Anda di halaman 1dari 47

Imunisasi pada Anak

Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Immunization is the process of
inducing immunity artificially by either vaccination (active immunization) or administration of
antibody (passive immunization). Vaccination is administration of any vaccine or toxoid
(inactivated toxin).1
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu
imunoglobulin yang non-spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan imunoglobulin yang
spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh atau baru saja mendapatkan
vaksinasi penyakit tertentu. Imunoglobulin non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi
imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat
terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah permanen melainkan hanya
berlangsung beberapa minggu saja. Demikian pula cara tersebut adalah mahal dan
memungkinkan anak justru menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan
serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan
imunoglobulin yang spesifik diberikan pada anak yang belum terlindung karena belum pernah
mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis A
dan B.2
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada suatu
antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga
tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara
ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan
kekebalan. Tujuannya adalah memberikan "infeksi ringan" yang tidak berbahaya namun cukup
untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di
kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan
mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.2

Tujuan Imunisasi3
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang,
dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan
penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih
mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti
misalnya penyakit difteria.
Kualitas dan Kuantitas Vaksin3
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti
cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya
vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan
vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mcmpengaruhi respons imun yang
terjadi. Dosis terialu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedang
dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat
diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan.
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah
kita ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih
tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian
pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya
diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera
dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat
merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi
Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan
kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian
ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap
antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada
atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi set APC (antigen presenting cells)
untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan
mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.
 Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin
mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) dari
mikroorganisme.
Persyaratan Vaksin3
Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat empat
faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu :
1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi interleukin,
2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi
respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC
4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan
limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-
waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga
kadarnya tetap tinggi.

Jenis Vaksin4
Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
 Live attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan)
 Inactivated (bakteri, virus atau komponennya, dibuat tidak aktif)

Vaksin Hidup Attenuated


Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri
liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-
ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus
liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada
jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada
tahun 1954.
 Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus
berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis
kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi
di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi
rangsangan suatu respons imun.
 Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau
pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat
menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
 Walaupun vaksin hidup attenuated menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan
dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse
event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan
yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu
infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
 Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik
seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
 Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh
dari antibodi yang beredar. Antibodi dari sumber apapun (misalnya transplasental,
transfusi) dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan
tidak adanya respons (non response). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang
paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan
rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
 Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas
dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


 Berasal dari virus hidup : vaksin campak, rubela, polio, rotavirus
 Berasal dari bakteri : vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media
pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penambahan bahan
kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat murni dan hanya
komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari
kuman pneumokokus).
 Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen
dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada
orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi
oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di
dalam sirkulasi darah.
 Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis ganda. Pada umumnya, pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan
sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal
ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama
dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar
humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap
antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin
inactivated membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.
 Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih
memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat
paling reaktogenik clan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping.
Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak
diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT).

Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari


 Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
 Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
 Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis
a-seluler, tifoid Vi, lyme disease,
 Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum,
 Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, clan Haemophilus
influenzae tipe b.
 Gabungan polisakarida ( Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus).

Penyimpanan Vaksin5
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya.
Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum
untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8° C dan tidak
membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku.
Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan informasi khusus vaksin-
vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan
beku.

Pemberian Suntikan5
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam.
Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCG diberikan
dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian besar diberikan secara
suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas kesehatan yang kurang
berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan memberikan dengan cara
intramuskular.

Arah Sudut Jarum Pada Suntikan Intramuskular5


Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 45° sampai 60° ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan
untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat
terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90° Pada suntikan dengan sudut jarum 45° sampai
60° akan mengalami hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.

Tempat Suntikan Yang Dianjurkan5


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang diajurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak
umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih
besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.
Risiko kerusakan saraf iskhiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak dijumpai
pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi
dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan suntikan
subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat. Vaksin hepatitis B dan rabies bila disuntikkan di
daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk semua umur.
Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha anterio lateral sebenarnya telah
diketahui, namun beberapa petugas kesehatan masih segan meninggalkan praktek tradisionalnya
dengan menyuntik di daerah gluteal. Sehubungan dengan hal tersebut, dianjurkan untuk selalu
mengulang kembali dengan memberi peringatan bahwa bila vaksin-vaksin tersebut disuntikkan
di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu dengan memilih lokasi suntikan yang tepat untuk
menghidari saraf ischiadika. Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas
insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya
keloid.

Posisi Anak Dan Lokasi Suntikan5


Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian tanpa risiko kerusakan saraf dan
pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat
disuntik, walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah
ketakutan sehingga meningkatkan ketegannan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau
pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka
memahami apa yang sedang dikerjakan.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi clan anak umur di bawah 12 bulan adalah
 Menghindari risiko kerusakan saraf iskhiadika pada suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara
adekuat.
 Vaksin hepatitis B dan rabies sifat imunogenesitasnya berkurang bila disuntikkan di
daerah gluteal.
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang
menahun.

Vastus lateralis, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan5

Gambar 1. Diagram Lokasi Suntikan yang Dianjurkan pada Otot Paha (Dikutip dari
Suyitno, 2005)5

Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral
paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang
merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 45°-60° terhadap
permukaan kulit, dengan jarum ke arah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar
ujung jari di atas (ke arah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.
Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/ pengasuh
atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayi
harus dibuka bila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikan, bila tidak demikian
vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang
pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini akan
mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.

Penyuntikan Subkutan
Tabel 1. Pedoman penyuntikan subkutan
Umur Tempat Ukuran jarum
Bayi (0-12 bln) Paha daerah anterolateral Jarum 5/8"-3/4" Semprit
No. 23-25
1-3 tahun Paha daerah anterolateral atau Jarum 5,/8"-3/4"
daerah lateral lengan atas Semprit No. 23-25
> 3 tahun Daerah lateral lengan Jarum 5/8"-3/4"
atas Semprit 23-25
"Penyuntikan subkutan untuk imunisasi MMF, variseia, Hib
(Dikutip dari : Suyitno, 2005)5

Gambar 2. Lokasi Penyuntikan Subkutan pada Bayi (a) dan Anak Besar (b) (Dikutip dari
Suyitno, 2005)5

Perhatian untuk suntikan subkutan


 Arah jarum 45° terhadap kulit
 Cubit tebal imtuk suntikan subkutan
 Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan
 Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda

Penyuntikan Intramuskular
Tabel 2. Pedoman penyuntikan intramuskular
Umur Tempat Ukuran Jarum
Bayi Otot vastus lateralis pada Jarum 7/8"-1"
(0-12 bin) paha daerah anterolateral Semprit no. 22-25
1-3 tahun Otot vastus lateralis pada Jarum 5/8"-1/4° (5/8" unt suntikan
paha daerah anterolateral di deltoid umur 12-15 bulan)
sampai masa otot deltoid Semprit no. 22-25
cukup besar(pada
umumnya umur 3 th)
> 3 tahun Otot deltoid, di bawah Jarum 1"- 1 1/4"
akromion Semprit no. 22-25
'Penyuntikan intramuskular untuk DTP, DT, TT, Hib, hepatitis A & B, influenza
(Dikutip dari : Suyitno, 2005)5

Gambar 3. Penyuntikan Intramuskular (Dikutip dari Suyitno, 2005)5

Perhatian untuk penyuntikan intramuskular


 Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot
 Suntik dengan arah jarum 80-90°, lakukan dengan cepat
 Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum
ditusukkan
 Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke
dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru.
Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda

Keadaan Bayi /Anak Sebelum Imunisasi6


Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara lisan
atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko
kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini,
 pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat (memerlukan
pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit),
 alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin misa!nya neomisin
 sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau kemoterapi,
 menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker, HIV/AIDS),
 tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukemia, kanker,
HIV / AIDS),
 tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas
(radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid)
 pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin campak,
poliomielitis, rubela),
 pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi darah,
 menderita penyakit susunan syaraf pusat.

Pemberian Paracetamol Sebelum dan Sesudah Imunisasi6


Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi
DTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan parasetamol 15 mg/kgbb kepada
bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap
3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut,
diminta segera kembali kepada dokter.

