Anda di halaman 1dari 4

Yang Perlu Dipikirkan selain tentang Penghapusan Mapel Sejarah

Sukaak banget. Kemendikbud seakan tidak pernah kehabisan jalan untuk menarik perhatian.
Menjadi salah satu protagonis utama di masa pandemi ini, ternyata tidak menyurutkan semangat
Kemendikbud untuk memunculkan konten diskursus baru: menghapuskan mata pelajaran sejarah
dari kurikulum SMA-SMK. Memang sih masih draf dan kurikulum pun baru akan diujicoba
pertengahan 2021 mendatang. Tapi bagi Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), untung saja masih
draf, sehingga masih bisa direspon dengan mediasi dan petisi yang setidaknya ditandatangani 9 ribu
akun dengan menarik simpati pesohor Eros Djarot, Jaya Suprana, dan politisi PDIP Eva K Sundari yang
menyebut langkah penyederhanaan kurikulum ini sebagai 'pedhot oyot'.

Respon Kemendikbud? Santuy as usual.

"Rencana penyederhanaan kurikulum masih dalam tahap diskusi dengan seluruh komponen terkait,"
kata Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Maman Fathurrahman. Ia menambahkan
bahwa menurutnya, sejarah merupakan komponen penting bagi masyarakat Indonesia. Pihaknya
menyadari mata pelajaran sejarah harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.

Lha trus, kalau memang penting, kenapa mau dihapus?

Sebenarnya bukan dihapus. Tapi dilebur dan disederhanakan. Kemungkinan untuk memberi ruang
pada bentuk mapel atau konsep pembelajaran lain yang (dianggap) lebih relevan menghadapi
zaman. Peleburannya nanti di kelas X dimana sejarah akan jadi satu mapel IPS bersama mapel
serumpun yang lain. Sebenarnya tidak hanya sejarah, mapel rumpun IPA pun bernasib sama. Biologi,
kimia, fisika digabung di kelas X. Petisinya mungkin akan bertambah besok. Keriuhan bisa saja
semakin besar.

Semua bermula dari sini: Draf Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional. Di
dalamnya berisi rancangan kurikulum baru yang rencananya mulai diujicobakan Maret tahun depan.
Entah bagaimana kemudian isu menajam pada penghilangan mapel sejarah. Bola kemudian bergerak
liar di media masa. Memang, segala yang berhubungan dengan sejarah punya sisi sensitifitas
tersendiri di bangsa kita. Bisa dipahami, kata sejarah tentu punya makna mendalam bagi bangsa
pejuang yang selalu bangkit dan tumbuh dari tragedi. Isu PKI bahkan masih laku saja dijual sampai
jaman pagebluk. Begitu pula sejarah sebagai mapel, ternyata juga punya sensualitas untuk menarik
Fadli Zon dan Eva Sundari berada dalam satu sisi yang sama untuk mengeluarkan pernyataan
dramatis "Indonesia bubar" dan "Aku menangis meraung-raung, gulung-gulung". Creepy...

Tapi, entah itu dilebur, atau dipangkas, atau diubah wujud, konsep reduksi mapel sejarah dan mapel
lain ini tetap pantas mendapat tempat di ruang kekhawatiran guru, disamping beberapa hal lain
yang layak untuk masuk daftar kekhawatiran guru terkait konsep kurikulum baru ini. Biasa lah,
barang baru.

Gimana merespon peleburan mapel dan penambahan mapel?

Seperti disinggung diawal tadi, ada beberapa mapel yang berpotensi hilang atau berkurang jamnya
di rancangan kurikulum baru ini. Namub ada pula yang bangkit dari mati suri. Dalam daftar mapel
wajib kelas X jenjang IPA atau IPS, setidaknya ada 10 mapel wajib. Berkurang lumayan dibanding
sekarang sekitar 15 mapel. Rumpun mapel IPA jadi satu, pun mapel IPS. Informatika muncul lagi
setelah dihilangkan dari K13 dan diganti dengan prakarya. Lalu ada mapel baru, atau mungkin
konsep baru, program pengembangan karakter yang terpisah dari mapel agama dan budi pekerti. Di
kelas XI dan XII, mapel wajib berkurang lagi menjadi 7, yakni agama, bahasa Indonesia, bahasa
Inggris, PPKn, seni budaya dan prakarya, olahraga, dan matematika. Mapel penjurusan ala carte
yang disediakan untuk kelompok peminatan IPS ada 5 mapel dan IPA 7 mapel dengan infomatika
masuk di dalamnya. Ketentuannya, siswa punya jatah 3 pilihan, bisa memilih 2 mapel di kelompok
peminatannya dan 1 mapel dari lintas peminatan. Disinilah letak headline potensi hilangnya mapel
sejarah di kelas XI dan XII jika tidak ada yang milih. Nasib yang sama sebenarnya juga bisa dialami
mapel geografi, ekonomi, antropogi, biologi, kimia, fisika dan rumpun IPA/IPS lainnya. Pengalaman
mapel TIK yang hilang di K13 lalu dan berkurangnya jam bahasa Inggris dan beberapa mapel lain
cukup membuat debar-debar hati guru mapel.

