Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE


MANIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh :

Debby Sofiana
1807101030063

Dokter Pembimbing

dr. Subhan Rio Pamungkas, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Gangguan Skizoafektif Tipe Manik”. Shalawat beserta salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke
masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa Aceh Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr.
Subhan Rio Pamungkas, Sp. KJ yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna
bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran
pada umumnya dan ilmu kedokteran jiwa pada khususnya. Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk laporan kasus ini.

Banda Aceh, 10 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 3


2.1 Definisi........................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi............................................................................... 4
2.3 Etiologi........................................................................................ 4
2.4 Klasifikasi.................................................................................... 5
2.5 Tanda dan Gejala......................................................................... 6
2.6 Diagnosis..................................................................................... 9
2.7 Diagnosis Banding....................................................................... 11
2.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis.............................................. 12
2.9 Terapi ......................................................................................... 13

BAB III LAPORANKASUS.................................................................... 20


3.1 Identitas Pasien ........................................................................... 20
3.2 Riwayat Psikiatri......................................................................... 20
3.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................... 24
3.4 Pemeriksaan Status Mental.......................................................... 25
3.5 Resume........................................................................................ 27
3.6 Diagnosis Banding ...................................................................... 28
3.7 Diagnosis Kerja .......................................................................... 28
3.8 Diagnosis Multiaksial ................................................................. 28
3.9 Prognosis...................................................................................... 29
3.10 Follow Up Harian....................................................................... 30

BAB IV PEMBAHASAN......................................................................... 34

BAB V KESIMPULAN.......................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gambaran berupa
gejala skizofrenia dan gangguan afektif yang sama-sama menonjol pada suatu
periode. Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif telah berubah seiring berjalannya
waktu, sebagian besar merupakan refleksi perubahan kriteria diagnostik skizofrenia
dan gangguan mood. Diagnosis gangguan skizoafektif melibatkan konsep diagnostik
baik skizofrenia maupun gangguan mood, dimana diagnosis hanya ditegakkan apabila
gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif bersama-sama
menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam beberapa hari sesudah yang lain,
dalam episode yang sama. Sebagian diantara pasien gangguan skizoafektif mengalami
episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif atau campuran
keduanya.(1)
Studi populasi belum banyak yang menunjukkan insidensi dari gangguan
skizoafektif ini, namun menunjukkan bahwa ia merupakan suatu komorbiditas antara
skizofrenia dan gangguan afektif. Prevalensi seumur hidup dari gangguan skizoafektif
diperkirakan berkisar antara 0,5-0,8%. Menurut data statistik, prevalensi terjadinya
gangguan skizoafektif ini adalah sekitar 0,3% dimana gangguan ini lebih sering
diderita oleh wanita. Onset umur pada wanita juga lebih besar daripada pria. Di
Indonesia sendiri kasus skizoafektif belum dapat diprediksikan. Menurut data di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM Soedjarwadi Klaten, Jawa Tengah, memang tidak
terlalu banyak pasien yang terdiagnosis skizoafektif bila dibandingkan dengan
skizofrenia. Di Indonesia belum banyak dilakukan penelitian mengenai skizoafektif.
Hal inilah yang menjadi salah satu pendorong bagi penulis untuk membuat laporan
kasus mengenai topik ini.(7)
Penyebab gangguan skizoafektif masih tidak diketahui secara pasti, namun
demikian data penelitian menunjukkan bahwa gangguan skizofrenia dan gangguan
afektif mungkin berhubungan secara genetik.(2)
2

Selain itu, jika dibandingkan dengan skizofrenia maupun dengan gangguan


afektif lainnya, maka skizoafektif termasuk ke dalam gangguan kejiwaan yang cukup
berat. Skizoafektif merupakan gangguan kejiwaan kronis yang dapat berdampak
buruk bagi pasien itu sendiri. Salah satu dampak terburuk dari gangguan ini adalah
bunuh diri. Hal ini turut menyumbang tingginya angka bunuh diri yang ada di dunia.
Walaupun demikian, jumlah penelitian mengenai terapi farmakologi yang terstruktur
untuk menangani skizoafektif ini juga belum banyak dilakukan sehingga belum dapat
ditentukan guideline terapi yang jelas yang sesuai untuk gangguan skizoafektif yang
telah disetujui oleh dunia.(3)
Pengobatan pada skizoafektif terdiri dari pengobatan secara psikofarmaka dan
psikoterapi. Gangguan skizoafektif umumnya merespon baik terhadap pengobatan
antipsikotik, baik itu antipsikotik tunggal maupun yang dikombinasikan dengan
mood stabilizer. Pengobatan harus sesuai dengan tipe atau episode skizoafektif yang
sedang berlangsung.(5)
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizoafektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan dua gambaran yang
berulang yaitu gambaran gangguan skizofrenia (memenuhi kriteria A skizofrenia) dan
episode gangguan suasana hati atau mood baik depresi mayor maupun bipolar.
Skizoafektif adalah kelainan mental yang ditandai adanya kombinasi gejala
skizofrenia (gangguan berpikir, delusi dan halusinasi) dan gejala afektif (gejala
depresif atau manik). Gejala afektif ini bisa disebut juga gejala mood. Hal inilah
yang mengakibatkan terjadinya perdebatan diantara para peneliti, karena masih
terjadi overlaping antara skizofrenia, gangguan afektif dan dengan skizoafektif itu
sendiri. Ada beberapa peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan suatu
kondisi yang bisa dibedakan dari skizofrenia dan gangguan afektif. Namun ada juga
peneliti yang beranggapan bahwa skizoafektif merupakan kondisi yang sebenarnya
sama dengan skizofrenia dan gangguan afektif lainnya. Sedangkan menurut standar
yang terbaru, yaitu dari DSM-5, skizoafektif dikelompokkan ke dalam skizofrenia
dan gangguan psikotik lainnya.(1)
Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gejala psikotik
yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi, manik atau
episode campuran. Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan mental yang
bersifat kronis. Kebanyakan pasien dengan gangguan skizoafektif mengalami
kesalahan diagnosis dengan gangguan bipolar ataupun skizofrenia dikarenakan
manifestasi klinis yang muncul tampak sangat mirip dengan diagnosis yang lainnya.(6)
Menurut DSM-IV-TR, orang yang mengalami gejala psikotik lebih dari dua
minggu dengan tidak adanya gangguan mood yang parah atau kemudian memiliki
gejala depresi atau gangguan bipolar mungkin telah mengalami gangguan
skizoafektif.
4

2.2 Epidemiologi
Prevalensi gangguan skizoafektif yang menetap seumur hidup berkisar antara
0,5 sampai 0,8 persen. Namun, gambaran tersebut merupakan perkiraan dari berbagai
studi mengenai gangguan skizoafektif. Studi populasi belum banyak yang
menunjukkan insidensi dari gangguan skizoafektif ini, namun menunjukkan bahwa ia
merupakan suatu komorbiditas antara skizofrenia dan gangguan afektif. Angka
kejadian skizoafektif meningkat pada wanita. Onset umur pada wanita juga lebih besar
daripada pria. Terkait usia, pada usia tua gangguan skizoafektif tipe depresif lebih
sering ditemukan sedangkan untuk usia muda lebih sering menderita gangguan
skizoafektif tipe campuran. Laki-laki dengan gangguan skizoafektif kemungkinan
menunjukkan perilaku antisosial.(7)
Gangguan skizoafektif lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Awitan diketahui lebih tinggi pada perempuan dengan usia lanjut
dibandingkan laki-laki. Meskipun prevalensi pada perempuan didapatkan lebih tinggi,
namun angka remisi pada perempuan lebih baik dibandingkan pada laki-laki.
Gangguan skizoafektif tipe depresi mungkin lebih sering terjadi pada orang tua
daripada orang muda, dan tipe campuran lebih sering pada dewasa muda daripada
dewasa tua. Prevalensi gangguan tersebut dilaporkan lebih rendah pada laki-laki
daripada perempuan, terutama perempuan menikah; usia awitan untuk perempuan
lebih lanjut daripada laki-laki, seperti pada skizofrenia. Laki-laki dengan gangguan
skizoafektif mungkin memperlihatkan perilaku antisosial dan mempunyai afek
tumpul yang nyata atau tidak sesuai. (17)

