Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan reproduksi merupakan keadaan kesejahteraan fisik, mental, sosial yang
utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsifungsi dan proses
reproduksi (Irianto, 2015). Sistem reproduksi pada manusia dapat mengalami
gangguan, yang dapat di sebabkan oleh adanya penyakit dan juga kelainan. Gangguan
pada sistem reproduksi tentu saja bisa menyerang siapa saja, baik itu wanita maupun
pria. Salah satu penyakit yang menyerang sistem reproduksi manusia adalah kanker.
Kanker merupakan pertumbuhan abnormal dari suatu sel atau jaringan sel yang
tumbuh dan berkembang tidak terkendali disertai dengan kecepatan tumbuhnya
berlebihan. Kanker serviks merupakan kanker yang berasal dari mulut rahim dan
merupakan kanker terbanyak kedua setelah kanker payudara. Penyakit kanker serviks
dan payudara merupakan penyakit kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia
pada tahun 2013, yaitu kanker serviks sebesar 0,08% dan kanker payudara sebesar
0,05%. Estimasi jumlah kasus kanker serviks di Indonesia diperkirakan sebanyak
98.692 kasus dengan jumlah angka kematian dalam 5 tahun adalah 8,2 kematian per
100.000 peduduk. Berdasarkan prevalensinya, Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki
prevalensi terbesar di Indonesia yaitu 0,41% (Kemenkes RI, 2015). Skrining dalam
pengobatan merupakan strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk
mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda- 2 tanda atau gejala penyakit
sehingga diharapkan angka kejadian kanker serviks dan mortalitas berkurang. Hingga
2016, baru sekitar 1,5 juta perempuan usia 30-50 tahun yang menjalani skrining
kanker serviks dan kanker payudara dari target 37 juta perempuan usia 30-50 tahun.
Cakupan skrining kanker serviks di Indonesia sebesar 5%, padahal pemerintah
menargetkan cakupan deteksi dini kanker serviks adalah 85 % (Samadi, 2010). Hal
tersebut menyebabkan 76,6% pasien ketika terdeteksi sudah memasuki stadium lanjut

1
(IIIB ke atas), karena kanker serviks biasanya tanpa gejala apapun pada stadium
awalnya. Skrining dapat dilakukan dengan melakukan tes pap smear dan juga
Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) (Irianto, 2015). IVA merupakan pemeriksaan
leher rahim (serviks) dengan cara melihat langsung (dengan mata telanjang) leher
rahim setelah memulas leher rahim dengan larutan asam asetat. IVA mempunyai
sensitifitas 90%, spesifisitas 37%, nilai prediksi positif 52% dan nilai prediksi negatif
81%. IVA test yang hanya mengandalkan pemeriksaan dengan mata telanjang pada
leher rahim yang telah diolesi atau disemprot asam asetat hanya bisa dilakukan oleh
mata pemeriksa yang sudah terlatih, dan cenderung memiliki angka kesalahan yang
tinggi. Sedangkan pap smear, merupakan pemeriksaan untuk mengetahui adanya
perubahan atau keganasan pada epitel serviks atau porsio (displasia) yang merupakan
tanda awal keganasan serviks atau prakanker (Rasjidi, 2008). Pap Smear merupakan
suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian
diperiksa di bawah mikroskop. Pap smear mempunyai sensitifitas 50,1%, spesifisitas
93,1%, nilai prediksi positif 89,3% 3 dan nilai prediksi negatif 65,6%. Pap Smear
merupakan tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk
mendeteksi kelainankelainan yang terjadi pada sel-sel leher rahim (Diananda, 2009).
Banyak wanita yang masih belum mengetahui dan mau melakukan deteksi dini
kanker serviks. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya: usia, ekonomi,
akses pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap, dukungan teman dan dukungan
suami (Wahyuni, 2013). Hasil penelitian Kusumawati dan Rahmawati (2013)
menunjukan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian kanker
serviks di RSUD Sukoharjo (p=0,671). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Martini (2013), dimana (P value 0,999) dapat disimpulkan tingkat pengetahuan
masyarakat tidak berhubungan kuat dengan tindakan pap smear di Pusksmas
Sukawati II. Hasil berbeda ditunjukkan dari penelitian Apriyanti (2014), yang
menyimpulkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan wanita usia subur tentang
pap smear dengan kejadian kanker serviks (p>0,001). Demikian pula dengan hasil
penelitian Liniadi (2013), yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan

2
positif antara pengetahuan dengan keikutsertaan pap smear (p=0,002). Padahal
menurut Aziz (2006), pengetahuan merupakan faktor dominan dalam pemeriksaan
deteksi dini kanker serviks. Pengetahuan yang dimiliki wanita usia subur tersebut
akan menimbulkan kepercayaan ibu tentang deteksi dini kanker serviks Berdasarkan
hasil penelitian Martini (2013), sikap terbukti berhubungan kuat dengan tindakan
pemeriksaan pap smear (p=0,003). Hasil tersebut 4 bertolak belakang dengan hasil
penelitian Anggraini, dkk (2016) yang menunjukkan sikap responden dengan deteksi
dini melalui pap smear dengan kategori mendukung sebanyak 46% responden (59%),
yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan deteksi dini
kanker serviks melalui pap smear. Penelitian Liniadi (2013) juga memperkuat hasil
penelitian tersebut bahwa variabel sikap memiliki sedikit hubungan dengan
keikutsertaan pap smear (p=0,066). Padahal menurut Walgito (2008), sikap
merupakan faktor yang menentukan perilaku kesehatan setelah pengetahuan, jika
setelah pengetahuan dan sikap wanita yang sudah menikah menjadi lebih baik,
diharapkan keikutsertaan untuk melakukan pap smear akan lebih kooperatif . Menurut
Wahyuni (2013), dukungan suami 3,05 kali mempengaruhi wanita untuk melakukan
deteksi dini kanker serviks dibandingkan faktor yang lain. Demikian pula dengan
hasil penelitian dari Liniadi (2013) yang menyatakan bahwa dukungan suami
memiliki hubungan signifikan terhadap keikutsertaan pap smear p=0,0001. Berbeda
dengan penelitian Febriani (2016), yang menunjukkan bahwa faktor dukungan suami
tidak ada hubungan dengan deteksi dini kanker serviks di Kecamatan Gisting
Kabupaten Tanggamus Lampung dengan p= values 1,000. Padahal menurut Friedman
(1998), sumber dukungan internal (suami) merupakan aspek yang penting untuk
peningkatan kesehatan reproduksi. Dengan pengetahuan dan pemahaman itu,
seseorang akan tahu kepada siapa dan seberapa besar ia akan 5 mendapatkan
dukungan sesuai dengan situasi dan keinginan yang spesifik, sehingga dukungan
tersebut bermakna.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Skrining?

3
2. Apa definisi Kanker Payudara dan Kanker Serviks?
3. Apa saja etiologi dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks?
4. Apa saja manifestas darii Kanker Payudara dan Kanker Serviks?
5. Bagaimana patofisiologi dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks?
6. Bagaimana stadium dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks?
7. Bagaimana skrining dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Skrining
2. Untuk mengetahui definisi Kanker Payudara dan Kanker Serviks
3. Untuk mengetahui etiologi dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks
4. Untuk mengetahui manifestas darii Kanker Payudara dan Kanker Serviks
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks
6. Untuk mengetahui stadium dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks
7. Untuk mengetahui skrining dari Kanker Payudara dan Kanker Serviks
1.4 Manfaat
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dari Skrining
2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Kanker Payudara dan Kanker
Serviks
3. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dari Kanker Payudara dan
Kanker Serviks
4. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestas darii Kanker Payudara dan
Kanker Serviks
5. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dari Kanker Payudara dan
Kanker Serviks
6. Mahasiswa mampu menjelaskan stadium dari Kanker Payudara dan
Kanker Serviks
7. Mahasiswa mampu menjelaskan skrining dari Kanker Payudara dan
Kanker Serviks

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Skrining

2.1.1. Pengertian

Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam


suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-
tanda atau gejala penyakit itu. Tidak seperti apa yang biasanya terjadi dalam
kedokteran, tes skrining yang dilakukan pada orang tanpa tanda-tanda klinis
penyakit.
Skrining sama artinya dengan deteksi dini atau pencegahan sekunder,
mencakup pemeriksaan (tes) pada orang-orang yang belum mempunyai
simptom-simptom penyakit untuk menemukan penyakit yang belum terlihat
atau pada stadium praklinik.
2.1.2. Tujuan Skrining
Tujuan dari skrining adalah untuk mengidentifikasi penyakit pada
komunitas awal, sehingga memungkinkan intervensi lebih awal dan
manajemen dengan harapan untuk mengurangi angka kematian dan
penderitaan dari penyakit. Meskipun skrining dapat mengarah ke diagnosis
sebelumnya, tidak semua tes skrining telah terbukti bermanfaat bagi orang
yang sedang diputar; overdiagnosis, misdiagnosis, dan menciptakan rasa aman
palsu beberapa efek negatif dari penyaringan. Untuk alasan ini, tes yang
digunakan dalam program skrining, terutama untuk penyakit dengan insiden
rendah, harus memiliki sensitivitas yang baik selain kekhususan diterima.
Beberapa jenis skrining ada: skrining universal melibatkan skrining semua
individu dalam suatu kategori tertentu (misalnya, semua anak pada usia

5
tertentu). Temuan Kasus melibatkan skrining sekelompok kecil orang
berdasarkan adanya faktor risiko (misalnya, karena anggota keluarga telah
didiagnosis dengan penyakit keturunan).
Contoh sukses skrining untuk kanker meliputi :

 Pap smear untuk mendeteksi lesi prakanker dan berpotensi mencegah


kanker ser
 Mamografi untuk mendeteksi kanker payudarKolonoskopi untuk
mendeteksi kankera kolorekta.
 Dermatologis centang untuk mendeteksi melanoma
 Radiografi bitewing secara rutin diambil pada pemeriksaan gigi dan
digunakan untuk layar untuk karies interproksimal gigi.

