Disusun oleh :
Ardi Cahyo Prabowo H0718030
Puji dan syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya yang memberikan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
fisiologi benih. Selain itu, penulis juga berharap makalah ini dapat menambah informasi
kepada kita mengenai “Pembungaan” bagi tumbuhan. Dalam Penulisan makalah ini
penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi kebaikan kualitas makalah ini. Akhir kata kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembaca yang telah
meluangkan waktunya untuk membaca makalah yang berjudul “Pembungaan Tanaman”.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 4
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 6
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 25
3.1. Kesimpulan.............................................................................................................. 25
3.2. Saran........................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
T O T A L 302 hari
1a 1b 1c 1d
1e 1f 1g 1h
2. Faktor internal
Fitohormon
Genetik
Faktor Eksternal
Suhu
Pada spesies temperate dingin, suhu yang relatif tinggi pada musim panas
dan awal musim gugur tampaknya dapat merangsang inisiasi bunga.
Fungsi suhu di sini adalah mematahkan dormansi kuncup.
Pada spesies temperate hangat, subtropis dan tropis, pengurangan relatif
pada suhu justru lebih bermanfaat (Matthews, 1963; Jackson dan Sweet,
1972; Menzel, 1983; Owens dan Blake, 1985; Southwick dan Davenport,
1986). Pada apokat suhu optimal untuk perkembangan bunga adalah
25oC. Jika tanaman ditempatkan pada suhu 33oC sepanjang siang hari,
selanjutnya akan terjadi penghambatan perkembangan bunga pada tahap
diferensiasi tepung sari (Sedgley dkk, 1985b). Pada Acacia pycnantha
suhu di atas 19oC menghambat baik mikrosporogenesis maupun
makrosporogenesis (Sedgley, 1985a). Pada jeruk, suhu di atas 30oC
dilaporkan telah merusak perkembangan kuncup bunga (Moss, 1969).
Suhu rendah menstimulir terjadinya perubahan pola pembelahan
meristem, dari apikal menjadi lateral. Penempatan tanaman pada suhu
rendah adalah penting untuk induksi dan inisiasi bunga dengan
kebutuhan sekitar 300 jam pada 1,2oC (Amling dan Amling, 1983).
Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem
lateral (primordia bunga) untuk mulai membentuk kuncup-kuncup bunga
dan melangsungkan proses pembungaan.
Selisih antara suhu max di siang hari dengan suhu min di malam hari
akan mempengaruhi proses terbentuknya bunga: selisih yang besar akan
mempercepat terjadinya pembungaan. Namun fluktuasi suhu yang terlalu
besar dapat mengacaukan meiosis pada kuncup yang sedang berkembang
pada tanaman larch, yang berakibat pada penurunan fertilitas biji (Barner
dan Christiansen, 1960).
Suhu tinggi akan meningkatkan aktivitas metabolik dalam tubuh
tanaman: fotosintesis, asimilasi, dan akumulasi makanan untuk
mensuplai energi pembungaan Curah hujan/kelembaban
Stres air dapat memacu inisiasi bunga, terutama pada tanaman pohon
tropis dan subtropis seperti leci dan jeruk (Menzel, 1983; Southwick dan
Davenport, 1986). Pembungaan melimpah pada tanaman kayu tropis
genus Shorea juga telah dihubungkan dengan terjadinya kekeringan pada
periode sebelumnya (Burgess, 1972). Namun, hasil yang berlawanan
telah teramati pada spesies iklim-sedang seperti pinus, apel dan zaitun.
Kebanyakan pembungaan di daerah tropis terjadi saat transisi dari musim
hujan menuju kemarau.
Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk
menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan
dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya → pertumbuhan vegetatif
lebih dominan.
Transisi menuju kemarau berhubungan dengan meningkatnya intensitas
cahaya, lama penyinaran dan suhu udara → meningkatnya aktivitas
metabolik pada tanaman
Pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status
air dalam tanah
Air dan nitrogen melimpah → titik tumbuh apikal aktif → pertumbuhan
vegetatif dominan
Kandungan air menurun → suhu dalam tanah meningkat → aktivitas
meristem apikal menurun → terjadi mobilisasi energi dan cadangan
makanan untuk membentuk meristem lateral
Cahaya
Cahaya mempengaruhi pembungaan melalui dua cara, yaitu intensitas cahaya
dan fotoperi-odisitas (panjang hari).
