Anda di halaman 1dari 13

A.

Jenis-Jenis Mobilitas

1. Mobilitas penuh

Merupakan keadaan dimana kemampuan seseorang untuk bergerak secara  penuh dan

bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan  peran sehari-hari.

Mobilitas penuh ini merupakan fungsi dari saraf motoris, volunter dan sensoris untuk

dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.

2. Mobilitas sebagian

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak

mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan

sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang

dengan pemasangan traksi

B. Jenis- Jenis Mobilisasi

Menurut Barbara dan Kozier (1995) Mobilisasi secara garis besar dibagi menjadi dua

yaitu mobilisasi secara pasif dan mobilisasi secara aktif.

1. Mobilisasi secara pasif yaitu mobilisasi dimana pasien dalam menggerakkan

tubuhnya dengan cara dibantu dengan orang lain secara total atau keseluruhan.

2. Mobilisasi aktif yaitu dimana pasien dalam menggerakkan tubuh dilakukan secara

mandiri tanpa bantuan dari orang lain.

Selain itu, mobilisasi juga bagusnya tahap demi tahap karena mobilisasi tahap

demi tahap berguna membantu jalannya penyembuhan pasien.

C. Tahapan dan Pelaksanaan Mobilisasi Post operasi

1. Tahap-tahap mobilisasi pada pasien dengan pasca pembedahan

Menurut Rustam Moechtar (2000), meliputi:


a. Hari pertama pasca operasi 6 – 10 jam setelah pasien sadar, pasien bisa melakukan

latihan pernafasan dan batuk efektif, kemudian miring kanak dan miring kiri sudah dapat

dimulai.

b. Hari kedua, pasien didudukkan selama 5 menit, disuruh latihan pernafasan dan

batuk efektif guna melonggarkan pernafasan

c. Hari ketiga sampai hari kelima pasien dianjurkan untuk belajar berdiri kemudian

berjalan disekitar kamar, ke kamar mandi, dan ke kamar sendiri.

Menurut Kasdu (2003) mobilisasi dilakukan secara bertahap berikut ini akan

dijelaskan tahap mobilisasi dini:

1) Setelah operasi, pada 6 jam pertama klien harus tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang

bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan

memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk

dan menggeser kaki. Bertujuan agar kerja organ pencernaan kembali normal.

2) Setelah 6-10 jam, klien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan mencegah

trombosis dan trombo emboli

3) Setelah 24 jam klien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk

4) Setelah klien dapat duduk (48 jam) dianjurkan klien belajar berjalan.

Tahap mobilisasi dini menurut (Beyer, 1997) dijelaskan sebagai berikut :

1) Tahap I : mobilisasi atau gerakan awal : nafas dalam, batuk efektif, dan

menggerakan ekstremitas

2) Tahap II : mobilisasi atau gerak memutarkan pergelangan kaki dan lengan

3) Tahap III : mobilisasi atau gerakan duduk tegak selama 5 menit


4) Tahap IV : mobilisasi atau gerakan turun dari tempat tidur dan beridiri (3x/hr) e.

Tahap V : mobilisasi atau gerakan berjalan dengan bantuan ( 2 x/hr )

5) Tahap VI : mobilisasi atau gerakan berdiri sampai kembali duduk naik ke tempat

tidur tanpa bantuan secara perlahan.

6) Tahap VII : mobilisasi atau gerakan bangkit dari duduk ditempat tidur tanpa

bantuan.

Dalam pelaksanaan mobilisasi dini untuk mencegah terjadinya cidera, maka perawat

yang terlatih perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang mobiliisasi dini terhadap pasien

(Thomson, 2002).

4. Pra mobilisasi atau mobilisasi dini

Mobilisasi dini bertujuan untuk mempersiapkan otot untuk berdiri dan berjalan yang

depersiapkan lebih awal ketika pasien bergerak dari tempat tidur (Hoeman, 2001)

a. Prosedur pelaksanaan Mobilisasi dini

Menurut (Alimul A,2002)

a. Nafas dalam dengan cara;

1) Menarik nafas melalui hidung

2) Menggunakan diafragma (abdomen naik)

3) Mengeluarkan nafas perlahan-lahan melaui mulut

4) Diulang selama 5 kali

b. Miring kanan dan miring kiri dengan cara;

1) Tempatkan pasien dalam posisi telentang (supinasi)

2) Posisikan pasien dalam posisi miring yang sebagian pada abdomen

3) Tempatkan bantal di bawah lengan atas yang di fleksikan, yang menyongkong

lengan setinggi bahu


4) Tempatkan bantal di bawah tungkai atas yang difleksikan, yang menyongkong

tungkai setinggi panggul.