2.3 Etiologi
Semenjak skizoafektif diperkenalkan pertama sekali oleh Kasanin sebagai
sebuah klasifikasi, istilah tersebut masih dianggap sulit dipahami dan kontroversial.
Penyebab gangguan skizoafektif belum diketahui secara pasti, tetapi empat model
konseptual telah dikembangkan bahwa apakah skizoafektif ini dapat dipertimbangkan
menjadi sebuat entitas diagnosis yang dependen, salah satu variasi dari skizofrenia,
salah satu variasi gangguan afektif, titik tengah antara skizofrenia dan gangguan
5

afektif, atau malah sebuah gangguan yang tidak benar-benar ada. Beberapa studi
klinis terdahulu menunjukkan bahwa status skizoafektif ini tidak benar-benar terpisah
dari skizofrenia atau gangguan bipolar, melainkan terhubung secara cross sectional
atau terdapat hubungan sebab-akibat.(9)
Meskipun banyak riset genetik mengenai gangguan skizoafektif didasarkan
pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan entitas terpisah,
beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait secara genetik.
Beberapa kebingungan yang timbul pada studi famili pasien gangguan skizoafektif
dapat merefleksikan perbedaan nonabsolut antara dua gangguan primer. Oleh karena
itu, tidak mengherankan bila studi keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif
melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak
ditemukan dalam kerabat proban dengan gangguan skizoafektif tipe bipolar; namun
keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif berisiko lebih tinggi
mengalami skizofrenia daripada gangguan mood.(10)
Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai
prognosis lebih baik daripada pasien skizofrenia dan prognosis lebih buruk daripada
pasien dengan gannguan mood. Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan
skizoafektif memberikan respons terhadap lithium dan cenderung mengalami
perjalanan penyakit yang tidak memburuk.(11)
2.4 Klasifikasi
Pedoman Diagnosis (ICD-X/PPDGJ III) menunjukkan bahwa diagnosis
gangguan skizoafektif dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan
gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau dalam
beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama,
dan sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik
skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Maka dari itu, terdapat tiga subtipe
gangguan skizoafekti, yaitu :
a. Gangguan Skizoafektif Tipe Manik.
Gangguan skizoafektif tipe manik menunjukkan gejala skizofrenia dan manik
dalam satu episode sakit. Suasana perasaan harus meningkat secara menonjol
6

atau ada peningkatan suasana perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi
dengan iritabilitas atau kegelisahan yang meningkat. Dalam episode yang sama
harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua gejala skizofrenia yang
khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia).
b. Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
Gangguan skizoafektif tipe depresif menunjukkan gejala skizofrenia dan depresif
dalam satu episode sakit. Harus ada depresi yang menonjol, disertai oleh
sedikitnya dua gejala depresif yang khas atau kelainan perilaku seperti yang
terdapat dalam kriteria episode depresif; dalam episode yang sama, sedikitnya
harus ada satu atau lebih dua gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana
ditetapkan untuk pedoman diagnostik skizofrenia).
c. Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran
Gangguan skizoafektif tipe campuran menunjukkan gejala skizofrenia dan
gangguan campuran afektif bipolar.(12)
Berdasarkan tipe gangguan skizoafektif, maka tata laksana terapi nya pun
akan berbeda. Terapi untuk skizoafektif tipe manik biasanya digunakan mood
stabilizer, sedangkan untuk tipe depresif maka dapat digunakan antidepresan. Seiring
dalam waktu pelaksanaan terapi, masih dimungkinkan adanya beberapa perubahan
terapi untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini bisa mempengaruhi
outcome terapi dari pengobatan tersebut.(11)
2.5 Tanda dan Gejala
Gangguan skizoafektif adalah gangguan dengan gejala psikotik yang
persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersama-sama dengan masalah
suasana hati (mood disorder) seperti depresi, manik, atau episode campuran. Gejala-
gejala afektif diantaranya yaitu elasi dan ide-ide kebesaran, tetapi kadang-kadang
kegelisahan atau iritabilitas disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide kejaran.
Terdapat peningkatan energi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu,
dan hilangnya hambatan norma sosial. Waham kebesaran, waham kejaran mungkin
ada. Gejala skizofrenia juga harus ada, pasien juga harus memiliki setidaknya satu
(lebih baik bila dua) dari gejala khas skizofrenia yang tercantum dalam International
7

Classification of Disease-10 (ICD-10), antara lain merasa pikirannya disiarkan atau


diganggu, ada kekuatan-kekuatan yang sedang berusaha mengendalikannya,
mendengar suara-suara yang beraneka beragam atau menyatakan ide-ide yang
bizarre. Onset biasanya akut, perilaku sangat terganggu, namun penyembuhan secara
sempurna dalam beberapa minggu.(8)
Tabel 1. Diagnosis Skizofrenia menurut ICD-10
ICD-10 diagnostic guidelines for schizophrenia
One or more of the following symptoms :
a. Thought echo, insertion, withdrawal or broadcast
b. Delusions of control or passivity; delusional perception
c. Hallucinatory voices giving a running commentary; discussing the patient among
themselves or “originating” from some part of the body
d. Bizzare delusions
OR
Two or more of the following symptoms :
e. Other hallucinations that either occur every day for weeks or that are associated with
fleeting delusions or sustained overvalued ideas
f. Thought disorganization (loosening of association, incoherence, neologism)
g. Catatonic symptoms
h. Negative symptoms
i. Change in personal behavior (loss of interest, aimlessness, social withdrawal)

 Symptoms should be present for most of the time during at least 1 month
 Schizophrenia should not be diagnosed in the presence of organis brain disease
or during drug intoxication or withdrawal

Berikut gejala klinis skizofrenia berdasarkan pedoman penggolongan dan


diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ-III).
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi yang asing dan
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”= isi
pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
8

b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan


tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara
jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus). “delusional perception” = pengalaman indrawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat.
c. Halusinasi Auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien pasein di antara
mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dan
dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus
9

jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.(13)

2.6 Diagnosis
Berdasarkan beberapa penelitian, standar yang digunakan sebagai kriteria
untuk mendiagnosis skizoafektif berbeda-beda. Adapun standar yang kebanyakan
digunakan oleh para peneliti adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) ataupun International Classification of Disease (ICD). Kedua
standar ini juga terus dilakukan pembaharuan seiring dengan perkembangan waktu,
sehingga penggunaan kriteria diagnosis yang berbeda ini bisa berakibat kepada terapi
yang harus diberikan.(13)
Diagnosis dari gangguan skizoafektif ditegakkan dari hasil pemeriksaan yang
seksama mengingat luasnya tipe gejala klinis yang ditimbulkan. Berikut merupakan
paduan diagnostik gangguan skizoafektif menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III) ;
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang
lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi
dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun
episode manik atau depresif.
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
10

 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami


suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi pasca skizofrenia).
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik berjenis
manik (F25.0) maupun depresi (F25.1) atau campuran dari keduanya (F25.2).
Pasien lain mengalami satu atau dua episode skizoafektif terselip di antara
episode manik atau depresif (F30-F33).
Pedoman diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif tipe Manik (F25.0)
menurut PPDGJ-III ialah sebagai berikut :
 Kategori ini digunakan baik untuk episode skizofrenia tipe manik yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif
tipe manik.
 Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak
begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang
memuncak.
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi
dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia,
F20,- pedoman diagnostic (a) sampai dengan (d)).
Pedoman diagnostik untuk Gangguan Skizoafektif tipe Depresif (F25.1)
menurut PPDGJ-III ialah sebagai berikut :
 Kategori ini harus dipakai baik untuk episode skizoafektif tipe depresif yang
tunggal, dan untuk gangguan berulang dimana sebagian besar episode didominasi
oleh skizoafektif tipe depresif.
 Afek Depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik
depresif maupun kelainan perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk
episode depresif (F32);
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus jelas ada satu, dan sebaiknya ada
dua, gejala khas skizofrenia (sebagaimana ditetapkan dalam pedoman diagnostik
skizofrenia, F20.-, (a) sampai (d)).
Gangguan Skizoafektif tipe Campuran (F25.2), dapat ditegakkan diagnosisnya
apabila gangguan dengan gejala skizofrenia (F20.-) berada secara bersama-sama
11

dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (F31.6). (13)