Intensitas Cahaya
Berhubungan dengan tingkat fotosintesis: sumber energi bagi proses
pembungaan
Intensitas cahaya mempunyai pengaruh yang lebih besar dan efeknya
lebih konsisten dari pada panjang hari. Pengurangan intensitas
cahaya akan mengurangi inisiasi bunga pada banyak spesies pohon
(Matthews, 1963; Cain, 1971; Jackson dan Sweet, 1972; Puritch dan
Vyse, 1972; Tromp, 1984; Sedgley, 1985a).
Peningkatan cahaya harian rata-rata telah dihubungkan dengan
pembungaan yang melimpah pada dipterokarpa di Malaysia (Ng,
1977), dan menejemen kanopi pada pohon apel untuk
memaksimalkan penetrasi cahaya dapat memberikan efek yang
serupa (Barritt dkk, 1987). Kuncup bunga lebih banyak terbentuk
pada ujung cabang/ranting yang mendapatkan cahaya matahari
penuh.
Pada spesies monoesi dan dioesi, yang hanya mempunyai bunga-
bunga berkelamin-satu (single-sex), intensitas cahaya dapat
memberikan efek yang berbeda pada inisiasi bunga betina dan
jantan. Intensitas cahaya yang tinggi merangsang inisiasi bunga
betina pada walnut dan pinus, sedangkan intensitas cahaya yang
rendah, yang biasanya disebabkan oleh naungan kanopi, lebih
merangsang terbentuknya bunga jantan (Matthews, 1963; Giertych,
1977; Ryugo dkk, 1980, 1985).
Faktor Internal
Fitohormon
Auxin
Merupakan respon terhadap cahaya
Disintesis di jaringan meristematik apikal (ujung)
Menstimulir terjadinya pembelahan pada meristem apikal →
mempengaruhi proses perpanjangan ujung tanaman
Ethylene
Disintesis oleh daun
Diransfer ke tunas lateral → memulai proses induksi bunga
Cytokinin
Disintesis pada jaringan endosperm, ujung akar, dan xylem
Ditransfer ke daun melalui jaringan xylem
Berfungsi untuk meningkatkan energi metabolisme → ditransfer
untuk membentuk kuncup-kuncup bunga
Mengendalikan proses translokasi → menjamin ketersediaan energi
untuk pembungaan
Mematahkan dominansi apikal.
Berperan dalam memacu inisiasi bunga (Ramirez dan Hoad, 1978;
Oslund dan Davenport, 1987) dan dijumpai pada level lebih tinggi
pada akar Douglas-fir yang sedang berbunga, dibanding pohon yang
tidak berbunga (Bonnett-Massimbert dan Zaerr, 1987).
Gibberellin
Disintesis pada primordia akar dan batang
Ditranslokasikan pada xylem dan floem
Menstimulir proses perpanjangan internodia dan buku-buku pada
batang
Asam giberelik mempunyai efek penghambatan yang sangat kuat
terhadap pembungaan berbagai pohon angisperma termasuk
tanaman-tanaman buah temperate, rhododendron, jeruk dan mangga
(Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva, 1979;
Guardiola dkk, 1982; Tomer, 1984). Pada Citrus sinensis, GA3 dapat
menyebabkan kuncup-kuncup dorman yang sesungguhnya potensial
berbunga kembali sepenuhnya ke tingkat vegetatif, sampai tiba
waktunya pembentukan kelopak bunga (Lord dan Eckard, 1987).
Luckwill (1980) telah memperkenalkan sebuah model yang
melibatkan giberelin pada pengendalian inisiasi bunga apel secara
hormonal. Giberelin yang dihasilkan oleh biji-biji yang sedang
berkembang dalam buah muda diduga telah menghambat
pembentukan bunga, dan dengan demikian mengurangi pembungaan
pada musim semi berikutnya.
Pada umumnya, zat penghambat-tumbuh, seperti Chlormequat
Cycocel; (2-cloroethyl)trimethylammonium chloride, Alar dan TIBA
(tri-iodobenzoic acid), mengurangi pertumbuhan vegetatif dan
memacu pembungaan pada spesies pohon angiosperma (Cathey,
1964; Criley, 1969; Jackson dan Sweet, 1972; Luckwill dan Silva,
1979; Ramirez dan Hoad, 1984; Embree dkk, 1987).
Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosistesis giberelin,
yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan
produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Edgerton,
1985; Steffens dan Wang, 1985; Tukey, 1985; Bargioni dkk, 1986;
Webster dkk, 1986; Embree dkk, 1987).
Gimnosperma tampaknya memberikan reaksi yang berbeda.
