulis.
Substansi awig-awig besarnya berisi Murdha
Citta, Pamikukuh, Petitis, asas-asas, norma atau
kaidah, dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong
royong, tolong menolong, musyawarah mufakat,
saling asah saling asih saling asuh, paras paros,
rukun laras patut. Norma/kaidah dirumuskan
dalam bentuk larangan, perintah, dan kebolehan.
Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan
dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh dan
petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang
berupa perintah dan laranga, rumusannya disertai
sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi
kebolehan, rumusannya tidak disertai sanksi.
Rumusan norma dalam awig-awig suapaya
bersifat mendidik dalam arti mendidik krama
supaya bersikap dan berperilaku bhakti kepada
Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha
Esa), tresna kepada sesama, dan asih terhadap

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 171


lingkungan. Semua ini merupakan inti dari Tri
Hita Karana. Isi awig-awig di bagian norma harus
bersifat moderat dan fleksibel. Hal ini bertujuan
mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman
terutama yang berkaitan dengan kependudukan,
kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dan lain
sebagainya.
Umunya awig-awig tertulis hanya memuat
pokok-pokok mengenai kehidupan Desa
Pakraman. Aturan pelaksanaan yang lebih rinci
dituangkan dalam bentuk keputusan rapat
desa yang disebut perarem. Perarem memiliki
kekuatan mengikat yang secara substansi bisa
dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah
awig, perarem ngele/lepas, dan perarem penepas
wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan
pelaksanaan dari awig-awig tertulis yang sudah
ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman
yang merupakan aturan hukum baru yang tidak
ada landasannya dalam awig-awig tertulis. Hal ini
biasanya dipakai untuk mengakomodir kebutuhan
hukum baru untuk mengikuti perkembangan
masyarakat. Perarem penepas wicara merupakan
keputusan paruman mengenai suatu wicara
(perkara) yang berupa persoalan hukum seperti
sengketa maupun pelanggaran hukum.
Dengan demikian, Tri Hita Karana
menyebabkan kehidupan yang harmonis antara
sesama wagra desa adat untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagian hidup merupakan
landasan bagi desa adat. Terhadap adanya
kesatuan pandangan dalam kehidupan desa adat

172 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


kemudian di Bali, kita mengenal adagium yang
merupakan asas dari kebersamaan, yakni: Salulung
Sabyayantaka (sa + luhung + luhung sa + byaya (sa)
+ antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam
istilah Bali disebut Beriuk Seguluk artinya sehidup
senasib dan sepenanggungan.
Atas dasar asas kebersamaan ini, hendaknya
setiap anggota desa adat merupakan bagian
keluarga besar desa adat termasuk masalah
kesejahteraan warga. Bila desa adat mampu
melaksanakan fungsi dan peranannya, maka
tujuan desa adat dalam mewujudkan desa yang
Sukertagama (masyarakat tenteram karena
melaksanakan ajaran agama), Tata Tenteram
Kertaraharja (tenteram dan sejahtera) akan dapat
diwujudkan.
Dalam penelitian ini diambil obyek
pengamatan terhadap wilayah Bali bagian selatan.
Bali selatan yang terdiri dari Kabupaten Badung,
Denpasar, Gianyar, dan Tabanan merupakan
salah satu pusat pariwisata di Provinsi Bali. Secara
keseluruhan Bali selatan memiliki jumlah potensi
wisata sebanyak 146 daya tarik wisata dengan
persebaran 36 daya tarik wisata di Kabupten
Badung, 28 daya tarik di Kota Denpasar, 59 daya
tarik di Kabupaten Gianyar, dan 23 daya tarik di
Kabupaten Tabanan. Perlu dicatat, pengembangan
pariwisata di Provinsi Bali belum merata pada semua
kabupaten, pengembangan pariwisata hanya
berpusat di Kabupaten Badung dan Denpasar. Hal
tersebut menyebabkan perekonomian wilayah
tersebut lebih tinggi dibandingan dengan wilayah

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 173


lainnya.
Pada Tahun 2015 persentase PDRB sektor
akomodasi makan dan minum di Kabuapten
Badung dan Denpasar lebih besar dibandingakan
dengan Kabupaten Gianyar dan Tabanan yaitu
26.18% dan 23.09 %. Sedangkan Kabupaten Gianyar
dan Tabanan memiliki persentase sebesar 20.48%
dan 18.27%.157 Selain itu dari aspek ketersediaan
fasilitas akomodasi makan dan minum, Kabupaten
Badung dan Denpasar memiliki jumlah hotel dan
restoran lebih banyak dibandingkan Kabupaten
Gianyar dan Tabanan.
Pada Tahun 2015 Kabupaten Badung memiliki
jumlah hotel berbintang sebanyak 357 dan
491 hotel non bintang, Kota Denpasar memiliki
65 buah hotel berbintang dan 251 hotel non
bintang, sedangkan Kabupaten Gianyar memiliki
hotel berbintang sebanyak 49 dan 358 hotel non
bintang, serta Kabupaten Tabanan memiliki 6
buah hotel berbintang dan 109 hotel non bintang.
Begitu pula pada fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan seperti restoran, pada
Tahun 2015 Kabupaten Badung dan Denpasar
memiliki jumlah restoran masing-masing 825 dan
449 buah, sedangkan Kabupaten Gianyar dan
Tabanan memiliki jumlah restoran masing-masing
504 buah dan 32 buah.158
Tahun 2015-2018 Pemerintah Daerah
Provinsi Bali melalui Program Bali Mandara Jilid II

157
Badan Pusat Statistik, “Provinsi Bali dalam Angka 2016” (Bali: Badan
Pusat Statistik Bali, 2016).
158
Ibid.

174 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


mencanangkan pembentukan 100 desa wisata159
yang tersebar pada 8 kabupaten dan 1 kota.
Seratus desa wisata tersebut penyebarannya
masing-masing 22 desa wisata di Kabupaten
Buleleng, 6 desa wisata di Kabupaten Jembrana,
16 desa wisata di Kabupaten Tabanan, 5 desa
wisata di Kabupaten Badung, 15 desa wisata di
Kabupaten Gianyar, 10 desa wisata di Kabupaten
Klungkung, 11 desa wisata di Kabupaten Bangli,
10 desa wisata di Kabupaten Karangasem, dan 5
desa wisata di Kotamadya Denpasar. Desa Wisata
Timbrah adalah salah satu dari 10 desa wisata yang
dikembangkan di Kabupaten Karangasem melalui
Program Bali Mandara Jilid II, sedangkan sembilan
lainnya adalah desa wisata Budekeling, Sibetan,
Tenganan, Prangsari, Iseh, Antiga, Jasri, Besakih,
dan Munti Gunung.160

d. Kabupaten Badung
1) Profil dan Program
Wilayah Kabupaten Badung terletak pada posisi
08°14’17”—08°50’57” Lintang Selatan (LS)
dan 115°05’02”—15°15’ 09” Bujur Timur (BT)
159
Kementerian Pariwisata mendefinisikan desa wisata sebagai: “Suatu
wilayah dengan luasan tertentu dan memiliki potensi keunikan
daya tarik wisata yang khas dengan komunitas masyarakatnya yang
mampu menciptakan perpaduan berbagai daya tarik wisata dan
fasilitas pendukungnya untuk menarik kunjungan wisatawan termasuk
didalamnya kampung wisata karena keberadaannya di daerah kota.”
Lihat: Direktorat Pengembangan Destinasi Wisata, Pengembangan
Desa Wisata (Jakarta: Kementerian Pariwisata, 2016), 1.
160
Dewa Putu Oka Prasiasa, “Strategi Pengembangan Dan Pemberdayaan
Masyarakat Desa Wisata Timbrah Kecamatan Karangasem Kabupaten
Karangasem” (Seminar Nasional Hasil Penelitian-Denpasar, Denpasar,
Bali: Universitas Udayana, 2017), 103–26.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 175


membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Luas
wilayah Kabupaten Badung adalah 418,52 km2
(7,43% dari luas Pulau Bali). Bagian Utara Kabupaten
Badung merupakan daerah pegunungan yang
berudara sejuk, berbatasan dengan Kabupaten
Buleleng. Wilayah di bagian Selatan merupakan
dataran rendah dengan pantai berpasir putih
dan berbatasan langsung dengan Samudera
Indonesia. Sebelah Timur wilayahnya berbatasan
dengan Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar.
Bagian tengah wilayah Badung merupakan daerah
persawahan. Di sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Tabanan. Secara umum Kabupaten
Badung merupakan daerah beriklim tropis yang
memiliki dua musim, yaitu musim kemarau (April–
Oktober) dan musim hujan (November – Maret).
Curah hujannya rata-rata 893,4 – 2.702,6 mm per
tahun. Kemudian suhu udaranya berkisar 25°C –
30°C dengan kelembapan udara rata-rata mencapai
79%. Secara administratif, Kabupaten Badung
terbagi menjadi 6 ( enam ) wilayah Kecamatan
yang terbentang dari bagian Utara ke Selatan
yaitu: Kecamatan Petang, Abiansemal, Mengwi,
Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan. Disamping itu,
di wilayah ini juga terdapat 16 Kelurahan, 46 Desa,
369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan 8 Banjar Dinas
Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan. Selain
Lembaga Pemerintahan seperti tersebut di atas, di
Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat
yang terdiri dari 120 Desa Adat, 523 Banjar dan 523
Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat
1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta

