Disusun oleh :
Debby Sofiana
1807101030063
Dokter Pembimbing
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Gangguan Skizoafektif Tipe Manik”. Shalawat beserta salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke
masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa Aceh Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr.
Subhan Rio Pamungkas, Sp. KJ yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna
bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran
pada umumnya dan ilmu kedokteran jiwa pada khususnya. Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk laporan kasus ini.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................... 34
BAB V KESIMPULAN.......................................................................... 40
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skizoafektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan dua gambaran yang
berulang yaitu gambaran gangguan skizofrenia (memenuhi kriteria A skizofrenia) dan
episode gangguan suasana hati atau mood baik depresi mayor maupun bipolar.
Skizoafektif adalah kelainan mental yang ditandai adanya kombinasi gejala
skizofrenia (gangguan berpikir, delusi dan halusinasi) dan gejala afektif (gejala
depresif atau manik). Gejala afektif ini bisa disebut juga gejala mood. Hal inilah
yang mengakibatkan terjadinya perdebatan diantara para peneliti, karena masih
terjadi overlaping antara skizofrenia, gangguan afektif dan dengan skizoafektif itu
sendiri. Ada beberapa peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan suatu
kondisi yang bisa dibedakan dari skizofrenia dan gangguan afektif. Namun ada juga
peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan kondisi yang sebenarnya
sama dengan skizofrenia dan gangguan afektif lainnya. Sedangkan menurut standar
yang terbaru, yaitu dari DSM-5, skizoafektif dikelompokkan ke dalam skizofrenia
dan gangguan psikotik lainnya.(1)
Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gejala psikotik
yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi, manik atau
episode campuran. Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan mental yang
bersifat kronis. Kebanyakan pasien dengan gangguan skizoafektif mengalami
kesalahan diagnosis dengan gangguan bipolar ataupun skizofrenia dikarenakan
manifestasi klinis yang muncul tampak sangat mirip dengan diagnosis yang lainnya.(6)
Menurut DSM-IV-TR, orang yang mengalami gejala psikotik lebih dari dua
minggu dengan tidak adanya gangguan mood yang parah atau kemudian memiliki
gejala depresi atau gangguan bipolar mungkin telah mengalami gangguan
skizoafektif.
4
2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan skizoafektif yang menetap seumur hidup berkisar antara
0,5 sampai 0,8 persen. Namun, gambaran tersebut merupakan perkiraan dari berbagai
studi mengenai gangguan skizoafektif. Studi populasi belum banyak yang
menunjukkan insidensi dari gangguan skizoafektif ini, namun menunjukkan bahwa ia
merupakan suatu komorbiditas antara skizofrenia dan gangguan afektif. Angka
kejadian skizoafektif meningkat pada wanita. Onset umur pada wanita juga lebih besar
daripada pria. Terkait usia, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif lebih
sering ditemukan sedangkan untuk usia muda lebih sering menderita gangguan
skizoafektif tipe campuran. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan
menunjukkan perilaku antisosial.(7)
Gangguan skizoafektif lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Awitan diketahui lebih tinggi pada perempuan dengan usia lanjut
dibandingkan laki-laki. Meskipun prevalensi pada perempuan didapatkan lebih tinggi,
namun angka remisi pada perempuan lebih baik dibandingkan pada laki-laki.
Gangguan skizoafektif tipe depresi mungkin lebih sering terjadi pada orang tua
daripada orang muda, dan tipe campuran lebih sering pada dewasa muda daripada
dewasa tua. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan lebih rendah pada laki-laki
daripada perempuan, terutama perempuan menikah; usia awitan untuk perempuan
lebih lanjut daripada laki-laki, seperti pada skizofrenia. Laki-laki dengan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisosial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai. (17)
2.3 Etiologi
Semenjak skizoafektif diperkenalkan pertama sekali oleh Kasanin sebagai
sebuah klasifikasi, istilah tersebut masih dianggap sulit dipahami dan kontroversial.