2.1.3. Jenis Penyakit yang Tepat Untuk Skrining

 Merupakan penyakit yang serius


 Pengobatan sebelum gejala muncul harus lebih untung dibandingkan
dengan
 Setelah gejala muncul
 Prevalens penyakit preklinik harus tinggi pada populasi yang di
skrining

2.2 Kanker Payudara

2.2.1 Definisi
Menurut Luwia (2003), kanker payudara merupakan kanker yang
berasal dari kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara.
Ketika sejumlah sel di dalam payudara tumbuh dan berkembang dengan tidak
terkendali inilah yang disebut kanker payudara. Kumpulan besar dari jaringan
yang tidak terkontrol ini disebut tumor atau benjolan. Akan tetapi tidak semua
tumor adalah kanker, karena sifatnya yang tidak menyebar ke seluruh tubuh.

6
Tumor yang dapat menyebar ke seluruh tubuh atau menyebar jaringan sekitar
disebut kanker atau tumor ganas.
2.2.2 Etiologi
Penyebab dari kanker payudara tidak diketahui dengan pasti, namun
terdapat serangkaian faktor genetik, hormonal dan lingkungan. Penyebab
tersebut yang dapat menunjang terjadinya kanker payudara. Banyak faktor
yang diprediksi mempuyai hubungan kanker payudara (John Cleese, 2010)
Genetik merupakan faktor panting karena kejadian kanker payudara akibat
kelainan genetik sebesar 5-10%.
Pengunaan KB hormonal seperti pil, suntik KB dan susuk yang mengandung
banyak dosis estrogen meningkatkan risiko kanker payudara (John Cleese,
2010).

2.2.3 Manifestasi Klinis


Penemuan dini kanker payudara masih sulit, kebanyakan ditemukan
jika sudah teraba oleh pasien atau sudah stadium lanjut (Wilensky dan
Lincoln, 2008). Berikut ini tanda dan gejala pada kanker payudara stadium
lanjut:
1.Tanda dan gejala kanker payudara

 Terdapat massa utuh kenyal, biasa di kwardan atas bagian


dalam, di bawah ketiak, bentuknya tak beraturan, terfiksasi dan
sakit jika digerakan.
 Nyeri di daerah massa.
 Adanya lekukan ke dalam, tarikan pada area mammae
 Edema dengan peaut d orange (keriput seperti kulit jeruk)
 Adanya kerusakan dan retraksi pada area puting, keluar cairan
spontan, kadang disertai darah
 Pengelupasan papilla mammae

7
 Ditemukan lesi pada pemeriksaan mamografi

2. Penentuan ukuran dan penyebaran tumor berdasarkan 3 kategori


yaitu:

 Tumor Size ( T )

1. Tx : Tak ada tumor

2. To : Tak dapat ditunjukkan adanya tumor primer

3. T1 : Tumor dengan diameter, kurang dari 2 cm

4. T2 : Tumor dengan diameter 2 – 5 cm

5. T3 : Tumor dengan diameter lebih dari 5 cm

6. T4 : Tumor tanpa memandang ukurannya telah


menunjukkan perluasan secara langsung ke dinding thorak atau
kulit.

 Regional Limpho Nodus ( N )

1. Nx : Kelenjar ketiak tak teraba

2. No : Tak ada metastase kelenjar ketiak homolateral

3. N1 : Mestastase ke kelenjar ketiak homolateral tapi masih


bisa digerakan

4. N2 : Mestastase ke kelenjar ketiak hormonal, melekat


terfiksasi satu sama lain atau jaringan sekitarnya

5. N3 : Mestastase ke kelenjar homolateral supraklavikuler atau


infraklavikuler atau edema lengan.

8
 Mestastase Jauh ( M )

1. Mo: Tak ada mestastasee jauh

2. M1: Mestastase jauh termasuk perluasan ke dalam kulit di


luar payudara.

2.2.4 Patofisiologi
Diagnosa kanker dapat ditegakkan dengan baik terutama untuk
melakukan pengobatan yang tepat. Tumor atau neoplasma merupakan
kelompok sel yang berubah dengan ciri proliferasi yang berlebihan dan tak
berguna, yang tidak mengikuti pengaruh jaringan sekitarnya. Proliferasi
abnormal sel kanker akan mengganggu fungsi jaringan normal dengan
menginfiltrasi dan memasukinya atau terjadi mestastase dengan cara
menyebarkan anak sebar ke organ-organ yang jauh. Perubahan secara
biokimiawi dan genetis terjadi didalam sel tersebut terutama dalam inti sel.
Hampir semua tumor ganas tumbuh dari suatu sel yang mengalami
transformasi maligna dan berubah menjadi sekelompok sel ganas diantara sel
normal (Wilensky dan Lincoln, 2008).
Menurut Luwia (2003), proses jangka panjang terjadinya kanker ada 4 fase,
yaitu:

1.Fase induksi: 15-30 tahun

Kontak dengan karsinogen membutuhkan waktu bertahun-


tahun sampai dapat merubah jaringan dysplasia menjadi tumor ganas.