176 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha
Kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki
peran yang sangat strategis dalam pembangunan
di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada
umumnya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga,
anggota masyarakat adat ini terikat dalam suatu
aturan adat yang disebut awig - awig. Keberadaan
awig-awig ini sangat mengikat warganya sehingga
umumnya masyarakat sangat patuh kepada
adat. Oleh karena itu, keberadaan Lembaga
Adat ini merupakan sarana yang sangat ampuh
dalam menjaring partisipasi masyarakat. Banyak
program yang dicanangkan pemerintah berhasil
dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat
keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang
ada. Pengembangan wilayah Kabupaten Badung
didasarkan pada potensi dan kendala aspek fisik
lingkungannya. Berdasarkan karakteristik topografi
dan kelerengannya, wilayah kabupaten ini memiliki
variasi yang sangat beragam, yaitu ketinggiannya
antara 0 – 3.000 m dpl dengan kelerengan datar
hingga jurang yang curam. Penataan ruang pada
wilayah seperti ini relatif sulit dibandingkan dengan
wilayah yang datar. Kondisi ini telah mendorong
Pemkab Badung untuk bersikap berhati-hati dan
bijaksana dalam merencanakan pengembangan
wilayahnya. Kabupaten Badung dibagi menjadi
3 Wilayah Pengembangan yaitu: Badung Utara,
Badung Tengah dan Badung Selatan. Masing-
masing wilayah memiliki perbedaan karakteristik
fisik lingkungan yang mencolok. Wilayah Badung

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 177


Utara, merupakan kawasan pegunungan yang
subur dengan hutan dan RTH yang luas, karena
itu sesuai untuk fungsi konservasi lingkungan.
Wilayah Badung Tengah, merupakan kawasan
dengan ketinggian dan kesuburan sedang, karena
itu sesuai untuk fungsi transisi antara fungsi
lindung dan budidaya alamiah seperti pertanian.
Wilayah Badung Selatan, merupakan kawasan
yang datar, tidak subur dan pesisir. Karena itu
sepenuhnya sesuai untuk fungsi budidaya yang
bersifat terbangun.
Selain kabupaten yang memiliki Pendapatan
Asli Daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, di tahun
2013 mencapai 2 triliun rupiah, Kabupaten Badung
juga merupakan kabupaten dengan pertumbuhan
ekonomi tertinggi di Provinsi Bali. Berdasarkan data
di tahun 2013, mampu mencatatkan pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,41 persen. Dilihat dari
perspektif ilmu pariwisata, masih banyak dimensi
kosong atau belum terfasilitasi untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan di Kabupaten Badung.
Badung utara secara empiris saat ini terlihat masih
mempertahankan sektor pertanian, tetapi jika
secara jujur dicermati, sebagaian generasi muda
di Badung Utara pada usia produktif justru bekerja
di luar desa (Badung Selatan, Denpasar dan
Gianyar). Artinya para petani di Badung Utara saat
ini adalah mereka yang sudah berusia rata-rata di
atas 45 tahun atau bahkan sudah lanjut usia Dapat
dibayangkan keberlanjutan sektor pertanian
di Kabupaten Badung jika fenomena ini tidak
segera dipecahkan. Bukannnya tidak mungkin

178 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


10 sampai 25 tahun lagi Badung Utara akan
berkembang menjadi kawasan pariwisata karena
sektor pertanian sudah ditinggalkan sehingga
memerlukan sektor real yang diyakini mampu
mensejahterahkan masyarakatnya.
alam rangka menyeimbangkan
pembangunan Badung Selatan, Badung
Tengah, dan Badung Utara maka Pemerintah
Kabupaten Badung mengeluarkan kebijakan
yang strategis yang salah satunya adalah dengan
mengembangkan 11 (sebelas) desa-desa wisata
yang ada di wilayah Badung Tengah dan Badung
Utara berdasarkan Perbup (Peraturan Bupati)
Badung Nomor 47 Tertanggal 15 September 2010
tentang Penetapan Kawasan Desa Di Kabupaten
Badung dan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali
Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan
100 Desa Wisata 2014-2018.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Upaya pengembangan desa-desa wisata
Kabupaten Badung adalah untuk pemerataan
pembangunan sektor pariwisata agar tidak
hanya terfokus di Badung Selatan (Kuta, Nusa
Dua dan sekitarnya) yang sudah menjadi trade
mark pariwisata Bali. Selain itu, masih kentalnya
tradisi nilai budaya lokal dan alam yang masih
asri dipandang sebagai potensi yang layak
untuk pembangunan sektor pariwisata dengan
meminimalkan dampak-dampak negatif.
Berdasarkan Surat Edaran Kadisparda Provinsi Bali
Nomor 556/317/I/DISPAR tentang Pengembangan
100 Desa Wisata 2014-2018, dan Peraturan Bupati

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 179


Badung Nomor 47 Tahun 2010 tentang Penetapan
Kawasan Desa Wisata di Kabupaten Badung maka
Kabupaten Badung memiliki 11 (sebelas) desa
wisata terletak di Badung Tengah dan Badung
Utara.
Ke-11 desa wisata di kabupaten Badung
di atas tidak ada yang berada di wilayah Badung
Selatan. Keseluruhannya berada di Badung
Tengah dan Badung Utara kecuali desa wisata
Munggu yang berada di perbatasan wilayah
Badung Tengah dan Badung Selatan. Hal tersebut
sangat beralasan karena keberadaan desa wisata
merupakan suatu model pembangunan pariwisata
yang berbeda dengan pembangunan pariwisata
di Badung Selatan pada umumnya. Desa wisata
adalah model pembangunan kepariwisataan
yang mengoptimalkan ragam potensi desa,
mengedepankan partisipasi masyarakat lokal,
dengan memperhatikan aspek-aspek pelestarian
dan keberlanjutan untuk kesejahterahaan
masyarakatnya. Desa wisata dengan demikian
merupakan suatu bentuk antitesa dari mass
tourism yang sudah sangat berkembang di
Badung Selatan. Sebagai bentuk dari alternative
tourism desa wisata sepatutnya memiliki ciri
khas dan karakteristik berbeda dengan aktifitas
pariwisata seperti mass tourism. Ciri khas yang
paling mudah dilihat adalah jumlah wisatawan
yang berskala kecil dan memiliki minat khusus
tertarik dengan keunikan budaya, keindahan
alam dan suasana natural minim rekayasa atau
kehidupan masyarakat lokal yang disaksikan oleh

180 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


wisatawan secara apa adanya/tanpa dibuat-buat.
Wilayah Badung Utara dikenal mengedepankan
pembangunan sektor pertanian, berbeda dengan
wilayah Badung Selatan dapat dikatakan lebih
dari 90% mengandalkan sektor jasa pariwisata.
Secara teoritis tidak terlihat terjadi ketertinggalan
di Badung Utara, tetapi jika dicermati terkesan
terjadi kesenjangan pembangunan ketika
dihubungkan dengan faktor-faktor ekonomi
dan kesejahterahaan. Secara singkat dapat
disampaikan pesatnya pembangunan pariwisata
di Badung Selatan tidak sama halnya dengan
pembangunan pertanian/perkebunan di Badung
Utara. Artinya, pembangunan sektor pertanian
di Badung Utara masih lambat dan diperlukan
percepatan akselerasi. Kondisi ini disebabkan
oleh banyak faktor seperti masih menggunakan
pola tanam tradisional, belum memaksimalkan
diversifikasi pertanian, petani belum mampu
mencukupi kebutuhan pasar, minimnya minat
generasi muda untuk terjun di sektor pertanian
dan belum tercapainya sinergi antar sektor seperti
sektor pariwisata bersama sektor pertanian.
Perkembangan pariwisata di Badung Selatan seperti
Nusa Dua, Kuta, Seminyak bahkan sekarang sudah
mengarah ke Canggu dan Munggu, begitu pesat
memberikan banyak perubahan dan manfaat bagi
masyarakat Kabupaten Badung pada khususnya
dan masyarakat Bali pada umumnya. Tidak dapat
dipungkiri pariwisata telah memberikan warna
dalam kehidupan masyarakat meskipun tidak
secara keseluruhan merasakan dampak langsung