Penyebab gangguan skizoafektif belum diketahui secara pasti, tetapi empat model
konseptual telah dikembangkan bahwa apakah skizoafektif ini dapat dipertimbangkan
menjadi sebuat entitas diagnosis yang dependen, salah satu variasi dari skizofrenia,
salah satu variasi gangguan afektif, titik tengah antara skizofrenia dan gangguan
5
afektif, atau malah sebuah gangguan yang tidak benar-benar ada. Beberapa studi
klinis terdahulu menunjukkan bahwa status skizoafektif ini tidak benar-benar terpisah
dari skizofrenia atau gangguan bipolar, melainkan terhubung secara cross sectional
atau terdapat hubungan sebab-akibat.(9)
Meskipun banyak riset genetik mengenai gangguan skizoafektif didasarkan
pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan entitas terpisah,
beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait secara genetik.
Beberapa kebingungan yang timbul pada studi famili pasien gangguan skizoafektif
dapat merefleksikan perbedaan nonabsolut antara dua gangguan primer. Oleh karena
itu, tidak mengherankan bila studi keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif
melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak
ditemukan dalam kerabat proban dengan gangguan skizoafektif tipe bipolar; namun
keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif berisiko lebih tinggi
mengalami skizofrenia daripada gangguan mood.(10)
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis lebih baik daripada pasien skizofrenia dan prognosis lebih buruk daripada
pasien dengan gannguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif memberikan respons terhadap lithium dan cenderung mengalami
perjalanan penyakit yang tidak memburuk.(11)
2.4 Klasifikasi
Pedoman Diagnosis (ICD-X/PPDGJ III) menunjukkan bahwa diagnosis
gangguan skizoafektif dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan
gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama,
dan sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Maka dari itu, terdapat tiga subtipe
gangguan skizoafekti, yaitu :
a. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik.
Gangguan skizoafektif tipe manik menunjukkan gejala skizofrenia dan manik
dalam satu episode sakit. Suasana perasaan harus meningkat secara menonjol
6
atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi
dengan iritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama
harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua gejala skizofrenia yang
khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia).
b. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
Gangguan skizoafektif tipe depresif menunjukkan gejala skizofrenia dan depresif
dalam satu episode sakit. Harus ada depresi yang menonjol, disertai oleh
sedikitnya dua gejala depresif yang khas atau kelainan perilaku seperti yang
terdapat dalam kriteria episode depresif; dalam episode yang sama, sedikitnya
harus ada satu atau lebih dua gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana
ditetapkan untuk pedoman diagnostik skizofrenia).
c. Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
Gangguan skizoafektif tipe campuran menunjukkan gejala skizofrenia dan
gangguan campuran afektif bipolar.(12)
Berdasarkan tipe gangguan skizoafektif, maka tata laksana terapi nya pun
akan berbeda. Terapi untuk skizoafektif tipe manik biasanya digunakan mood
stabilizer, sedangkan untuk tipe depresif maka dapat digunakan antidepresan. Seiring
dalam waktu pelaksanaan terapi, masih dimungkinkan adanya beberapa perubahan
terapi untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini bisa mempengaruhi
outcome terapi dari pengobatan tersebut.(11)
2.5 Tanda dan Gejala
Gangguan skizoafektif adalah gangguan dengan gejala psikotik yang
persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah
suasana hati (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran. Gejala-
gejala afektif diantaranya yaitu elasi dan ide-ide kebesaran, tetapi kadang-kadang
kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide kejaran.
Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu,
dan hilangnya hambatan norma sosial. Waham kebesaran, waham kejaran mungkin
ada. Gejala skizofrenia juga harus ada, pasien juga harus memiliki setidaknya satu
(lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia yang tercantum dalam International
7
Symptoms should be present for most of the time during at least 1 month
Schizophrenia should not be diagnosed in the presence of organis brain disease
or during drug intoxication or withdrawal
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.(13)
2.6 Diagnosis
Berdasarkan beberapa penelitian, standar yang digunakan sebagai kriteria
untuk mendiagnosis skizoafektif berbeda-beda. Adapun standar yang kebanyakan
digunakan oleh para peneliti adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) ataupun International Classification of Disease (ICD). Kedua
standar ini juga terus dilakukan pembaharuan seiring dengan perkembangan waktu,
sehingga penggunaan kriteria diagnosis yang berbeda ini bisa berakibat kepada terapi
yang harus diberikan.(13)
Diagnosis dari gangguan skizoafektif ditegakkan dari hasil pemeriksaan yang
seksama mengingat luasnya tipe gejala klinis yang ditimbulkan. Berikut merupakan
paduan diagnostik gangguan skizoafektif menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) ;
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang
lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi
dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif.
Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
10
gangguan skizoafektif selama delapan tahun mendapatkan hasil pasien tersebut lebih
menyerupai skizofrrenia daripada gangguan mood dengan gambaran psikotik.(14)
Prognosis skizoafektif lebih baik dari pada skizofrenia tetapi lebih buruk bila
dibandingkan dengan gangguan mood. Perjalanan penyakitnya cenderung tidak
mengalami deteriorasi dan responsnya terhadap litium lebih baik daripada
skizofrenia.(14)
2.9 Terapi
a. Psikofarmaka
Mood stabilizer adalah cara utama pengobatan gangguan bipolar dan
diharapkan dapat bermanfaat pada pengobatan pasien dengan gangguan skizoafektif.
Satu studi yang membandingkan lithium dengan karbamazepin memperlihatkan
superioritas karbamazepin pada gangguan skizoafektif tipe depresif, tetapi tidak ada
perbedaan kedua agen tersebut untuk tipe bipolar. Namun, pada praktiknya,
pengobatan tersebut digunakan luas secara tersendiri, digunakan bersamaan, atau
kombinasi dengan agen antipsikotik.
Pada episode manik, pasien skizoafektif sebaiknya diobati secara agresif
dengan pemberian dosis mood stabilizer dalam kisaran konsenterasi terapeutik sedang
sampai tinggi di dalam darah. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan, pemberian
dosis dapat dikurangi sampai rentang rendah sampai sedang untuk menghindari efek
samping dan efek potensial terhadap sistem organ seperti tiroid dan ginjal, dan
memudahkan konsumsi dan kepatuhan pengobatan. Pemantauan laboratorium
terhadap konsenterasi obat dalam plasma dan penapisan periodic tiroid, ginjal, dan
fungsi hematologis harus dilakukan. Seperti pada semua kasus mania yang sulit
disembuhkan, pemakaian terapi elektrokonvulsif (ECT) harus dipertimbangkan.(18)
Berdasarkan definisi, banyak pasien skizoafektif menderita akibat episode
depresif mayor. Pengobatan dengan antidepresan menyerupai pengobatan depresi
bipolar. Perawatan dilakukan tetapi bukan untuk mencetuskan suatu siklus pergantian
cepat dari depresi menjadi mania dengan antidepresan. Pilihan antidepresan
14
a. Fase Akut
Kriteria akut yaitu :
1. Total skor Possitive and Negative Symptom Scale – Excited Component (PANSS-
EC) yaitu P4 gaduh-gelisah, P7 permusuhan, G4 ketegangan, G8
ketidakkooperatifan, G14 buruknya pengendalian impuls, minimal satu butir
skornya 4 atau lebih.
2. Kategori nilai the Agitation-Calmness Evaluation Scale (ACES) adalah 1 atau 2 (1
= agitasi berat yaitu meningkatnya aktivitas fisik, banyaknya pembicaraan, dapat
terjadi kekerasan fisik, bila diminta diam pasien tidak bisa mengontrol tanda-tanda
agitasinya, memerlukan perhatia atau supervise terus-menerus atau perlu
pengikatan, 2 = agitasi sedang yaitu peningkatan aktivitas fisik derajat sedang,
banyak bicara dna mungkin mengancam secara verbal, tidak ada kekerasan fisik,
dapat mengontrol tanda-tanda agitasi bila diminta, memerlukan supervise atau
perawatan standar)
3. Nilai Young Mania Rating Scale (YMRS) adalah 20 dan butir skornya 4 yaitu
iritabilitas, pembicaraan, isi dan perilaku agresif.