Kenapa jam mengajar itu penting? Ya mau ngajar apa kalau ga ada jam. Kehilangan jam berarti harus
siap bemutasi, mutasi ke sekolah lain atau mutasi rubah wujud ngajar mapel lain. Kekurangan jam
berpengaruh ke sertifkasi, jika standar minimal masih tetap 24 JP. Hilang tunjangan, finansial goyah.
Fokus ngajar bisa geser jadi fokus cari tambahan (lagi).

Pada K13 sekarang, ada ruang penambahan mapel lintas minat untuk mengakomodir kekurangan
jam mengajar mapel tertentu. Tapi jika paradigma kurikulum baru nanti adalah penyederhanaan
beban belajar siswa, ruang lintas minat ini sama saja beban mapel tetap besar, atau bahkan malah
bertambah. Opsi lain, kekurangan jam mengajar bisa direspon dengan menambah daftar linieritas
mapel. Namun, ini justru semakin menambah lebar jurang kemungkinan guru mengajar di luar
spesialisasinya. Di saat kompetensi guru masih jadi kelemahan, mengajar di luar spesifikasinya
semakin nampak laksana menggarami luka sembilu.

Kebutuhan jam mengajar erat sekali kaitannya dengan pemetaan guru, baik pegawai tetap maupun
honorer. Ketersediaan daftar menu mapel berpengaruh pada kebutuhan guru mapel pengajarnya.
Perubahan porsi jam atau bahkan penghilangan dan penambahan mapel baru seketika merubah
peta persebaran guru. Ada yang diberhentikan, ada yang harus rekrutmen lagi, ada yang terpaksa
mengajar mapel lain yang linier. Saya masih ingat betapa shocknya guru TIK yang mapelnya hilang di
K13 diganti prakarya dan akhirnya memilih mengalah untuk belajar masak. Melucuti passion. Lalu
nanti ketika kurikulum baru ada mapel informatika lagi, arus bakalan berbalik. Melihat tanda-tanda
adanya materi coding dan pemrograman, kayaknya tidak sembarangan bisa pakai ilmu linieritas
mapel. Atau mungkin, guru fisika yang kekurangan jam siap?

Saat ketidakmerataan guru masih jadi problem klasik yang bikin kaget tiap menteri, bisa terbayang
revolusi mapel di kurikulum baru akan berdampak seperti apa. Pemetaan mungkin akan memakan
waktu. Tapi apa salahnya bersiap dari sekarang. Siap dipindahkan kemanapun di wilayah NKRI?
Kuyakinkan diri untuk berkata 'hayook gaaas'.

Kurikulum ganti lagi?

Sedari awal memang sudah terbayang akan seperti ini jadinya. Penghapusan UN yang sumatif diganti
asesmen kompetensi minimum (AKM) yang formatif, serta boomingnya jargon merdeka belajar
sudah cukup menandakan ada arah baru pada haluan kapal. Guru-guru pasca reformasi sudah cukup
teruji dengan 4 kurikulum dalam 20 tahun. KBK 2005, KTSP 2006, K13 2013, dan K13 revisi 2016.
Idealnya kurikulum diperbaharui per dasawarsa. Mata kuliah kajian kurikulum bilangnya begitu.

Target K13 pada 2020 ini semua sekolah sudah menggunakan kurikulum ini. Mungkin targetnya
sudah tercapai sehingga bolehlah untuk ganti kurikulum. Yang penting semua sudah mencicipi.
Entah didasarkan pada evaluasi positif atau negatif pada K13, kurikulum baru ini dikembangkan
dengan lesatan paradigma termutakhir. Pembelajaran sesuai kemampuan siswa. Guru harus
memerhatikan dan mengakomodir kebutuhan dan minat peserta didik. Tidak ada keseragaman
kompetensi. Guru dimerdekakan untuk mengajar sesuai level yang tepat untuk anak didiknya. "Anak
tidak belajar kalau terlalu mudah, anak tidak belajar kalau terlalu sulit", kata Menteri Nadiem
Makarim.