5) empatkan bantal pasien paralel dengan permukaan plantar kaki (lakukan selama 5

menit dengan waktu istrahat 1 menit ke arah kiri kemudian kanan)

c. Latihan mengencangkan otot gluteal dengan cara;

1) Tekan otot pantat

2) Menggerakan kaki kanan keatas kemudian ketepi tempat tidur

3) Menahan posisi dalam hitungan 1-5

4) Mengembalikan kaki ke posisi semula (di tengah)

5) Menggerakan kaki kiri keatas kemudian ketepi tempat tidur

6) Mengembalikan kaki ke posisi semula

7) Lakukan selama 5 menit dengan waktu istrahat 1 menit setiap selesai gerakan ke

kanan dan ke kiri.

d. Posisikan kepala 300 selama 15 menit

e. Posisikan bagian bawah tempat tidur lebih rendah

f. Sitting balance yaitu membantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur dengan

bantuan yang diperlukan menurut (Berger & Williams, 1992) dengan cara;

1) Dengan satu lengan di bawah punggung pasien dan satu lengan di bawah paha

pasien, pindahkan pasien dengan posisi dangling (Thomson, 2002).Dangling adalah

pasien duduk dengan kaki menjuntai di tepi tempat tidur.

2) Beri instruksi untuk menggoyangkan kaki selama beberapa menit (Bai, 2009).

Jangan terlalu memaksakan pasien untuk banyak melakukan pergerakan pada saat

bangun untuk menghindari kelelahan.


g. Standing balance yaitu melatih berdiri dan berjalan. Perhatikan waktu pasien

turun dari tempat tidur apakah menunjukan gejala-gejala pusing, sulit bernafas dan

lain lain. Tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi orthostatik.

Menurut (Berger & Willians, 1992) memperhatikan pusing sementara adalah

proses pencegahan yang sangat penting saat mempersiapkan pasien untuk mobilisasi

dini. Bahkan bedrest jangka pendek, terutama setelah cedera atau tindakan

pembedahan dapat disertai hipotensi orthostatik. Hipotensi orthostatik adalah

komplikasi yang sering terjadi pada bedrest jangka pendek, meminta pasien duduk

di sisi tempat tidur untuk beberapa menit sebelum berdiri biasanya sesuai untuk

hipotensi orthostatik yang benar. Lakukan istrahat sebentar, ukur denyut nadi

(Asmadi, 2008). Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus

berdiri tepat di depannya. Pasien meletakan tangannya di pundak perawat, dan

perawat meletakan tangannya di bawah ketiak pasien,pasien dibiarkan berdiri

sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi

berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan. Perawat harus berada di sebelah pasien

untuk memeberikan dukungan dan dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak

membuat pasien merasa letih: lamanya periode mobilisasi dini pertama beragam

tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien (Brunner &

Suddarth, 2002)

h. Walking seperti halnya tindakan lainya, membantu pasien berjalan memerlukan

persiapan. Perawat mengkaji toleransi pasien terhadap aktivitas, kekuatan, adanya

nyeri, koordinasi dan keseimbangan pasien untuk menentukan jumlah bantuan yang

diperlukan pasien. Aktifitasi ini mungkin memerlukan alat seperti kruk, tongkat, dan

walker. Namun pada prinsipnya perawat dapat melakukan aktivitas ini meskipun

tanpa alat yaitu dengan cara;


1) Minta pasien untuk meletakan tangan di samping badan atau memegang telapak

tangan pasien

2) Berdiri di samping pasien dan pegang telapak dan lengan tangan pada bahu pasien

3) Bantu pasien untuk berjalan (Alimul, 2002).

2. ROM

Range Of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas/besarnya

gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya

kelainan batas gerakan sendi abnormal (HELMI, 2012). Menurut (potter, 2010) Rentang

gerak atau (Range Of Motion) adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan

pada sendi, di salah satu dari tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal. Range Of

Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang

bersangkutan.

Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya

kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-masing persendiannya

sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.

2. Klasifikasi ROM

Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi rom sebagai

berikut: 1) ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang mengalami

kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dimana

klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga klien memerlukan bantuan perawat atau

keluarga. 2) ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa

bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi ROM aktif adalah semua pasien

yang dirawat dan mampu melakukan ROM sendii dan kooperatif.


3. Tujuan ROM

Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) sebagai berikut: 1)

Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas yang sakit. 2) Mencegah

kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal. 3) Mencegah komplikasi vaskular

akibat iobilitas. 4) Memudahkan kenyamanan.

Sedangkan menurut (Potter dan Perry (2006) Tujuan ROM adalah : (1).

Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, (2). Memelihara mobilitas persendian, (3)

Merangsang sirkulasi darah, (4). Mencegah kelainan bentuk.