Penegakkan diagnosis Gangguan Skizoafektif menurut Diagnostic and
Statistical Manual for Mental Disorder 5 (DSM-V) mencakup :
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Skizoafektif menurut DSM-V
Diagnostic Criteria :
a. An uninterrupted period of illness during which there is a major mood episode ( major
depressive or manic) concurrent with Criterion A of schizophrenia.
b. Delusions or hallucinations for 2 or more weeks in the absence of a major mood episode
(depressive or manic) during the life time duration of the illness.
c. Symptoms that meet criteria for a major mood episode are present for the majority of the
total duration of the active and residual portions of the illness.
d. The disturbance is not attributable to the effects of a substance (eg., a drug of abuse, a
medication) or another medical condition.
295.70 (F25.0) : Schizoaffective Disorder
Specify :
295.70 (F25.0) : Schizo-affective Disorder, Bipolar Type
295.70 (F25.1) : Schizo-affective Disorder, Depressive Type
Specify if : First episode, currently in acute episode; First episode, currently in partial
remission; First episode, currently in full remission; Multiple episodes, currently in acute
episode; Multiple episodes, currently in partial remission; Multiple episode, currently in full
remission; With catatonia; Unspecified.
Specify current severity : 0 (not present) to 4 (present and severe)

2.7 Diagnosis Banding


Adapun diagnosis banding gangguan skizoafektif antara lain:
a. Gangguan psikotik akibat kondisi medik umum
b. Delirium
c. Demensia
d. Gangguan psikotik akibat zat
e. Skizofrenia
f. Gangguan mood dengan gambaran psikotik
g. Gangguan waham
12

Diagnosis banding gangguan skizoafektif biasanya mencakup semua bentuk


gangguan mood dan skizofrenia. Pada setiap diagnosis banding gangguan psikotik,
pemeriksaan medis lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik
gejala. Riwayat penyalahgunaan obat dengan atau tanpa uji penapisan toksikologi
(14)
positif dapat mengindikasikan gangguan terinduksi zat.
Keadaan medis sebelumnya, pengobatan, atau keduanya dapat menyebabkan
gangguan psikotik dan mood. Setiap kecurigaan terhadap kelainan neurologis perlu
didukung dengan pemeriksaan pemindaian (scan) otak untuk menyingkirkan patologi
anatomis dan elektroensefalogram untuk menentukan setiap gangguan bangkitan
yang mungkin (seperti epilepsi lobus temporalis). Gangguan psikotik akibat
gangguan bangkitan lebih sering terjadi daripada yang terlihat pada populasi umum.
Gangguan tersebut cenderung ditandai dengan paranoia, halusinasi, dan ide rujukan.
Pasien epileptik dengan psikosis diyakini mempunyai tingkat fungsi yang lebih baik
daripada pasien dengan gangguan spektrum skizofrenik. Kontrol bangkitan yang
lebih baik dapat mengurangi psikosis. (1)
Adapun pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
fisik berupa berat badan (BMI), lingkaran pinggang, tekanan darah, pemeriksaan
laboratorium berupa DPL, fungsi liver, profil lipid, fungsi ginjal, glukosa sewaktu,
kadar litium plasma, serta penilaian PANSS, YMRS, MADRS.(3)

2.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis


Mengingat ketidakpastian dan berkembangnya diagnosis gangguan
skizoafektif, perjalanan jangka panjang dan prognosis gangguan ini sulit ditentukan.
Berdasarkan definisi diagnosis, kita dapat mengharapkan pasien dengan gangguan
skizoafektif mengalami perjalanan yang sama seperti gangguan mood episodik,
skizofrenik kronik, atau beberapa hasil intermedia. Telah diduga bahwa peningkatan
adanya gejala skizofrenik memprediksi prognosis lebih buruk. Setelah satu tahun,
pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai hasil berbeda yang bergantung
terhadap apakah gejala dominannya afektif (prognosis lebih baik) atau skizofrenik
(prognosis lebih buruk). Satu studi yang mempelajari pasien yang didiagnosis
13

gangguan skizoafektif selama delapan tahun mendapatkan hasil pasien tersebut lebih
menyerupai skizofrrenia daripada gangguan mood dengan gambaran psikotik.(14)
Prognosis skizoafektif lebih baik dari pada skizofrenia tetapi lebih buruk bila
dibandingkan dengan gangguan mood. Perjalanan penyakitnya cenderung tidak
mengalami deteriorasi dan responsnya terhadap litium lebih baik daripada
skizofrenia.(14)

2.9 Terapi

a. Psikofarmaka
Mood stabilizer adalah cara utama pengobatan gangguan bipolar dan
diharapkan dapat bermanfaat pada pengobatan pasien dengan gangguan skizoafektif.
Satu studi yang membandingkan lithium dengan karbamazepin memperlihatkan
superioritas karbamazepin pada gangguan skizoafektif tipe depresif, tetapi tidak ada
perbedaan kedua agen tersebut untuk tipe bipolar. Namun, pada praktiknya,
pengobatan tersebut digunakan luas secara tersendiri, digunakan bersamaan, atau
kombinasi dengan agen antipsikotik.
Pada episode manik, pasien skizoafektif sebaiknya diobati secara agresif
dengan pemberian dosis mood stabilizer dalam kisaran konsenterasi terapeutik sedang
sampai tinggi di dalam darah. Ketika pasien memasuki fase pemeliharaan, pemberian
dosis dapat dikurangi sampai rentang rendah sampai sedang untuk menghindari efek
samping dan efek potensial terhadap sistem organ seperti tiroid dan ginjal, dan
memudahkan konsumsi dan kepatuhan pengobatan. Pemantauan laboratorium
terhadap konsenterasi obat dalam plasma dan penapisan periodic tiroid, ginjal, dan
fungsi hematologis harus dilakukan. Seperti pada semua kasus mania yang sulit
disembuhkan, pemakaian terapi elektrokonvulsif (ECT) harus dipertimbangkan.(18)
Berdasarkan definisi, banyak pasien skizoafektif menderita akibat episode
depresif mayor. Pengobatan dengan antidepresan menyerupai pengobatan depresi
bipolar. Perawatan dilakukan tetapi bukan untuk mencetuskan suatu siklus pergantian
cepat dari depresi menjadi mania dengan antidepresan. Pilihan antidepresan
14

sebaiknya memperhatikan kegagalan atau keberhasilan antidepresan sebelumnya.


Inhibitor re-uptake serotonin selektif (SSRI) (cth., fluoxetine [Prozac] dan sertraline
[Zoloft] sering digunakan sebagai agen lini pertama. Namun pasien teragitasi atau
insomnia dapat disembuhkan dengan antidepresan trisiklik. Seperti pada semua kasus
depresi, pemakaian ECT sebaiknya dipertimbangkan. Seperti telah disinggung
sebelumnya, agen antipsikotik bermanfaat pada pengobatan gejala psikotik gangguan
skizoafektif.(5)
Berikut ditampikan penggolongan obat anti psikotik tipikal dan atipikal :
I. Obat Anti-psikosis Tipikal (Typical Anti Psychotics)
1. Phenotiazine
 Rantai Aliphatic : Chlorpromazine (Largacil)
 Rantai Piperazine : Perphenazine (Trilafon)
Trifluoperazine (Stelazine)
Fluphenazine (Anatensol)
 Rantai Piperidine : Thioridazine (Melleril)
2. Butyrophenone : Haloperidol (Haldol, Serenace,dll)
3. Diphenyl-butyl-piperidine : Pimozide (Orap)
II. Obat Anti-psikosis Atipikal (Atypical Anti Psychosis)
1. Benzamide : Supiride (Dogmatil)
2. Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril)
Olanzapien (Zyprexa)
Quetiapine (Seroquel)
Zotepine (Ludopin)
3. Benzisoxazole : Risperidone (Risperidol)
Aripiprazole (Abilify)(10)
Adapun penatalaksanaan farmakoterapi skizoafektif berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/73/2015
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa adalah sebagai berikut:
15

a. Fase Akut
Kriteria akut yaitu :
1. Total skor Possitive and Negative Symptom Scale – Excited Component (PANSS-
EC) yaitu P4 gaduh-gelisah, P7 permusuhan, G4 ketegangan, G8
ketidakkooperatifan, G14 buruknya pengendalian impuls, minimal satu butir
skornya 4 atau lebih.
2. Kategori nilai the Agitation-Calmness Evaluation Scale (ACES) adalah 1 atau 2 (1
= agitasi berat yaitu meningkatnya aktivitas fisik, banyaknya pembicaraan, dapat
terjadi kekerasan fisik, bila diminta diam pasien tidak bisa mengontrol tanda-tanda
agitasinya, memerlukan perhatia atau supervise terus-menerus atau perlu
pengikatan, 2 = agitasi sedang yaitu peningkatan aktivitas fisik derajat sedang,
banyak bicara dna mungkin mengancam secara verbal, tidak ada kekerasan fisik,
dapat mengontrol tanda-tanda agitasi bila diminta, memerlukan supervise atau
perawatan standar)
3. Nilai Young Mania Rating Scale (YMRS) adalah 20 dan butir skornya 4 yaitu
iritabilitas, pembicaraan, isi dan perilaku agresif.
4. Nilai 4 pada Clinical Global Impression-Severity of Illness (CGI-SI)