Penghambat pertumbuhan telah meningkatkan pembungaan pada
spruce Norwegia, namun hal ini tidak berlaku pada spesies konifer
(Owens dan Blake, 1985; Bonnet-Massimbert dan Zaerr, 1987).
Sebaliknya, Giberelin akan memacu pembungaan pada banyak
gimnosperma termasuk Cryptomeria, Cupressus, Thuja, Thujopsis,
Juniperus, Metasequoia, Taxodium, Chamaecyparis, Sequoia, Larix,
Picea, Pinus, Pseudotsuga dan Tsuga (Hashizume, 1959; Matthews,
1963; Greenwood, 1977; Pharis dan Kuo, 1977; Owens dan Blake,
1985).
Penelitian terbaru telah memunculkan dugaan bahwa tipe giberelin
mungkin merupakan faktor penting dalam respon fisiologis pada
tanaman. Dengan demikian aspek pengaruh giberelin pada
pembungaan tanaman berkayu menahun atau perenial membutuhkan
pengamatan lebih lanjut, mengingat minimnya metode deteksi dan
produksi giberelin saat ini.
Genetik
Fase besar dalam siklus hidup tanaman, yaitu fase vegetatif dan fase
reproduktif, banyak dipengaruhi oleh berbagai mekanisme yang merupakan
kontrol genetik. Fase vegetatif atau juvenil adalah interval waktu selama tanaman
tersebut belum mampu bereproduksi (membentuk biji). Secara alami periode ini
berakhir setelah 1 hingga 45 tahun tergantung pada spesies dan kondisi
lingkungannya (Ng, 1977; Hackett, 1985 dalam Griffin dan Sedgley, 1989).
Lamanya periode juvenil lebih dipengaruhi oleh kontrol genetik. Inheritance pada
Betula telah teramati sebagai pengaruh poligen (Eriksson dan Johnsson, 1986
dalam Griffin dan Sedgley, 1989) dan kontrol gen mayor (Johnsson, 1949 dalam
Griffin dan Sedgley, 1989), sedangkan pada pohon apel dan pir, faktor poligen
menentukan inheritance secara akumulatif (Visser, 1976 dalam Griffin dan
Sedgley, 1989). Sejumlah karakter morfologis dan fisiologis mungkin dapat
dihubungkan dengan fase juvenil ini; seperti pembentukan duri pada jeruk,
pesatnya pertumbuhan meninggi pada larch dan jeruk, susunan daun pada
pistachio, bulu-bulu daun pada pecan, perbedaan bentuk, warna, kelekatan atau
filotaksis dedaunan pada beberapa jenis ekaliptus dan pinus, dan kemampuan
untuk memproduksi akar dan kuncup adventif (Longman, 1961; Soost dan
Cameron, 1975; Crane dan Iwakiri, 1981; Hackett, 1985; Wetzstein dan Sparks,
1986; Greenwood, 1987 dalam Griffin dan Sedgley, 1989).
Fase juvenil diawali dengan pembukaan tunas dan perluasan sel meristem apikal.
Semua proses yang berlangsung dalam tubuh tanaman ditujukan untuk
pertambahan jumlah dan volume sel meristem pada titik-titik tumbuh tanaman.
Pertumbuhan meninggi dan pembentukan tunas-tunas pucuk mendominasi proses
pertumbuhan.
Transisi menuju tingkat dewasa pada umumnya berlangsung secara
bertahap, dan dalam satu pohon tertentu, tidak semua karakter juvenil berubah
pada tahap yang sama. Beberapa jenis ekaliptus, seperti Eucalyptus pulverulenta,
mempertahankan pola daun juvenilnya sementara memasuki masa dewasa yang
berhubungan dengan kemampuan pembentukan bunga. Fase reproduktif adalah
masa ketika tanaman telah mampu membentuk organ-organ reproduksi dan
melangsungkan proses reproduksi untuk membentuk biji. Fase ini terjadi setelah
pertambahan jumlah dan volume sel memadai (tanaman mencapai jumlah
primordia tertentu yang memungkinkan tanaman untuk mulai berbunga), yang
ditandai dengan stabilnya pembelahan sel: pola pembelahan berubah untuk mulai
membentuk meristem lateral. Tanaman memasuki fase reproduktif setelah
tercapainya suatu karakter genetik yang disebut size effect dan endogenous
timing. Size effect adalah ukuran tertentu yang berhubungan dengan kemampuan
tanaman mengatur penyerapan, suplai dan alokasi makanan. Endogenous timing
adalah umur tertentu yang secara genetis berhubungan dengan kesiapannya untuk
berbunga.