4. Nilai 4 pada Clinical Global Impression-Severity of Illness (CGI-SI)
b. Fase Lanjutan
1) Terapi psikofarmaka (monoterapi)
Litium karbonat 0,6-1 mEq/L biasanya dicapai dengan dosis 900-1200 mg /
hari sekali sedengan dosis 500 mg/ hari
Olanzapin 1 x 10 mg/hari
Quetiapin dengan dosis 300 – 600 mg/hari
Risperidon dengan 1-4 mg/hari
Aripirazol dengan dosis 10-20 mg/hari
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala
positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors” (Serotonin-
18
b. Psikososial
Mencoba untuk menantang atau memiliki pikiran yang berbeda mengenai suara
(halusinasi auditorik) yang didengarkan.
Membuat strategi untuk mengatasi suara yang didengarkan. Contohnya seperti
mendengarkan musik atau meminta suara yang didengarkan untuk pergi saja.
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien yang
mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat membantu
keluarga untuk mengurangi ekspresi yang berlebihan terkait gejala yang dialami
pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien.
Art therapies (terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang dialaminya.(17)
20
BAB III
LAPORAN KASUS
I IDENTITAS PASIEN
Nama : Safitri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 06 September 2003
Umur : 16 tahun
Alamat : Baitussalam, Aceh Besar
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Tidak ada
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 23 Februari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 29 Februari 2020 dan 2 Maret 2020
II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 0902000811
2. Autoanamnesis : 2 Maret 2020
3. Alloanamnesis : 8 Maret 2020 (via telepon dengan ibu pasien)
A. Keluhan Utama
Mengamuk
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis:
Pasien mengatakan dibawa ke RSJ oleh keluarganya. Ia menyangkal dirinya
dibawa ke RSJ karena mengamuk, marah- marah dan melempar orangtuanya. Ia
mengaku, gangguan-gangguan yang dikeluhkan oleh orang-orang ini disebabkan
21
karena ia mengalami sakit kepala dan sakit lambung. Pada awal rawatan pasien
mengaku dibawa paksa ke RSJ padahal dia tidak sakit jiwa. Namun, beberapa hari
kemudian pasien mengaku senang berada di RSJ ini karena mendapat banyak teman.
Saat ini pasien mengaku berumur 16 tahun dan tidak sekolah lagi. Pendidikan
terakhir pasien adalah kelas 5 SD. Pasien sekarang tinggal bersama ibunya dan ayah
tirinya. Pasien mengaku bahwa ayah kandungnya sudah meninggal dan ibunya
menikah lagi.
Pasien mengaku sebelumnya pernah dirawat juga di RSJ, namun setelah
dipulangkan pasien jarang minum obat karena merasa sudah sembuh. Pasien juga
mengatakan sering sakit perut dan mengantuk jika minum obat yang diberikan dari
RSJ.
Pasien juga mengaku pernah mendengar bisikan. Bisikan tersebut terdengaar
seperti orang yang memanggil namanya dan mengatakan bahwa orangtuanya jahat
dan tidak peduli lagi padanya, namun wujudnya tidak ada, sehingga ia terkadang
merasa cepat emosi, dan marah pada orang tuanya. Selain itu, pasien juga mengaku
ada bisikan yang mengatakan banyak wanita yang ingin merebut suaminya.
Pada wawancara pertama pasien mengaku sudah menikah dan memiliki suami
seorang TNI dan banyak wanita yag ingin merebut suaminya. Namun pada
wawancara kedua pasien mengaku belum menikah dan memiliki mantan pacar
seorang TNI yang masih mencintainya. Pasien juga mengatakan bahwa mantan
pacarnya tersebut masih sering menghubunginya dan ingin bertemu. Namun pasien
merasa dirinya tidak cocok dengan TNI tersebut dikarenakan ia merasa bahwa laki-
laki itu tidak serius dengannya dan hanya mempermainkannya. Selain mantan
pacarnya, pasien mengakui banyak pria yang mencintainya selama ini.