1) Skizoafektif Tipe Manik atau Tipe Campuran


Injeksi
• Olanzapin, dosis 10 mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari
• Aripriprazol, dosis 9,75 mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam,
dosis maksimum 29,25 mg/hari.
• Haloperidol, dosis 5mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap setengah
jam, dosis maksimum 20mg/hari.
• Diazepam 10mg/2 mL injeksi intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.
Oral
• Olanzapin 1 x 10 – 30 mg / hari atau risperidone 2 x 13 mg / hari atau quetiapin
hari I (200mg), hari II (400 mg), hari III (600 mg) atau hari I (1x300 mg-XR), dan
16

seterusnya dapat dinaikkan menjadi 1x600 mg-XR) atau aripirazol 1 x 10-30 mg /


hari
• Litium karbonat 2 x 400 mg, dinaikkan sampai kisaran terapeutik 0,8-1,2 mEq/L
(biasanya dicapai dengan dosis litium karbonat 1200-1800 mg / hari, pada fungsi
ginjal normal) atau divalproat dengan dosis 2 x 250 mg / hari (atau konsentrasi
plasma 50-125 µg/L) atau 1-2 x500mg/hari ER.
• Lorazepam 3 x 1-2 mg/hari kalau perlu (gaduh gelisah atau insomnia).
• Haloperidol 5-20 mg/hari
Terapi (Monoterapi)
• Olanzapin, Risperidon, Quetiapin, Aripiprazol
• Litium, Divalproat.
Terapi Kombinasi
• Olz +; Li/Dival Olz + Lor; Olz + Li/Dival+Lor
• Ris + Li/Dival; Ris + Lor; Ris + Li/Dival + Lor
• Que + Li/Dival
• Aripip + Li/Dival; Aripip + Lor; Aripip + Li/Dival + Lor
Lama pemberian obat untuk fase akut adalah 2-8 minggu atau sampai tercapai
remisi absolut yaitu YMRS ≤ 9 atau MADRS ≤ 11 dan PANSS-EC ≤ 3 per butir
PANSS-EC.

2) Skizoafektif, Tipe Depresi


Injeksi
• Olanzapin, dosis 10mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari
• Aripriprazol, dosis 9,75mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam,
dosis maksimum 29,25mg/hari.
• Haloperidol, dosis 5mg/mL injeksi intramuskulus, dapat diulang setiap setengah
jam, dosis maksimum 20mg/hari
• Diazepam 10mg/2 mL injeksi intravena/ intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari
Oral
17

• Litium 2 x 400 m g/hari, dinaikkan sampai kisaran terapeutik 0,8-1,2 mEq/L


(biasanya dicapai dengan dosis litium karbonat 1200-1800 mg/hari, pada fungsi
ginjal normal) atau divalproat dengan dosis awal 3 x 250 mg/hari dan dinaikkan
setiap beberapa hari hingga kadar plasma mencapai 50-100 mg/L atau
karbamazepin dengan dosis awal 300-800 mg/hari dan dosis dapat dinaikkan 200
mg setiap dua –empat hari hingga mencapai kadar plasma 4-12 µg/mL sesuai
dengan karbamazepin 800-1600 mg/hari atau Lamotrigin dengan dosis 200-400
mg/ hari
• Antidepresan, SSRI, misalnya fluoksetin 1 x 10-20 mg/hari
• Antipsikotika generasi kedua, olanzapin 1 x 10 – 30 mg/hari atau risperidone 2 x 1-
3 mg/hari atau quetiapin hari I (200mg), hari II (400 mg), hari III (600 mg) dan
seterusnya atau aripirazol 1 x 10-30 mg/hari.
• Haloperidol 5-20 mg/hari.
Lama pemberian obat untuk fase akut adalah 2-8 minggu atau sampai tercapai
remisi absolut yaitu YMRS ≤ 9 atau MADRS ≤ 11 dan PANSS-EC ≤ 3 untuk tiap
butir PANSS-EC. (15)

b. Fase Lanjutan
1) Terapi psikofarmaka (monoterapi)
 Litium karbonat 0,6-1 mEq/L biasanya dicapai dengan dosis 900-1200 mg /
hari sekali sedengan dosis 500 mg/ hari
 Olanzapin 1 x 10 mg/hari
 Quetiapin dengan dosis 300 – 600 mg/hari
 Risperidon dengan 1-4 mg/hari
 Aripirazol dengan dosis 10-20 mg/hari
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbic dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist), sehingga efektif untuk gejala
positif. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors” (Serotonin-
18

dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.


Penggunaan antidepresan jangka panjang untuk skizoafektif tipe episode
depresi mayor tidak dianjurkan karena dapat menginduksi terjadinya episode manik.
Klozapin dosis 300-750mg/hari dapat diberikan kepada pasien yang refrakter. Lama
pemberian obat fase lanjutan 2-6 bulan sampai tercapai recovery yaitu bebas gejala
selama 2 bulan.
Pasien dikatakan remisi bila:
1. Total skor MADRS ≤ 10.
2. Total skor PANSS adalah ≤ 40.
3. Skor masing-masing PANSS EC adalah ≤ 3(15)

b. Psikososial

Pasien dapat terbantu dengan kombinasi terapi keluarga, latihan keterampilan


sosial, dan rehabilitasi kognitif. Terapi psikososial dimaksudkan agar pasien
skizoafektif mampu kembali mandiri, serta tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat). Termasuk dalam terapi psikososial adalah terapi perilaku, terapi
berorientasi keluarga, terapi kelompok, dan psikoterapi individual. Psikoterapi
individual yang dapat diberikan berupa psikoterapi suportif, client-centered therapy,
atau terapi perilaku. Psikoterapi suportif sebaiknya yang relatif konkrit, berfokus pada
aktivitas sehari-hari. Dapat juga dibahas tentang relasi pasien dengan orang-orang
terdekatnya. Ketrampilan sosial dan okupasional juga dapat membantu agar pasien
dapat beradaptasi kembali dalam kehidupan sehari-harinya.(16)
Menurut pedoman National Institute for Health and Care Excellent (NICE),
setiap pasien dengan gejala skizofrenia harus diberikan terapi Cognitive Behavioural
Therapy (CBT) dan bagi keluarga dekat pasien harus di edukasikan untuk melakukan
terapi keluarga. Terapi CBT bisa membantu pasien dalam mengatasi waham dan
halusinasi berkepanjangan. Tujuannya ialah untuk meringankan penderitaan dan
kecacatan, dan tidak untuk menghilangkan gejala dari gangguan tersebut. Terapi CBT
mencakup
19

 Mencoba untuk menantang atau memiliki pikiran yang berbeda mengenai suara
(halusinasi auditorik) yang didengarkan.
 Membuat strategi untuk mengatasi suara yang didengarkan. Contohnya seperti
mendengarkan musik atau meminta suara yang didengarkan untuk pergi saja.
Dukungan psikologis merupakan hal yang sangat penting bagi pasien yang
mengalami gejala skizofrenia beserta keluarganya. Terapi keluarga dapat membantu
keluarga untuk mengurangi ekspresi yang berlebihan terkait gejala yang dialami
pasien, hal ini terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien.
Art therapies (terapi seni) juga sangat membantu dalam mengatasi gejala
negatif pada pasien. Pasien juga diharapkan bisa berbagi pengalaman bersama
temannya yang mengalami gejala yang sama, hal ini diharapkan dapat membantu
pasien mendapatkan solusi yg tepat untuk mengatasi gejala-gejala yang dialaminya.(17)
20

BAB III
LAPORAN KASUS

I IDENTITAS PASIEN
Nama : Safitri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 06 September 2003
Umur : 16 tahun
Alamat : Baitussalam, Aceh Besar
Status Pernikahan : Belum Menikah
Pekerjaan : Tidak ada
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Aceh
TMRS : 23 Februari 2020
Tanggal Pemeriksaan : 29 Februari 2020 dan 2 Maret 2020

II RIWAYAT PSIKIATRI
Data diperoleh dari:
1. Rekam medis : 0902000811
2. Autoanamnesis : 2 Maret 2020
3. Alloanamnesis : 8 Maret 2020 (via telepon dengan ibu pasien)

