Anda di halaman 1dari 4

Buletin Kaffah No.

156, 09 Muharram 1442 H/28 Agustus 2020 M

KHILAFAH
DALAM TIMBANGAN SYARIAH DAN SEJARAH
FILM dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) menjadi perbincangan hangat di tengah
masyarakat. Film ini didasarkan pada sebuah riset ilmiah yang cukup panjang. Sebagaimana
judulnya, film ini mengungkap jejak Khilafah di Nusantara dari sisi sejarah.
Adanya jejak Khilafah di Nusantara antara lain terungkap dalam sambutan Sri Sultan
Hamengkubuwono X pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI, 9 Februari 2015, di
Yogyakarta. Saat itu beliau tegas mengungkapkan bahwa Raden Patah dikukuhkan oleh utusan
Sultan Turki Utsmani sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawi (Perwakilan Khilafah Turki di Tanah
Jawa).
Disertasi Dr. Kasori di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Di Bawah Panji Estergon:
Hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak Pada Abad XV-XVI M (2020)
makin menguatkan pernyataan Sri Sultan HB X tersebut. Dalam penelitiannya Kasori antara lain
menyatakan, para raja atau sultan di Demak memerlukan gelar sultan dari Turki untuk
menguatkan kedudukannya.
Adanya hubungan Khilafah dengan Nusantara, khususnya kesultanan-kesultanan Islam di
Nusantara, juga ditegaskan oleh Sejarahwan UIN Bandung, Dr. Moeflich Hasbullah. Ia
mengatakan bahwa Khilafah waktu itu adalah negeri adidaya yang sangat besar. Jadi sangat logis
jika Nusantara mempunyai hubungan dengan Khilafah (Mediaumat.news, 24/8/20).
Pengaruh Khilafah Turki Utsmani juga telah diungkap Ermy Azziaty Rozali dalam
disertasinya di Universitas Malaya Malaysia dan diterbitkan dengan judul Turki Uthmaniah:
Persepsi dan Pengaruh Dalam Masyarakat Melayu (2016) (Hidayatullah.com, 23/8/20).
Jelas, keberadaan Khilafah Islam adalah fakta sejarah. Tak bisa dibantah. Khilafah Islam
pernah eksis selama tidak kurang dari 13 abad. Menguasai tidak kurang dari 2/3 wilayah dunia.
Jejak Khilafah ini begitu jelas dalam lintasan sejarah di dunia. Termasuk di Nusantara.
Meski demikian, fakta sejarah Khilafah bukanlah dalil atas kewajiban menegakkan
kembali Khilafah. Fakta sejarah Khilafah hanya mengungkap satu hal, yaitu bahwa sebagai suatu
kewajiban, Khilafah pernah dipraktikkan oleh kaum Muslim selama berabad-abad. Tidak kurang
dari 14 abad. Sejak Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayah, Khilafah Abbasiyah hingga Khilafah
Utsmaniyah yang pada tahun 1924 dibubarkan oleh Mustafa Kemal Attaturk, seorang keturunan
Yahudi. Pembubaran Khilafah ini didukung penuh—bahkan sejak awal diinisiasi—oleh Inggris.
Sebagai negara penjajah nomor satu saat itu, Inggris tentu berkepentingan besar untuk
meruntuhkan Khilafah Turki Utsmani, yang dipandang sebagai salah satu penghalang bagi ambisi
imperialismenya di Dunia Islam.

Makna Khilafah
Lalu apa dalil kewajiban penegakan Khilafah? Sebelum bicara dalil, perlu ditegaskan
kembali makna Khilafah dalam pandangan syariah. Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili,
“Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim
dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, IX/881).
Imam al-Mawardi menyatakan, “Imamah (Khilafah) diposisikan untuk menggantikan
kenabian dalam hal memelihara agama dan mengurus dunia.” (Al-Mawardi, Al-Ahkam as-
Sulthaniyyah, hlm. 3).
Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan,
“Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan
syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm
al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Definisi ini sama dengan yang digunakan oleh Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-
Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir (Lihat: An-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 34).
Karena merupakan istilah syariah, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana
shalat, puasa, zakat, haji dan yang lainnya. Bahkan Nabi saw. memerintahkan agar umatnya tidak
hanya memegang teguh sunnah beliau, tetapi juga sunnah Khulafaur Rasyidin. Nabi saw.
bersabda:
َّ ‫َعلَْي ُك ْم بِ ُسنَّيِت ْ َو ُسن َِّة اخْلُلَ َف ِاء‬
‫ َو َعض ُّْوا َعلَْي َها بِالن ََّو ِاج ِذ‬،‫الر ِاش ِديْ َن امل ْه ِديِنِّي َ ِم ْن َب ْع ِد ْي‬
Kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat
َ
petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham (HR Abu Dawud dan at-
Tirmidzi).

Perintah untuk terikat dengan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpenting tentu
mempertahankan Khilafah dan menegakkan kembali Khilafah jika Khilafah tidak ada,
sebagaimana saat ini.
Karena itulah semua ulama kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya
Khilafah adalah wajib. Kewajiban ini antara lain berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak
Sahabat.