Vernalisasi
Pada tahun 1920-an, para ahli sains dari Departemen Pertanian A.S. yang
melakukan penelitian di Beltsville, Maryland mulai meneliti aktivitas
pembungaan pada tumbuhan. Mereka mulai menyadari bahwa pembungaan
dimulai oleh panjang siang. Setelah menanam tumbuhan dalam rumah tanaman,
tempat fotokalanya dapat diubah secara buatan, mereka membuat kesimpulan
bahwa tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga kumpulan : Tumbuhan pendek siang
berbunga apabila fotokalanya lebih pendek daripada panjang genting. (Contoh
yang baik ialah pohon cocklebur, pohon merah (poinsetia, kekwa). Tumbuhan
panjang siang- berbunga apabila fotokalanya lebih panjang daripada suatu
panjang genting. (Contoh yang baik ialah gandum, barli, bunga cengkih, bayam).
Tumbuhan neutral siang- pembungaan tidak bergantung kepada suatu
fotokala. (Contoh yang baik ialah tomat dan timun). Vernalisasi merupakan
induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai perbungaan.
Vernalisasi sebenarnya tidak khusus untuk perbungaan, tetapi diperlukan pula
oleh biji-biji tumbuhan tertentu sebelum perkecam-bahan. Respon terhadap suhu
dingin ini bersifat kualitatif (mutlak), yaitu pembungaan akan terjadi atau
pembungaan tidak akan terjadi. Lamanya periode dingin haruslah beberapa hari
sampai beberapa minggu, tergantung sepesiesnya. Spesies semusim pada musim
dingin, dua tahunan, dan banyak spesies tahunan dari daerah beriklim sedang
yang membutuhkan verna-lisasi semacam itu agar berbunga. Biji, umbi, dan
kuncup banyak spesies tanaman di daerah beriklim sedang membutuhkan
stratifikasi (beberapa minggu diletakkan dalam penyimpanan yang dingin dan
lembab) untuk mematahkan dormansi. Jadi vernalisasi secara harfiah berarti
membuat suatu keadaan tumbuhan seperti musim semi, yaitu menggalakkan
pembungaan sebagai respon terhadap hari-hari yang panjang selama musim semi
(Gardner,dkk, 1991).
Seterusnya kita harus mengambil perhatian bahwa suatu tumbuhan panjang siang
dan pendek siang dapat mempunyai panjang hari genting yang sama. Bayam
merupakan suatu tumbuhan panjang siang yang mempunyai panjang genting
selama empat belas jam, rumput reja merupakan suatu tumbuhan pendek siang
dan mempunyai panjang genting yang sama. Walau bagaimanapun, bayam hanya
berbunga pada musim panas apabila panjang siang me-ningkat sehingga empat
belas jam atau lebih, dan rumput reja berbunga pada musim gugur apabila panjang
siangnya berkurang hingga empat belas jam atau kurang. (Rumput reja harus
menjadi matang sebelum dapat berbunga, sebab itulah tumbuhan ini tidak
berbunga pada mu-sim bunga walaupun panjang siangnya kurang daripada empat
belas jam).
Pada tahun 1938, K. C. Hammer dan J. Bonner memulai eksperimen
dengan panjang siang dan malam buatan yang tidak perlu sama dengan suatu
normal, yaitu siang dua puluh empat jam. Mereka kemudian berpendapat bahwa
cocklebur yang merupakan tumbuhan pen-dek siang akan berbunga pada waktu
gelapnya berterusan selama delapan setengah jam, tanpa memperkirakan panjang
waktu siang. Selanjutnya, jika waktu gelap ini diganggu untuk seke-tika oleh
pancaran cahaya, maka pohon cocklebur tidak akan berbunga. ( Mengganggu pan-
jang waktu penyinaran dengan kegelapan tidak memiliki arti ). Keputusan yang
sama juga telah diperoleh bagi tumbuhan panjang siang. Tumbuhan tersebut
memerlukan suatu waktu gelap yang lebih pendek daripada suatu panjang genting
tanpa memperhitungkan panjang waktu pencahayaan. Walau bagaimanapun, jika
suatu malam yang lebih panjang dari panjang genting diganggu oleh suatu
pancaran cahaya yang sekejap, maka tumbuhan siang panjang akan berbunga.