A. Keluhan Utama
Mengamuk
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Autoanamnesis:
Pasien mengatakan dibawa ke RSJ oleh keluarganya. Ia menyangkal dirinya
dibawa ke RSJ karena mengamuk, marah- marah dan melempar orangtuanya. Ia
mengaku, gangguan-gangguan yang dikeluhkan oleh orang-orang ini disebabkan
21

karena ia mengalami sakit kepala dan sakit lambung. Pada awal rawatan pasien
mengaku dibawa paksa ke RSJ padahal dia tidak sakit jiwa. Namun, beberapa hari
kemudian pasien mengaku senang berada di RSJ ini karena mendapat banyak teman.
Saat ini pasien mengaku berumur 16 tahun dan tidak sekolah lagi. Pendidikan
terakhir pasien adalah kelas 5 SD. Pasien sekarang tinggal bersama ibunya dan ayah
tirinya. Pasien mengaku bahwa ayah kandungnya sudah meninggal dan ibunya
menikah lagi.
Pasien mengaku sebelumnya pernah dirawat juga di RSJ, namun setelah
dipulangkan pasien jarang minum obat karena merasa sudah sembuh. Pasien juga
mengatakan sering sakit perut dan mengantuk jika minum obat yang diberikan dari
RSJ.
Pasien juga mengaku pernah mendengar bisikan. Bisikan tersebut terdengaar
seperti orang yang memanggil namanya dan mengatakan bahwa orangtuanya jahat
dan tidak peduli lagi padanya, namun wujudnya tidak ada, sehingga ia terkadang
merasa cepat emosi, dan marah pada orang tuanya. Selain itu, pasien juga mengaku
ada bisikan yang mengatakan banyak wanita yang ingin merebut suaminya.
Pada wawancara pertama pasien mengaku sudah menikah dan memiliki suami
seorang TNI dan banyak wanita yag ingin merebut suaminya. Namun pada
wawancara kedua pasien mengaku belum menikah dan memiliki mantan pacar
seorang TNI yang masih mencintainya. Pasien juga mengatakan bahwa mantan
pacarnya tersebut masih sering menghubunginya dan ingin bertemu. Namun pasien
merasa dirinya tidak cocok dengan TNI tersebut dikarenakan ia merasa bahwa laki-
laki itu tidak serius dengannya dan hanya mempermainkannya. Selain mantan
pacarnya, pasien mengakui banyak pria yang mencintainya selama ini.

Alloanamnesis:
Pasien dibawa ke RSJ oleh keluarganya karena mengamuk. Pasien juga suka
menghancurkan barang-barang di rumah dan melempar orangtuanya dengan barang-
barang. Ia suka melempar barang lalu mengambilnya kembali, melakukan aktivitas
yang tidak bertujuan, berjalan mondar-mandir di rumah tidak bisa diam, pasien suka
22

senyum senyum sendiri sambil menari-nari dan bernyanyi keras-keras hingga malam
hari. Keluhan dirasakan memberat sejak 1 minggu terakhir. Pasien sulit tidur di
malam hari. Pasien juga sering memakai baju berupa gaun berwarna terang, mengikat
rambut, dan menggunakan make up. Pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit
jiwa. Saat pasien dipulangkan ke rumah, pasien jarang minum obat karena merasa
dirinya sudah sembuh dan mengeluhkan sakit lambung jika minum obat. Menurut
keluarganya, gangguan-gangguan tersebut terjadi secara tiba-tiba sekitar 5 tahun yang
lalu. Keluarga pasien juga menduga bahwa gangguan yang dialami pasien mungkin
ada hubungannya dengan kematian ayah pasien beberapa tahun sebelumnya.
Sebelum muncul kelainan tersebut pasien mulai jarang masuk sekolah dan
akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Beberapa tahun
kemudian pasien mulai mencoba bekerja di toko pakaian dan toko kue, namun karena
kelainannya sering kambuh dan pasien perlu dirawat kembali di RSJ akhirnya pasien
tidak melanjutkan pekerjaannya lagi.
Pasien merupakan orang yang berbaur dan mudah bersosialisasi dengan orang
di lingkungan sekitarnya. Sehari-hari, pasien berpenampilan rapi dan hobi menghias
diri.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat psikiatrik: Pasien mulai menunjukkan sikap aneh dan ribut sejak
5 tahun lalu (1 tahun setelah ayahnya meninggal). Pasien pernah dirawat
di RSJ Aceh sebelumnya.
2. Riwayat penyakit medis umum: Tidak ada
3. Riwayat merokok : tidak ada
4. Penggunaan NAPZA : Tidak ada

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat gangguan jiwa pada keluarga disangkal.

E. Riwayat Pengobatan
23

Pada tahun 2016 pasien juga dirawat di RSJ Aceh dengan diagnosis
yang sama dan mendapatkan terapi depakote ER 2x250mg, risperidone
2x2mg, arkine 2x2 mg, clozapine 1x100 mg, dan inj. Skizonoate 1 amp/bulan.
Pada tahun 2017 pasien kembali masuk ke IGD RSJ Aceh dengan
keluhan yang sama dan mendapatkan terapi depakote ER 2x250mg,
trifluoperazin 2x5 mg, merlopam 2x2 mg, clozapine 2x50 mg, dan inj.
Skizonoate 1 amp/bulan.
Pada tahun 2018 dan 2019 pasien kembali masuk ke IGD RSJ Aceh
dengan keluhan yang sama dan mendapatkan terapi depakote ER 2x250mg,
risperidone 2x2mg, diazepam 1x2 mg, dan inj. Setelah beberapa lama dirawat,
pasien membaik dan diperbolehkan pulang. Namun pasien mengalami putus
obat sehingga kambuh dan diibawa kembali ke RSJ pada tahun 2020.

F. Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama
ibunya dan ayah tirinya. Pasien adalah seorang yang berbaur dan mudah
bersosialisasi dengan orang di lingkungan sekitarnya. Pasien juga pernah
bekerja di toko pakaian dan toko kue.

G. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah kelas 5 sekolah dasar. Pasien tidak
mau melanjutkan pendidikan formal karena malas melanjutkan sekolahnya
lagi dan mulai menunjukan kelainan jiwa.

H. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat perinatal : Normal
2. Riwayat masa bayi : Normal
3. Riwayat masa anak : Normal
4. Riwayat masa remaja : Normal
24

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Internus
1. Kesadaran : Compos Mentis
2. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
3. Frekuensi Nadi : 82 x/ menit
4. Frekuensi Napas : 20 x/ menit
5. Temperatur : Afebris
B. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICS V Linea
midclavicular sinistra
5. Abdomen : Asites (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)

6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
C. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : (-)
3. Peningatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan
25

IV. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Pasien seorang wanita remaja tampak
wajah sesuai usia, dengan penampilan rapi, memakai gaun berwarna
merah terang, dengan rambut yang diikat, kesan bisa merawat diri.
2. Kebersihan : bersih
3. Kesadaran : Compos mentis
4. Perilaku & Psikomotor : Hiperaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif
B. Mood dan Afek
1. Mood : hipertimik
2. Afek : terbatas
3. Keserasian Afek : Inappropriate Affect
C. Pembicaraan
Spontan
Logorrhea
D. Pikiran
1. Bentuk pikir : non-realistic
2. Arus pikir
 Koheren : (+)
 Inkoheren : (-)
 Neologisme : (-)
 Sirkumstansial : (-)
 Tangensial : (-)
 Asosiasi longgar : (+)
 Flight of idea : (-)
 Blocking : (-)
3. Isi Pikir
 Waham
26

1. Waham Bizzare : (-)


2. Waham Somatik : (-)
3. Waham Erotomania : (+)
4. Waham Paranoid
 Waham Persekutorik : (+)
 Waham Kebesaran : (-)
 Waham Referensi : (-)
 Waham Dikendalikan : (-)
 Thought
1. Thought of Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
 Obsesi : (-)
 Preokupasi : (-)

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Auditorik : (+)
 Visual : (-)
 Olfaktorius : (-)
 Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
F. Intelektual
1. Intelektual : Baik, sesuai tingkat pendidikan.
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
 Waktu : Baik
 Tempat : Baik
 Orang : Baik
27

4 Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka Pendek : Baik
 Jangka Panjang : Baik
H. Daya nilai
 Normo sosial : Baik
 Uji Daya Nilai : Baik
I. Pengendalian Impuls: Terganggu
J. Judgement : Baik
K. Ide kreatif : menyanyi
L. Tilikan : T2
M. Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
N. Pikiran Abstrak : Terganggu