2. Fase insitu: 5-10 tahun

Terjadi perubahan jaringan menjadi lesi “pre cancerous” yang


bisa ditemukan di serviks uteri, rongga mulut, paru, saluran cerna,
kulit dan akhirnya juga di payudara.

9
3. Fase invasi: 1-5 tahun

Sel menjadi ganas, berkembang baik dan menginfiltrasi


melalui membran sel jaringan sekitarnya dan melalui pembuluh darah
serta saluran limfa.

4. Fase desiminasi: 1-5 tahun

Terjadi penyebaran ke tempat lain.

2.2.5 Stadium
Kanker Payudara dapat didiagnosis pada stadium yang berbeda-beda.
Kanker payudara yang lebih dini ditemukan, kemungkinan sembuh akan lebih
besar. Luwia (2003) menyebutkan bahwa stadium kanker payudara terdiri atas
beberapa stadium, antara lain:
 Stadium I (stadium dini)
Besarnya tumor tidak lebih dari 2-2,25 cm, dan tidak terdapat
penyebaran (metastasis) pada kelenjar getah bening ketiak. Pada
stadium ini kemungkinan kesembuhan sempurna adalah 70%.
Pemeriksaan ada atau tidaknya metastasis ke bagian tubuh yang lain
harus dilakukan di laboratorium.
 Stadium II
Tumor sudah lebih dari 2,25 cm dan sudah terjadi mestastasis
pada kelenjar getah bening di ketiak. Kemungkinan untuk sembuh
pada stadium ini hanya 30-40 % tergantung pada luasnya penyebaran
sel kanker. Tindakan operasi biasanya dilakukan pada sadium I dan II
untuk mengangkat sel-sel kanker yang ada pada seluruh bagian
penyebaran dan setelah operasi dilakukan penyinaran untuk
memastikan tidak adanya selsel kanker yang tertinggal.
 Stadium III

10
Tumor sudah cukup besar 3-5 cm, sel kanker hampir menyebar
keseluruh tubuh, dan kemungkinan untuk sembuh tinggal sedikit.
Biasanya pengobatan hanya dilakukan penyinaran dan kemoterapi
(pemberian obat yang dapat membunuh sel kanker). Kadang-kadang
juga dilakukan operasi untuk mengangkat payudara bagian yang parah.
Benjolan sudah menonjol ke permukaan kulit dan pecah/berdarah.
 Stadium IV
Tumor sudah berukuran besar >5 cm, sel kanker telah
menyebar/bermestastase ke seluruh organ tubuh, dan biasanya
penderita mulai lemah. Pengobatan payudara sudah tidak ada artinya
lagi. Biasanya pengobatan dilakukan dengan terapi hormonal dengan
syarat Estrogen Reseptor (ER) atau Progesteron Reseptor (PR) positif
karena penderita terlalu lemah dengan syarat mempertimbangkan
kemoterapi yang sudah didapat sebelumnya.
2.2.6 Pemeriksaan Skrining
Pemeriksaan payudara secara rutin sangat diperlukan untuk
mendeteksi kanker payudara atau tumor sedini mungkin. Sering kali penderita
mengetahui dirinya terkeana kanker payudara sesudah stadium lanjut sehingga
sulit disembuhkan. Lebih dini kanker ditemukan dan mendapatkan
penanganan yang tepat, akan memberikan kesembuhan dan harapan hidup
yang lebih besar.
Terdapat beberapa cara deteksi dini kanker payudara dengan tingkat
akurasi yang berbeda. Akurasi deteksi dini kanker payudara akan jauh
bertambah bila ketiga tes ini dikombinasi.
Cara deteksi dini kanker payudara adalah :
 Pemeriksaan Payudara Sendiri (Teknik Sadari)
 Pemeriksaan Klinis Payudara oleh Dokter
 Pemeriksaan Radiologi (Mammografi dan/atau USG)

11
 Biopsi tanpa pembedahan (Fine Needle Aspiration Biopsy atau Core
Biopsy).
 Pemeriksaan Klinis Payudara oleh Dokter dapat mendeteksi sampai
85% kasus kanker payudara.
 Pemeriksaan Mammografi dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker
payudara.
2.2.7 Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)
Deteksi dini dapat menekan angka kematian sebasar 25-30%. Terbukti
95% wanita yang terdiagnosis pada tahap awal kanker payudara dapat
bertahan hidup lebih dari lima tahun setelah terdiagnosis sehingga banyak
dokter yang merekomendasikan agar para wanita untuk melakukan SADARI.
a. Waktu Dikakukan SADARI
Pemeriksaan payudara sendiri sebaiknya dilakukan sebulan sekali.
Para wanita yang sedang haid sebaiknya melakukan pemeriksaan pada
hari ke-5 sampai ke-10 dari hari pertama haid, ketika payudara sedang
mengendur dan terasa lebih lunak.
Pada wanita normal, American Cancer Society menganjurkan
wanita yang berusia diatas umur 20 tahun untuk melakukan SADARI
setiap tiga bulan. Selain SADARI untuk deteksi dini kanker payudara
pada usia 35-40 tahun dengan melakukan mammografi. Benjolan
sebesar 0,25 cm sudah dapat terlihat pada mammografi. Sedangkan
untuk wanita di atas usia 40 tahun ditambah dengan melakukan
pemeriksaan payudara dengan dokter ahli.