Dengan demikian, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa panjang waktu gelap yang
mengakibatkan pembungaan, bukannya panjang waktu pencahayaan. Dalam
keadaan alami, jelaslah siang yang lebih pendek senantiasa berfungsi dengan
malam yang lebih pan-jang, dan begitulah sebaliknya.
Pada jurnal, untuk tanaman photoperiod sensitif, untuk menaggapi
stimulus bunga in-duktif, daun perlu kompeten dan menghasilkan stimulus bunga
dan meristem harus memiliki kemampuan untuk merespon rangsangan tersebut.
Jarak antara meristem apikal dan akar me-rupakan faktor yang mengatur saat
inisiasi bunga terjadi di bawah kondisi induktif Ribes ni-grum L. Nicotiana
tabacum L. (Schwabe dan Al-Doori, 1973; McDaniel, 1980).
Letak Vernalisasi
Bukti-bukti bahwa rangsanagan dingin dihasilkan di dalam meristem atau
kuncup dan bukan didalam daun diperoleh dari empat fenomena:
1. Biji yang telah mengalami imbibisi mudah divernalisasi
2. Pengenaan suhu dingin hanya pada daun, akar, atau batang tidak efektif.
3. Biji yang sedang berkembang pada tanaman induk dapat dan seringkali sudah
terver-nalisasi apabila tepat pada waktu suhu dingin berlangsung sebelum biji
menjadi kering.
4. Tanaman yang ditanam dari kuncup liar suatu daun yang sudah tervernalisasi
telah tergalakkan untuk berbunga (Gardner,dkk, 1991).
Hilangnya Vernalisasi
Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan kondisi yang
parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35̊C) selama periode
beberapa hari. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lysenko di Uni soviet,
mengenai biji serealia musim dingin yang diver-nalisasi dan dipertahankan biji
dalam keadaan kering menyebabkan proses devernalisasi (penghilangan
vernalisasi). Percobaan yang dilakukan Lysenko itu tidak berlaku di mana saja,
mungkin karena telah tersedia kultivar tipe musim semi yang teradaptasi.
Vernalisasi pada rumput-rumputan tahunan tertentu, ternyata lebih kompleks,
selain dingin, juga diperlukan beberapa fotoperiode pendek. Contohnya pada
rumput orchard, penggalakan pembungaan terjadi secara alamiah, dan diperlukan
suhu ingin untuk mengga-lakkan pembungaan pada sepesies-sepesies tersebut
(Gardner,dkk, 1991).
3) Fitokrom
Fitokrom adalah reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh
tumbuhan untuk mencerap (mendeteksi) cahaya. Sebagai sensor, ia terangsang
oleh cahaya merah dan infra merah, cahaya infra merah memiliki panjang
gelombang yang lebih besar dari pada cahaya merah. Fitokrom ditemukan pada
semua tumbuhan. Molekul yang serupa juga ditemukan pada bakteri. Tumbuhan
menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek fisiologi adaptasi
terhadap lingkungan, seperti fotoperiodisme (pengaturan saat berbunga pada
tumbuhan), perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan kecambah
(khususnya pada dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas batang, serta
pembuatan (sintesis) klorofil. Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom
adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang
masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki
kerangka heme). Kromofor ini dilindungi atau diikat oleh apoprotein, yang juga
berpengaruh terhadap kinerja bagian sensor. Kromofor dan apoprotein inilah yang
bersama-sama disebut sebagai fitokrom.
merah jauh
Sumber fitokrom dapat diperoleh dari biji-biji yang etiolasi, sedangkan
pada jaringan normal hanya sedikit. Pada beberapa jaringan, perubahan Pr dan Pfr
tidak selalu diikuti dengan terjadinya respon morfogenetik. Perubahan Pr <------->
Pfr prosesnya tidak sederhana seperti ditunjukkan di atas. Pengukuran dengan
spektrofotometer menunjukkan bahwa Pfr mungkin dipecah oleh cahaya merah
jauh, tidak menunjukkan hubungan secara kuantitatif dengan hilangnya Pfr.
Diduga mungkin Pfr berubah menjadi suatu derivat yang secara fotokimia tidak
aktif.