V. RESUME
Pasien N, 16 tahun, dibawa ke IGD RSJ karena mengamuk. Pasien suka
melempar barang, senyum-senyum sambil menyanyi dan menari, tidak bisa tidur
malam hari. Pasien juga sering memakai baju berupa gaun berwarna terang, mengikat
rambut, dan menggunakan make up. Pasien sudah beberapa kali masuk rumah sakit
jiwa sejak 5 tahun lalu setelah ayahnya meninggal. Saat pasien dipulangkan ke
rumah, pasien jarang minum obat karena merasa dirinya sudah sembuh.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
110/70 mmHg, frekuensi nadi 82x /menit, frekuensi napas 20x /menit, temperatur
afebris. Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak perempuan berpenampilan rapi,
perawakan sesuai usia, aktivitas psikomotor: hiperaktif, sikap terhadap pemeriksa:
kooperatif, mood: hipertimik, afek : terbatas, keserasian afek: inappropriate,
pembicaraan: spontan, logorhea (+), bentuk pikir non-realistik, arus pikir : koheren,
dan flight of idea (+), isi pikir : halusinasi auditorik (+). Pasien mengalami tilikan T2
karena merasa dirinya tidak sakit dengan taraf kepercayaan dapat dipercaya. Daya
28

ingat, intelektual, dan memori baik, namun pengendalian impuls dan pikiran abstrak
terganggu.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
2. F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresi
3. F20.0 Skizofrenia Paranoid
4. F30.2 Mania dengan gejala psikotik

VII. DIAGNOSIS KERJA


F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik

VIII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
Axis II : Tidak ada data
Axis III : Tidak ada diagnosis
Axis IV : Masalah keluarga (kematian ayah)
Axis V : GAF 40-31
Problem aktif pasien adalah mengalami relaps sekitar 10 kali. Pasien diduga
mengalami kambuhan akibat putus obat setelah rawatan di RSJ Aceh.

IX. TATALAKSANA
A. Farmakoterapi
Risperidone 2x2 mg
Trihexylphenidyl 2x2 mg
Seroquel XR 1x400 mg
Lorazepam 1x2 mg
Inj. Zyprexa 1 vial (K/P)
B. Terapi Psikososial (Terapi Kerja)
29

1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan menjelaskan


pentingnya kepatuhan minum obat bagi kesembuhan penyakit pasien.
2. Meningkatkan kemampuan sosial pasien seperti membina komunikasi
interpersonal yang baik, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam
mengendalikan impuls
3. Menjelaskan kepada keluarga & orang disekitar pasien mengenai
kondisi pasien dan meyakinkan mereka untuk selalu memberi
dukungan kepada pasien agar proses penyembuhannya lebih baik.
4. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk membantu pasien
dalam mengelola bakat minat yang dimiliki, sehingga pasien dapat
produktif dan dapat mengubah karsa menjadi karya.
C. Terapi Religi
Menjelaskan kepada pasien untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
YME, senantiasa berbuat baik dan beribadah, serta berzikir untuk
menenangkan hati. Menyarankan pasien untuk bermusyahadah, yakni
melakukan yang terbaik di setiap aktivitasnya, melaksanakan amalan-amalan
wajib dan sunnah.

X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

XI. FOLLOW-UP HARIAN


Tgl Pemeriksaan Evaluasi Terapi
S/ pasien berbicara banyak dan -Inj. Zyprexa 1 vial (K/P)
29 Februari 2020
kacau, terkadang berbicara -Seroquel XR 1x400mg
sendiri, mengganti baju di -Lorazepam 1x2 mg
depan orang lain, bernyanyi (malam)
30

terus dan mengatakan tidak


ingin memakai baju RSJ tapi
ingin memakai baju gaun.
Minum obat masih diarahkan.
O/Penampilan : perempuan,
sesuai usia, rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : tidak kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan : spontan
Proses pikir : asosiasi longgar
(+)
Isi pikir :
waham bizzare : (-)
waham somatik : (-)
waham erotomania : (+)
waham paranoid : (+)
- waham kebesaran : (-)
- waham persekutor : (+)
- waham referensi : (-)
- waham dikendalikan : (-)
Mood : irritable
Afek : terbatas
Keserasian : inappropiate
Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1
A/ Gangguan Skizoafektif tipe
Manik
S/ Pasien dapat tidur nyenyak. -Inj. Zyprexa 1 vial (K/P)
01 Maret 2020
Pasien suka benyanyi, menari- -Seroquel XR 1x400mg
31

nari dan terkadang berbicara -Lorazepam 1x2 mg


sendiri. Minum obat masih (malam)
diarahkan.
O/Penampilan : perempuan,
sesuai usia, rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan : spontan
Proses pikir : asosiasi longgarIsi
pikir :
waham bizzare : (-)
waham somatik : (-)
waham erotomania : (+)
waham paranoid : (+)
- waham kebesaran : (-)
- waham persekutor : (+)
- waham referensi : (-)
- waham dikendalikan : (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : Appropiate
Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T1
A/ Gangguan Skizoafektif tipe
Manik
S/ Pasien mengatakan senang di -Inj. Zyprexa 1 vial (K/P)
02 Maret 2020
RSJ karena banyak teman. -Seroquel XR 1x400mg
Pasien sering menyanyi dan -Lorazepam 1x2 mg
menari. Pasien banyak bicara. (malam)
32

Pasien mengaku tidak


mendengar bisikan. Pasien mau
minum obat tanpa paksaan.
O/Penampilan : perempuan,
sesuai usia, rapi
Kesadaran : compos mentis
Sikap : kooperatif
Psikomotor : hiperaktif
Pembicaraan : spontan
Proses pikir : asosiasi longgarIsi
pikir :
waham bizzare : (-)
waham somatik : (-)
waham erotomania : (+)
waham paranoid : (+)
- waham kebesaran : (-)
- waham persekutor : (+)
- waham referensi : (-)
- waham dikendalikan : (-)
Mood : hipertimik
Afek : terbatas
Keserasian : Appropiate
Halusinasi auditorik (+)
Tilikan : T2
A/ Gangguan Skizoafektif tipe
Manik

BAB IV
PEMBAHASAN
33

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan  terhadap  pasien  ini  ditemukan


adanya gangguan persepsi dan isi pikir yang bermakna serta menimbulkan suatu
distress (penderitaan) dan disability (hendaya) dalam pekerjaan dan kehidupan sosial
pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami gangguan mental.
Berdasarkan data-data yang didapat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak
ditemukan riwayat demam tinggi atau kejang sebelumnya ataupun kelainan organik.
Hal ini dapat menjadi dasar untuk menyingkirkan diagnosis gangguan mental organik
dan penggunaan zat psikoaktif.
Pada pasien didapatkan halusinasi auditorik berupa suara-suara yang
memanggil namanya dan mengatakan bahwa orangtuanya jahat dan tidak peduli
kepadanya. Terdapat pula waham  curiga  berupa banyak wanita yang ingin merebut
suaminya. Gangguan ini dialami semenjak 5 tahun yang lalu dan memberat 1 minggu
sebelum masuk RSJ. Data ini menjadi dasar untuk diagnosis bahwa pasien memenuhi
gejala A skizofrenia, sekaligus menyingkirkan diagnosis gangguan psikotik akut.
Selain itu, pasien juga memiliki gejala-gejala gangguan afektif tipe manik berupa
mood hipertimik dan sikap psikomotor hiperaktif yang tampak dari tingkah laku
pasien yang selalu menyanyi, menari, senyum-senyum saat bercerita, dan terkadang
tertawa-tawa. Keluarga pasien juga mengeluhkan bahwa pasien tidak tidur saat
malam hari, selalu mondar mandir dan bernyanyi serta menari. Pasien sangat
bersemangat dan sangat banyak berbicara (logorhea), terkadang topik-topik
pembicaraan berganti-ganti dengan amat cepat dan kacau (flight of idea). Pasien juga
mengatakan bahwa banyak lelaki yang mencintainya (erotomania) karena ia merasa
dirinya cantik jelita (waham kebesaran). Berdasarkan anamnesis psikiatri dan
pemeriksaan status mental, didapatkan gangguan afektif tipe manik dan gejala
skizofrenia yang menonjol pada saat bersamaan, dan sudah berlangsung sejak lama
sehingga hal tersebut menjadi dasar untuk mendiagnosis bahwa pasien menderita
gangguan skizoafektif tipe manik. Aksis II tidak ada diagnosis karena dari
alloanamnesis dengan adik pasien hanya didapatkan bahwa sebelumnya pasien
seorang pendiam dan tidak terlalu aktif bergaul, juga tidak didapatkan gangguan
34