b. Siapa Saja Yang Dianjurkan Melakukan SADARI:

 Wanita yang telah berusia 20 tahun


 Wanita berusia diatas 40 tahun yang tidak mempunyai anak
 Wanita yang memiliki anak pertama pada usia 35 tahun

12
 Wanita yang tidak menikah
 Wanita yang haid pertama dini (dibawah 10 tahun)
 Wanita yang menopause lambat
 Pernah mengalami trauma pada payudara
 Wanita di atas 25 tahun yang keluarganya pernah menderita kanker
payudara
 Wanita yang tidak menyusui
 Pernah operasi payudara atau kandungan
 Pernah mendapat obat hormonal yang lama
 Cenderung kelebihan berat badan
c. Cara Pemeriksaan SADARI
Menurut Sukardja (2000) SADARI dilakukan dalam 3 tahap yaitu :

 payudara
 Memijat payudara
 Meraba payudara
Pemeriksaan payudara dapat dilakukan dengan melihat perubahan
di hadapan cermin dan melihat perubahan bentuk payudara dengan
cara berbaring. Pemeriksaan payudara dapat dilakukan dengan melihat
perubahan di hadapan cermin dan melihat perubahan bentuk payudara
dengan cara berbaring.
d. Tahap Pemeriksaan SADARI

 Melihat PerubahanDi Hadapan Cermin.

Lihat pada cermin, bentuk dan keseimbangan bentuk payudara


(simetris atau tidak). Cara melakukan :
 Tahap 1

13
Melihat perubahan bentuk dan besarnya payudara, perubahan
puting susu, serta kulit payudara di depan kaca. Sambil berdiri tegak
depan cermn, posisi kedua lengan luruh kebawah disamping badan.

 Tahap 2

Periksa payudara dengan tangan diangkat di atas kepala.


Dengan maksud untuk melihat retraksi kulit atau perlekatan tumor
terhadap otot atau fascia dibawahnya.
 Tahap 3
Berdiri tegak di depan cermin dengan tangan disamping kanan
kiri. Miringkan badan ke kanan dan kiri untuk melihat perubahan pada
payudara.
 Tahap 4
Menegangkan otot-oto bagian dada dengan berkacak pinggang
atau tangan menekan pinggul dimaksudkan untuk menegangkan otot
di daerah axilla.
 Melihat Perubahan Bentuk Payudara dengan Berbaring
 Tahap 1 Persiapan
Dimulai dari payudara kanan. Baring menghadap ke kiri
dengan membengkokkan kedua lutut anda. Letakkan bantal atau
handuk mandi yang telah dilipat di bawah bahu sebelah kanan
untuk menaikkan bagian yang akan diperiksa. Kemudian letakkan
tangan kanan anda di bawah kepala. Gunakan tangan kiri anda
untuk memeriksa payudara kanan. Gunakan telapak jari-jari abda
untuk memeriksa sembarang benjolan atau penebalan. Periksa
payudara anda dengan menggunakan Vertical Strip dan Circular.
 Tahap 2 Pemeriksaan Payudara dengan Vertical Strip

14
Memeriksa seluruh bagian payudara dengan cara vertical, dari
tulang selangka di bagian atas ke bra-line di bagian bawah, dan
garis tengah antara kedua payudara ke garis tengah bagian ketiak
anda. Gunakan tangan kiri untuk mengawali pijatan pada ketiak.
Kemudia putar dan tekan kuat untuk merasakan benjolan.
Gerakkan tangan anda perlahan-lahan ke bawah bra-line dengan
putaran ringan dan tekan kuat disetiap tempat. Di bagian bawah
bra-line, bergerak kurang lebih 2cm kekiri dan terus ke arah atas
menuju tulang selangka dengan memutar dan menekan.
Bergeraklah ke atas dan ke bawah mangikuti pijatan dan meliputi
bagian yang di tunjuk.
 Tahap 3 Pemeriksaan Payudara Dengan Cara Memutar
Berawal dari bagian atas payudara anda, buat putaran yang
besar. Bergeraklah sekeliling payudara dengan memperhatikan
benjolan yang luar biasa. Buatlan sekurang-kurangnya 3 putaran
kecil sampai ke puting payudara. Lakukan sebanyak 2 kali. Sekali
dengan tekanan ringan dan sesekali dengan tekanan kuat. Jangan
lupa periksa bagian bawah areola mammae.
 Tahap 4 Pemeriksaan Cairan Di Puting Payudara
Menggunakan kedua tangan, kemudia tekan payudara anda
untuk melihat adanya cairan abnormal dari puting payudara.
 Tahap 5 Memeriksa Ketiak
Letakkan tangan kanan anda ke samping dan rasakan ketiak
anda dengan teliti, apakah teraba benjolan abnormal atau tidak.
2.3 Kanker Serviks
2.3.1 Definisi
Kanker leher rahim atau karsinoma serviks adalah penyakit akibat
tumor pada daerah mulut rahim akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang

15
tidak terkontrol dan merusak jaringan normal disekitarnya ( Andi, 2011).
Menurut David M. Eddy (1981, yang dikutip dari Hoepoedio, 1986) dalam
tulisannya berjudul “The Economic of Cancer Prevention and Detection,
Getting More for Less” tujuan konkrit dari penemuan dini kanker, termasuk
kanker leher rahim (kanker serviks) sebagai berikut :

1. Menaikkan harapan hidup


2. Mengurangi pengobatan ekstensif
3. Memperbaiki kualitas hidup
4. Mengurangi penderitaan
5. Mengurangi biaya
6. Mengurangi kecemasan dan ketakutan.

2.3.2 Etiologi
Penelitian meta analisis yang meliputi 10.000 kasus didapatkan 8 tipe
HPV yang banyak ditemukan, yaitu tipe 16, 18, 45, 31,33, 52, 58 dan 35. Dari
berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa hanya 3 golongan HPV yang
berhubungan dengan kanker serviks yaitu : (Bustan, 2000)
1. HPV risiko sedang : HPV 6 dan 11.
2. HPV risiko sedang : HPV 33, 35, 39, 40, 43, 45, 51, 56, dan 58.
3. HPV risiko tinggi : HPV 16, 18, 31.
Infeksi HPV terjadi melalui hubungan seksual dengan masa inkubasi
selama 3 bulan. Bentuk pada jaringan ikat di tengahnya dan ditutup terutama
di bagian epitel yang hiperkerotolik. Kondiloma akuminata jarang ditemukan
pada serviks dimana lesinya hanya terbatas pada vulva, anus dan vagina
bagian posterior. Kemungkinan peranan terjadinya kanker serviks adalah
dengan melakukan gangguan pada gen yang mengatur pembelahan virus dan
mengakibat kan pembelahan sel menjadi tidak terkontrol ke arah keganasan.
(Bustan, 2000).Suwiyoga (2007) mengatakan bahwa faktor risiko minor
kanker serviks adalah paritas tinggi dengan jarak persalinan pendek,

16
hubungan seksual dini dibawah umur 17 tahun, multipartner seksual, merokok
aktif dan pasif, status ekonomi rendah. Ko-faktor terdiri dari infeksi klamidia
trakomatis, HSV-2, HIV/AIDS, infeksi kronis dan lainnya.
2.3.3 Manifestasi Klinis
Pada tahapan pra kanker sering tidak ditemukannya gejala
(asimtomatis). Bila ada gejala yang timbul biasanya keluar keputihan yang
tidak khas. Namun, beberapa gejala mengarah kepada infeksi HPV menjadi
kanker serviksi antara lain :
1. Terdapat keputihan berlebihan, berbau busuk dan tidak sembuh-
sembuh (Bau, gatal, warna kehijauan)
2. Penurunan berat badan secara drastis
3. Apabila kanker sudah menyebar ke panggul maka pasien akan
menderita keluhan nyeri panggul, hambatan dalam berkemih, serta
pembesaran ginjal (Wijaya, 2010)
4. Adanya perdarahan tidak normal. Hanya terjadi bila setelah sel-sel
leher rahim menjadi bersifat kanker dan menyerang jaringan – jaringan
di sekitarnya pada masa pra atau pasca menopause
5. Pemberhentian darah lewat vagina
6. Meningkatnya perdarahan selama menstruasi
7. Terjadinya siklus diluar menstruasi dan setelah hubungan seks
8. Nyeri selama berhubungan seks
9. Kesulitan atau nyeri dalam perkemihan dan di daerah sekitar panggul
10. Bila kanker sudah mencapai stadium tiga ke atas, maka akan terjadi
pembengkakan diberbagai anggota tubuh seperti betis, paha, tangan
dan sebagainya.
2.3.4 Faktor Resiko
1. Yang berisiko tinggi terkena kanker leher rahim adalah :
2. Perempuan yang melakukan aktivitas seksual sebelum usia 18 tahun
3. Mereka yang berganti-ganti pasangan seksual