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 181


dari nilai ekonomi kepariwisataan. Pembangunan
infrastruktur dengan mengedepankan
pendekatan mass tourism diyakini sangat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun
dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri terjadi
ketimpangan pembangunan antara Badung Utara
dan Badung Selatan. Pemerintah Kabupaten
Badung pada satu dasa warsa terakhir mulai
serius menyikapi permasalahan di atas. Mulai era
kepemimpinan Anak Agung Gde Agung selama
dua periode (2005-2010 dan 2010-2015) berupaya
menciptakan pemerataan pembangunan antara
Badung Utara dan Badung Selatan. Langkah
nyata yang sudah dilakukan antara lain dengan
sangat berani membuka SMK 1 Badung (Sekolah
Menengah Kejuruan Pertanian) di Petang/Badung
Utara, memberikan bantuan-bantuan secara
berlanjut kepada subak-subak, termasuk pula
upaya perpaduan antara pertanian dan pariwisata
dengan mengadakan festival tahunan yaitu
Festival Budaya Pertanian Badung yang digelar
di Jembatan Tukad Bangkung/Badung Utara, dan
upaya untuk mengaktifkan desa-desa wisata yang
berada di Kabupaten Badung. Keberadaan desa
wisata di Kabupaten Badung diharapkan mampu
melestarikan pertanian dengan perpaduan
bersama sektor pariwisata, memberikan manfaat
bagi masyarakat lokal, memberikan kesempatan
kerja bagi warga masyarakat lokal, memberikan
varian baru dalam produk dan atraksi wisata, dan
akhirnya mampu memberikan manfaat ekonomi
bagi pembangunan di tingkat desa dalam rangka

182 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


mewujudkan kesejahterahaan masyarakat secara
berkelanjutan. Besar pula harapan pada akhirnya
desa wisata dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Badung dengan perpaduan sektor
pariwisata dan sektor pertanian.
Permasalahannya adalah dari 11 desa
wisata tersebut, belum semuanya menunjukkan
aktifitas kepariwisataan. Dapat dilihat belum
optimalnya pemanfaatan potensi yang dimiliki
melalui minimnya produk dan atraksi wisata
kepada wisatawan. Fakta tersebut tidak terlepas
dari pengelolaan, kelembagaan dan partisipasi
masyarakat yang tidak kesemua desa wisata
memiliki pola-pola yang baik. Untungnya, desa-
desa wisata tersebut berada pada lokasi strategis,
seperti memang memiliki daya tarik wisata di
desanya, berada pada jalur-jalur yang harus
dilalui ketika wisatawan menuju daya tarik wisata
tertentu dan terutama memiliki keindahan alam
pegunungan memukau berbeda dengan Badung
Selatan yang pada umumnya pesisir.

e. Kabupaten Tabanan
1) Profil dan Program
Kabupaten Tabanan adalah salah satu kabupaten
dari beberapa kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Bali dengan pendapatan asli daerah
(PAD) rata-rata sebesar 15,07% dari total APBD.
Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan
sumber-sumber pendanaan pembangunan
kepada pemerintah pusat. Upaya yang dilakukan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 183


Pemerintah Kabupaten Tabanan antara lain
menggalakkan kepariwisataan, dengan harapan
mampu mempercepat laju pembangunan
dan meningkatkan pendapatan asli daerah
Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan, Bali
memiliki potensi wisata yang luar biasa namun
belum dikelola secara optimal. Saat ini Tabanan
memiliki 22 objek wisata yang tersebar di sepuluh
kecamatan, yang belum dikelola secara maksimal.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Kebijakan pariwisata yang dikembangkan di
Tabanan menggunakan konsep Pariwisata
Kerakyatan yaitu dengan pengembangan
kawasan pariwisata melibatkan peran masyarakat
dalam menjaga dan mengelola potensi dan
wilayah pariwisata tersebut. Hal itu dikarenakan
wilayah di Tabanan merupakan wilayah yang
dijaga keutuhannya secara adat sehingga tidak
boleh berkurang atau rusak terutama ekosistem
lingkungannya. Kedudukan masyarakat sebagai
pengelola pariwisata juga menjadi nilai tambah
baik dari segi pendapatan masyarakat maupun dari
segi kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan wisata di Tabanan. Beberapa
keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan
pariwisata adalah dengan mengoptimalkan
sektor pariwisata, seperti dengan pelaksanaan
festival, promosi pariwisata, pembangunan
Tourism Information Center (TIC), penataan
dan pengembangan infrastruktur pariwisata,
pelestarian seni dan budaya, penguatan peran
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Badan

184 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Usaha Milik Daerah (BUMDA) dalam sektor
pariwisata serta program gerbang pariwisata.
Kebijakan pengelolaan pariwisata
Kabupaten Tabanan menggunakan konsep
Nyegara Gunung, yaitu memadukan potensi pantai
dan gunung. Tabanan mempunyai panjang pantai
yang indahnya hingga 33 Kilometer, hal tersebut
didukung dengan bentangan pemandangan
sawah yang menawan sepanjang dataran rendah
menuju puncak, dan pemandangan pegunungan
di dataran perbukitan. Nyegara Gunung mengacu
pada sapta pesona, ditunjang pula dengan tatanan
kehidupan masyarakat melalui penerapan prinsip
filosofi Tri Hita Karana Agama Hindu melengkapi
kesempurnaan alam Tabanan sebagai potensi
pariwisata.
Keberadaan desa wisata di Tabanan
merupakan salah satu bentuk program Investasi
Hati, dengan pengertian bahwa Investasi
Hati adalah sebuah konsep pelayanan kepada
masyarakat menitik beratkan pada ketulusan
melalui kebijakan-kebijakan pengelolaan
pariwisata yang pro rakyat. Investasi Hati Politik
dalam pengelolaan kepariwisataan dilaksanakan
melalui kebijakan dan program dengan hati/
pro rakyat antara lain Investasi ekonomi dan
sosial melahirkan masyarakat yang sejahtera dan
mandiri. Adapun langkah terhadap investasi hati
agama dan budaya dapat menciptakan kerukunan
dan kedamaian dalam perbedaan.
Saat ini (2018) terdapat 13 desa wisata di
Kabupaten Tabanan. Target pengembangan akan

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 185


dicapai hingga 133 desa wisata. Semua desa wisata
itu diharapkan dapat dapat terintegrasi, dimana
Kabupaten Tabanan tinggal mempromosikan
dan mengenalkan desa secara nasional maupun
internasional. Kebijakan pemberdayaan desa
wisata tersebut sebagai penopang pendapatan
asli daerah disamping pendapatan sektor
pariwisata yang saat ini sudah ada dari lokasi daya
tarik wisata unggulan pariwisata Tabanan mulai
dari Pura Tanah Lot, Ulundanu, Jatiluwih, Kebun
Raya Eka Karya Bali, Alas Kedaton, Museum Subak,
Areal Pura Batukaru, Taman kupu-kupu Bali, TPB
Margarana, dan Air Panas Panatahan.

f. Kabupaten Gianyar
1) Profil dan Program
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari
9 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali,
dengan luas wilayah 36.800 hektar atau 6,53%
dari luas wilayah Provinsi Bali secara keseluruhan.
Kabupaten Gianyar memiliki 7 Kecamatan yaitu
Kecamatan Sukawati, Kecamatan Blahbatuh,
Kecamatan Gianyar, Kecamatan Tampaksiring,
Kecamatan Ubud, Kecamatan Tegallalang,
dan Kecamatan Payangan. Kecamatan terluas
adalah Kecamatan Payangan dan paling kecil
adalah kecamatan Blahbatuh. Jumlah penduduk
di Kabupaten Gianyar tahun 2017 sebanyak
503.900 jiwa yang terdiri dari 254.400 jiwa
(50,49%) laki-laki dan 249.500 jiwa (49,51%)
perempuan. Tingkat pertumbuhan penduduk
0,99% dibandingkan dengan jumlah penduduk