tumbuh kembang pada usia kanak-kanak dan remaja. Hal ini menyingkirkan
diagnosis retardasi mental. Pada aksis III juga tidak ada diagnosis karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan medis umum.
Untuk aksis IV, pasien mulai mengalami gejala setelah ayahnya meninggal, sehingga
pada aksis IV diberi diagnosis “masalah keluarga”. Penilaian terhadap kemampuan
pasien untuk berfungsi dalam kehidupannya menggunakan skala Global Assessment
of Functioning (GAF). Pada saat dilakukan wawancara, skor GAF 40-31 (beberapa
disabilitas dalam berhubungan dengan realita dan komunikasi, disabilitas berat dalam
beberapa fungsi. Hal  ini  ditandai  dengan  pasien  mampu melakukan aktivitas sehari
hari secara mandiri namun perlu diarahkan disertai gejala psikotik.(1)
Pasien ini mendapatkan terapi Risperidon 2x2 mg, Trihexylphenidil 2x2mg,
Seroquel XR 1x400 mg, dan Lorazepam 1x2mg. Pemberian risperidone pada
pasien sebagai antipsikotik atau mengatasi gejala skizofrenia yang dialami pasien.
Menurut American Psychiatric Association, antipsikotik generasi kedua (atipikal),
kecuali klozapin, merupakan terapi lini pertama pada skizofrenia. Pada dosis
ekivalen, antipsikotik memberikan efek primer (efek klinis) yang sama. Perbedaan
tampak pada efek sekunder (efek samping) seperti sedasi, otonomik, ekstrapiramidal.
Sehingga, pemilihan jenis antipsikotik mempertimbangkan gejala psikotik yang
dominan dan efek samping obat. Adapun efek samping obat risperidon adalah
mengantuk/ insomnia, agitasi, cemas, nyeri kepala, peningkatan berat badan, mual
dan muntah, dyspepsia, nyeri abdominal, gangguan menstruasi dan ginekomastia.(10)
Jika antipsikotik tertentu tidak memberikan respons klinis dapat diganti dengan
antipsikotik dari golongan berbeda. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala
positif, pasien diberikan antipsikotik atipikal. Sebaliknya, bila gejala positif lebih
menonjol dibandingkan gejala negatif maka pilihannya adalah antipsikotik tipikal.
Antipsikotik atipikal (generasi kedua) sering disebut sebagai serotonin dopamine
antagonis (SDA) yang bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamine pada
keempat jalur dopamin di otak. Risperidone merupakan antipsikotik atipikal generasi
kedua yang efektif mengatasi gejala negatif pada penderita skizofrenia dan memiliki
efek samping ekstrapiramidal yang rendah.(18)
35

Trihexylphenidil merupakan obat yang sering digunakan apabila dijumpai


adanya gejala sindrom ekstrapiramidal sebagai efek samping pemberian antipsikotik.
Obat ini merupakan golongan obat antikolinergik/antimuskarinik. Hal ini juga
berkaitan dengan pasien yang pada masa rawatan terdahulu datang dengan keluhan
kaku akibat konsumsi obat anti psikotik. Kerja antiparkinson obat antimuskarinik
dengan cara mengurangi efek kolinergik sentral yang berlebihan akibat adanya
defisiensi dopamin. Obat antimuskarinik bermanfaat pada parkinsonisme yang
diinduksi oleh obat, namun tidak digunakan pada parkinson yang idiopatik, karena
obat ini kurang efektif dibandingkan obat dopaminergik dan dapat menyebabkan
kerusakan kognitif. Obat ini juga memiliki efek menekan dan menghambat reseptor
muskarinik sehingga menghambat sistem saraf parasimpatik dan juga memblok
reseptor muskarinik pada sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi. Pemberian
secara oral dapat memberikan efek yang cukup baik. Pemberian trihexylphenidil ini
sebagai terapi efek samping sindrom ekstrapiramidal yang diinduksi oleh obat
antipsikotik dan obat kerja sentral lainnya seperti golongan dibenzodiazepine,
butyrophenon dan thioxanthenes. Adapun efek samping dari obat trihexylphenidil
adalah konstipasi, pusing, sulit BAK, mulut kering, pandangan buram, dan mual.
Pemberhentian obat ini harus secara tappering off, dosis awal dapat diberikan 1-4
mg/2-3x/hari, rentang dosis 10-20mg/hari, tergantung respon pasien.(19)
Pasien juga mendapatkan terapi Lorazepam 1 x 2 mg saat malam hari.
Lorazepam merupakan obat anti ansietas dengan golongan benzodiazepin. Indikasi
penggunaan dari obat anti ansietas ini adalah pada pasien dengan gangguan cemas
dan gelisah atau pada pasien yang tidak mampu istirahat dengan tenang. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, pasien sulit tidur pada malam hari. Namun obat ini
memiliki beberapa efek samping diantaranya kantuk berlebih, badan terasa lemah,
disorientasi, tremor, vertigo, mual, konstipasi, dan peruubahan nafsu makan. Untuk
mengatasi kantuk berlebih yang dapat ditimbulkan dari penggunaan obbat ini, obat ini
sebaiknya diberikan pada malam hari agar tidak mengganggu aktivitas sehari- hari
dan pasien dapat tidur dengan baik.(15)
36

Efek samping lainnya yang sering muncul pada penggunaan obat untuk
gangguan jiwa adalah pusing, nyeri kepala, dan gangguan gastrointestinal. Untuk itu
dibutuhkan kontrol ulang rutin pasien ke rumah sakit atau puskesmas untuk
mengatasi efek samping obat yang timbul. Jika memang dibutuhkan, obat dapat
diganti dengan obat jenis lainnya dengan fungsi yang sama namun efek samping yang
lebih sedikit, atau dapat diberikan terapi tambahan untuk mengurangi efek samping
yang timbul.(15)
Pasien memiliki riwayat masuk Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh pada tahun
2016, 2017, 2018, dan 2019. Keluarga pasien mengatakan kekambuhan terjadi
apabila pasien yang tidak mengkonsumsi obat secara teratur. Literatur mengatakan
apabila seseorang telah bereaksi terhadap perawatan medis (farmakologis), hal yang
sangat penting dilakukan adalah tetap melanjutkam pengobatan sesuai resep yang
telah dibuat oleh dokter. Secara umum, orang dengan gangguan skizoafektif sangat
diharuskan untuk melanjutkan konsumsi mood stabilizer dalam waktu yang lama
(setidaknya dua tahun). Putusnya terapi farmakologi dengan cepat dapat
menimbulkan kekambuhan dari gangguan skizoafektif. Apabila seseorang dengan
skizoafektif mengalami beberapa episode depresi ataupun mania, dokter yang
bertanggung jawab akan meresepkan pengobatan tersebut dalam jangka waktu yang
lebih panjang. Apabila episode mania atau depresi muncul ketika pasien sedang
mengkonsumsi mood stabilizer, dokter nantinya akan meresepkan obat jangka pendek
yang dapat menekan gejala tersebut.(11)
Sembuh adalah kondisi “pulihnya kembali keutuhan atau integritas struktur
dan fungsi” setelah mengalami kondisi sakit. Istilah remisi (sembuh bebas gejala)
menunjukkan pasien, sebagai hasil terapi medikasi terbebas dari gejala-gejala
halusinasi, tetapi tidak melihat apakah pasien itu dapat berfungsi atau tidak. Istilah
recovery (sembuh tuntas) biasanya mencakup disamping terbebas dari gejala-gejala
halusinasi, delusi dan lain-lain, pasien juga dapat bekerja atau belajar sesuai harapan
keadaan diri pasien masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai kondisi sembuh dan
dapat berfungsi, seorang pasien halusinasi memerlukan medikasi, konsultasi
37