17
4. Mereka yang menderita infeksi kelamin yang ditularkan melalui
hubungan seksual (IMS)
5. Berhubungan dengan pria yang sering berganti-ganti pasangan
6. Ibu atau saudara kandung yang menderita kanker leher rahim
7. Hasil pemeriksaan Papsmear atau IVA sebelumnya dikatakan
abnormal
8. Merokok aktif / pasif
9. Penurunan kekebalan tubuh (imunosupresi) seperti yang terjadi pada
penderita HIV / AIDS ataupun penggunaan kortikosteroid untuk
jangka waktu yang lama
Beberapa faktor yang mempengaruhi kanker serviks antara lain :
a. Pola hubungan seksual dan hubungan seksual dengan pria yang
mempunyai pasangan seksual lebih dari satu
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara lesi pra kanker dan kanker serviks dengan
aktivitas seksual pada usia dini, khususnya sebelum umur 17
tahun. Hal ini diduga ada hubungan dengan belum matangnya
daerah transformasi pada usia tersebut bila sering terekspos.
Frekuensi hubungan seksual berpengaruh terhadap lebih tingginya
risiko pada usia, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua. Jumlah
pasangan seksual menimbulkan konsep pria berisiko tinggi sebagai
vektor yang dapat menimbulkan infeksi yang berkaitan dengan
penyakit hubungan seksual (Suwiyoga, 2007). Sedangkan Nugraha
B.D (2003) menganalisis bahwa akan terjadinya perubahan pada
sel leher rahim pada wanita yang sering berganti-ganti pasangan,
penyebabnya adalah sering terendamnya sperma dengan kadar PH
yang berbeda-beda sehingga dapat mengakibatkan perubahan dari
displasia menjadi kanker.
b. Paritas

18
Kanker serviks sering terjadi pada wanita yang sering
melahirkan. Semakin sering melahirkan, semakin besar risiko
mendapatkan kanker serviks. Paritas dapat meningkatkan insiden
kanker serviks, lebih banyak merupakan refleksi dari aktivitas
seksual dan saat mulai kontak seksual pertama kali daripada akibat
trauma persalinan. Pada wanita dengan paritas 5 atau lebih
mempunyai risiko terjadinya kanker serviks 2,5 kali lebih besar
dibandingkan dengan wanita dengan paritas 3 atau kurang
(Suwiyoga, 2007).
c. Merokok
Menurut Suwiyoga (2007) dilihat dari segi epidemiologinya,
perokok aktif dan pasif berkontribusi pada perkembangan kanker
serviks yaitu 2 sampai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak perokok. Pada wanita yang merokok terdapat nikotin
yang bersifat ko karsinogen di cairan serviksnya sehingga dapat
mendorong terjadinya pertumbuhan kanker.
d. Kontrasepsi Oral
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan.
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih
dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko relatif 1,53 kali. World
Health Organization (WHO) melaporkan risiko relatif pada
pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai
dengan lamanya pemakaian (Sjamsuddin, 2001).
e. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi seseorang dapat mempengaruhi
terjadinya kanker serviks. Menurut Suwiyiga (2007) pernyataan
terserbut diperkuat dengan adanya penelitian yang menunjukkan
bahwa inpeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan tingkat
pendidikan dan pendapatan yang rendah dengan status gizi karena

19
status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh baik terhadap
infeksi maupun kemampuan untuk melawan keganasan.
2.3.5 Patofisiologi

 Hampir 100% infeksi HPV ditularkan melalui hubungan seksual


 Penderita infeksi HPV umumnya tidak mengalami keluhan / gejala
 Hampir setiap 1 (satu) dari 10 (sepuluh) orang perempuan yang
terinfeksi HPV (10%-nya), akan mengalami perubahan menjadi
lesi prakanker atau displasia pada jaringan epitel leher rahim
 Lesi prakanker dapat terjadi dalam waktu 2-3 tahun setelah infeksi
 Apabila lesi tidak diketahui dan tidak diobati, dalam waktu 3-17
tahun dapat berkembang menjadi kanker leher rahim
 Sampai saat ini, belum ada pengobatan untuk infeksi HPV
2.3.6 Pencegahan
a. Pencegahan yang utama adalah tidak berperilaku seksual berisiko
untuk terinfeksi HPV seperti tidak berganti-ganti pasangan seksual dan
tidak melakukan hubungan seksual pada usia dini (kurang dari 18
tahun).
b. Selain itu juga menghindari faktor risiko lain yang dapat memicu
terjadinya kanker seperti paparan asap rokok, menindak lanjuti hasil
pemeriksaan PAP dan IVA dengan hasil positif, dan meningkatkan
daya tahun tubuh dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi
seimbang dan banyak mengandung vitamin C, A dan asam folat.
c. Melakukan skrining atau penapisan untuk menentukan apakah mereka
telah terinfeksi HPV atau mengalami lesi prakanker yang harus
dilanjutkan dengan pengobatan yang sesuai bila ditentukan lesi.
d. Melakukan vaksinasi HPV yang saat ini telah dikembangkan untuk
beberapa tipe yaitu bivalea (tipe 16 dan 18) atau kuadrivalen (tipe