186 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


tahun 2016 yang mencapai 499.600 jiwa. Tingkat
kepadatan penduduk 1.358 jiwa per km². Angka
harapan hidup masyarakat rata-rata 72,84 per
tahun. Diantara 7 Kecamatan maka Kecamatan
Sukawati memiliki penduduk paling banyak yaitu
122.430 (24,30%) dari total penduduk yang ada
di Kabupaten Gianyar dan yang paling sedikit
adalah di Kecamatan Payangan yaitu 42.860 jiwa
(8,50%).161
Kabupaten Gianyar tidak memiliki
Sumber Daya Alam (SDA) yang potensial untuk
dikembangkan guna menopang pembangunan
daerah yang berkelanjutan. Dalam pembangunan
bidang ekonomi Kabupaten Gianyar bertumpu
pada sektor unggulan yaitu sektor pariwisata,
sektor industri dan sektor pertanian dalam arti
luas. Sektor pariwisata dikembangkan dengan
memanfaatkan keunggulan budaya dan pertanian
sehingga mampu menjadi penyangga utama
perkembangan perekonomian Kabupaten Gianyar.
Kabupaten Gianyar memiliki 2 (dua) Kawasan
Pariwisata yaitu Kawasan Pariwisata Lebih dan
Kawasan Pariwisata Ubud, dimana Kawasan
Pariwisata Ubud meliputi 3 (tiga) Kecamatan
yakni Kecamatan Ubud, Kecamatan Payangan
dan Kecamatan Tegallalang, sedangkan Kawasan
Pariwisata Lebih meliputi Kecamatan Sukawati,
Kecamatan Blahbatuh dan Kecamatan Gianyar.162
Kabupaten Gianyar memiliki beberapa
161
Pemerintah Kabupaten Gianyar, “Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
Kabupaten Gianyar 2017” (Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar,
2018), 5.
162
Ibid., 6.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 187


faktor yang dapat menunjang pembangunan
kepariwisataan. Faktor-faktor tersebut antara
lain: (1) kebudayaan dan kehidupan masyarakat
yang bersumber pada kebudayaan dan dijiwai
oleh agama Hindu yang merupakan daya tarik
kunjungan bagi wisatawan asing ke Kabupaten
Gianyar; (2) keindahan alam, peninggalan sejarah
dan purbakala sebagai objek wisata yang cukup
mempesona; (3) tersedianya fasilitas transportasi
dan telekomunikasi yang memadai; (4) fasilitas lain
seperti hotel, home stay, dan restoran yang cukup
banyak berkembang di sudut kota Gianyar.
Salah satu misi pemerintah Kabupaten
Gianyar adalah menumbuhkembangkan budaya
masyarakat yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal
yang dapat menumbuhkan relegiusitas, disiplin,
kerja keras, berorientasi pada prestasi dengan
meningkatkan peran desa pakraman, banjar,
subak, dan sekaha-sekaha serta institusi-institusi
yang telah ada dalam menjaga adat, budaya dan
agama.163 Proteksi secara legal formal adalah melalui
kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Gianyar Nomor 10 tahun 2013 tentang
Kepariwisataan Budaya Kabupaten Gianyar.
Kebijakan ini mengarahkan pengembangan dan
pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar
yang berpijak pada budaya masyarakatnya.
Sebagai contoh pembangunan hotel di kawasan
Kabupaten Gianyar wajib mengadopsi budaya asli
dalam bentuk arsitekturnya, orang-orang yang
bekerja di dalamnya, serta elemen-elemen budaya
asli lainnya.
163
Ibid., 16.

188 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


2) Pemberdayaan Desa Wisata
Komitmen terhadap pariwisata budaya
di Kabupaten Gianyar juga terwujud melalui
pengembangan desa wisata. Saat ini terdapat
9 desa wisata yang dikembangkan Kabupaten
Gianyar dengan berbagai macam potensi wisata
budaya yang menjadi daya tarik di masing-masing
desa wisata tersebut. Desa menjadi jalur utama
pariwisata budaya.
Alur utama yang turut mendukung potensi
wisata budaya dimulai dari Desa Batubulan, Desa
Celuk, Desa Singapadu, dan Desa Batuan yang
terkonsentrasi di Kecamatan Sukawati. Desa Mas,
Desa Peliatan, dan Desa Ubud terkonsentrasi di
Kecamatan Ubud. Desa Sebatu terkonsentrasi di
kecamatan Tegallalang, dan Desa Tampaksiring
terkonsentrasi di Kecamatan Tampaksiring.
Jalur wisata yang telah disebutkan di atas,
masyarakatnya mempunyai aktivitas tersendiri
sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang
mereka miliki. Tari Barong terkonsentrasi di Desa
Batuan dan Desa Singapadu. Seni kerajinan perak
terletak di Desa Celuk, seni ukir kayu terkonsentrasi
di Desa Batubulan, seni lukis terdapat di Desa Mas
dan Desa Ubud, sedangkan seni kerajinan kayu
terdapat di Desa Sebatu, Desa Tegallalang, Desa
Tampaksiring, dan Desa Peliatan. Sementara
itu seni kerajinan yang mengacu pada tradisi
terfokus di daerah tertentu. Hal itu disebabkan
tidak semua perajin mampu membuatnya, karena
masih harus memperhatikan hal-hal yang sifatnya

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 189


sacral, sedangkan seni kerajinan yang bentuknya
mengacu pada benda sakral tetapi sudah dibuat
untuk kepentingan pariwisata, terdapat di Desa
Pakuduwi, Tegallalang, Singapadu, Guang, dan
Desa Puaya. Desa Pakuduwi merupakan tempat
berkumpulnya para seniman dan berkembangnya
seni kerajinan kayu yang mengambil objek garuda.
Desa Singapadu dan Desa Puaya merupakan
tempat pembuatan Barong, baik untuk kebutuhan
dalam seni pertunjukan ritual dan wisata maupun
sebagai benda seni kerajinan.

G. Analisis Kebijakan Kepariwisataan Berbasis


Pluralisme Lokal untuk Mewujudkan Negara
Kesejahteraan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, Pemerintah dan
Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam
membentuk peraturan dan kebijakan pariwisata yang ideal
untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Hasil inventarisasi
regulasi yang terkait kebijakan kepariwisataan, ditemukan
sebanyak 47 (empat puluh tujuh ) peraturan perundang-
undangan, yang terdiri dari: 10 (sepuluh) Undang-Undang,
21 (dua puluh satu) Peraturan Pemerintah, 10 (sepuluh)
Peraturan Presiden, dan 6 (enam) Peraturan Menteri. Dari ke-
47 regulasi tersebut, analisis terhadap 28 ( dua puluh delapan)
PUU, yaitu: 10 (sepuluh) Undang-undang, 9 (sembilan)
Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden dan 2
(dua) Peraturan Menteri terkait.
Kebijakan pariwisata harus memberikan dampak
positif berupa peningkatan terhadap devisa Negara juga
harus dapat meningkatkan perekonomian di lokasi-lokasi
tujuan wisata misalnya meningkatkan jumlah tenaga kerja,

190 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


meningkatkan jumlah wisatawan lokal maupun mancanegara,
meningkatkan perkembangan kebudayaan dan seni budaya
Indonesia. Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat
merupakan sebuah teori yang menekankan pada ekonomi
rakyat dan pemberdayaan rakyat. Teori ini dipergunakan
sebagai reaksi dari kegagalan modernisasi yang diterapkan
selama ini di negara-negara berkembang. Pengambilan
kebijakan top-down dianggap telah melupakan hakikat dasar
pembangunan itu sendiri sehingga rakyat bukannya semakin
meningkat kualitas hidupnya, tetapi malah dirugikan dan
cenderung termarjinalkan di lingkungan miliknya sendiri.
Keterlibatan masyarakat setempat menjadi penting,
mengingat kenyataan selama ini, yaitu manfaat pariwisata
lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang umumnya
berasal dari luar masyarakat setempat.
Pada penelitian ini, dengan demikian dapat dirumuskan
bahwa kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal untuk
mewujudkan negara kesejahteraan mengandung elemen-
elemen sebagai berikut: (1) Dukungan peraturan dan
kelembagaan yang memihak masyarakat lokal; (2) Daya tarik
alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan adalah tiga
komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya
dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya; (3) Karakter
kebijakan berbasis integrasi dan karakteristik budaya; (4)
Desa wisata sebagai produk wisata alternatif disajikan
untuk menjawab kejenuhan yang dialami wisatawan dalam
mengkonsumsi produk wisata. Jika digambarkan, visualisasi
model tersebut adalah sebagai berikut:

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 191


Gambar 1
Model Kebijakan Kepariwisataan Berbasis Pluralisme Lokal
untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan

Data penelitian juga menunjukkan bahwa dalam relasi


dengan kerangka kebijakan nasional, kebijakan pariwisata di
lokasi penelitian (Kota Surakarta, Kota Batu, dan Provinsi Bali)
menunjukkan focus dan skala prioritas yang tidak sama. Hal
ini nampak dalam analisis di bawah ini.