Tidak aktif
X
Fotoperiodisme
Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran
( panjang pendeknya hari) yang dapat merangsang pembungaan. Garner dan Alard
(1920) menyebutkan Maryland Mammoth adalah tumbuhan hari Pendek (short
day plant), karena tumbhan ini nyatanya memerlukan suatu periode terang yang
lebih pendek di banding dengan panjang siang hari yang kritis untuk
pemrbungaan. Krisan, poinsettia, dan beberapa varietas kacang kedelai
merupakan contoh tumbuhan hari pendek yang pada mumnya berbunga pada
akhir musim panas, musim gugur, atau musim dingin. Kelompok lain yang
bergantung pada fotoperiode hanya akan berbunga ketika periode terang lebih
lama beberapa jam. Tumbuhan hari panjang (long day plant) ini umumnya
berbunga pada akhir musim semi atau awal musim panas. Bayam, misalnya,
ketika panjang siang hari 14 jam ata lebih lama. Lobak, dam selada, iris, dan
banyak varietas sereal lain merupakan tumbuhan hari panjang. Perbungaan pada
kelompok ke tiga, yaitu tumbuhan hari netral, tidak dipengaruhi oleh fotoperiode.
Tomat, padi, dan dandelion adalah contoh tmbuhan hari netral (day neutral
plant) yang berbunga ketika mereka mencapai tahapan pematangan tertentu, tanpa
memperdulikan panjang siang hari pada waktu itu. Yang dimaksud dengan
panjang hari disini bukan panjang hari secara mutlak, tetapi panjang hari kritis.
Tumbuhan hari panjang (LDP) mungkin memiliki panjang hari kritis lebih pendek
dari tumbuhan hari pendek (SDP). Dinyatakan bahwa tumbuhan hari panjang
akan berbunga apabila memperoleh induksi penyinaran yang sama atau lebih dari
panjang harin kritisnya dan sebaliknya tumbuhan hari pendek akan berbunga,
apabila memperoleh penyinaran sama atau lebih pendek dari panjang hari
kritisnya (Sasmitamihardja, 1996).
Sebelumnya diduga bahwa tumbuhan dirangsang perbungaannya oleh
lamanya panjang hari (day length). Pada tahun 1940-an peneliti menemukan
bahwa sesungguhnya panjang malam atau panjang kegelapan tanpa selingan
cahaya atau niktoperiode, dan bukan panjang siang hari, yang mengotrol
perbungaan dan respons lainnya terhadap fotoperiode (franklin, dkk, 1991). Pada
tahun 1940-an peneliti menemukan bahwa sesungguhnya panjang malamlah,
bukan panjang siang hari, yang mengotrol perbungaan dan respons lainnya
terhadap fotoperiode. Banyak saintis ini bekerja dengan cocklebur, yaitu suatu
tmbuhan hari pendek yang berbunga hanya ketika panjang siang hari 16 jam atau
lebih pendek (dan panjangnya malam paling tidak 8 jam). Jika bagian siang hari
fotoperiode disela dengan pemaparan singkat terhadap kegelapan, tidak ada
pengaruh pada perbungaan. Namun, jika bagian malam atau periode gelap dari
fotoperiode disela dengan beberapa menit penerangan cahaya redup, tumbuhan
tersebut tidak akan berbunga.
Coklebur memerlukan paling tidak 8 jam kegelapan secar terus menerus
supaya dapat berbunga. Tumbuhan hari pendek sesungguhnya adalah tumbuhan
malam panjang, tetapi istilah yang lebih kuno tersebut tertanam kuat dalam jargon
fisiologi tumbuhan. Tmbuhan hari panjang sesungguhnya tumbuhan malam
pendek ; apabila ditanam pada fotoperiode malam panjang yang biasanya tidak
menginduksi perbungaan, tmbuhan hari panjang akan berbunga jika periode
kegelapan terus menerus diperpendek selama beberapa menit dengan pemberian
cahaya. Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang
malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih
lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur); tumbuhan hari
panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek disbanding dengan
panjang malam kritis. Industry penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan
ini untuk menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah
tumbuhan hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi
perbungaannya dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan
mei dengan cara menyela setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang
mengubah satu malam panjangmenjadi malam pendek. Tunas menghasilkan
bunga, tetapi mendeteksi fotoperiode.