Alloanamnesis:
Pasien dibawa ke RSJ oleh keluarganya karena mengamuk. Pasien juga suka
menghancurkan barang-barang di rumah dan melempar orangtuanya dengan barang-
barang. Ia suka melempar barang lalu mengambilnya kembali, melakukan aktivitas
yang tidak bertujuan, berjalan mondar-mandir di rumah tidak bisa diam, pasien suka
22
senyum senyum sendiri sambil menari-nari dan bernyanyi keras-keras hingga malam
hari. Keluhan dirasakan memberat sejak 1 minggu terakhir. Pasien sulit tidur di
malam hari. Pasien juga sering memakai baju berupa gaun berwarna terang, mengikat
rambut, dan menggunakan make up. Pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit
jiwa. Saat pasien dipulangkan ke rumah, pasien jarang minum obat karena merasa
dirinya sudah sembuh dan mengeluhkan sakit lambung jika minum obat. Menurut
keluarganya, gangguan-gangguan tersebut terjadi secara tiba-tiba sekitar 5 tahun yang
lalu. Keluarga pasien juga menduga bahwa gangguan yang dialami pasien mungkin
ada hubungannya dengan kematian ayah pasien beberapa tahun sebelumnya.
Sebelum muncul kelainan tersebut pasien mulai jarang masuk sekolah dan
akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Beberapa tahun
kemudian pasien mulai mencoba bekerja di toko pakaian dan toko kue, namun karena
kelainannya sering kambuh dan pasien perlu dirawat kembali di RSJ akhirnya pasien
tidak melanjutkan pekerjaannya lagi.
Pasien merupakan orang yang berbaur dan mudah bersosialisasi dengan orang
di lingkungan sekitarnya. Sehari-hari, pasien berpenampilan rapi dan hobi menghias
diri.
E. Riwayat Pengobatan
23
Pada tahun 2016 pasien juga dirawat di RSJ Aceh dengan diagnosis
yang sama dan mendapatkan terapi depakote ER 2x250mg, risperidone
2x2mg, arkine 2x2 mg, clozapine 1x100 mg, dan inj. Skizonoate 1 amp/bulan.
Pada tahun 2017 pasien kembali masuk ke IGD RSJ Aceh dengan
keluhan yang sama dan mendapatkan terapi depakote ER 2x250mg,
trifluoperazin 2x5 mg, merlopam 2x2 mg, clozapine 2x50 mg, dan inj.
Skizonoate 1 amp/bulan.
Pada tahun 2018 dan 2019 pasien kembali masuk ke IGD RSJ Aceh
dengan keluhan yang sama dan mendapatkan terapi depakote ER 2x250mg,
risperidone 2x2mg, diazepam 1x2 mg, dan inj. Setelah beberapa lama dirawat,
pasien membaik dan diperbolehkan pulang. Namun pasien mengalami putus
obat sehingga kambuh dan diibawa kembali ke RSJ pada tahun 2020.
F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama
ibunya dan ayah tirinya. Pasien adalah seorang yang berbaur dan mudah
bersosialisasi dengan orang di lingkungan sekitarnya. Pasien juga pernah
bekerja di toko pakaian dan toko kue.
G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah kelas 5 sekolah dasar. Pasien tidak
mau melanjutkan pendidikan formal karena malas melanjutkan sekolahnya
lagi dan mulai menunjukan kelainan jiwa.
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan
25
E. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (+)
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik, sesuai tingkat pendidikan.