Kewajiban Khilafah Berdasarkan Dalil Syariah


Pertama: Dalil al-Quran. Allah SWT berfirman:
﴾…ً‫ض َخلِي َفة‬ ِ ‫ك لِْلماَل ئِ َك ِة إِيِّن ج‬
ِ ‫اع ٌل يِف اأْل َْر‬ َ
ِ
َ َ ُّ‫﴿وإ ْذ قَ َال َرب‬
َ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di
muka bumi Khalifah…” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Imam al-Qurthubi, ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan
hukum asal tentang kewajiban mengangkat Khalifah.” Bahkan beliau kemudian menegaskan,
“Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat Khalifah) ini di kalangan
umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli
tentang syariah)...” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).
Dalil al-Quran lainnya antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll
(Lihat: Syaikh ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hlm.
49).
Kedua: Dalil as-Sunnah. Di antaranya sabda Rasulullah saw.:
ً‫اهلِيَّة‬
ِ ‫من مات و لَيس يِف عن ِق ِه بيعةٌ مات ِميتةً ج‬
َ َْ َ َ َ ْ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka ia
mati jahiliah (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam


(khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-
Jamâ’ah, hlm. 49).
Nabi saw. juga mengisyaratkan bahwa sepeninggal beliau harus ada yang memelihara
agama ini dan mengurus urusan dunia. Mereka adalah para khalifah. Nabi saw. bersabda:
ِ ِ َ َ‫ ُكلَّ َم ا َهل‬،ُ‫ت َبُن ْو إِ ْس َرائِْي َل تَ ُس ْو ُس ُه ُم األَنْبِيَ اء‬
ُ‫ َو َس يَ ُك ْو ُن ُخلَ َف اء‬،‫ َوإنَّهُ الَ نَيِب َ َب ْع د ْي‬،ٌّ ‫ك نَيِب ٌّ َخلَ َف هُ نَيِب‬ ْ َ‫َك ان‬
‫َفيَك ُْثُر ْو َن‬
Bani Israil dulu telah diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia akan digantikan oleh
nabi yang lain. Sungguh tidak seorang nabi pun setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah
sehingga jumlah mereka banyak (HR Muslim).

Ketiga: Dalil Ijmak Sahabat. Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil
syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i.
Imam as-Sarkhashi menegaskan:
ِ ِ ِِ ِ
‫َص ِل‬ َ ‫َص َل الدِّيْ ِن…فَالْ ُمْن ِكُر ل َذل‬
ْ ‫ك يَ ْس َعى يِف َه ْدِم أ‬ ْ ‫َو َم ْن أَنْ َكَر َك ْو َن ا ِإلمْج َاعُ ُح َّجةً ُم ْوجبَةً ل ْلع ْل ِم َف َق ْد أَبْطَ َل أ‬
.‫الدِّيْ ِن‬
Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan
ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang
mengingkari Ijmak berarti sedang berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” (Ash-Sarkhasi,
Ushûl as-Sarkhasi, I/296).

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:

ُ‫ بَ ْل َج َعلُ ْوه‬،‫ب‬
ِ ِ ِ ‫ب اْ ِإل َم ِام َب ْع َد اِنِْق َر‬
ٌ ‫اض َز َم ِن النُُّب َّوة َواج‬ َ ‫ص‬ْ َ‫َن ن‬
ِ ‫ض وا ُن‬
َّ ‫اهلل َعلَْي ِه ْم أَمْج َعُ ْوا َعلَى أ‬ ِ
َ ْ ‫الص َحابَةَ ر‬
َّ ‫َن‬ َّ ‫أ‬
.‫اهلل ﷺ‬ ِ ‫ث اِ ْشَتغَلُّوا بِِه عن دفْ ِن رسو ِل‬ ُ ‫ات َحْي‬ِ ‫أَه َّم الْو ِاجب‬
ُْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ
Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah berijmak bahwa mengangkat
seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka
menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya,
mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban
menguburkan jenazah Rasulullah saw. (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Ijmak Ulama Aswaja


Berdasarkan dalil-dalil di atas—dan masih banyak dalil lainnya—yang sangat jelas,
seluruh ulama Aswaja, khususnya empat imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafii dan Imam Hanbali), sepakat bahwa adanya Khilafah, dan menegakkan Khilafah ketika
tidak ada, hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menuturkan:
‫ِ مِح‬ َِّ
ٌ ‫َن اْ ِإل َم َامةَ َفْر‬
‫ض‬ َّ ‫اىل َعلى أ‬
َ َ ‫إت َف َق اْألَئ َّمةُ َر َ ُه ُم اهللُ َت َع‬
Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib (Al-
Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, V/416).

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa
wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah.
Bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, XII/205).
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn (Lihat:
Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-
Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124;
Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-
Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm,
hlm. 248).
Ulama Nusantara, Syaikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab berjudul Fiqih Islam, juga
mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga
menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. []

Hikmah:
Imam as-Syafii rahimahulLah berkata:
ِ َ‫َن لَْيس الَح ٍد أَب ًدا أَ ْن ي ُقو َل يِف َشئ ِحلٌّ و الَ حر ٌم إِالَّ ِمن ِجه ِة الْعِْل ِم و ِجهةُ الْعِْل ِم اخلَبر يِف الْ ِكت‬
‫اب أ َْو‬ َُ َ َ َ ْ ََ َ ْ َْ َ َ َ َّ ‫أ‬
ِ َ‫اع أ َْو الْ ِقي‬
‫اس‬ ِ َ ‫السنَ ِة أ َْو ا ِإلمْج‬
ُّ
Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali
didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (al-Quran), as-
Sunnah (al-Hadis), Ijmak atau Qiyas.
(Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39). []

Anda mungkin juga menyukai