Imunisasi Bayi Pada Ibu Berisiko7


Ibu menderita hepatitis B
Ibu yang menderita hepatitis akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkan
hepatitis B pada bayinya.
 Berikan dosis awal vaksin hepatitis B 0,5 ml segera setelah lahir seyogyanya dalam
12 jam sesudah lahir, diikuti dosis ke-2, dan ke-3 sesuai dengan jadwal imunisasi
hepatitis
 Apabila tersedia, pada saat yang sama beri imunoglobulin hepatitis B 200 IU i.m (0,5
ml) disuntikkan pada paha yang lainnya, dalam waktu 48 jam sesudah lahir
(sebaiknya 24 jam sesudah lahir).
 Yakinkan ibu untuk tetap menyusui dengan ASI apabila vaksin di atas sudah
diberikan.
Ibu menderita tuberkulosis (TB)
Bila ibu menderita TB paru aktif dan mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum
melahirkan, atau didiagnosis TB setelah melahirkan
 Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir
 Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg sekali sehari, oral
 Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan
pemeriksaan uji tuberkulin, dan foto dada bila memungkinkan.
 Apabila ditemukan kemungkinan atau TB aktif, mulai diberi pengobatan anti
TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi
 Apabila kondisi bayi baik dan dan hasil uji tuberkulin negatif, lanjutkan
pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan.
 Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila
BCG sudah terlanjur diberikan, ulang 2 minggu setelah pengobatan INH
selesai.
 Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan cacat berat badan bayi
tiap 2 minggu.
Ibu menderita HIV
 Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada bayi saat lahir.
 Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji
antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status
HIV bayi.
 Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga, rawat
bayi seperti bayi yang lain. Bayi tetap diberi imunisasi rutin seperti layaknya bayi
sehat lain.

Vaksin pada Program Imunisasi Nasional


Tuberkulosis (vaksin BCG)
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis.
Tuberkulosis paling sering mengenai paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lain.8

Epidemiologi8
Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan tiga besar di dunia. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) 1992 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian kedua di
Indonesia.

Vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin)8,9


Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis
yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapat basil yang tidak virulen tetapi
masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap
tuberkulin. Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai BCG :
 Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG Biofarma Bandung. Vaksin BCG
ini berisi suspensi M.bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak
mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti
meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier.
 BCG diberikan pada umur < 2 bulan. BCG sebaiknya diberikan pada anak dengan uji
Mantoux (tuberkulin) negatif. Bayi yang diduga mempunyai kontak erat dengan
penderita TB aktif atau yang akan diimunisasi diatas usia 2 bulan sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu.
 Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0-
80%. Hal ini mungkin karena vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium
atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain).
 Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi. BCG
sebaiknya diberikan pada regio lengan kanan atas pada daerah insersio m. deltoideus
kanan sehingga bila terjadi limfadenitis BCG lebih mudah terdeteksi.
 Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 28°C, tidak
boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dibuang dalam 8 jam.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi8


Penyuntikan BCG secara intradermal yang benar akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial
3 minggu setelah penyuntikan. Ulkus yang biasanya tertutup krusta akan sembuh dalam 2-3 bulan
dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus
yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi
tertarik ke dalam (retracted).

Limfadenitis8,9
Limfadenitis BCG didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar getah bening regional ipsilateral
setelah vaksinasi BCG. Kejadiaannya berkisar 1-2 per 1000 vaksinasi. Onset timbulnya umumnya
setelah 2 minggu atau 2 bulan dan tidak lebih dari 12 bulan. Limfadenitis di aksila atau di leher
kadang-kadang dijumpai. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis dan galur (strain) yang
dipakai. Limfadenitis akan sembuh sendiri. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul
fistula maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral.

BCG-itis diseminasi8
BCG-itis diseminasi jarang terjadi, biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat.
Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan
osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis.

Kontraindikasi BCG8
 Reaksi uji tuberkulin > 5 mm,
 Sedang menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat
pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
 Anak menderita gizi buruk,
 Sedang menderita demam tinggi,
 Menderita infeksi kulit yang luas,
 Pernah sakit tuberkulosis,
 Kehamilan.

Rekomendasi8
 BCG diberikan pada bayi < 2 bulan
 Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB dengan BTA (+ 3) sebaiknya
diberikan INH profilaksis dulu, kalau kontaknya sudah tenang dapat diberi BCG.
 BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imunodefisiensi, misalnya HIV,
gizi buruk dan sedang mendapat obat imunosupresif.

Hepatitis B10
Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Infeksi pada
anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan
menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS).
Epidemiologi
Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Transmisi terjadi melalui kontak perkutaneus
atau parenteral, dan melalui hubungan seksual. VHB juga dapat melekat dan bertahan di
permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular.

Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi ini meliputi :
1. Imunisasi pasif
Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Pemberian ketiga seri vaksin dan
dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons
protektif (anti HBs > 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja. Vaksin
diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di anterolateral
paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa diberikan di regio deltoid.
2. Imunisasi aktif
Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi
jangka pendek (3 - 6 bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle
stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata).
Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB.

Sasaran vaksinasi hepatitis B


 Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu
 Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
 Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
 Pasien hemodialisis
 Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang
 Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubungan
seksual
 Drug users
 Homosexuals, bisexual, heterosexuals
Jadwal dan dosis
Beberapa hal yang perlu diingat :
 Minimal diberikan sebanyak 3 kali
 Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
 Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0, 1, dan 6 bulan karena respons
antibodinya paling optimal
 Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang
interval antara dosis kesatu dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas
atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai
(dosis ketiga).
 Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster.
Agar dapat dicapai kadar antibodi protektif secepatnya dianjurkan hepB-3 diberikan
lebih awal (umur 3-6 bulan), mengingat Indonesia adalah daerah endemisitas tinggi;
 Bila sesudah dosis pertama imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua;
sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan.
 Bila dosis ketiga terlambat, beri segera setelah memungkinkan.
 Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menentukan dosis sesuai umur
(age-specific dose) yang dapat menimbulkan respons antibodi yang optimum. Oleh
karena itu dosis yang direkomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia
resipien. Sedangkan dosis pada bayi, dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu.
 Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah
suntikan.
 Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah memperoleh terapi faktor
koagulasi, dengan jarum kecil (nomer 23), tempat penyuntikan ditekan minimal 2
menit.
 Bayi prematur : bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan
atau berat badan sudah mencapai 2000 gram

Tabel 3. Imunisasi Hepatitis B pada Bayi Baru Lahir


HBsAg Imunisasi Keterangan
Positif HBIg (0,5 ml) dan vaksin Dosis I diberikan <12 jam peertama
Negatif atau Vaksin Dosis I : Segera setelah lahir
tidak diketahui Status HBV ibu semula tidak diketahui
tetapi bila dalam 7 hari terbukti ibu
HBV, segera beri HBIg
(Dikutip dari : Hidayat dan Pujiarto, 2005)10

Efektivitas, lama proteksi


Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%. Memori sistem imun menetap
minimal sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada anak normal, tidak dianjurkan untuk
imunisasi booster. Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal.

Non responder
Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer, diberikan vaksinasi
tambahan. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi serokonversi, tidak perlu
imunisasi tambahan lagi.

Uji serologis
Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pasca imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis
pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan
individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pasca imunisasi perlu dilakukan pada
bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien
immunocompromised. Uji serologis pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ke-
tiga.

Reaksi KIPI
Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara,
kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

Indikasi kontra
Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi
bukan indikasi kontra imunisasi VHB.
Difteria, Pertusis, Tetanus
Difteria11
Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan disebabkan
oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif.
Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang
mengandung informasi genetik toksin. Ditemukan 3 galur bakteri yaitu, gravis, intermedius dan
mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin.
Seseorang anak dapat terinfeksi basil difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut
kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan
destruksi jaringan setempat kemudian terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat
jalan nafas. Toksin yang terbentuk di membran tersebut kemudian diabsorbsi kedalam aliran
darah dan dibawa ke seluruh tubuh.

Pertusis11
Pertusis atau batuk rejan/ batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan
oleh bakteri Bordetella pertussis. Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram
negatif.
Sebelum ditemukannya vaksin pertusis, penyakit ini merupakan penyakit tersering yang
menyerang anak-anak dan merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000
kematian terjadi setiap tahun).
Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated. Toksin yang dihasilkan
kuman (melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut
sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, dan berpotensi menyebabkan
pneumonia.
Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas
akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk paroksismal
tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk seperti ini, pasien
biasanya akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Bayi di bawah 6 bulan juga
dapat menderita batuk seperti ini namun biasanya tanpa disertai suara whoop. Bayi dan anak
prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena penyakit.

