Anda di halaman 1dari 4

6

akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. Setelah terinfeksi


HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari,
kehilangan berat badan kurng dari 10 %, diare, lesi pada mukosa dan penyakit
infeksi kulit berulang. Gejala-gejala ini merupakan tanda awal munculya infeksi
oportunistik (Sterling, 2010).

Pada orang dewasa, tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat
tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit
tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam dan berkeringat. Penderita akan
mengalami beberapa gejala, tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala. Oleh
sebab itu harus ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis pada
orang dengan infeksi HIV: Masa inkubasi 6 bulan-5tahun, window period selama
6-8minggu, saat tubuh sudah menerima HIV namun belum terdeteksi oleh
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis yang tidak jelas seperti: Diare kronis,
kandidiasis mulut yang luas, Pneumocystis carinii, Pneumonia interstsiasis, dan
Ensefalopati kronik. (Nandasari, 2015).

2.4 Transmisi HIV/AIDS

hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV
tanpa perlindungan. Selama berhubungan bisa terjadi lesi mikro pada vagina,
dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV masuk ke aliran darah pasangan
seksual. Berikut transmisi terjadinya HIV/AIDS :

1. Ibu pada bayinya bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero), selama persalinan
kontak antara kulit bayi dengan darah, pemberian ASI ibu positif HIV pada
bayinya

2. Transfusi darah dan produk darah yang tercemar HIV-AIDS Sangat cepat
menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar
ke seluruh tubuh. Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan maupun
digunakan oleh para pengguna narkoba secara bergantian berpotensi menularkan
HIV.
7

3. Pemakaian alat yang tidak steril seperti speculum yang menyentuh darah, cairan
vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, alat tajam dan runcing seperti pisau,
silet, alat tato dan memotong rambut bisa menularkan HIV sebab alat tersebut
mungkin dipakai tanpa disterilkan (Nandasari,2015).

2.5 Patogenesis HIV/AIDS

2.6 Pencegahan & Penanganan

Pencegahan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer, yang


mencakup mengubah perilaku seksual dengan menetapkan prinsip ABC, yaitu
Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia pada
pasangan), dan Condom (pergunakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan
dengan pasangan), Don‟t Drug, Education. Wanita juga disarankan tidak
menggunakan narkoba, terutama narkoba suntik dengan pemakaian jarum
bergantian, serta pemakaian alat menoreh kulit dan benda tajam secara bergantian
dengan orang lain (misalnya tindik, tato, silet, cukur, dan lain-lain). Petugas
kesehatan perlu menetapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta
produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien. WHO mencanangkan empat
strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak, yaitu dengan
mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS. Apabila sudah dengan
HIV/AIDS, dicegah supaya tidak hamil. Apabila sudah hamil, dilakukan
pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan
anaknya sudah terinfeksi, maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan
bagi ODHA dan keluarganya (Nursalam, 2007).

Penanganan yang dilakukan adalah Antiretroviral (ARV), ARV bekerja


langsung menghambat perkembangbiakan HIV. ARV bekerja langsung
menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat enzim protease.
Kendala dalam pemberian ARV antara lain kesukaran ODHA untuk minum obat
secara langsung, dan resistensi HIV terhadap obat ARV (Depkes, 2006).
8

Penggunaan obat Antiretroviral (ARV) kombinasi pada tahun 1996


mendorong revolusi dalam pengobatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di
seluruh dunia. Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh
dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap
obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan
kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan
masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit
yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang
menakutkan (Gunawan, 2016).

2.7 Pemeriksaan HIV/AIDS

Pemeriksan yang dapat dilakukan yaitu Tes serologi, yang terdiri atas:

1. Tes cepat ,Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang
ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1
maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih sedikit
dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit bergantung pada
jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.

2. Tes Enzyme Immunoassay (EIA),Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan
HIV-2 Reaksi antigen-antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.

3. Tes Western Blot,Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus
yang sulit.

Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR),Tes virologis


direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari 18 bulan. Tes
virologis terdiri atas:

1. HIV DNA kualitatif (EID),Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak
bergantung pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis
pada bayi.
9

2. HIV RNA kuantitatif, Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah,
dan dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis
pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia (Kemenkes RI, 2014).

Anda mungkin juga menyukai