192 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 193
Berdasarkan data di atas nampak bahwa terdapat
perbedaan dalam perspektif pemerintahan untuk
melaksanakan kebijakan pariwisata berbasis pluralisme lokal
untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Di Kota Surakarta,
elemen desa wisata sebagai alternatif tidak dijumpai. Hal ini
karena dalam lingkungan pemerintahan tidak terdapat satuan
wilayah berupa desa. Sisi yang berbeda dijumpai di Kota
Batu, sebagai akibat sejarah perkembangan wilayah, masih
dijumpai satuan wilayah desa yang kemudian dicoba untuk
pengembangan dan inisiasi desa wisata. Namun demikian,
Kota Batu tidak memiliki peraturan mengenai desa wisata. Di
Bali, seluruh wilayah penelitian memiliki, baik dalam taraf lama
maupun baru, komitmen pengembangan desa wisata. Hanya
saja Kabupaten Badung sejak awal telah memiliki peraturan
mengenai desa wisata. Sementara Kabupaten Tabanan baru
tahun 2018 disahkan dan bahkan Kabupaten Gianyar belum
memiliki.
Seluruh lokasi penelitian telah memiliki dokumen
perencanaan pembangunan jangka menengah, yang
merupakan penjabaran visi dan misi Kepala Daerah, kecuali
Kabupaten Tabanan yang belum disahkan hingga 2018 ini.
Kecuali Kota Surakarta dan Kabupaten Badung, seluruh lokasi
penelitian tidak memiliki Rencanan Induk Pembangunan
Pariwisata Daerah yang diamanahkan oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sebaliknya,
semua lokasi penelitian memiliki Peraturan Daerah tentang
Kepariwisataan. Hanya Kota Surakarta yang memiliki Peraturan
Daerah ini dengan nama yang spesifik yaitu penyelenggaraan
usaha pariwisata.
Kota Surakarta tidak memiliki daya tarik alam dan daya
tarik buatan, tetapi mayoritas kebijakan pariwisata ditopang
oleh daya tarik budaya. Kebudayaan juga menjadi komponen

194 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


utama kepariwisataan, dilembagakan dalam pemerintahan
daerah, dan terdapat sejumlah atraksi dan eksplorasi yang
digelar secara rutin. Seluruh lokasi penelitian di Provinsi Bali
memiliki daya tarik budaya dan daya tarik alam, tetapi tidak
mengembangkan daya tarik buatan. Di Bali, basis integrasi dan
karakteristik budaya merupakan hal yang paling menonjol
dibandingkan lokasi penelitian yang lain.
Kota Batu menjadi kasus unik. Komitmen dan karakter
kebijakan kepariwisataan sangat kuat tetapi didominasi
oleh daya tarik buatan. Kohesi dengan budaya tidak ada.
Pada tahun 2003, Kota Batu mengakui bahwa seni Tari
Bantengan merupakan seni tari yang berasal dari wilayah
itu. Namun kebenarannya masih diragukan, pengakuan Kota
Batu menjadi kontroversi di antara masyarakat pecinta seni
serta para seniman tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota
Batu tersebut mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan
berkembang di seluruh wilayah Malang.
Kabupaten Badung, dengan komponen kebijakan
paling lengkap, mendukung kenyataan bahwa wilayah ini
adalah penopang utama kepariwisataan di Bali, yang karena
posisi kepulauan ini, lantas juga menjadi penopang utama
kebijakan serupa di Indonesia. Kota Batu menyusul dalam hal
perolehan pendapatan asli daerah, namun segera nampak
kekurangannya dibandingkan Kabupaten Badung. Perbedaan
hasil dan kebijakan di ketiga lokasi penelitian di Provinsi
Bali, mengkonfirmasikan bahwa dalam wilayah yang sama
terdapat keragaman. Kota Surakarta diuntungkan dengan
aspek budaya dan dominasi daya tarik kebudayaan, sembari
menegaskan posisi di masa lalu, yang masih terus berpacu
untuk mengembangkan kohesi dalam aspek lain.
Penelitian ini dengan demikian memberikan peluang
untuk kajian yang lebih mendalam. Mengapa terjadi

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 195


perbedaan focus dan skala prioritas pluralisme lokal dalam
kebijakan kepariwisataan pada masing-masing daerah?
Apakah perolehan pendapatan asli daerah seperti dalam
kasus Kota Baru dapat dipertahankan dalam jangka panjang
untuk pelaksanaan kebijakan kepariwisataan dibandingkan
usaha melengkapi elemen-elemen lainnya? Daya tarik
alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan adalah tiga
komponen pembentuk produk wisata, dimana ketiganya
dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya. Ketiga
komponen produk wisata tersebut dapat mempengaruhi
satu dengan yang lainya secara langsung maupun tidak
langsung. Akan tetapi bagaimanakah pengaruh itu dapat
digambarkan dan kemudian dilembagakan dalam kebijakan
kepariwisataan? Sisi penting berikutnya, dikaitkan dengan
kebijakan kepariwisataan nasional, apakah mungkin akan
terjadi proses social learning sehingga masyarakat setempat
disyaratkan terlibat dalam berbagai tahap pembangunan?
Dan kemudian, bagaimanakah fasilitais ideal pemerintah
pusat dalam kerangka tersebut, dan kemudian, bagaimanakah
tipologi formulasi ideal dalam pembentukan hukum yang
sesuai?

196 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


BaB V

GH

PENUTUP
GH

A. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka perspektif pemerintahan
dikaitkan dengan model kebijakan kepariwisataan berbasis
pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan
mengandung elemen-elemen sebagai berikut: (a) Dukungan
peraturan dan kelembagaan yang memihak masyarakat lokal;
(b) Daya tarik alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan
adalah tiga komponen pembentuk produk wisata, dimana
ketiganya dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya;
(c) Karakter kebijakan berbasis integrasi dan karakteristik
budaya; (d)) Desa wisata sebagai produk wisata alternatif
disajikan untuk menjawab kejenuhan yang dialami wisatawan
dalam mengkonsumsi produk wisata.

B. Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk tahun kedua yang
meliputi aspek-aspek permasalahan sebagai berikut:
1. focus dan skala prioritas pluralisme lokal dalam kebijakan
kepariwisataan;
2. daya tarik alam, daya tarik budaya dan daya tarik buatan
dalam pola keruangan yang menihilkan kebudayaan;
dan
3. fasilitasi ideal pemerintah dan formulasi hukum yang
ideal.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 197


GH

DAFTAR PUSTAKA
GH

Adhikari, B., dan J. Lovett. “Institutions and collective action: Does


heterogeneity matter in community-based resource
management?” Journal of Development Studies 42, no. 3
(2006): 426–445.
Algra, N.E., dan et.al. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda
Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1983.
Allan M., William, King Russel, Anthony Warner, dan Guy Patterson.
“Tourism and international retirement migration: new
forms of an old relationship in southern Europe.” Tourism
Geographies 2, no. 1 (2000): 28–49.
Anderson, J. E. Public policy making. New York, NY: CBS College
Publishing, 1984.
Anderson, James. Public Policy Making. Boston: Houghton Mifflin,
2000.
Arcodia, C., dan M. Whitford. “Festival attendance and the
development of social capital.” Journal of Convention &
Event Tourism 8, no. 1 (2006): 1–18.
Arnegger, J., dan M. Herzt. “Economic and destination image
impacts of mega-events in emerging tourist destinations.”
Journal of Destination Marketing & Management 5, no. 2
(2016).
Arzt, Katja. “The dynamic infl uences of institutions and
designprinciples on the outcomes of a local agricultural–

198 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


environmental decision-making process.” Amsterdam,
2007.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Konstitusi Sosial : Institusionalisasi dan