Tetanus11
Tetanus adalah suatu penyakit akut, bersifat fatal, disebabkan oleh eksotoksin produksi
bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat
anaerobik, gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini
masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob, kemudian terjadi
produksi toksin (tetanospasmin) terjadi dan disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin ini
kemudian akan menempel pada reseptor di sistem syaraf.
Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus yang mempengaruhi pelepasan
neurotransmitter sehingga terjadi penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi
serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan gangguan sistim syaraf otonom. Tetanus
dapat ditemukan pada anak-anak dan neonatal yang bersifat fatal.

Vaksin DTP11
Toksoid difteria
Toksoid difteria ditemukan oleh Ramon, yang menamakannya anatoxin. Untuk imunisasi primer
terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alumprecipitated toxoid) yang kemudian digabung
dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP. Potensi toksoid difteria
dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai
dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi
vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis 0,5 ml. Untuk imunisasi rutin pada
anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan dan saat masuk sekolah. Dosis
ke-4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria
dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis. Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria
semua anak rata-rata memberikan titer lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml ( nilai batas protektif
adalah 0.01 IU). Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan
sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak.

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi11


Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena selama ini
pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa
laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa) sering
ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian tersebut
sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat.

Vaksin Pertusis11
Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat ditemukan dalam serum neonatus
dalam konsentrasi yang sama dengan ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan Namun
demikian antibodi ini ternyata tidak memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis whole-
cell adalah vaksin yang merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. Umumnya vaksin pertusis
diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteri dan tetanus. Campuran ini diadsorbsikan ke
dalam garam alumunium. Sejak 1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan
menggunakan fraksi sel (aselular) yang bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata
memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen
endotoksin dan debris.

Kejadian ikutan pasca imunisasi11,12


 Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada kira-kira
separuh penerima DTP.
 Proporsi yang sama juga akan menderita demam ringan dan 1% dapat menjadi
hiperpireksia.
 Anak sering juga gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca
suntikan.
 Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang (0,06%) sesudah vaksinasi yang
dihubungkan dengan demam yang terjadi. Anak dengan kelainan neurologik yang
mempunyai riwayat kejang, 7,2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan
mempunyai kesempatan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai riwayat kejang dalam
keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian, hendaknya tidak diberikan imunisasi
pertusis, jadi hanya diberikan imunisasi DT.12
 Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

Indikasi kontra11
Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu
:
 Riwayat anafilaksis
 Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya.
 Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution), sebelum
pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus
menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudahnya.
Respon antibodi terhadap imunisasi dasar dengan vaksin pertusis whole-cell tergantung pada
kadar antibodi transplasental yang didapat dari ibu terhadap toksin pertusis. Sebaliknya ternyata
respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksin aseluler tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi
pravaksinasi.

Vaksin Pertusis a-seluler11


Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik dari Bordettella
pertusis yang dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan perannya dalam
memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara klinis.

Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular11


 Vaksin DTwP (pertusis whole cell) telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat
ini walaupun mempunyai efek samping. Adanya data kejadian ikutan pasca imunisasi
gejala susunan syaraf pusat yang serius (termasuk ensefalopati) yang bersifat temporal
association.
 Vaksin DTaP (pertusis aseluler) memberikan imunogenisitas sama baiknya dengan
DTwP. Respons antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan
pada umur 15-18 bulan dan 5-6 tahun.
 Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih rendah daripada
DTP.
 Saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan imunisasi pertusis tinggi
masih melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut disebabkan orang dewasa
yang non-imun terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak, maka pertusis
aselular dapat dipergunakan.

Toksoid Tetanus 11
Dosis dan kemasan
 Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam
setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin
pertusis.
 Terdapat berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi dengan
toksoid difteria dan atau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan
komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.
 Pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan
mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal
pemberian ternyata terlambat.
 Ibu yang mendapatkan toksoid tetanus 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi
yang baik terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata
antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.
Jadwal11
 Pemberian toksoid tetanus yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal
imunisasi.
 Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU atau
lebih.
 KIPI terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara
penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.
 DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu, disebabkan
respons terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedang respons terhadap toksoid
tetanus dan difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal.

Poliomielitis13
Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medula spinalis yang secara klasik
menimbulkan kelumpuhan. Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus,
famili Picornaviridae. Dikenal 3 macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Angka kejadian
kasus polio secara drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif.
Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio vaccine (OPV)
dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun 1990 telah mencanai UCI (universal of chlidren
immunization).

Epidemiologi
Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di
seluruh dunia. kecuali di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada
manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun, tidak ada
pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisien
sistem imun.
Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-fecals, pada beberapa
kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi
pertama kali terjadi pada tempat implantasi dalam faring dan traktus gastrointestinal. Virus polio
sangat menular.

Eradikasi Polio (ERAPO)


Dalam program ERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat kebijaksanaan dengan
mengambil strategi :
 meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin
 melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN atau national immunization day =
NID)
 melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai transmisi virus
polio liar (wild virus)
 melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh) yang
mantap.

Vaksin
Vaksin virus polio oral (oral polio vaccine = OPV)
 Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung, berisi virus polio
tipe 1,2, dan 3 yang sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan
jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap dosis (2 tetes = 0,1 ml)
mengandung virus tipe 1: 1060 CCID50, tipe 2: 101,0 CCID50 dan tipe 3: 101,1 CCIDSO dan
eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak lebih dari 10 mcg. Vaksin ini
digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral (0,1 ml). Virus vaksin ini
kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam
darah maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus
polio liar yang datang masuk kemudian.
 Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahan (beredar) di tinja sampai 6 minggu setelah
pemberian OPV.
 Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis
berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio.
 Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu -15°C sampai -25°C.
 Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan
oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departeman Kesehatan
mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi
(pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO membolehkan
botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada unit imunisasi,
bila tiga syarat di bawah ini terpenuhi:
 tanggal kadaluwarsa tidak terlampui
 vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2-8°C)
 botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang oleh
Puskesmas.
 Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur 20 0C. Vaksin yang beku
dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulir-
gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda
(sebagai indikator pH).
 Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat
dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal
kadarluwarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin polio inactivated (inactivted poliomyelitis vaccine =IPV)


 Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dan
dibuat tidak aktif dengan formadehid. Pada vaksin tersebut dijumpai neomisin,
streptomisin dan polimiksin B dalam jumlah kecil.
 Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-8°C dan tidak boleh dibekukan.
 Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turut
dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka
panjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio.
 Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang
ditimbulkan oleh OPV.

Rekomendasi
Imunisasi primer bayi dan anak
 Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal. Kemudian diteruskan
dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-
turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan
per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan
vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit,
maka dosis tersebut perlu diulang.
 Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan
imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak
mereka yang dekat harus diimunisasi.
 Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin
selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi.
Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV supaya
menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi.
Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi
Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinya dan kontak
dengan anak yang mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkan vaksinasi dasar OPV pada waktu
yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini dapat diberikan IPV atau OPV. Kepada
orang dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi penguat
(booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat
menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi.

Imunisasi penguat (booster)


Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat dosis
DPT diberikan sebagai penguat; dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun
atau sebelum meninggalkan sekolah.