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
Waktu : Baik
Tempat : Baik
Orang : Baik
27
4 Daya ingat
Seketika : Baik
Jangka Pendek : Baik
Jangka Panjang : Baik
H. Daya nilai
Normo sosial : Baik
Uji Daya Nilai : Baik
I. Pengendalian Impuls: Terganggu
J. Judgement : Baik
K. Ide kreatif : menyanyi
L. Tilikan : T2
M. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
N. Pikiran Abstrak : Terganggu
V. RESUME
Pasien N, 16 tahun, dibawa ke IGD RSJ karena mengamuk. Pasien suka
melempar barang, senyum-senyum sambil menyanyi dan menari, tidak bisa tidur
malam hari. Pasien juga sering memakai baju berupa gaun berwarna terang, mengikat
rambut, dan menggunakan make up. Pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit
jiwa sejak 5 tahun lalu setelah ayahnya meninggal. Saat pasien dipulangkan ke
rumah, pasien jarang minum obat karena merasa dirinya sudah sembuh.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
110/70 mmHg, frekuensi nadi 82x /menit, frekuensi napas 20x /menit, temperatur
afebris. Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak perempuan berpenampilan rapi,
perawakan sesuai usia, aktivitas psikomotor: hiperaktif, sikap terhadap pemeriksa:
kooperatif, mood: hipertimik, afek : terbatas, keserasian afek: inappropriate,
pembicaraan: spontan, logorhea (+), bentuk pikir non-realistik, arus pikir : koheren,
dan flight of idea (+), isi pikir : halusinasi auditorik (+). Pasien mengalami tilikan T2
karena merasa dirinya tidak sakit dengan taraf kepercayaan dapat dipercaya. Daya
28
ingat, intelektual, dan memori baik, namun pengendalian impuls dan pikiran abstrak
terganggu.
IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Risperidone 2x2 mg
Trihexylphenidyl 2x2 mg
Seroquel XR 1x400 mg
Lorazepam 1x2 mg
Inj. Zyprexa 1 vial (K/P)
B. Terapi Psikososial (Terapi Kerja)
29
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
33
tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Hal ini menyingkirkan
diagnosis retardasi mental. Pada aksis III juga tidak ada diagnosis karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan medis umum.
Untuk aksis IV, pasien mulai mengalami gejala setelah ayahnya meninggal, sehingga
pada aksis IV diberi diagnosis “masalah keluarga”. Penilaian terhadap kemampuan
pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala Global Assessment
of Functioning (GAF). Pada saat dilakukan wawancara, skor GAF 40-31 (beberapa
disabilitas dalam berhubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat dalam
beberapa fungsi. Hal ini ditandai dengan pasien mampu melakukan aktivitas sehari
hari secara mandiri namun perlu diarahkan disertai gejala psikotik.(1)
Pasien ini mendapatkan terapi Risperidon 2x2 mg, Trihexylphenidil 2x2mg,
Seroquel XR 1x400 mg, dan Lorazepam 1x2mg. Pemberian risperidone pada
pasien sebagai antipsikotik atau mengatasi gejala skizofrenia yang dialami pasien.
Menurut American Psychiatric Association, antipsikotik generasi kedua (atipikal),
kecuali klozapin, merupakan terapi lini pertama pada skizofrenia. Pada dosis
ekivalen, antipsikotik memberikan efek primer (efek klinis) yang sama. Perbedaan
tampak pada efek sekunder (efek samping) seperti sedasi, otonomik, ekstrapiramidal.
Sehingga, pemilihan jenis antipsikotik mempertimbangkan gejala psikotik yang
dominan dan efek samping obat. Adapun efek samping obat risperidon adalah
mengantuk/ insomnia, agitasi, cemas, nyeri kepala, peningkatan berat badan, mual
dan muntah, dyspepsia, nyeri abdominal, gangguan menstruasi dan ginekomastia.(10)
Jika antipsikotik tertentu tidak memberikan respons klinis dapat diganti dengan
antipsikotik dari golongan berbeda. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala
positif, pasien diberikan antipsikotik atipikal. Sebaliknya, bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif maka pilihannya adalah antipsikotik tipikal.