psikologis, bimbingan social, latihan keterampilan kerja, dan kesempatan yang sama
untuk semuanya seperti anggota masyarakat lainnya.(22)
Untuk mencegah gejala muncul kembali atau semakin memburuk setelah
rawatan di rumah sakit, pasien diharapkan tidak untuk menghentikan terapi
farmakologis secara mendadak, walaupun pasien sudah merasa cukup baik, karena
hal ini akan memicu terjadinya kekambuhan. Proses pemberhentian terapi
farmakologis tentunya harus berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter yang
bersangkutan. (15)
Pada pasien ini kemungkinan terbesar kekambuhannya adalah
ketidakteraturan minum obat, dikarenakan pasien sudah merasa sembuh dan adanya
efek samping dari obat. Adapun penanganan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan adalah permberian terapi
kepatuhan. Terapi kepatuhan ini merupakan intervensi yang didasari pada kombinasi
pendekatan kognitif dan motivational interviewing (MI). (20)
Panduan pelaksanaan terapi kepatuhan:
1. Mengajak pasien untuk melihat kembali sejarah penyakitnya untuk memastikan
konseptualisasi dari penyakitnya dan melihat sikapnya terhadap masalah
2. Mencoba menghubungkan penghentian medikasi dengan kekambuhan
3. Secara berhati- hati mencoba membicarakan penyangkalan pasien terhadap
konsisinya
4. Menanyakan kepada pasien mengapa orang lain berfikir ada masalah pada
dirinya
5. Secara berhati- hati mencoba membicarakan kebutuhan pasien terhadap
pengobatan
6. Secara perlahan membicarakan kepada pasien mengenai konsekuensi social
7. Menyediakan informasi dasar mengenai simtom psikotik
8. Mendiskusikan kepada pasien perasaan khawatir, kurang percaya diri mengenai
penanganan dan sikap pro kontra terhadap medikasi
38

9. Secara terbuka memprediksi beberapa hal yang membuat mereka khawatir


mengenai pengobatan seperti ketakutan adiksi, kehilangan control, dan
kehilangan kepribadian.
10. Menginformasikan dan mengkoreksi miskonsepsi jika pasien bingung mengenai
symptom dan efek samping obat.
11. Mendiskusikan kecenderungan alamiah untuk berhenti menggunakan medikasi
ketika sudah merasa lebih baik
12. Meluruskan pemahaman bahwa obat tidak hanya diminum ketika muncul gejala
namun juga untuk mencegah munculnya gejala penyakit.
13. Meminta pasien untuk melihat keuntungan langsung dari pengobatan dan
keuntungan tidak langsung seperti dapat berinteraksi lebih baik dengan orang
lain
14. Memberikan umpan balik mengenai efek samping pengobatan yang dilaporkan
oleh pasien
15. Analogikan dengan sakit fisik seperti hipertensi dan diabetes, bahwa gangguan
yang dialami membutuhkan penanganan yang berkelanjutan.
16. Menekankan pada pentingnya untuk tetap dalam kondisi yang baik untuk meraih
tujuan tertentu.(21)
Terapi psikofarmaka  harus  diberikan  dalam  jangka  waktu  yang  lama.  Hal
ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relaps). Keberhasilan
terapi gangguan jiwa tidak hanya terletak pada terapi obat psikofarmaka dan jenis
terapi lainnya, tetapi juga peran serta keluarga dan masyarakat turut menentukan.
Untuk mencegah kekambuhan, banyak hal lainnya yang dapat dilakukan selain
menganjurkan pasien untuk konsisten dalam terapi farmakologi, diantaranya dengan
cara memberikan psikoedukasi yang baik kepada pasien terkait kondisinya. Selain itu
perawatan berbasis keluarga juga sangat diperlukan, keluarga diharapkan lebih
memahami kondisi sakit mental yang dialami pasien, memahami pula berbagai cara
yang dapat dianjurkan kepada pasien untuk menangani gejala yang timbul, serta
keluarga dapat menunjang perbaikan komunikasi pada pasien. Hal ini bisa
membangkitkan perbaikan fungsi sosial di dalam diri pasien sehingga pasien bisa
39

semakin produktif dari hari ke hari, dan tentunya dapat meminimalisir angka
kekambuhan. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan Electro-convulsive Therapy
(ECT) juga dinilai sangat baik dalam mencegah terjadinya kekambuhan pada pasien
dengan gangguan skizoafektif. (16)
.
40

BAB V
KESIMPULAN

Gangguan skizoafektif merupakan suatu gangguan dengan gejala psikotik


yang persisten seperti halusinasi atau delusi, dimana gejala ini terjadi bersamaan
(simultaneously) dengan masalah suasana perasaan (mood disorder) seperti depresi,
manik atau episode campuran. Gangguan skizoafektif merupakan permasalahan
mental yang bersifat kronis. Sebagian diantara paasien gangguan skizoafektif
mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang tipe manik, depresif, maupun
campuran keduanya.

Terapi pada pasien skizoafektif terbagi menjadi terapi farmakologis dan terapi
non-farmakologis. Pada kasus gangguan skizoafektif tipe manik terapi kombinasi
yang diberikan adalah terapi anti-psikotik dan mood stabilizer, diantaranya mencakup
Risperidone 2 mg, Seroquel XR 400 mg, Trihexylphenidil 2mg, dan Lorazepam 2mg.
Terapi non-farmakologis yang dianjurkan untuk gangguan skizoafektif tipe manik
diantaranya Cognitive-Behavioural Therapy, Psikoedukasi, Family-Based Service,
Art therapies, dan lain sebagainya. Prognosis bisa diperkirakan dengan melihat
seberapa jauh menonjolnya gejala skizofrenia nya, atau gejala gangguan afektif nya.
Semakin menonjol dan persisten gejala skizofrenianya, maka prognosisnya akan
semakin buruk. Sebaliknya apabila gejala-gejala afektifnya tampak lebih menonjol,
maka prognosis diperkirakan akan lebih baik.
41

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan HI, Sadock BJ. 2010. Buku ajar Psikiatri Klinis Edisi ke 2. Jakarta:
EGC
2. Supratanda, Feri Eka. 2015. Penatalaksanaan Skizoafektif Tipe Depresif
Dengan Sindrom Ekstrapiramidal. Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung
3. Rades,Miranda, Wulan,AJ. 2016. Skizoafektif Tipe Campuran. Lampung :
Jurnal Medula Unila
4. Marneros,A. 2015. Schizoaffective Disorder. Arlington Virginia: National
Alliance of Mental Illness
5. The National Alliance on Mental Illness. 2012. Schizoaffective Disorder.
Arlington Virginia : NAMI
6. Birrel, Marwick. 2013. Psychiatry 4th ed. United Kingdom: Elsevier Inc
7. American Psychiatryc Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 5th ed. Arlington VA: American Psychiatryc Association
Publishinh
8. Kharisma, A.A Gede Ocha Rama KP. 2015. Gangguan Skizoafektif Tipe
Manik. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas Udayan
9. Maslim, Rusdi.2016. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FKUnika Atmajaya
10. Maslim, Rusdi. 2014 Penggunaan Klinis Obat Psikotropik 4th ed. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
11. Katona,Cornelius, Cooper,Claudia, Robertson,Mary. 2012. Psychiatry at a
Glance. 5th ed. London: Wiley Blackwell
12. Mental Illness Research, Education and Medical Center. 2016. What Is
Schizoaffective Disorder? Causes, Symptoms, Diagnosis, and Treatment.
California : VA Desert Pacific Health Care Network
13. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Edisi Keti. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2017.

14. Heckers S. Is schizoaffective disorder a useful diagnosis?. Current Psychiatry


Reports. 11(4), 332–337 (2009)
42

15. Olfson, Mark. 2017. Treatment Patterns for Schizoaffective Disorder and
Schizophrenia Among Medicaid Patients. Diakses melalui:
www.psychiatryonline.org/data/Journals/
16. Ken Duckworth, M.D., and Jacob L. Freedman, M.D. 2012. Schizoaffective
disorder.

17. Jibson MD. Schizophrenia: Clinical presentation, epidemiology, and


pathophysiology. http://www.uptodate.com. 2011.

18. Purwandityo AG, Febrianti Y, Sari CP. Pengaruh Antipsikotik terhadap


Penurunan Skor The Positive and Negative Syndrome Scale-Excited
Component. J Farm Klin Indones 2018;7(1):19–29.

19. Azmi AN, Desrini S. A Cross Sectional Study of Trihexyphenidyl Utilization


on Patient Receiving Antipyschotic Therapy. Indones J Med Heal 2015;102–8.

20. Arkowitz,H., Westra, H.A., Miller,W.R., & Rollnick, S. 2008. Applications of


Motivational Interviewing. New York: Guilford Press.

21. Tay, S.C. 2007. Compliance Therapy. Journal of Psychological Nursing 45(6);
29-38.

22. Baihaqih. 2015. Psikiatri Konsep Dasar & Gangguan. Refika Adistama.
Bandung

Anda mungkin juga menyukai