Pada banyak spesies tumbuhan hari pendek atau tumbuhan hari panjang,
perbungaan cukup diinduksi dengan memaparkan sebuah daun tunggal terhadap
fotoperiode yang tepat. Sesungguhnya meskipun hanya satu daun dibiarkan
bertaut pada tumbuhan, fotoperiode akan tetap terdeteksi dan tunas bunga akan
diinduksi. Namun, jika semua daun dibuang tumbuhan akan buta terhadap
fotoperiode. Pada kenyataannya, beberapa pesan untuk berbunga diangkut dari
daun ke tunas bunga. Sebagian besar ahli fisiologi tumbuhan yakin bahwa
tumbuhan ini adalah sebuah hormon atau perbahan konsentrasi relatif dua atau
lebih hormon. Transmisi meristem dari pertumbuhan vegetatif sampai ke
perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk lingkungan (seperti fotoperiode) dan
sinyal internal (seperti hormon) yang diperlukan untuk perbungaan, hasilnya
adalah transmisi meristem tunas dari keadaan vegetatif menjadi satu keadaan
perbungaan. Transmisi ini memerlukan perubahan ekspresi gen-gen yang
mengatur pembentukan pola. Gen identitas meristem yang menentukan bahwa
tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu dan bukan membentuk tunas
vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih dahulu. Kemudian gen identitas
organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik
diaktifkan pada daerah meristem yang tepat. Penelitian mengenai perkembangan
bunga sedang berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jalur
transduksi sinyal yang menghubungkan petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan
perubahan hormonal dengan ekspresi gen yang diperlukan untuk perbungaan.
Sinyal untuk bunga yang berjalan dari daun ke tunas bunga kelihatannya
sama pada tumbuhan hari pendek dan tumbuhan hari panjang, meskipun kedua
kelompok tumbuhan tersebut berbeda dalam hal kondisi fotoperiodik yang
diperlukan daun untuk mengirim sinyal tersebut. Transmisi meristem dari
pertumbuhan vegetative sampai ke perbungaan. Apapun kombinasi petunjuk
lingkungan (seperti fotoperiode) dan sinyal internal (seperti hormon) yang
diperlukan untk perbungaan, hasilnya adalah transmisi meristem tunas dari
keadaan vegetatif menjadi satu keadaan perbungaan. Transisi ini memerlukan
perubahan ekspresi gen-gen yang mengatur pembentukan pola. Gen identitas
meristem yang menentukan bahwa tunas akan membentuk bunga terlebih dahulu
dan bukan membentuk tunas vegetatif, harus diaktifkan (di-on-kan) terlebih
dahulu. Kemudian gen identitas organ-organ bunga kelopak bunga, mahkota
bunga, benang sari dan putik -diaktifkan pada daerah meristem yang tepat.
Penelitian mengenai perkembangan bunga sedang berkembang pesat, yang
bertujuan untuk mengidentifikasi jalur transduksi sinyal yang menghubungkan
petunjuk-petunjuk seperti fotoperiode dan perubahan hormonal dengan ekspresi
gen yang diperlukan untuk perbungaan.
Dengan demikian, respon fotoperiode tergantung pada suatu panjang
malam kritis. Tumbuhan hari pendek akan berbunga jika durasi malam hari lebih
lama di banding dengan panjang kritis (8 jam untuk cocklebur), tumbuhan hari
panjang akan berbunga ketika malam hari lebih pendek dibanding dengan panjang
malam kritis. Industri penanaman bunga telah menerapkan pengatahuan ini untuk
menghasilkan bunga diluar musimnya. Chrythemum misalnya adalah tumbuhan
hari pendek yang biasanya berbunga pada musim gugur, tetapi perbungaannya
dapat ditunda sampai hari ibu (amerika serikat, red) pada bulan mei dengan cara
menyelang setiap malam panjang dengan seberkas cahaya, yang mengubah satu
malam panjang menjadi malam pendek. Berdasarkan panjang hari, tumbuhan
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran
kurang dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung,
kedelai, anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran
lebih dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya
kembang sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran
kira-kira 12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari
untuk pembungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi,
wortel liar, dan kapas.
Induksi Fotoperiodisme
Induksi fotoperiodisme sangat penting dalam perbungaan atau lebih tepat
disebut in-duksi panjang malam kritisnya. Respon tumbuhan terhadap induksi
fotoperioda sangat berva-riasi, ada tumbuhan untuk perbungaannya cukup
memperoleh induksi dari fotoperioda satu kali saja, tetapi tumbuhan lain
memerlukan induksi lebih dari satu kali. Xanthium strumarium untuk
perbungaannya memerlukan 8 x induksi fotoperioda yang harus berjalan terus
menerus. Apabila tanaman ini sebelum memperoleh induksi lengkap, mendapat
gangguan atau terputus induksi fotoperiodanya, maka tanaman itu tidak akan
berbunga. Kekurangan induksi fotope-rioda tidak dapat ditambahkan demikian
saja, karena efek fotoperioda yang telah diterima sebelumnya akan menjadi
hilang. Untuk memperoleh induksi lengkap, tanaman tersebut harus
mengulangnya dari awal kembali. Di dalam menerima rangsangan fotoperioda ini,
organ daun diketahui sebagai organ penerima rangsangan. Ada 4 tahap yang
terjadi dalam resepon perbungaan terhadap rangsan-gan fotoperioda, pertama
menerima rangsangan, kedua transformasi dari organ penerima rangsangan
menjadi beberapa pola metabolisme baru yang berkaitan dengan penyediaan ba-
han untuk perbungaan, ketiga pengangkuatan hasil metabolisme dan keempat
terjadinya res-pon pada titik tumbuh untuk menghasilkan perbungaan.