20
6,11,16,18). Kendala utama pelaksanaan vaksin saat ini adalah biaya
yang masih mahal.
2.3.8 Pemeriksaan Skrinning
 Pemeriksaan Pap Smear
1) Untuk pemeriksaan Pap Smear, sebaiknya ibu dalam keadaan
tidak haid, dan tidak berhubungan badan 1-2 hari sebelum
pemeriksaan dilakukan. Pada saat pemeriksaan, ibu akan
diminta untuk berbaring dan memposisikan tubuh seperti pada
saat pemasangan spiral. Petugas kesehatan akan memasang alat
spekulum ke dalam liang senggama agar seluruh leher rahin
dapat dilihat. Dengan alat spatula dan sikat khusus diambil
Sitologi, Pemeriksaan sitologi dikenal dengan pemeriksaan pap
smear. Sitologi bermanfaat untuk mendeteksi sel – sel serviks
yang tidak menunjukkan adanya gejala, dengan tingkat
ketelitinnya mencapai 90% (Sjamsuddin, 2001).
2) Kolposkopi
Merupakan pemeriksaan serviks dengan menggunakan
alat kolposkopi yaitu alat yang disamakan dengan mikroskop
bertenaga rendah pembesaran antara 6-40 kali dan terdapat
sumber cahaya didalamnya. Kolkoskopi dapat meningkatkan
ketepatan sitologi menjadi 95%. Alat ini pertama kali
diperkenalkan di Jerman pada tahun 1925 oleh Hans
Hinselmann untuk memperbesar gambaran permukaan porsio
sehingga pembuluh darah lebih dilihat. Pada alat ini juga
dilengkapi dengan filter hijau untuk memberikan kontras yang
baik pada pembuluh darah dan jaringan. Pemeriksaan
kolkoskopi dilakukan untuk konfirmasi apabila hasil test pap

21
smear abnormal dan juga sebagai penuntun biopsi pada lesi
serviks yang dicurigai (Suwiyoga, 2007).
3) Biopsi
Menurut Sjamsuddin (2001) biopsi dilakukan didaerah
abnormal jika sambungan skuamosa-kolumnar (SSK) yang
terlihat seluruhnya dengan menggunakan kolposkopi. Biopsi
harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsi harus tajam dan
harus diawetkan dalam larutan formalin 10% sehingga tidak
merusak epitel.
4) Konisasi
Konisasi serviks adalah pengeluaran sebagian jaringan
serviks sehingga bagian yang dikeluarkan berbentuk kerucut.
Konisasi dilakukan apabila : (Kodim, dkk, 2004).
 Proses dicurigai berada di endoserviks
 Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi
 Ada kesenjangan antara hasil sitologik dengan histopatologik
sel-sel dari leher rahim, kemudian oleskan di kaca objek untuk dikirim
ke laboratorium dan dibaca para ahli. Hasil akan didapat + 1 minggu sampai 1
bulan kemudian, oleh karena itu ibu harus membuat janji dengan petugas
kesehatan untuk pertemuan berikutnya.
 Pemeriksaan IVA
Posisi pemeriksaan sama dengan pada tes Pap. Dengan mengoleskan
asam asetat (cuka dapur) yang telah diencerkan (3 – 5%) ke leher rahim,
tenaga kesehatan terlatih akan melihat perbedaan antara bagian yang sehat dan
yang tidak normal. Asam asetat merubah warna sel-sel abnormal menjadi
lebih putih dan lebih menonjol dibandingkan dengan permukaan sel sehat.
Pemeriksaan IVA hampir sama efektifnya dengan pemeriksaan Pap dalam
mendeteksi lesi prakanker, dapat dilakukan di fasilitas kesehatan dasar seperti
Puskesmas, Pustu, atau Polindes dan fasilitas lebih murah dan mudah.

22
Hasilnya dapat diketahui pada saat pemeriksaan, sehingga apabila diperlukan
pengobatan dapat segera dilakukan atau dirujuk bila perlu.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu
populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala
penyakit itu. Tidak seperti apa yang biasanya terjadi dalam kedokteran, tes skrining
yang dilakukan pada orang tanpa tanda-tanda klinis penyakit.
Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal yang menyerang organ
dengan cepat sehingga fungsinya hancur dan menyebabkan kematian. Menurut data
dari organisasi kesehatan sedunia (WHO) pada tahun 2005, kanker merupakan
penyebab kematian sebanyak 6,7 juta kasus yaitu mencakup kira-kira 14% dari semua
jenis kematian global. Di dunia dan di Indonesia tiap tahunnya kasus kanker terus
meningkat, diantaranya adalah kanker payudara.
Kanker payudara adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan
berlebihan atau perkembangan tidak terkontrol dari sel-sel jaringan payudara. Kanker
payudara merupakan jenis kanker yang sering ditemukan oleh kebanyakan wanita.
Kanker leher rahim atau karsinoma serviks adalah penyakit akibat tumor pada daerah

23
mulut rahim akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan
merusak jaringan normal disekitarnya ( Andi, 2011).
3.2 Saran
Untuk mendeteksi secara dini kanker payudara, pemeriksaan payudara sendiri
sebaiknya dilakukan sebulan sekali menggunakan teknik SADARI (Pemeriksaan
Payudara Sendiri). Untuk mendeteksi dini kanker serviks, wanita-wanita harus
melakukan tes skrining kanker serviks yaitu dengan beberapa macam cara yaitu Pap
Smear dan IVA test. Wanita-wanita mulai mempunyai tes-tes Pap 3 tahun setelah
mereka mulai mempunyai hubungan seksual, atau ketika mereka mencapai umur 21
tahun (yang mana saja yang datang lebih dahulu).

24

Anda mungkin juga menyukai