Sedangkan tujuan ltihan Range Of Motion (ROM) menurut Suratun, Heryati,

Manurung, & Raenah (2008). 1) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot. 2)

Memelihara mobilitas persendian. 3) Merangsang sirkulsi darah. 6 6 4) Mencegh kelainan

bentuk.

4. Prinsip Dasar ROM Prinsip dasar latihan range of motion (ROM)

Dosis dan intensitas latihan ROM yang dianjurkan menunjukkan hasil cukup
bervariasi. Secara teori tidak disebutkan secara spesifik mengenai dosis dan intensitas latihan
ROM tersebut, namun dari berbagai literatur dan hasil penelitian tentang manfaat latihan
ROM dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan latihan ROM sebagai salah satu
intervensi.

Menurut Smeltzer & bare (2008) menyebutkan bahwa latihan ROM dapat dilakukan 4
sampai 5 kali sehari, dengan waktu 10 menit untuk setiap latihan, sedangkan Perry & Poter
(2006) menganjurkan untuk melakukan latihan ROM minimal 2 kali/hari.

Menurut Tseng, et al. (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dosis latihan
yang dipergunakan yaitu 2 kali sehari, 6 hari dalam seminggu selama 4 minggu dengan
intensitas masing-masing 5 gerakan untuk tiap sendi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa responden penelitian yang melakukan latihan tersebut mengalami perbaikan pada
fungsi aktivitas, persepsi nyeri, rentang gerakan sendi dan gejala depresi.
Menurut Suratun, Heryati, Manurung, & Raenah (2008) yaitu:

1) ROM harus di ulangi sekitar 8 kali dan di kerjakan minimal 2kali sehari

Menurut Pranata, Lilik, Dheni Koernawan, dan Novita Elisabeth Daeli (2019) ROM

dilakukan selama tiga kali seminggu dengan durasi waktu ± 30 menit dan pengulangan gerak

8 kali sehingga akan meningkatkan skala kekuatan otot ekstremitas atas dan ekstremitas

bawah.

2) ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehinga tidak melelahkan pasien.

3) Dalam merencanakan program latihan Range OF Motion (ROM) , Memperhatikan umur

pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.

4) ROM sering di programkan oleh dokter dan di kerjakan oleh ahli fisioterapi

5) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu,

tumit, atau pergelangan kaki.

6) Rom dapat dilakukan pada semua persendian yang di curigai mengurangi proses penyakit.

7) Melakukan ROM hrus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah

dilakukan.

5. Gerakan pada ROM

Rom aktif Merupakan latian gerak isotonik ( Terjadi kontraksi dan pergerakan otot )

yang dilakukan klien dengan menggerakan masingmasing persendiannya sesuai dengan

rentang geraknya yang normal. (Kusyati Eni, 2006 ) Rom pasif merupakan latihan pergerakan

perawat atau petugas lain yang menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang

geraknya. (Kusyati Eni, 2006 )


6. Prosedur pelaksanaan :

a. Gerakan pinggul dan panggul (Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul)

1. Angkat kaki dan bengkokkan lutut

2. Gerakkan lutut ke atas menuju dada sejauh mungkin

3. Kembalikan lutut ke bawah, tegakkan lutut, rendahkan kaki sampai pada kasur.

b. Abduksi dan adduksi kaki

1. Gerakkan kaki ke samping menjauh klien

2. Kembalikan melintas di atas kaki yang lainnya

c. Rotasikan pinggul internal dan eksternal

1. Putar kaki ke dalam, kemudian ke luar Gerakkan telapak kaki dan pergelangan kaki

d. Dorsofleksi telapak kaki

1. Letakkan satu tangan di bawah tumit

2. Tekan kaki klien dengan lengan anda untuk menggerakkannya ke arah kaki

e. Fleksi plantar telapak kaki

1. Letakkan satu tangan pada punggung dan tangan yang lainnya berada pada tumit.

2. Dorong telapak kaki menjauh dari kaki

f. Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki

1. Letakkan satu tangan pada punggung kaki klien, letakkan tangan yang lainnya pada

pergelangan kaki

2. Bengkokkan jari-jari ke bawah

3. Kembalikan lagi pada posisi semula

g. Intervensi dan eversi telapak kaki

1. Letakkan satu tangan di bawah tumit, dan tangan yang lainnyadi atas punggung kaki

2. Putar telapak kaki ke dalam, kemudian ke luar.

7. Pengukuran kekuatan otot


Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan serabut otot, atrofi,

pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain, peningkatan

jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negative. Efek

tersebut adalah penurunan kekuatan, penurun fleksibilitas, perlambatan waktu reaksi dan

penurunan kemampuan fungsional (Pudjiastuti & Utomo, 2008).

Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai untuk

memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa status kelumpuhan

juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan

atau sebaliknya apakah terjadi perburukan pada penderita. Penilaian tersebut meliputi :

(1). Nilai 0: paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot,

(2) Nilai 1: kontaksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot, dapat diketahui

dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan sendi,

(3) Nilai 2: otot hanya mampu mengerakkan persendian tetapi kekuatannya 10 10 tidak dapat

melawan pengaruh gravitasi,

(4) Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi tetapi

tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa,

(5) Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan otot terhadap

tahanan yang ringan,

(6) Nilai 5: kekuatan otot normal. (Suratun, dkk, 2008).

Untuk mengetahui kekuatan atau kemampuan otot perlu dilakukan pemeriksaan

derajat kekuatan otot yang di buat ke dalam enam derajat ( 0 – 5 ) . Derajat ini menunjukan

tingkat kemampuan otot yang berbedabeda.


Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat dilakukan otot dengan

tahanan maksimal dari proses yang dilakukan berulang-ulang tanpa menimbulkan kelelahan.

Derajat 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara penuh dan dapat melawan

tahanan ringan Derajat 3 Dapat melkukan ROM secara penuh dengan melawan gaya berat

(gravitasi), tetapi tidak dapat melawan tahanan. Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan

menyangga sendi dapat melakukan ROM secara penuh. Derajat 1 Kontraksi otot minimal

terasa/teraba pada otot bersangkutan tanpa menimbulkan gerakan. Derajat 0 Tidak ada

kontraksi otot sam sekali. (Asmadi, 2008).

Adapun cara untuk memeriksa kekutan otot dengan menggunakan derajat kekuatan

otot tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Pemeriksaan kekuatan otot ekstermitas atas.

1) Pemeriksaan kekuatan otot bahu. Caranya:

a) a). Minta klien melakukan fleksi pada lengan ekstensi lengan dan beri tahanan

b) Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi lengan, lalu beri tahanan.

c) Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 1)

2) Pemeriksaan kekuatan otot siku. Caranya:

a). Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan beri tahanan.

b). Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi siku, lalu beri tahanan.

c). Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 2)

3. Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan tangan.

a). Letakkan lengan bawah klien di atas meja dengan telapak tangan menghadap

keatas.

b). Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi telapak tangan dengan melawan

tahanan.

c). Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 12 12 3)


4. Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari tangan Caranya:

5. a). Mintalah klien untuk meregangkan jari-jari melawan tahanan.

b). Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 2.

6. Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah

b. Pemeriksaan kekuatan otot panggul. Caranya:

a). Atur posisi tidul klien, lebih baik pemeriksaan dilakukan dalam posisi

supine.

b). Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi tungkai dengan melawan

tahanan.

c). Minta klien untuk melakukan gerakan abduktif dan adduksi tungkai

melawan tahanan.

d). Nilai kekuatan otot dengan menggunkan skala 0-5. 2).

b.Pemeriksaan kekuatan otot lutut. Caranya:

a). Minta klien untuk melakukan gerakn fleksi lutut dengan melawan tahanan.

b). Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 3).

c. Pemeriksan kekuatan otot tumit. Caranya:

a). Minta klien untuk melakukan gerakan plantarfleksi dan dorsifleksi dengan

melawan tahanan.

b). Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 4).

d. Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari kaki.

a). Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi jari-jari kaki

dengan melawan tahanan.

b). Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5 .

SUMBER :
Pranata, Lilik dan Dheni Koernawan, Novita Elisabeth Daeli. (2019). Effektivitas ROM

terhadap gerak rentang sendi lansia. Prodi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu

Kesehatan, Universitas Katolik Musi Charitas: Palembang.

Pudjiastuti dan Utomo. 2008.Fisioterapi pada lansia.Penerbin Buku Kedokteran. EGC,

Jakarta

Potter, A.P., & Perry, A. (2006). Fundamental of nursing. 4 th edition. St.Louis Missouri:

Mosby-Year Book, Inc.

Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L. & Cheever, K.H. (2008) Brunner & Suddarth’s

Textbook of medical-surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia : Lippincott William

& Wilkins.

Tseng, C.-N., Chen, C. C.-H., Wu, S.-C., & Lin, L.-C. (2007). Effects of a range- of-motion

exercise programme. Journal of Advanced Nursing, 57(2), 181-191

Kozier, Barbara. (1995). Fundamental of Nursing, Calofornia.

Helmi, Zairin N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba medika.

Suratun, Heryati, Manurung, S.,Raenah. 2008. Klien Gangguan Sistem.

Muskuloskeletal.Jakarta: EGC

Kusyati, Eni. (2006). Keterampilan Dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar . Jakarta:

Penerbit Buku Kedokeran EGC.

Anda mungkin juga menyukai