Vaksinasi untuk anak imunokompromais


Untuk mereka yang mempunyai indikasi kontra terhadap vaksin hidup, misalnya mereka dengan
imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagai
vaksinasi terhadap poliomielitis. Sebagai vaksinasi dasar, diberikan suntikan IPV sebanyak 3
dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau intramuskular dengan interval 2 bulan.
Dosis penguat harus diberikan dengan jadwal sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-
positif dan anggota keluarga serumah yang mendapat kontak harus menerima IPV.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


 Setelah divaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan,
dan nyeri otot. Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi
pada resipien (VAPP= vaccine associated polio paralytic) maupun yang kontak dengan
virus yang menjadi neurovirulen. (VDPV= vaccine derived polio virus).
 Kasus VAPP terjadi kira-kira 1 kasus per satu juta dosis pertama penggunaan OPV dan
setiap 2,5 juta dosis OPV lengkap yang diberikan.
 Pada pemberian OPV, virus asal vaksin ini dapat bereplikasi di dalam usus manusia,
ekskresi melalui tinja biasanya selama 2-3 bulan. Pada saat replikasi tersebut mungkin
terjadi mutasi virus yang dikenal dengan reversion menyebabkan virus polio yang
sebelumnya sudah dilemahkan kembali berbentuk yang lebih neurovirulen, yang
kemudian menyebabkan kelumpuhan layu akut (VAPP). Di samping itu virus yang
neurovirulen tersebut dapat diekskresi melalui tinja mengakibatkan kelumpuhan orang di
sekitarnya (VDPV).
 Definisi WHO tentang VAPP ialah suatu lumpuh layu akut (AFP) yang terjadi 4-30 hari
setelah menerima OPV, atau 4-75 hari setelah kontak dengan penerima OPV (terinfeksi
oleh VDVP) dengan kelainan neurologi masih ada pada 60 hari setelah onset, atau
meninggal.
 Terdapat 2 jenis virus vaksin yang menjadi neurovirulen dan di ekskresi (VDVP) yaitu :
a. cVDPV (circulating VDPV), virus yang dapat menyebabkan wabah merupakan
rekombinasi dengan Enterovirus spesies C.
b. iVDPV(immune-deficiency VDPV), virus berasal dari pasienn defisiensi imun

Indikasi kontra
Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut :
 Penyakit akut atau demam (suhu >38.5°C), vaksinasi harus ditunda,
 Muntah atau diare berat, vaksinasi ditunda,
 Dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupun
suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak dengan
pasien),
 Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial
(limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya
terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia,
 Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak,
 Walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan
kepada ibu hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak,
misalnya bepergian ke daerah endemis poliomielitis,
 Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virus
hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid,
 Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat pemberian OPV, karena OPV
memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi dengan cara replikasi dalam usus,
 OPV dan IPV mengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin, streptomisin)
namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali pada anak yang mempunyai bakat
hipersensitif yang berlebihan,
 Kepada saudara atau anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi
jangan diberikan OPV, tetapi diberi IPV.
Campak
Upaya imunisasi campak yang telah dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan R.I mencakup
lebih dari 80%, namun di daerah-daerah terpencil cakupan tersebut secara keseluruhan belum
tercapai. Oleh karena itu, kejadian luar biasa penyakit campak masih dijumpai di daerah-daerah
tertentu. 14

Epidemiologi14
Sejak tahun 1970 penyakit campak di Indonesia telah mendapat perhatian khusus, yaitu sejak
terjadi wabah campak yang cukup serius di pulau dan di pulau Bangka. Kejadian luar biasa
campak masih sering terjadi.

Patogenesis14
Virus masuk melalui saluran pernafasan secara droplet dan selanjutnya masuk kelenjar
getah bening yang berada di bawah mukosa, disini virus memperbanyak diri kemudian menyebar
ke sel-sel jaringan limforetikular. Pada saat 5-6 hari sesudah infeksi awal, fokus infeksi terwujud
yaitu ketika virus masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring,
konjungtiva, saluran pernafasan, kulit, kandung seni, saluran usus, dan selanjutnya pada hari ke
9-10 fokus infeksi berada di epitel saluran napas. Pada saat itu muncul gejala coriza (pilek)
disertai dengan peradangan selaput konjungtiva yang tampak merah.
Pasien tampak lemah disertai suhu tubuh yang meningkat, selanjutnya pasien tampak
sakit berat sampai munculnya ruam kulit. Pada hari ke-2 tampak bintik Koplik's yang merupakan
tempat virus tumbuh selanjutnya mati. Akhirnya muncul ruam makulopapular di hari ke-14
sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi dan selanjutnya suhu
tubuh menurun.

Vaksin15
Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak yaitu,
 vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B)
 Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam
larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium).
Sejak tahun 1967, vaksin yang berasal dari virus campak yang telah dimatikan tidak digunakan
lagi. Ini disebabkan karena efek proteksinya hanya bersifat sementara dan dapat menimbulkan
gejala atypical measles yang hebat.
Dosis dan Cara Pemberian14
 Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000
TCID50 atau sebanyak 0,5 ml.
 Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID 50 saja mungkin sudah dapat
memberikan hasil yang baik.
 Pemberian yang dianjurkan secara subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara
intramuskular.
 Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikator
pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak
sesudah pelaksanaan program imunisasi.
 Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak masih tinggi
dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan pemberian imunisasi
campak pada bayi berumur 9 bulan.
 Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur 12-15
bulan.

Reaksi KIPI14
 Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada
seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak
dari virus yang dimatikan.
 Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,5°C yang terjadi pada 5-15% kasus,
demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2
hari. Peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam.
 Ruam dapat dijumpai pada 5% resipien, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan
berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan modified measles akibat
imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa
inkubasi penyakit alami.
 Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti onsefalitis
dan ensefalopati pasca imunisasi. Landrigan dan Witte memperkirakan risiko terjadinya
kedua efek samping tersebut selama 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1
milyar dosis vaksin.

Imunisasi Ulangan14
Ulangan imunisasi campak diberilkan pada usia masuk sekolah (umur 6-7 tahun) melalui
program BIAS. Imunisasi ulang dianjurkan juga dalam situasi tertentu, misalnya :
 Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa
potensi vaksin yang digunakan kurang baik. Pada anak-anak yang memperoleh
imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya.
 Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD,
SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang.
 Setiap orang yang pernah imunisasi vaksin campak yang virusnya sudah dimatikan
(vaksin inaktif).
 Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin.
 Seorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya.

Indikasi Kontra14
Indikasi kontra imunisasi campak berlaku bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi,
sedang memperoleh pengobatan imunosupresi, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang
memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah.

Vaksin untuk Tujuan Khusus


MMR (Measles, Mumps, Rubeola)16
Campak
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyebaran
infeksi terjadi dengan perantara droplet, dengan masa inkubasi 10-14 hari. Penyakit ini sangat
infeksius. Masa prodromal berlangsung 2-4 hari yang ditandai dengan demam yang diikuti
dengan batuk, coryza (pilek), dan atau konjungtivitis. Ruam campak berupa erupsi makulo-
papula yang biasanya bertahan selama 5-6 hari, yang dimulai dari batas rambut di belakang
telinga, kemudian menyebar ke wajah dan leher. Setelah 3 hari ruam ini berangsur-angsur akan
turun ke bawah dan akhirnya akan menyebar ke tangan dan kaki.
Campak dapat merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menimbulkan
komplikasi seperti otitis media (2,5%) dan bronkopneumonia (4%). Ensefalitis akut terjadi pada
10/10.000 kasus dengan angka kematian 10-15%, dan 15-40% kasus yang hidup akan menderita
kerusakan otak permanen. Subacut Sclerosing Encephalitis (SSPE) adalah salah satu komplikasi
campak yang timbulnya lambat dan terjadi kira-kira 1/25.000 kasus. Komplikasi SSPE
menyebabkan kerusakan otak yang progresif dan biasanya fatal.
Gondongan ( mumps, parotitis )
Gondongan disebabkan oleh infeksi paramyxovirus dan penyebarannya terjadi melalui
droplet. Penyakit ini terjadi terutama pada anak dengan insidens puncak pada usia 5-9 tahun.
Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal tidak spesifik ditandai dengan mialgia, anoreksia,
malaise, nyeri kepala dan demam ringan. Setelah itu timbul pembengkakan kelenjar parotis
unilateral/bilateral. Gejala ini akan berkurang setelah 1 minggu dan biasanya menghilang setelah
10 hari. Namun pada beberapa keadaan infeksi ini terjadi tanpa gejala sama sekali.
Ketulian syaraf adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi. Pasien
infeksius sejak 6 hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai 9 hari kemudian. Orkhitis
(biasanya unilateral) pernah dilaporkan (20% pada kasus) mumps pada lelaki dewasa, tetapi
keadaan steril jarang dijumpai. Imunisasi dengan live attenuated vaccine sangat berhasil dilakukan
di USA dimana telah terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di antara tahun 1967 (ketika
vaksin pertama kali diperkenalkan) dan tahun 1985.