Antipsikotik atipikal (generasi kedua) sering disebut sebagai serotonin dopamine
antagonis (SDA) yang bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamine pada
keempat jalur dopamin di otak. Risperidone merupakan antipsikotik atipikal generasi
kedua yang efektif mengatasi gejala negatif pada penderita skizofrenia dan memiliki
efek samping ekstrapiramidal yang rendah.(18)
35
Efek samping lainnya yang sering muncul pada penggunaan obat untuk
gangguan jiwa adalah pusing, nyeri kepala, dan gangguan gastrointestinal. Untuk itu
dibutuhkan kontrol ulang rutin pasien ke rumah sakit atau puskesmas untuk
mengatasi efek samping obat yang timbul. Jika memang dibutuhkan, obat dapat
diganti dengan obat jenis lainnya dengan fungsi yang sama namun efek samping yang
lebih sedikit, atau dapat diberikan terapi tambahan untuk mengurangi efek samping
yang timbul.(15)
Pasien memiliki riwayat masuk Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh pada tahun
2016, 2017, 2018, dan 2019. Keluarga pasien mengatakan kekambuhan terjadi
apabila pasien yang tidak mengkonsumsi obat secara teratur. Literatur mengatakan
apabila seseorang telah bereaksi terhadap perawatan medis (farmakologis), hal yang
sangat penting dilakukan adalah tetap melanjutkam pengobatan sesuai resep yang
telah dibuat oleh dokter. Secara umum, orang dengan gangguan skizoafektif sangat
diharuskan untuk melanjutkan konsumsi mood stabilizer dalam waktu yang lama
(setidaknya dua tahun). Putusnya terapi farmakologi dengan cepat dapat
menimbulkan kekambuhan dari gangguan skizoafektif. Apabila seseorang dengan
skizoafektif mengalami beberapa episode depresi ataupun mania, dokter yang
bertanggung jawab akan meresepkan pengobatan tersebut dalam jangka waktu yang
lebih panjang. Apabila episode mania atau depresi muncul ketika pasien sedang
mengkonsumsi mood stabilizer, dokter nantinya akan meresepkan obat jangka pendek
yang dapat menekan gejala tersebut.(11)
Sembuh adalah kondisi “pulihnya kembali keutuhan atau integritas struktur
dan fungsi” setelah mengalami kondisi sakit. Istilah remisi (sembuh bebas gejala)
menunjukkan pasien, sebagai hasil terapi medikasi terbebas dari gejala-gejala
halusinasi, tetapi tidak melihat apakah pasien itu dapat berfungsi atau tidak. Istilah
recovery (sembuh tuntas) biasanya mencakup disamping terbebas dari gejala-gejala
halusinasi, delusi dan lain-lain, pasien juga dapat bekerja atau belajar sesuai harapan
keadaan diri pasien masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai kondisi sembuh dan
dapat berfungsi, seorang pasien halusinasi memerlukan medikasi, konsultasi
37
psikologis, bimbingan social, latihan keterampilan kerja, dan kesempatan yang sama
untuk semuanya seperti anggota masyarakat lainnya.(22)
Untuk mencegah gejala muncul kembali atau semakin memburuk setelah
rawatan di rumah sakit, pasien diharapkan tidak untuk menghentikan terapi
farmakologis secara mendadak, walaupun pasien sudah merasa cukup baik, karena
hal ini akan memicu terjadinya kekambuhan. Proses pemberhentian terapi
farmakologis tentunya harus berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter yang
bersangkutan. (15)
Pada pasien ini kemungkinan terbesar kekambuhannya adalah
ketidakteraturan minum obat, dikarenakan pasien sudah merasa sembuh dan adanya
efek samping dari obat. Adapun penanganan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan adalah permberian terapi
kepatuhan. Terapi kepatuhan ini merupakan intervensi yang didasari pada kombinasi
pendekatan kognitif dan motivational interviewing (MI). (20)
Panduan pelaksanaan terapi kepatuhan:
1. Mengajak pasien untuk melihat kembali sejarah penyakitnya untuk memastikan
konseptualisasi dari penyakitnya dan melihat sikapnya terhadap masalah
2. Mencoba menghubungkan penghentian medikasi dengan kekambuhan
3. Secara berhati- hati mencoba membicarakan penyangkalan pasien terhadap
konsisinya
4. Menanyakan kepada pasien mengapa orang lain berfikir ada masalah pada
dirinya
5. Secara berhati- hati mencoba membicarakan kebutuhan pasien terhadap
pengobatan
6. Secara perlahan membicarakan kepada pasien mengenai konsekuensi social
7. Menyediakan informasi dasar mengenai simtom psikotik
8. Mendiskusikan kepada pasien perasaan khawatir, kurang percaya diri mengenai
penanganan dan sikap pro kontra terhadap medikasi
38
semakin produktif dari hari ke hari, dan tentunya dapat meminimalisir angka
kekambuhan. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Electro-convulsive Therapy
(ECT) juga dinilai sangat baik dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien
dengan gangguan skizoafektif. (16)
.