Konstitusionalisasi kehidupan Sosial Masyarakat Madani.
Jakarta: LP3ES, 2015.
Avraham, E. “Destination marketing and image repair during
tourism crises: The case of Egypt.” Journal of Hospitality and
Tourism Management 28 (2016): 41–48.
Badan Pusat Statistik. “Provinsi Bali dalam Angka 2016.” Bali: Badan
Pusat Statistik Bali, 2016.
Bannink, Duco, dan Marcel Hoogenboom. “Hidden change:
disaggregation of welfare state regimes for greater insight
into welfare state change.” Journal of European Social Policy
17, no. 1 (2007): 19–32.
Basah, Sjachran. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak
Administrasi Negara. Bandung: Alumni, 1992.
Baso, G. “Mophilonga Katuvua: Konsepsi Masyarakat Adat Toro
Dalam Mempertahankan Kelestarian Sumberdaya Hutan.”
Dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi
Keragaman Hayati, disunting oleh H. Soedjito, Y. Purwanto,
dan E. Sukara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009.
Basri. “Kajian Empiris Pelaksanaan Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Daerah Kalimantan Barat.” Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012.
Bintari, Antik, dan Landrikus Hartarto Sampe Pandiangan.
“Formulasi Kebijakan Pemerintah Tentang Pembentukan
Badan Usaha Milik Daerah (Bumd) Perseroan Terbatas (Pt)
Mass Rapid Transit (Mrt) Jakarta Di Provinsi Dki Jakarta.”

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 199


Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 2 (2016): 220–38.
Bowdin, G. Events management. London: Routledge, 2012.
Brown, S, Getz, D., Pettersson, R., dan Wallstam, M. “Event evaluation:
Definitions, concepts and a state of the art review.”
InternationalJournal of Event and Festival Management 6,
no. 2 (2015): 135–57.
Burkhauser, Richard V., dan John A. Turner. “Life-Cycle Welfare
Costs of Social Security.” Public Finance Review 9, no. 2
(1981): 123–42.
Canavan, Brendan. Journal of Sustainable Tourism 26, no. 4 (2018):
551–66.
Carballo, Rita R., dan Carmelo J. León. “The influence of artistically
recreated nature on the image of tourist destinations:
Lanzarote’s art, cultural and tourism visitor centres and
their links to sustainable tourism marketing.” Journal of
Sustainable Tourism 26, no. 2 (2018): 192–204.
Chalip, L. “Beyond impact: A general model for sport event
leverage.” Dalam Sport tourism: Interrelationships, impacts
and issues, disunting oleh B. W. Ritchie dan D. Adair.
Clevedon: Channel View Publications, 2004.
Chen, Chien-Min, Sheu Hua Chen, dan Hong Tau Lee. “The
destination competitiveness of Kinmen’s tourism
industry: exploring the interrelationships between tourist
perceptions, service performance, customer satisfaction
and sustainable tourism.” Journal of Sustainable Tourism 19,
no. 2 (2011): 247–64.
Chen, .F., dan S.Z. Chiou‐Wei. “Tourism expansion, tourism uncer-
tainty and economic growth: New evidence from Taiwan
and Korea.” Tourism Management 30, no. 6 (2009): 812–18.

200 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Cheron, E.J., dan J.R.B. Ritchie. “Leisure activities and perceived
risk.” Journal of Leisure Research 14, no. 2 (2010): 139–154.
Chheang, Vannarith. “The Political Economy of Tourism in
Cambodia.” Asia Pacific Journal of Tourism Research 13, no.
3 (2008): 281–97.
Christopher, Pierson. Welfare State: The New Political Economy of
Welfare. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press,
2007.
Claudia I., Dobre, dan Costin I. Răsăuţeanu. “Global Economic Crisis
and Government Intervention.” Economic Sciences Series
16, no. 2 (2016): 14–19.
Considine, M. Making public policy: Institutions, actors, strategies.
Cambridge: Polity Press, 2005.
Cosmo, Howard. “The Policy Cycle: A Model of Post-Machiavellian
Policy Making?” Australian Journal of Public Administration
64, no. 3 (2005): 3–13.
Dahlan, Ahmad. “Krisis Negara Kesejahteraan.” Harian Suara
Merdeka. 20 Mei 2008.
Dahlan, Ahmad, dan Irfaan Santoso. “Menggaas Negara
Kesejahteraan.” Jurnal el-Jizya 2, no. 1 (2014): 1–22.
Deldago, M. Celebrating urban community life: Fairs, festivals,
parades, and community practice. Toronto: University of
Toronto Press, 2016.
Dewa Putu Oka Prasiasa. “Strategi Pengembangan Dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa Wisata Timbrah
Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem,” 103–26.
Denpasar, Bali: Universitas Udayana, 2017.
Dhana, Made Metu. Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 201


Wisatawan. Surabaya: Paramita, 2012.
Diane, O’Sullivan, Pickernell David, dan Senyard, Julienne. “Public
Sector Evaluation of Festivals and Special Events.” Journal
of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 1
(2009).
Direktorat Pengembangan Destinasi Wisata. Pengembangan Desa
Wisata. Jakarta: Kementerian Pariwisata, 2016.
Djauhari. “Pergeseran Pemikiran Negara Kesejahteraan Pasca
Amandemen UUD 1945.” Jurnal Pembaharuan Hukum 1,
no. 3 (2014): 318.
Doherty, Alison. “The Volunteer Legacy of A major Sport Event.”
Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2,
no. 1 (2010): 185–207.
Douglas, Jason A. “What’s political ecology got to do with tourism?”
Tourism Geographies 16 (2014): 8–13.
Dredge, Dianne. “Policy for Sustainable and Responsible Festivals
and Events:Institutionalisation of a new Paradigm a
Response.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and
Events 2, no. 1 (2010): 1–13.
Dunn, William. Public Policy Analysis : An Introduction. New Jersey:
Pearson Education, 2004.
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University, 2003.
Dwyer, L., R. Mellor, N. Mistilis, dan T. Mules. “A framework for
assessing ‘tangible’ and ‘intangible’ impacts of events and
conventions.” Event Management 6, no. 3 (2000): 175–91.
Dye, T. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs: Prentice-Hall,
1992.

202 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Easton, David. A System Analysis of Political Life. New York: Willey,
1965.
Edgell, D. L. International tourism policy. New York: Van Nostrand
Reinhold, 1990.
Eisinger, Peter. The rise of the entrepreneurial state: State and local
economic development policy in the United States. Madison:
University of Wisconsin Press, 1988.
Eriksson, Ove. “Evaluation of interventions in the government
sector in Sweden: a need for change.” Policy and Practice in
Health and Safety, no. 1 (t.t.): 75–89.
Fayissa, B., C. Nsiah, dan B. Tadasse. “Impact of tourism on economic
growth and development in Africa.” Tourism Economics 14,
no. 4 (2008): 807–18.
Fenna, A. Australian public policy. Sydney: Pearson Education
Australia, 2004.
Font, Xavier, dan Scott McCabe. “Sustainability and marketing in
tourism: its contexts, paradoxes, approaches, challenges
and potential.” Journal of Sustainable Tourism 25, no. 7
(2017): 869–83.
Forestra, H. de, A. Kusworo, G Mirchon, dan W.A. Djatmiko. Ketika
Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah
Sumbangan Masyarakat. Bogor: International Centre for
Research in Agroforestry, 2000.
Fox, William. Jr. Understanding Administrative Law. New York: Lexis
Publishing, 2000.
Francisco, Esparraga, dan Ian Ellis. Administrative Law. Oxford:
Oxford University Press, 2011.
Fredline, L., L. Jago, dan M. Deery. “The development of a generic

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 203


scale to measure the social impacts of events.” Event
Management 8, no. 1 (2003): 23–37.
Fuadi, Ariza. “Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam
Pandangan Islam dan Kapitalisme.” Jurnal Ekonomi Syariah
Indonesia 5, no. 5 (2015): 14.
Getz, D. Event tourism: Concepts, international case studies, and
research. New York: Cognizant Communication Corp, 2013.
Getz, D., dan S. Page. Event studies: Theory, research, and policy for
planned events. 3 ed. London: Routledge, 2016.
Getz, Donald. “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and
Events : Institutionalization of a New Paradigm.” Journal
of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1
(2009): 61–78.
Giddens, Anthony. Beyond Left and Right : Tarian Ideologi Alternatif
di Atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme. Cetakan 2.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Gladys Angelika. “Awal Mula Pariwisata di Indonesia.” Www.historia.
co.id, 7 Juli 2017. https://historia.id/budaya/articles/awal-
mula-pariwisata-di-indonesia-PMLx3.
Guy Peters. American Public Policy. New Jersey: Chatam House,
1993.
Habibuw, Y. “Implementasi Kebijakan Program Pengembangan
Pariwisata Daerah: Studi Kasus RIPP di Mojokerto.” Tesis
Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada,
1997.
Hakim, Lukman. “Kewenangan Organ Negara Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan.” Jurnal Konstitusi 4, no. 1
(2011): 5–21.