Rubela (campak Jerman)


Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi yang ringan. Penyebaran penyakit ini
melalui udara atau droplet. Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya ruam makulopapular
yang bersifat sementara, limfadenopati kelenjar post-auricular dan sub-occipital, kadang-kadang
disertai arthritis dan arthralgia. Komplikasi lain dapat mengenai sistem syaraf dan
trombositopenia (walaupun jarang terjadi). Apabila ibu hamil terkena rubella maka dapat terjadi
sindrom rubela kongenital pada bayi yang dikandungnya.

Sindrom Rubela Kongenital


Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan utama pemberian
imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang mendatangkan malapetaka apabila terjadi pada
awal kehamilan, karena dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan cacat
bawaan. Kejadian abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang sering ditemukan. Berat
ringannya dampak virus rubela terhadap janin tergantung kapan infeksi ini terjadi. Hampir 85%
bayi yang terinfeksi pada kehamilan trimester pertama akan mempunyai gejala setelah lahir.
Meskipun infeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan, jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi
setelah kehamilan di atas 20 minggu.
Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai semua sistem organ bayi. Tuli merupakan
gejala paling sering terjadi dan kadang-kadang merupakan manifestasi tunggal infeksi rubela
kongenital. Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainan pada mata berupa katarak, glaukoma,
retinopati, dan mikroptalmia. Kelainan pada jantung yang disebabkan infeksi rubella antara lain
patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VSD), stenosis pulmonal dan koartsio
aorta. Abnormalitas neurologi yang terjadi ialah mikrosefali dan retardasi mental. Kelainan lain
yang dapat ditemukan adalah lesi pada tulang, splenomegali, hepatitis, trombositopenia, dan
purpura.

Vaksin MMR
Vaksin untuk mencegah campak, gondongan, dan rubela merupakan vaksin kombinasi
yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella). Terdapat 2 jenis vaksin MMR
yang beredar di Indonesia.

Tabel 4. Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia


Galur virus yang dilemahkan
Campak Gondongan Rubela
Edmonston Jerryl Lyn Wistar RA 27/3
Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
(Dikutip dari Pasaribu, 2005)16

Dosis :
 Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup
 Harus disimpan pada temperatur 2-8°C atau lebih dan terlindung dari cahaya matahari
 Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya. Setelah
dilarutkan harus diletakkan pada tempat yang tetap sejuk dan terlindung dari cahaya, karena
setelah dicampur vaksin tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar.
 Pada temperatur 22-25°C ia akan kehilangan potensi 50% dalam 1jam, pada temperatur
>37°C vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam.
 Dosis tunggal u,5 ml, diberikan secara intramuskular atau subkutan dalam.
 Diberikan pada umur 12-18 bulan
 Imunisasi ini menghasilkan serokonversi terhadap ketiga virus lebih dari >95% kasus.

Rekomendasi :
Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan
rubela atau imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya
telah mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini.

Indikasi
 Pada populasi dengan insidens infeksi campak dini yang tinggi, imunisasi MMR dapat
diberikan pada usia 9 bulan.
 Anak dengan penyakit kronik seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan
ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
 Anak berusia 1 tahun ke atas yang berada di lembaga pengasuhan anak, atau sekolah
bermain.
 Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
 Individu dengan HIV (+), bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya.
Vaksinasi MMR Terlambat
Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia lebih dari 12 bulan. Apabila imunisasi
dasar tidak lengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan secara bersamaan
dengan menggunakan alat suntik dan tempat yang berbeda.

Riwayat Kejang
Pada anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang yang harus
diberikan MMR, kepada orangtua diberikan pengertian bahwa dapat timbul demam 5-12 hari
setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi demam dengan pemberian parasetamol.

Reaksi KIPI
Pada penelitian yang mencakup 6000 anak berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah
vaksinasi MMR dapat terjadi KIPI sebagi berikut :
 Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah
imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.
 Dalam 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demam pada 0,1% kasus, ensefalitis
pasca imunisasi <1/1000.000 kasus, pembengkakan kelenjar parotis terjadi pada 1% anak
berusia sampai 4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-kadang bisa lebih
lama.
 Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira 1/1000.000
kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil dibandingkan
apabila menggunakan galur virus gondongan Jeryl Lynn.
 Trombositopeni, biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan
komponen rubela dari MMR.
 Orang tua harus dijelaskan tentang kemungkinan gejala yang bakal timbul, dan diberikan
petunjuk untuk mengurangi demam, termasuk penggunaan parasetamol pada masa 5-12 hari
setelah imunisasi.

Kontra Indikasi
 Anak dengan penyakit keganasan, gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan
dengan imunosupresif, terapi sinar, atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan
2mg/kgbb/hari prednisolon).
 Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernafas,
hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin.
 Anak dengan demam akut. Pemberian MMR harus ditunda sampai penyakitnya sembuh.
 Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup) dalam
waktu 4 minggu. Pada keadaan ini, imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah
imunisasi yang terakhir.
 Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 3 bulan,
seperti pada vaksin rubela.
 Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin
atau transfusi darah (whole blood).
 Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV).
 Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh mendapat vaksin, kalau boleh
sampai 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau produk darah yang mengandung
imunoglobulin (darah, plasma).
 Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil
selama 3 bulan setelah mendapat suntikan.

Penggunaan Imunoglobulin
Jika seorang anak berusia >12 bulan belum mendapat imunisasi, kontak dengan pasien
campak, infeksi campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR sesegera mungkin (dalam
waktu 72 jam). Alasannya ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa
inkubasi virus campak liar (10-14 hari). Akan tetapi pada anak dengan imunokompromis, vaksin
MMR adalah kontra indikasi, human immunoglobulin dapat diberikan sesegera mungkin setelah
paparan.
Seorang bayi berusia <12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak,
mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka
harus segera diberikan imunoglobulin (dari pada vaksin) dalam waktu 7 hari paparan, untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin MMR harus diberikan sesegera
mungkin, akan tetapi dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin.
Dosis human immunoglobulin ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat dan 0,5 ml/ kgbb pada
individu imunokompromis (dosis maksimal 15 ml). Pada wanita hamil nonimun yang terpapar
dengan campak dapat diberikan NIGH 0,2 ml/ kgbb.
Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelah terpapar
dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak menimbulkan infeksi, vaksin ini akan
memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya. Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai
nilai sebagai profilaksis setelah terpapar dengan penyakit ini. Antibodi maternal yang disalurkan
melewati plasenta dapat melindungi bayi selama satu tahun kehidupan.
Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi virus
rubella dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan sindrom rubela kongenital di Australia
tidak ditemukan lagi. Pemakaian imunoglobulin setelah terpapar dengan pasien rubela tidak
memberikan perlindungan, sehingga pemberian imunoglobulin nilainya kecil untuk mencegah
rubela pada wanita hamil.

Haemophilus Influenza tipe B17


Haemophylus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi merupakan suatu
bakteri Gram negatif. Haemophylus influenzae terbagi atas jenis yang berkapsul dan tidak
berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas clan hanya menyebabkan infeksi
ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsul terbagi dalam 6 serotipe dari a
sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe b merupakan tipe yang paling ganas dan merupakan
salah satu penyebab tersering dari kesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang
dari 5 tahun.
Infeksi Hib sering menyebabkan meningitis (radang selaput otak) dengan gejala demam,
kaku kuduk, penurunan kesadaran, kejang dan kematian. Penyakit lain yang dapat terjadi adalah
pneumonia, selulitis, artritis dan epiglotitis.

Meningitis
Laporan dari Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab terpenting meningitis.
Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di antara kasus meningitis. Pada
penelitian lanjutan didapatkan bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada
bayi clan anak berumur kurang dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia cenderung
menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab meningitis terbanyak bersama pneumokokus clan
meningokokus, tetapi insidens meningitis rendah. Beberapa faktor risiko misalnya umur kurang
dari 5 tahun, tingginya pembawa kuman di tenggorok (karier), penyebaran infeksi di tempat
penitipan anak, lingkungan yang padat, dan bayi tidak mendapat ASI.