Beberapa percobaan dalam hubungan dengan rangsangan ini,
menunjukkan bahwa apabila daun dibuang segera setelah induksi selesai, tidak
akan terjadi perbungaan , sedang-kan apabila daun dibuang setelah beberapa jam
sehabis selesai induksi, tumbuhan tersebut dapat berbunga. Rangsangan yang
diterima oleh satu tumbuhan dapat diteruskan pada tum-buhan lain yang tidak
memperoleh induksi, melalui cara tempelan (grafting) sehingga tumbu-han
tersebut dapat berbunga. Hormon yang berperan dalam perbungaan ini adalah
florigen, yang masih merupakan hormon hipotesis.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Fotoperodisme adalah respon tumbuhan terhadap lamanya penyinaran atau
panjang pendeknya hari yang dapat merangsang pembungaan. Berdasarkan panjang hari,
tumbuhan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:
1. Tumbuhan hari pendek, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kurang
dari 12 jam sehari. Tumbuhan hari pendek contohnya krisan, jagung, kedelai,
anggrek, dan bunga matahari.
2. Tumbuhan hari panjang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran lebih
dari 12 jam (14 – 16 jam) sehari. Tumbuhan hari panjang, contohnya kembang
sepatu, bit gula, selada, dan tembakau.
3. Tumbuhan hari sedang, tumbuhan yang berbunga jika terkena penyinaran kira-kira
12 jam sehari. Tumbuhan hari sedang contohnya kacang dan tebu.
4. Tumbuhan hari netral, tumbuhan yang tidak responsif terhadap panjang hari untuk
pem-bungaannya. Tumbuhan hari netral contohnya mentimun, padi, wortel liar, dan
kapas. Penyelidikan sebenarnya telah menunjukkan bahwa panjang gelaplah yang
penting, mengganggu waktu gelap dengan adanya cahaya dapat menghalangi
pembungaan pada tumbuhan hari pendek.
Vernalisasi merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan
sebelum mulai perbungaan. Vernalisasi pada biji dapat dinolkan dengan pengenaan
kondisi yang parah, seperti kekeringan atau temperatur tinggi (30-35C). Apabila
daun tumbuhan yang me-merlukan vernalisasi mendapat perlakuan dingin,
sedangkan bagian pucuk batangnya dihan-gatkan, maka tumbuhan tidak akan
berbunga (tidak terjadi vernalisasi). Zat yang bertanggung jawab dalam meneruskan
rangsangan vernalisasi disebut vernalin, yaitu suatu hormon hipote-sis karena
sampai saat ini belum pernah diisolasi. Disamping itu vernalisasi merupakan proses
kimia yang tidak biasa, karena terjadi reaksi yang cepat pada suhu dingin.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, S. 1998. Pengantar Biologi Reproduksi Tanaman, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Campbell, N. A, Reece, J. B, Mitchell, L. G. 2000. Biologi Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Dwidjoseputro, D. 1988. Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia.
Elisa. 2004, Biologi Reproduksi Tanaman Buah-Buahan Komersial, Bayu Media,
Malang, Jawa Timur.
Putra, dkk., 2010, Fotoperiodisme dan Vernalisasi, http://rikiharyanto.blogspot.com/
Riana yani, dkk. 2003. Biologi SMU kelas II, Bandung : Remaja RosdaKarya.
Steven R. Adams, Simon Pearson, Paul Hadley. 2000. Improving quantitative
flowering models through a better understanding of the phases of photoperiod
sensitivity. Oxford journals ofExperimental Botany vol 52 issue 357 Pp 655-
662,October 20, 2000.
Sanusi, A., 2009, Respon Tanaman Terhadap Penyinaran.
http://sanoesi.wordpress.com/about/
Silvia S. Mader. 1995. Biologi, Evolusi, Keanekaragaman dan Lingkungan. Malaysia :
Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Sutarno, 1997, Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis Indonesia, Penerbit Andi,
Yogyakarta.