40
BAB V
KESIMPULAN
Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi
non-farmakologis. Pada kasus gangguan skizoafektif tipe manik terapi kombinasi
yang diberikan adalah terapi anti-psikotik dan mood stabilizer, diantaranya mencakup
Risperidone 2 mg, Seroquel XR 400 mg, Trihexylphenidil 2mg, dan Lorazepam 2mg.
Terapi non-farmakologis yang dianjurkan untuk gangguan skizoafektif tipe manik
diantaranya Cognitive-Behavioural Therapy, Psikoedukasi, Family-Based Service,
Art therapies, dan lain sebagainya. Prognosis bisa diperkirakan dengan melihat
seberapa jauh menonjolnya gejala skizofrenia nya, atau gejala gangguan afektif nya.
Semakin menonjol dan persisten gejala skizofrenianya, maka prognosisnya akan
semakin buruk. Sebaliknya apabila gejala-gejala afektifnya tampak lebih menonjol,
maka prognosis diperkirakan akan lebih baik.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ. 2010. Buku ajar Psikiatri Klinis Edisi ke 2. Jakarta:
EGC
2. Supratanda, Feri Eka. 2015. Penatalaksanaan Skizoafektif Tipe Depresif
Dengan Sindrom Ekstrapiramidal. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung
3. Rades,Miranda, Wulan,AJ. 2016. Skizoafektif Tipe Campuran. Lampung :
Jurnal Medula Unila
4. Marneros,A. 2015. Schizoaffective Disorder. Arlington Virginia: National
Alliance of Mental Illness
5. The National Alliance on Mental Illness. 2012. Schizoaffective Disorder.
Arlington Virginia : NAMI
6. Birrel, Marwick. 2013. Psychiatry 4th ed. United Kingdom: Elsevier Inc
7. American Psychiatryc Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 5th ed. Arlington VA: American Psychiatryc Association
Publishinh
8. Kharisma, A.A Gede Ocha Rama KP. 2015. Gangguan Skizoafektif Tipe
Manik. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayan
9. Maslim, Rusdi.2016. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FKUnika Atmajaya
10. Maslim, Rusdi. 2014 Penggunaan Klinis Obat Psikotropik 4th ed. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
11. Katona,Cornelius, Cooper,Claudia, Robertson,Mary. 2012. Psychiatry at a
Glance. 5th ed. London: Wiley Blackwell
12. Mental Illness Research, Education and Medical Center. 2016. What Is
Schizoaffective Disorder? Causes, Symptoms, Diagnosis, and Treatment.
California : VA Desert Pacific Health Care Network
13. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Keti. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2017.
15. Olfson, Mark. 2017. Treatment Patterns for Schizoaffective Disorder and
Schizophrenia Among Medicaid Patients. Diakses melalui:
www.psychiatryonline.org/data/Journals/
16. Ken Duckworth, M.D., and Jacob L. Freedman, M.D. 2012. Schizoaffective
disorder.
21. Tay, S.C. 2007. Compliance Therapy. Journal of Psychological Nursing 45(6);
29-38.
22. Baihaqih. 2015. Psikiatri Konsep Dasar & Gangguan. Refika Adistama.
Bandung