Pneumonia
Haemophylus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit dibuktikan karena
metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit. Penelitian membuktikan bahwa
pneumonia disebabkan oleh virus pada 25-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya ditemukan
pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan, kemungkinan pneumonia pada awalnya
disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian umumnya disebabkan oleh
infeksi bakteri.
Sebelum diperkenalkan vaksin, H.influenzae tipe b merupakan bakteri penyebab
pneumonia yang penting. Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden yang pasti
tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b bertanggung jawab terhadap 518% kejadian
pneumonia. Di negara yang telah berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom
H.influenzae tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia.

Vaksin Hib
Kapsul polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan virulensi dari Hib. Vaksin Hib
dibuat dari kapsul tersebut. Vaksin awal yang terbuat dari PRP murni ternyata kurang efektif,
sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan protein dari berbagai komponen bakteri lain.
Vaksin yang beredar di Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan membran protein luar dari
Neisseria meningitidis yang disebut sebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan toksoid tetanus
yang disebut sebagai PRP-T. Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan keamanan yang
sangat tinggi. Kedua vaksin tersebut boleh digunakan bergantian atau kombinasi.

Jadwal dan Dosis :


 Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan. Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi
berumur 2 bulan karena bayi tersebut belum dapat membentuk antibodi pada vaksin
konjugasi.
 PRP-OMP cukup diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2
bulan.
 Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah 1 kali suntikan PRP-
OMP dan dua kali suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi yang tertinggi ditemukan setelah
3 kali suntikan PRP-T.
 Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP.
 Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir.
 Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6 bulan-1 tahun, 2 kali suntikan sudah
menghasilkan titer protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan tanpa
memerlukan booster. Hal ini menyebabkan dokter sering menunda pemberian vaksin Hib
sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit. Pendapat ini salah, karena Hib justru lebih
sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam persen terjadi pada bayi berumur 2-6 bulan
clan 25% pada bayi berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur 3 bulan.

Demam Tifoid18
Salmonella typhi, kuman patogen terhadap manusia, menyebabkan infeksi invasif yang
ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidak diobati dapat
menyebabkan kematian karena perforasi usus, perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain.
Kapasitas invasif Salmonella typhi sebagian berhubungan dengan antigen permukaan Vi.
Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja
dan urin. Masa inkubasi 3 - 60 hari, namun biasanya 7 - 14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid
dijumpai pada anak di daerah endemis terutama negara berkembang terutama di Asia, Afrika dan
tertinggi di India, Pakistan dan Banglades.
Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan
dewasa. Dengan demikian maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak,
terutama makin muda usianya. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, yaitu
demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. Dalam
minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti
demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat. Pada minggu kedua maka gejala / tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung bisa
disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Demam tidak selalu khas seperti pada
orang dewasa, kadang kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula
mendadak tinggi dan remiten (39-41 °C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda tanda antara
lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian
ujung dan tepi tampak lebih kemerahan. Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu
pertama dan permulaan minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2 -
4 mm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena emboli kuman
pada kapiler kulit clan terutama di jumpai di daerah perut, dada, kadang kadang di pantat maupun
bagian fleksor lengan atas. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus clan
peritonitis. Sedangkan komplikasi diluar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia, ensefalopati,
kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik karier.

Vaksin Demam Tifoid


1. Vaksin demam tifoid oral
Vaksin ini dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah dilemahkan.
Kuman dalam vaksin ini hanya mengalami sedikit siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi
dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respons imun pada
vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektifitasnya sama dengan vaksin parenteral
yang diinaktivasi dengan pemanasan, tetapi vaksin oral ini reaksi sampingnya lebih rendah.
Vaksin ini dalam perdagangan dikenal sebagai Ty-21a.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2°C- 8°C. Kemasan dalam bentuk kapsul untuk anak
umur 5 tahun 7 lebih. Cara pemberian tiap hari ke 1, 3 clan 5 ditelan 1 kapsul vaksin 1 jam
sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37°C. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak
boleh dipecahkan karena kuman dapat dimatikan oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh
diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap
salmonella. Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa,
pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin
tifus ini. Imunisasi ulangan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspos dengan
infeksi tifus, sebaiknya diberikan 3 - 4 kapsul tiap beberapa tahun. Jika vaksin tifus oral ini
digunakan untuk booster dari vaksin parenteral yang kumannya dimatikan dengan pemanasan,
maka dianjurkan pemberian lengkap 3 - 4 kapsul.

2. Vaksin polisakarida parenteral


Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium
fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada suhu 2°C - 8°C, jangan
dibekukan. Kadaluwarsa dalam 3 tahun. Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan
pada daerah deltoid atau paha. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal berupa
bengkak, nyeri, kemerahan ditempat suntikan. Reaksi sistemik berupa demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Kontra indikasi vaksin ini
antara lain alergi terhadap bahan bahan dalam vaksin, juga pada saat demam, penyakit akut
maupun penyakit kronik progresif.

Varicella19
Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan oleh virus
varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus sedangkan herpes zoster merupakan
reaktivasi fase laten. Cacar air ditularkan melalui droplet dan sangat menular selama masa
prodromal yang singkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi
telah berubah menjadi krusta, pasien tidak menularkan penyakit.
Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu tinggi dan lemah
badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit 24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam
bentuk erupsi makular yang dapat disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul
dalam beberapa jam, terasa gatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari dasar; pada saat
ini pada umumnya diagnosis mudah ditegakkan. Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikel
kemudian krusta, berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudian berubah
menjadi keropeng. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak biasanya bersifat ringan
dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa sifatnya lebih berat dan dapat mengakibatkan
penyakit yang serius serta fatal, terutama apabila menyerang pasien defisiensi imun, anak yang
sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau terapi kemostatik, tanpa tergantung golongan
umur.

Herpes Zoster
Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi akibat reaktivasi virus
varisela-zoster laten, akan timbul pada saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui
sebelum umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun (81 %). Herpes-zoster
sering berupa penyakit yang serius pada usia lanjut dan individu yang menderita
imunokompromis sehingga dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organ dalam,
susunan syaraf dan paru.
Sindrom varisela kongenital
Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi akibat varisela dari ibu hamil
semasa perinatal. Sindrom varisela kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada
masa tengah kehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan anomali lain.
Data terakhir dari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul pada
masa kehamilan 0-12 minggu. Bayi yang terinfeksi intrauterin juga mempunyai risiko untuk
terjadinya herpes zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabila paparan terjadi pada kehamilan
25-36 minggu. Masa awitan pada wanita hamil berlangsung 5 hari sebelum kelahiran sampai 2
hari pasca kelahiran dan diperkirakan akan berakibat varisela berat pada 17% -30% bayinya.
Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan terjadinya
erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada vesikel dan
menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat terjadi komplikasi berat,
seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis transversa, trombositopenia dan pneumonia. Pada
kasus lebih jarang lagi bahkan dapat menyerang organ dalam dan sendi. Komplikasi pneumonia
terjadi pada dewasa, bayi baru lahir serta pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil.

Vaksin
Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang dilemahkan terdapat dalam bentuk
bubuk-kering (lyophilised). Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain,
sehingga mernerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin harus disimpan pada suhu 2-8°C. Bagi
anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu imunokompromais serta remaja (sama atau di
atas 13 tahun) dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan. Vaksin dapat diberikan
bersama dengan vaksin MMR. IDAI merekomendasikan vaksin ini diberikan mulai usia 10 tahun,
dosis 0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


 Reaksi dapat bersifat lokal, demam, dan ruam papul-vesikel ringan.
 Pada individu imunokompromis reaksi lokal jarang terjadi, tetapi reaksi menyeluruh muncul
lebih sering pada pasien leukemia dalam pengobatan rumatan.
 Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imunokompromais dapat timbul varisela.
 Pada pasien leukemia yang divaksinasi dapat muncul ruam pada 40% kasus setelah vaksinasi
dosis pertama, 4% diantaranya dapat terjadi varisela berat yang memerlukan pengobatan
asiklovir.
Kontra Indikasi
Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit kurang dari
1200/pl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit
keganasan atau 3 tahun fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi
kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang
alergi pada neomisin.