204 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Hall, C. M. Tourism and politics. Policy, power and place. Chichester:
John Wiley & Son, 1998.
———. Tourism planning. Policies, processes and relationships.
London: Pearson Prentice Hall, 2008.
Hall, C. M., dan J. M. Jenkins. Tourism and public policy. London &
New York: Routledge, 1995.
Hall, Michael C. “Innovation and Tourism Policy in Australia and New
Zealand : Never the Twain Shall Meet ?” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 2–8.
Haydock, William. “The ‘Civilising’ Effect of a ‘Balanced’ night time
ecpnomy for ‘better people’: Class and the Cospmopoilitan
Limit in the Consumption and Regulation of Alcohol in
Bournermout.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure,
and Events 6, no. 2 (2014): 172–85.
Huang, Wei-Jue, J.Adam Beeco, Jeffrey C. Hallo, dan William
C. Norman. “Bundling attractions for rural tourism
development.” Journal of Suistanable Tourim 24, no. 10
(2016): 1387–1402.
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (I). Jakarta: Sinar Harapan, 1993.
Ingram, Hadyn. “Clusters and gaps in hospitality and tourism
academic research.” International Journal of Contemporary
Hospitality Management 8, no. 7 (1996): 91–95.
Isharyanto. Hukum Internasional dalam Pusaran Politik dan
Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Pedia, 2017.
Iskandar, J. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi
Manusia. Bandung: Humaniora Utama Press, 2001.
———. “Pelestarian Daerah Mandala dan Keragaman Hayati Oleh

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 205


Orang Baduy.” Dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya
Dalam Konservasi Keragaman Hayati, disunting oleh H.
Soedjito, Y. Purwanto, dan E. Sukara. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, 2009.
James P. Lesters, dan Joseph Steward Jr. Public Policy : An
Evolutionary Approach. Belmonth: Wadsworth, 2000.
Jenkins Smith. Democratic Politics and Policy Analysis. California :
Wadsworth: Inc.Hall, 1990.
Jenkins, W. I. Policy analysis: Apolitical and organizational perspective.
London: Robertson, 1978.
Jerrim, John, dan Robert de Vries. “The limitations of quantitative
social science for informing public policy.” Evidence &
Policy: A Journal of Research, Debate and Practice 13, no. 1
(2017): 117–33.
Johann Höchtl, Peter Parycek, dan Ralph Schöllhammer. “Big data
in the policy cycle: Policy decision making in the digital
era.” Journal of Organizational Computing and Electronic
Commerce 26, no. 1–2 (2016): 147–69.
Johnson, Gbemende. “Legislative ‘Allies’ and Judicial Oversight of
Executive Power.” Justice System Journal 38, no. 2 (2017):
116–34.
Kadir, A. “Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Daerah.” Tesis Magister Administrasi Publik,
Universitas Gajah Mada, 1996.
Kati Kuitto. “From social security to social investment?
Compensating and social investment welfare policies in
a life-course perspective.” Journal of European Social Policy
26, no. 5 (2016): 442–59.

206 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. New Brunswick, USA:
Transaction Publisher, 2006.
Keston K. Perry. “The Dynamics of Industrial Development in a
Resource-Rich Developing Society: A Political Economy
Analysis.” Journal of Developing Societies 34, no. 3 (2018):
264–96.
Kim, H.J., M.H. Chen, dan S.C. Jang. “Tourism expansion and
economic development: The case of Taiwan.” Tourism
Management 27, no. 5 (2006): 925–33.
Kiswanto, Eddy. “Negara Kesejahteraan (Welfare State) :
Mengembalikan Peran Negara Dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial di Indonesia.” Jurnal Kebijakan dan
Administrasi Publik 9, no. 2 (2005): 91.
Krasner, Stephen D. Sovereignty: Organized Hypocrisy. Pricenton NJ:
Princeton University Press, 1999.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni, 2004.
Laksana, Praditya Budi, Riyanto, dan Abdullah Said. “Strategi
Pemasaran Pariwisata Kota Surakarta Melalui City
Branding (Studi pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Surakarta.” Jurnal Administrasi Publik 3, no. 1 (2015):
73.
Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. Power and Society. New
Heaven: Yale University Press, 1970.
Latif, Yudi. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila. Cetakan 4. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2012.
Lee, J., dan M.C. Strazicich. “Minimum LM unit root test with two
structural breaks.” Review of Economics and Statistics 85, no.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 207


4 (2003): 1082–1089.
Lettau, M., dan S. Ludvigson. “Consumption, aggregate wealth,
and expected stock returns.” Journal of Finance 3 (2001):
815–49.
Lubis, Z.B. “Lubuk Larangan: Revivalisasi Situs Keramat Alami
di Kabupaten Mandailing Natal.” Dalam Situs Keramat
Alami: Peran Budaya Dalam Konservasi Keragaman Hayati,
disunting oleh H. Soedjito, Y. Purwanto, dan E. Sukara.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2009.
Maffi, L. “Linguistic Diversity.” Dalam Cultural and Spiritual Values
of Biodiversity, disunting oleh D. Posey, 21–35. London:
Intermediate Technology Publications, 1999.
Malik, S., I.S. Chaudhry, M.R. Sheikh, dan F.S. Farooqi. “Tourism,
economic growth and current account deficit in Pakistan:
Evidence from co‐integration and causal analysis.”
European Journal of Economics, Finance and Administrative
Sciences 22 (2010): 21–31.
Manan, Bagir. “Politik Perundang-undangan Dalam Rangka
Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian.” Dalam
Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Lampiung: Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996.
———. “Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka
Otonomi Daerah.” Dalam Seminar Nasional Pengembangan
Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan
Pesisir dalam Rangka Penataan Ruang. Bandung: Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, 2000.
Marie-Louise Mangion, Chris Cooper, Isabel Cortés-Jimenez, dan
Ramesh Durbarry. “Measuring the Effect of Subsidization
on Tourism Demand and Destination Competitiveness

208 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


through the AIDS Model: An Evidence-Based Approach to
Tourism Policymaking.” Tourism Economics 18, no. 6 (2012):
1251–72.
M.Dagun, Save. Kamus Besar Imu Pengetahuan. Jakarta: LKPN, 2000.
Michael, Howlett, dan M. Ramesh. Studying Public Policy : Policy
Cycles and Policy Subsystem. Oxford: Oxford University
Press, 1995.
Moeliono, Anton M., dan Et.al. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Moscardo, G. “Analyzing the role of festivals and events in regional
development.” Event Management 11, no. 1 (2007): 23–32.
Mouw, E. “Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata
Bahari di Kabupaten Halmahera Barat.” Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012.
Naidoo, P., P. Ramseook‐Munhurrun, dan A.K. Seetaram.
“Marketing the hotel sector in economic crisis: Evidence
from Mauritius.” Global Journal of Business Research 5, no.
2 (2011): 1–12.
Nyoman S. Pendit. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar. Jakarta:
Pradnya Paramita, 1980.
Oka A. Yoeti. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa, 1996.
Ooi, Natalie, dan Jennifer H. Laing. “Backpacker tourism: sustainable
and purposeful? Investigating the overlap between
backpacker tourism and volunteer tourism motivations.”
Journal of Sustainable Tourism 18, no. 2 (2010): 191–206.
Pass, Christopher, dan Bryan Lowes. Collins Kamus Lengkap Ekonomi.
Diterjemahkan oleh Tumpal Rumapea dan Posman Halolo.
Jakarta: Erlangga, 1999.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 209


