Anda di halaman 1dari 5

BAB III

PEMBAHASAN

A. Keberadaan Potensial Breeding Place Nyamuk


1. Lingkungan Fisik
a. Suhu
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap nyamuk Culex sp.
Dalam suhu yang tinggi aktivitas nyamuk akan meningkat dan
perkembangannya bisa mengalami percepatan, tetapi juga akan
membatasi populasi nyamuk apabila suhu di atas 350 C. Suhu optimum
untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 200C –300C.1 Suhu udara
mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk. Makin
tinggi suhu (sampai batas tertentu), makin pendek masa inkubasi
ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya, makin rendah suhu semakin
panjang masa inkubasi ekstrinsiknya.2
Suhu udara sangat mempengaruhi siklus hidup nyamuk,
nyamuk merupakan binatang berdarah dingin dimana suhu lingkungan
dapat mempengaruhi proses metabolisme dan siklus kehidupannya.
Semakin tinggi suhu (sampai batas tertentu) semakin pendek masa
inkubasi ekstrinsik, dan semakin rendah suhu masa inkubasi ekstrinsik
semakin panjang. Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali
pada suhu kurang dari 10°C-40°C.3
Pada praktikum ini suhu rata-rata berkisar antara 29-360C, suhu
pada daerah penelitian sangat memungkinkan untuk pertumbuhan
nyamuk. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Handayani memperoleh hasil pengukuran suhu berada pada kisaran
260C – 290C, yang erupakan suhu yang sangan idel bagi kehidupan
larva Anopheles. Hadi K., dkk dalam penelitiannya dengan objek
An.aconitus menemukan bahwa pada berbagai tinggkat suhu telihat
semakin tinggi suhu maka panjang periode pada setiap stadium
semakin singkat dan sebaliknya.4
b. Kelembaban udara (relative humidity)
Kelembaban udara adalah banyak kandungan uap air yang
terdapat dalam udara, daerah pantai kelembaban udara relatif tinggi,
karena terjadi penguapan air laut relatif besar. Umur nyamuk dapat
menjadi pendek akibat adanya kelembaban yang rendah. Batasan
kelembaban udara untuk memungkinkan hidupnya nyamuk yaitu 60%.
Cara hidup nyamuk dapat diatur oleh faktor kelembaban. Jika
kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering
menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria5.
Pada praktikum ….

2. Lingkungan Kimia
a. Salinitas air
Salinitasi merupakan ukuran yang dinyatakan dengan
jumlah garam-garam yang larut dalam suatu volume air. Ada
tidaknya nyamuk malaria disuatu daerah dapat dilihat dari salinitas
air. Tinggi rendahnya salinitas dapat di tentukan dari banyaknya
garam-garam yang larut dalam air. Danau, genangan air,
persawahan, kolam ataupun parit disuatu daerah yang merupakan
tempat perindukan nyamuk meningkatkan kemungkinan timbulnya
penularan malaria. Nyamuk Anopheles sundaicus menyukai
genangan air payau yang berkisar antara 0,5-30‰. Kategori
perairan berdasarkan salinitas yaitu perairan tawar jika salinitas
kurang dari 0,5‰, perairan payau jika salinitas antara 0,5‰-30‰,
perairan laut jika salinitas antara 30‰-40‰ dan perairan
hipersaline jika nilai salinitas antara 40‰-80‰ 6.
Beberapa jenis Anopheles mampu menyesuaikan diri dan
hidup dalam kondisi air yang payau serta larva tidak dapat bertahan
hidup pada kadar garam diatas 40% akan mengalami kematian,
larva toleran terhadap salinitas antara 12% - 18 %. Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh pegukuran salinitas dengan 15 jenis
habitat perkembangbiakan adalah 0 %. Hal tersebut menunjukan
bahwa air yang terdapat pada habitat termasuk tipe air tawar. Hal
ini menunjukan bahwa perairan yang merupakan habitat larva
berkembangbiak termasuk jenis perairan air tawar. Hal ini sesuai
degan penelitian Effendi (2003) bahwa nilai salinitas perairan
tawar biasanya kurang dari 0,5%. Dan Hidayani juga menyatakan
hal demikian pada penelitian yang dilakukan pada 20 titik yang
ditemukan yaitu berada pada salinitas 0%.

b. Derajat keasaman (pH air)


Kadar Keasaman (pH) merupakan tingkat asam basa suatu
larutan yang diukur dengan skala 0-14. Tinggi rendahnya pH air
sangat di pengaruhi oleh kandungan mineral yang terdapat dalam
air.Kadar keasaman (pH) air, mempunyai peranan penting bagi
perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles karena berperan
penting dalam pengaturan respirasi dan sistem enzim dalam tubuh
larva. Berdasarkan hasil pengukuran pada daerah penelitian berkisar
7,0 – 10,4 Kondisi nilai pH tidak dipengaruhi oleh musim karena
pH air musim hujan dan musim kemarau tidak berbeda nyata. Nilai
pH banyak dipengaruhi oleh komposisi kimia tanah. Umumnya air
dengan pH asam banyak berasal dari daerah lahan gambut dan
rawa-rawa karena tingginya proses pembusukan dan fermentasi
bahan-bahan organik yang ada 7.