Hepatitis A20
Virus hepatitis A tergolong picornavirus (berukuran 27 nano-meter). Terdiri dan satu
rantai RNA linear yang dibungkus 3 protein yaitu VPI VP2, VP3. Virus ini sangat stabil pada
suhu tinggi maupun pada pH 3- 10.
Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya terjadi pada usia < 10 tahun; di daerah
prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, sedangkan di area prevalens
rendah infeksi terjadi pada dewasa usia lanjut. Transmisi terjadi melalui penularan fekal-oral
dalam bentuk penularan antar individu (kontak erat) dan penularan dan makanan atau minuman
yang tercemar. Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15-50 hari. Infeksi dapat simtomatik atau
asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimptomatis dialami 70% anak usia <6 tahun sedangkan
85% anak besar dan dewasa infeksinya simtomatis dan umumnya harus rawat inap. Gejala
berlangsung < 2 bulan, tetapi 10 - 15% pasien mengalami prolonged atau relapsing hepatitis
sampai 6 bulan lamanya. HVA dapat menimbulkan komplikasi berupa hepatitis fulminan,
prolonged hepatitis (12-18 minggu), relapsing hepatitis (3,8 - 20%), kekambuhan dapat lebih dari
satu kali.Pencegahan dilakukan dengan pola hidup bersih/sehat dan imunisasi. Pemberian
imunisasi dapat berupa imunisasi pasif maupun aktif.

Imunisasi pasif
Indikasi
 Sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, epidemi)
 Upaya profilaksis pasca paparan
 Upaya profilaksis pra paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke
daerah endemis)
 Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan.
Dosis
Normal human immune globulin (NIHG) setiap mili-meter mengandung 100 IU anti
HAV, diberikan secara intramuskular dalam dengan dosis 0,002 ml/kg berat badan dan volume
total pada anak besar dan orang dewasa 5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi
3 ml.

Tabel 5. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA


Saat paparan (minggu) Usia (tahun) Rekomendasi
<2 <2 IG
>2 IG dan vaksin
>2 <2 IG
>2 Vaksin
(Dikutip dari hidajat dan Pujiarto, 2005)20

Tabel 19. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung aari daerah non endemis
Umur Lama Kunjungan Rekomendasi Keterangan
tahun
<2 < 3 bulan IG 0.02m1/kg 1 kali
3 – 5 bulan IG 0.06 ml/kg 1 kali 1 kali
Jangka panjang IG 0.06 ml/kg saat berangkat, diulang
setiap 5 bln
>2 <3 bulan Vaksin atau Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal imunisasi
3 – 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 I/kg
aktif lihat perihal imunisasi
Jangka panjang Vaksin
aktif
20
(Dikutip dari hidajat dan Pujiarto, 2005)

Imunisasi aktif
Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop
permukaan virus.

Vaksin
Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis vaksin bervariasi
tergantung produk dan usia resipien. Vaksin diberikan pada usia > 2 tahun. Imunisasi diberikan 2
kali, suntikan kedua atau booster diberikan antara 6 sampai 12 bulan setelah dosis pertama.
Vaksin hepatitis A terbukti imunogenisitasnya baik. Diperkirakan anti-NAVprotektif menetap
selama > 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap atau
akibat anamnestic boosting infeksi alamiah. Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin
lain (hepatitis B, tifoid) tidak mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak
meningkatkan frekuensi efek samping.

Indikasi
Indikasi vaksinasi HVA rekomendasi ACIP :
 Imunisasi rutin : Anak di daerah endemis HVA atau daerah dengan wabah periodic
 Risiko tinggi VHA :
 Pengunjung ke daerah endemic
 Pria homoseksual dengan pasangan ganda
 Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII
 Staf tempat penitipan anak (TPA)
 Staf dan penghuni institusi untuk cacat mental
 Pekerja dengan primata bukan manusia
 Staf bangsal neonatologi
 Risiko hepatitis fulminan : Pasien PHK
 Risiko menularkan HVA : Anak usia 2-3 tahun di TPA dan penyaji makanan.

Efek Samping
Vaksin HVA cukup aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal
merupakan efek samping tersering (21 %-54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4%
resipien. Vaksin hepatitis A yang tersedia saat ini semuanya belum disetujui untuk diberikan
kepada bayi berusia < 2 tahun.

Influenza21
Penyakit influenza merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan oleh virus yang
sangat tidak stabil. Penyebabnya adalah virus influenza A dan virus influenza B. Pemberian
vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza vaccine) kepada individu yang berisiko
timbulnya komplikasi infeksi, merupakan satu-satunya cara untuk mengukur kemampuan
pencegahan atau mengurangi infeksi influenza serta mencegah kematian pada saat epidemi.
Setelah vaksinasi hampir semua orang dewasa yang divaksinasi mempunyai titer antibodi yang
dapat melindunginya dari galur (strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai tambahan,
individu tersebut diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi, orang usia lanjut, dan pasien dengan
gangguan kekebalan, akan menghasilkan titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi. Dengan
perkataan lain influenza vaksin mungkin lebih efektif untuk mencegah terkenanya saluran nafas
bawah atau komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus diingat bahwa vaksin influenza
tidak mencegah infeksi primer akibat virus lain maupun bakteri patogen dalam saluran nafas.
Vaksinasi influenza merupakan metode pencegahan primer penyakit influenza dan
komplikasinya. Di pasaran telah tersedia beberapa macam vaksin influenza, termasuk vaksin
khusus untuk anak. Sampai saat ini indikasi pemberian di beberapa negara belum sama, namun
umumnya disepakati bahwa perlu diberikan pada anak dengan risiko tinggi. Rekomendasi
terakhir Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP, 2004) menganjurkan diberikan
secara rutin setiap tahun pada anak 6 - 23 bulan, karena pada usia tersebut kejadian penyakit
influenza paling tinggi.

Vaksin
Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).
Terdapat 2 macam vaksin yaitu whole-virus dan split-virus vaccine. Formulasi vaksin influenza
direview secara berkala, sehingga perubahan komposisi dapat dipakai untuk menyesuaikan
antigenic shifts dan antigenic drift. Pada saat ini cakupan imunisasi influenza mencapai 70-90%
uniuk proteksi selama satu tahun, daya proteksi menurun pada tahun berikutnya, apabila galur
tetap sama atau hanya terjadi antigenic drift yang kecil. Untuk menjaga agar daya proteksi
berlangsung terus menerus, maka perlu dilakukan vaksinasi secara kontinu menggunakan vaksin
yang mengandung galur yang mutakhir.
Vaksin hidup intranasal (cold attenuated intranasal vaccine) telah dikembangkan selama
lebih dari 20 tahun. Di Rusia telah digunakan untuk vaksinasi dewasa. Di Amerika belum
digunakan pada anak, namun mungkin dalam waktu dekat telah bisa didapat.
Untuk anak dianjurkan pemakaian jenis split-virus vaccine, karena tidak mengakibatkan
demam tinggi. Kekebalan terhadap influenza didapat dari pembentukan antibodi sekretori IgN
dan serum Ig0 temadap glikoprotein, hemaglutinin dan neuraminidase virus. Antibodi ini sangat
spesifik untuk galur tertentu.
Perlu diingat bahwa anjuran pemakaian vaksin influenza sama dengan vaksin
pneumokokus, kedua vaksin tersebut dapat diberikan secara bersamaan. Vaksin influenza harus
disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8° C dan tidak boleh dibekukan.
Berbagai penelitian menunjukkan vaksin influenza dapat mencegah otitis media,
menurunkan kejadian otitis media dan mencegah eksaserbasi pada anak asma, vaksin influenza
dapat memproteksi eksaserbasi akut asma pada anak. ACIP merekomendasikan vaksinasi untuk
anak > 6 bulan yang mempunyai risiko tinggi saja, vaksinasi dianjurkan setiap tahun. Perlunya
imunisasi pada usia dini, menurut ACIP karena hasil penelitian di berbagai negara mendapatkan
angka perawatan rumah sakit yang lebih tinggi pada usia muda dibandingkan anak yang lebih
besar. Hal ini disebabkan imunitas yang rendah dan kurang terpajang ke virus sebelumnya. Hasil
penelitian juga mendapatkan bahwa vaksin influenza A aman dan efektif diberikan untuk
pencegahan penyakit pada anak sehat usia 6 - 23 bulan.
Vaksinasi secara teratur juga dianjurkan untuk kelompok risiko tinggi
 Pasien asma dan kistik fibrosis
 Anak dengar penyakit jantung
 Anak yang menderita penyakit atau mendapat obat imunosupresif
 Anak yang terkena infeksi HIV
 Pasien sickle cell anemia dan hemoglobinopati lain
 Pasien penyakit ginjal kronis
 Pasien penyakit metabolik kronis seprti diabetes
 Penyakit yang memerlukan pengobatan aspirin jangka panjang, seperti
rematoid artritis atau penyakit Kawasaki, yang berisiko timbulnya sindrom
Reye bila terinfeksi influenza