Patricio Aroca, Juan Gabriel Bilda, dan Serena Volo. “Tourism
statistics: Correcting data inadequacy.” Tourism Economics
23, no. 1 (2017): 99–112.
Pemerintah Kabupaten Gianyar. “Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah Kabupaten Gianyar 2017.” Gianyar: Pemerintah
Kabupaten Gianyar, 2018.
Pomering, Alan, Gary Noble, dan Lester W. Johnson.
“Conceptualising a contemporary marketing mix for
sustainable tourism.” Journal of Sustainable Tourism 19, no.
8 (2011): 953–69.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat, 1980.
Purba, J., ed. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, 2006.
Ramesh, D., dan M. Thea Sinclair. “Market shares analysis the case
of French tourism demand.” Annals of Tourism Research 30,
no. 4 (2003): 927–941.
Renko, Sanda, dan Kristina Buar. “How Changing Lifestyles Impact
The Development Of Some Special Interests Of Tourism:
The Case Of Spa Tourism In Croatia.” International Journal
of Management Cases 5 (2008): 101–10.
Riant Nugroho. Public Policy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Roberts, Ken. “Can Employment Policies Improve a Society’s
Leisure ?.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and
Events 2, no. 1 (2010): 82–87.
Saayman, Melville. “The Socio-Economic Impact of an Urban Park :
The Case of Wilderness National Park.” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 3 (2010): 247–

210 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


64.
Saeroji, Amad, dan Deria Adi Wijaya. “Pemetaan Wisata Kuliner
Khas Kota Surakarta.” Jurnal Pariwisata Terapan 1, no. 1
(2017): 12.
Salmenkaita, Jukka-Pekka, dan Ahti Salo. “Rationales for
Government Intervention in the Commercialization of
New Technologies.” Technology Analysis and Strategic
Management 14, no. 2 (2002): 183–200.
Sandang, Yesaya, dan Rindo Bagus Sanjaya. “Pariwisata Indonesia
Dalam Citra Mooi Indie: Dahulu Dan Sekarang.” Jurnal Studi
Pembangunan Interdisiplin 24, no. 2 (2015).
Sarah, Roche, F. Spake Deborah, dan Joseph Mathews. “A model of
sporting event tourism as economic development.” Sport,
Business and Management: An International Journal 3, no. 3
(2013): 145–71.
Sarbini Mbah Ben. Filsafat Pariwisata: Sebuiah Kajian Filsafat Praktis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Sastrapradja, S.D. Memupuk Kehidupan di Nusantara: Memanfaatkan
Keragaman Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2010.
Schulenkorf, N., dan D. Edward. “Maximizing positive social
impacts:Strategies for sustaining and leveraging the
benefits of intercommunity sport events in divided
societies.” Journal of Sport Management 26, no. 5 (2012):
379–90.
Sequeira, T.N., dan C. Campos. “International tourism and economic
growth: A panel data approach.” Fondazione Eni Enrico
Mattei Nota di Lavoro, 2005.
Simon Chak-keung, Wong, dan Liu Gloria Jing. “Will parental
influences affect career choice?: Evidence from hospitality

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 211


and tourism management students in China.” International
Journal of Contemporary Hospitality Management 22, no. 1
(2010): 82–101.
Smith, Andrew. “Spreading The Positive Effects of Major Events
to Peripheral Areas.” Journal of Policy Research in Tourism,
Leisure and Events 1, no. 2 (2009): 231–46.
Soehino. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Soekadijo. Anatomi Pariwisata: Memahami sebagai Systemic
Linkage. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:
Rajawali, 1988.
Soemardi. Teori Umum Hukum dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu
Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik.
Bandung: Bee Media Indonesia, 2010.
Soemarwoto, Otto. Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep
dan Reaita. Bandung: Universitas Padjajaran, 2006.
Spillani, James J. Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Suharto, Edi. “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan :
Mengkaji Peran Negara dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial di Indonesia.” Http://www.policy.hu/
suharto/mamakIndo10, 2004.
———. Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik. Bandung:
Alfabet, 2007.
Sunjayadi, Achmad. “Dari Vreemdelingenverkeer ke
Toeristenverkeee: Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda
1891-1942.” Disertasi Doktor Ilmu Sejarah, Universitas
Indonesia, 2017.

212 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


Sutardi, Tedi. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya.
Bandung: Setia Purna Inves, 2010.
Syarifudin, Ateng. Butir-Butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan
Hukum Dan Pemerintahan Yang Baik. (Bandung: PT Citra
Adtya Bakti, 1996.
Synmann, P.C.A. “Public policy in Anglo-Americal law.” Comparative
and International Law Journal of Southern Africa `19, no. 2
(1986): 220–35.
Teeuw, A. Kamus Indonesia-Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1999.
Teodora, Mot. “Buzias as a cultural and therapeutic tourism
destination.” Scientific Papers Animal Science and
Biotechnologies 47, no. 2 (2014): 321–24.
Thacher, Devid, dan Martin Rein. “Managing Value Conflict in Public
Policy.” Governance 17, no. 4 (2004): 457–86.
Theodoraki, Eleni. “Organisational Communication on the Impacts
of the Athens 2004 Olympic Games.” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 141–
55.

Tjandra, W. Riawan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Sinar


Grafika, 2018.
———. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Triegaardt, Jean D. “Social policy domains: Social welfare and social
security in South Africa.” International Social Work 45, no. 3
(2002): 325–36.
Triwibowo, Darmawan, dan Sugeng Bahagio. Mimpi Negara
Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES, 2006.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 213


Tsiotsou, Rodoula, dan Vanessa Ratten. “Future research directions
in tourism marketing.” Marketing Intelligence & Planning 28,
no. 4 (2010): 533–44.
Umar, Zulkarnain. “Analisis Implementasi Kebjakan Standar
Pelayanan Minimal Untuk Peningkatan Kualitas Layanan
Publik di Daerah.” Jurnal Analisis dan Kebijakan Publik 3, no.
1 (2017): 6.
Vecchi, Veronica, Manuela Brusoni, dan Elio Borgonovi. “Public
Authorities for Entrepreneurship: A management approach
to execute competitiveness policies.” Public Management
Review 16, no. 2 (2014): 256–73.
Veriani, R. “Implementasi Pengembangan Kebijakan Pariwisata
Kebumen.” Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas
Gajah Mada, 2009.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke
Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. V.
Jakarta: Bumi Aksara, 2016.
Wallstam, Martin, Dimitri Ioannides, dan Robert Pettersson.
“Evaluating the social impacts of events: in search of
unified indicators for effective policymaking.” Journal
Of Policy Research In Tourism, Leisure And Events 10, no. 1
(2018).
Wang, Y.S. “The impact of crisis events and macroeconomic activity
on Taiwan’s international inbound tourism demand.”
Tourism Management 30 (2009): 75–82.
Warhurst, Chris. “The knowledge economy, skills and government
labour market intervention.” Policy Studies 29, no. 1 (2008):
71–86.
W.C., Po, dan Huang B.N. “Tourism development and economic

214 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN


growth‐a nonlinear approach.” Physica A: Statistical
Mechanics and its Applications 38, no. 7 (2008): 535–542.
Wood, E. “An impact evaluation framework: Local government
community festivals.” Event Management 12, no. 3 (2009):
171–85.
Wood, E. “Measuring the economic and social impacts of local
authority events.” International Journal of Public Sector
Management 18, no. 1 (2005): 37–53.
Xu, Honggang. “Managing Side Effects of Cultural Tourism
Development - The Case of Zhouzhuang.” Systems Analysis
Modelling Simulation 43, no. 2 (2003): 175–88.
Yaghmour, Samer, dan Scott, Noel. “Inter-Organizational
Collaboration Characteristics and Outcomes : A Case
Study of The Jeddah Festival.” Journal of Policy Research in
Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 115–30.
Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan UUD 1945: Risalah Sidang
BPUPKI/PPKI. Jakarta: Prapanca, 1959.
Yap, G. “An examination of the effects of exchange rates on
Australia’s inbound tourism growth: A multivariate
conditional volatility approach.” International Journal of
Business Studies 20, no. 1 (2012): 111–32.
Yusdiyanto. “Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam
Pembuatan Perda dan Peraturan Lainnya.” Jurnal Fiat
Justisia Ilmu Hukum 6, no. 3 (2012): 7.
Zendrato, Rosleini Ria Putri, Adhie Tri Wahyusi, dan Bagus Ismail
Adhi Wicaksana. “Implementasi Semantic Trip Planning
dalam Perancangan Aplikasi Mobile Perencanaan
Perjalanan Wisata di Wilayah Eks-Karisidenan Surakarta.”
Jurnal Techno 17, no. 1 (2016): 1.

(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 215


216 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 217
218 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 219
220 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 221
222 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 223
224 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 225
226 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 227
228 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 229
230 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 231
232 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 233
234 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 235
236 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 237
238 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 239
240 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 241
242 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 243
244 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 245
246 ◼ HUKUM KEPARIWISATAAN & NEGARA KESEJAHTERAAN
(Antara Kebijakan dan Pluralisme Lokal) ◼ 247

Anda mungkin juga menyukai