Anda di halaman 1dari 1

Parafrasa Pusi Taut Kalut

Akan dibawa ke mana negera Indonesia ini jika para petingginya saling sikut, merasa
lebih pantas menjadi pemimpin, tetapi untuk memperkaya diri sendiri tidak memikirkan
negara yang kini dalam krisis. Semua berkoar, mencari muka dan suara, bahkan
mendahulukan sensasi daripada prestasi. Akhirnya, yang menang adalah dia yang punya
kekuatan bukan pemikiran. Kebenaran diam karena dibungkam.
Menjadi pemimpin dengan jalan atau usaha yang tidak benar akan membuat negara
ini semakin terjerumus dalam lembah kemunduran. Pertengkaran elit politik kerap terjadi,
kritik dan protes di sana sini, kesenjangan sosial sangat jelas di mata, para penjilat pemakan
duit rakyat melata di mana-mana. Semua terjadi karena urusan dipegang oleh yang bukan
ahlinya.
Ketegasan dianggap laku teror dimana justru meneror masyarakat. Akhirnya
ketidakpercayaan mulai merambat. Hal ini kian diperparah oleh hukum yang tebang pilih.
Rakyat kecewa, marah, benci namun semua ditahan lalu menggumpallah dendam.
Negara ini diselimuti ketidakjelasan peraturan dan hukum. Keadaan ini menjadi
ladang subur bagi aktor-aktor antagonis tapi berlakon protagonis meraup keuntungan. Aktor
protagonis tak sedikit pula yang berubah antagonis demi bertahan hidup meski hati mereka
berontak. Agama dan susila tak lagi jadi tolak ukur kebenaran. Kepentingan, itu yang jadi
raja.
Saling percaya para petinggi kini hilang. Berebut pendukung dan pengikut. Rasa malu
dan takut dibenci diabaikan demi ramai follower. Kawan hanya sesaat, sebab semua dekat
demi kepentingan masing-masing. Ketenangan dan kedamaian hanya kamuflase dari
ketakutan akan berakhir kesenangan.
Marilah bermusyawarah dengan lapang dada demi keberlangsungan negara. Kita
pikirkan bagaimana penerus kita kelak. Perhatikan dengan seksama, bagaimana negara
tercinta ini begitu rusak oleh saling tikung, saling hujat, saling serang. Apa harus damai di
Indonesia ini terciptakan oleh senjata?

Anda mungkin juga menyukai