Pedoman
Vaksinasi influenza diberikan sebelum KLB terjadi. Misalnya, untuk mencegah KLB
pada musim dingin, maka vaksin diberikan pada musim gugur. Vaksin diberikan satu kali, dosis
tunggal, pada individu yang pemah terpajan pada galur yang terkandung dalam vaksin tersebut.
Pada anak atau dewasa dengan gangguan fungsi imun, diberikan 2 dosis dengan jarak interval
minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan. Vaksin diberikan dengan
suntikan subkutan dalam atau intramuscular. Tidak ada bukti efikasi vaksin influenza pada bayi
usia kurang dari 6 bulan. Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam
18% kasus. Perlu diingat bahwa anjuran pemberian vaksin influenza sama dengan vaksin
pneumokokus, kedua vaksin tersebut dapat diberikan pada waktu kunjungan yang sama.
Satu dosis vaksin secara teratur setiap tahun dapat diberikan pada usia 9 tahun keatas.
Anak usia 6 bulan sampai 9 tahun bila mendapat vaksin pertama kali, harus diberikan 2 kali
berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Vaksinasi biasanya diberikan sebelum musim
penyakit influenza datang.

Reaksi KIPI
 Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, lamanya 1 - 2 hari. Didapat
pada 15 - 20% resipien yang mendapat vaksinasi.
 Gejala sistemik tidak spesifik berupa demam, lemas, mialgia ( flu-like symptoms), timbul
beberapa jam setelah penyuntikan, terutama pada anak yang muda. Gejala timbul setelah 6 -
12 jam pasca vaksinasi, lamanya 1 atau 2 hari, didapat pada < 1% resipien.
 Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angio-oedema, asma, syok
anafilaksis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons alergi terhadap komponen vaksin,
seperti protein telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya
respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza.

Kontra Indikasi
Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza
sebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza. Termasuk ke
dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami pembengkakan bibir atau
lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan. Vaksin influenza tidak boleh diberikan
pada seseorang yang sedang menderita penyakit demarn akut sedang dan berat. Begitu pula tidak
boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui. Bila diberikan pada wanita hamil, ditakutkan
setelah vaksinasi timbul demam yang akan menyebabkan perkembangan fetus terganggu.

Pneumokokus22
Pneumokokus merupakan bakteri yang secara normal terdapat di saluran nafas atas.
Bakteri ini merupakan penyebab utama pneumonia, meningitis dan otitis media, terutama pada
anak yang muda dan lansia. Kemampuan pneumokokus untuk mengadakan invasi berhubungan
dengan adanya kapsul polisakarida. Sebagian pneumokokus dapat ditemukan pada flora normal
saluran nafas atas, sedangkan yang lain merupakan kuman yang berhubungan dengan penyakit
invasif. Kematian akibat penyakit invasif tinggi pada pasien yang tidak memberikan respons
imunologik terhadap antigen pneumokokus berkapsul. Risiko tinggi pada pasien dengan kelainan
anatomi, fungsi asplenia, defisiensi imunoglobulin, sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS,
gagal ginjal kronik, transplantasi organ, dan keganasan limfoid. Selain itu juga pasien dengan
penyakit kardio-vaskular kronis dan penyakit paru kronis, diabetes melitus, alkoholisme, sirosis
hepatis dan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma atau pasca operasi,
mempunyai risiko tinggi untuk menderita penyakit infeksi pneumokokus berat.

Vaksin Pneumokokus
Efek proteksi antibodi terhadap antigen kapsular pneumokokus telah diketahui sejak
permulaan abad ke 20. Penelitian menggunakan kontrol pada sekelompok populasi dengan attack
rates tinggi di negara berkembang, menunjukkan bahwa vaksin pneumokokus mengurangi
mortalitas akibat pneumonia.

Rekomendasi
Vaksin pneumokokus dianjurkan diberikan pada :
 Lansia di atas 65 tahun
 Seseorang dengan asplenia, termasuk anak dengan penyakit sickle cell usia >2 tahun.
bila mungkin imunisasi diberikan 2 minggu sebelum splenektomi.
 Pasien immunokompromis yang mempunyai risiko tinggi untuk menderita penyakit
infeksi pneumokokus (HIV/AIDS, sindrom ^2frotik, multipel mieloma, limfoma,
penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ).
 Pasien imunokompeten yang menderita penyakit kronis dan mempunyai risiko
mendapat komplikasi penyakit karena pneumokokus (penyakit jantung kronis,
penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes dan alcoholism).
 Pasien kebocoran cairan serebrospinal

Dosis dan Cara Pemberian


Vaksin diberikan dalam dosis tunggal 0,5 ml, secara intramuskular atau subkutan
dalam di daerah deltoid atau paha tengah lateral. Imunisasi ulangan hanya diberikan bila
seorang anak mempunyai risiko tinggi tertular pneumokokus, setelah 3-5 tahun atau lebih.

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Sebanyak 30-50% resipien akan mengalami eritem atau nyeri ringan pada tempat
suntikan, lamanva < 48 jam. Reaksi lain berupa demarn dan mialgia didapat pada <1 % anak.
Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang ditemukan. Demam ringan sering timbul,
namun demam tinggi di atas 39°C jarang dijumpai. Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis
kedua.

Kontra Indikasi
Satu-satunya kontra indikasi absolut bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin
atau komponen vaksin. Seseorang dengan penyakit akut sedang atau berat jangan diimunisasi
sampai keadaan baik, namun apabila sakit ringan seperti ISPA atas ringan boleh. Sedangkan
kontra indikasi relatif vaksinasi pneumokokus adalah :
 Umur < 2 tahun, karena respon terhadap vaksin sangat buruk,
 Dalam pengobatan imunosupresan atau radiasi kelenjar limfe,
 Kehamilan,
 Telah mendapat vaksin pneumokokus dalam kurun waktu 3 tahun.
Rotavirus
Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan empat musim, pada
umumnya terjadi pada musim dingin. Di Indonesia, puncak kejadian diare karena rotavirus terjadi
pada musim panas yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Diare karena rotavirus terjadi pada usia 6-24
bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan. Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit
di seluruh dunia disebabkan oleh rotavirus dengan angka kematian 600.000 per tahun. Angka
tersebut mencerminkan 20-25% dari seluruh kematian akibat diare dan 6% dari seluruh kematian
pada balita. Di Indonesia dilaporkan angka kejadian diare rotavirus di poliklinik rumah sakit atau
Puskesmas berkisar 36-61 % dari kasus diare pada balita.
Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang terjadi
merupakan resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta imatur dan defek transport
akibat efek toksik protein virus. Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telah
beregenerasi. Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi antara 24-
72 jam dan gejala yang timbul didahului oleh demam dan muntah dan diare berair yang
menyebabkan dehidrasi berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7 hari, 5%
kasus disertai kejang demam.

Vaksin Rotavirus23
Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human RV vaccine RIX
4414, dengan sifat sebagai berikut :
 Live, attenuated, berasal dari human RV galur 89-12.
 Monovalen, berisi RV tipe G1, PiA (Pe), mempunyai neutralizing epitope yang sama
dengan RV tipe G, , G 3, G4, dan G9 yang merupakan mayoritas isolate yang
ditemukan pada manusia.
 Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya.
 Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan interval 8 minggu.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi imunogenisitas vaksin RV,
 Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio oral)
 Masih terdapatnya antibodi maternal
 Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus

Kejadian ikutan pasca imunisasi


Kejadian ikutan yang dilaporkan adalah diare 7,5%, muntah 8,7%, dan demam 12,1 %.

Anda mungkin juga menyukai