B. Karakteristik Breeding Place yang Positif Larva

C. Identifikasi Larva dan Nyamuk

Identifikasi yang tepat dari spesies larva nyamuk di lingkungan kampus


Universitas Diponegoro sangat penting tidak hanya untuk studi ekologi yang meliputi
parameter lingkungkan nyamuk tetapi juga untuk pencegahan dan pengendalian
penyakit yang ditularkan nyamuk di masa mendatang. Dalam praktikum ini,
ditemukan bahwa jentik nyamuk yang diidentifikasi adalah genus Culex dan
Anopheles. Sedangkan untuk spesies nyamuknya didapatkan spesies Culex pipiens
dan untuk Anophelesnya yaitu
Pada praktikum ini menemukan bahwa larva Cx. pipiens terutama ada IPAL,
di genangan air AC, galian tanah, dan kolam bekas perindukan ikan yang berada
Fakultas Perikanan, meskipun tidak ada perbedaan dari larva nyamuk di antara badan-
badan air ini. Ini mengindikasikan kemungkinan lokasi infeksi yang penting dari
penyakit yang ditularkan nyamuk seperti filariasis, dan penyakit potensial lainnya di
masa mendatang. Temuan penelitian ini mirip dengan studi Savage dan Miller dan
8,9,10
Hribar di Amerika Serikat Mempertimbangkan temuan mereka, anggota Cx.
pipiens mudah berkembang biak di kolam penampung selokan, kolam tanah yang
bersih dan tercemar, parit, laguna limbah hewan, limbah dari pabrik pengolahan
limbah, dan situs-situs lain yang sedikit eutrofik atau tercemar dengan limbah
organik.
1. Wibowo, Sutyo Agus, 2010. Pengaruh Pencucian Kain Payung yang Dicelup
Insektisida Permetherine Terhadap Daya Bunuh Nyamuk Culex sp. SkripsiFakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhamadiyyah Semarang, Semarang.
2. Barodji, 2000. Bionomik Vektor Malaria di daerah Endemis Malaria Kecamatan
Kokap Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan No. 2(2): 109-
216.
3. Santjaka A. 2013. Malaria pendekatan model kausalitas. Yogyakarta: Nuha Medika.
4. Hadi K,dkk. 2005. Kandang ternak dan lingkungan kaitannya dengan
kepadatan.vektor Anopheles aconitus di daerah endemis malaria (studi kasus di
Kabupaten Jepara). Skripsi. Program Studi Magister Epidemiologi. UNDIP Semarang
5. Yudhastuti R. 2008. Gambaran faktor lingkungan daerah endemis malaria di
daerah berbatasan (Kabupaten Tulungagung dengan Kabupaten Trenggalek). Jurnal
Kesehatan Lingkungan. 4(2):9–20.
6. Sopi IIPB, Kazwaini M. 2014. Bionomik Anopheles sp. di Desa Konda Maloba,
Kecamatan Katikutana Selatan, Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi NTT. Jurnal
Ekologi Kesehatan. 13(3):240–54.
7. Gilang, Y.P. Nyamuk Anopheles sp dan Faktor Yang Mempengaruhi di Kecamatan
Rajabasa, Lampung Selatan. Jurnal Majority. vol 4 nomor 1. Januari 2015
8. Shaman, J.; Day, J.F.; Komar, N. Hydrologic conditions describe West Nile virus risk
in Colorado. Int. J.Environ. Res. Public Health 2010, 7, 494–508.
9. Hribar, L.J. Larval habitats of potential mosquito vectors of West Nile virus in the
Florida Keys. J. Water Health 2007, 5, 97–100.
10. Hribar, L.J.; Smith, J.M.; Vlach, J.J.; Verna, T.N. Survey of container-breeding
mosquitoes from the Florida Keys, Monroe County, Florida. J. Am. Mosq. Control.
Assoc. 2001, 17, 245–248.

Anda mungkin juga menyukai