Persoalannya, apakah guru siap diberi kebebasan, siswa siap memilih kebutuhannya, dan sekolah
siap mengakomodir keduanya?

Terus terusan berlindung dibalik pemakluman akan rendahnya kompetensi guru lama-lama
membosankan juga. Kompetensi seharusnya bisa ditingkatkan dengan pelatihan, sistem tagihan
kinerja, dan tentunya kemauan dan tekad. Tapi pesimisme guru dan parktisi pendidik dalam
menghadapi kurikulum merdeka belajar sepertinya lebih kepada rasio guru : siswa. Idealnya proses
interaksi belajar dapat terbangun dengan maksimal di kondisi kelas berisi 10-20 anak, menurut
Locastro dalam jurnal Large Size Class. Bounding guru dengan siswa dapat berjalan dengan
maksimal. Guru dapat bekerja optimal untuk memetakan dan mengakomodir kebutuhan siswa
sesuai bakat dan minatnya di kondisi kelas ideal seperti itu. Perubahan sekecil apapun dari peserta
didik dapat dimonitor dan dapat segera direspon dengan umpan balik yang tepat. Desain merdeka
belajar nantinya akan seperti ini. Tapi melihat realitas rombel yang selalu berada di mode maksimal,
36 siswa, mampukah guru memastikan tidak ada satupun siswa yang tertinggal?

Dari sisi siswa, kesiapan untuk menentukan pilihannya sendiri harus betul-betul disiapkan. Rata-rata
anak di Indonesia belum berangkat dari iklim rumah yang demokratis dan otoritatif. Adat dan
budaya rumah tangga di Indonesia belum menempatkan anak sebagai individu bebas yang memiliki
hak kemudi atas dirinya. Kepatuhan kepada orangtua masih dianggap kriteria dasar 'anak baik'.
Budaya ini tidak salah. Patuh itu baik. Tapi jika standar kepatuhan itu kaku dan berasal dari sumber
tunggal yang pemikirannya tidak luwes, maka istilah yang tepat adalah pengekangan. Otoriter. Tidak
ada negosiasi, tidak ada tawar menawar. Kemudian anak tersebut datang ke sekolah dan disuruh
milih mau ikut mapel apa? Sedangkan memilih jurusan peminatan saja orang tua ngotot minta
ngklik. Program parenting sepertinya perlu diadakan dulu.

Lalu sekolah, siapkah untuk mengakomodir kebutuhan itu? Pilihan siswa nantinya akan beragam.
Kebebasan memilih toping mapel ala carte tentunya harus diimbangi dengan kesiapan sistem dan
sarana yang mampu mengakomodir setiap kemungkinan. Keragaman akan muncul per individu.
Konsep kelas jadi tidak relevan lagi. Menyeragamkan mapel per kelas jelas bertentangan dengan
konsep kebebasan yang ditawarkan. Solusinya? Moving class dan sistem SKS. Revolusi radikal, yekan.
Sekolah harus bekerja keras mengelola keterbatasan sarpras, kesiapan SDM, perubahan pola
administrasi, skema pelayanan sekaligus pendisiplinan siswa yang sedang dipuncak kejayaan
pubertasnya.

Apapun itu, sekolah harus siap. Kurikulum selalu mengalir tidak terbendung dari hulu ke hilir. Meski
kadang sering terbayang konyolnya kecele dengan kebiasaan latah "cabai mahal, tanam cabe, pas
panen, yang mahal malah tomat". Tapi mau diapa, sudah resiko.

Konsep mapel terbaru bernama program pengembangan karakter

Pendatang baru yang unik karena tidak biasanya mapel dinamai dengan program. Entah sudah final
atau belum namanya. Mapel/program ini adalah respon nyata terhadap darurat karakter yang
dihadapi bangsa ini. Asesmen K13 yang memecah penilaian menjadi 3 tipe, pengetahuan,
keterampilan, dan sikap mungkin dinilai belum cukup. Padahal sudah njlimet menyipkan instrumen
untuk ketiga kriteria penilaian tersebut dalam setiap tatap muka. Lalu dengan memisahkan menjadi
mapel tersendiri, kira-kira guru seperti apa yang cocok? Membayangkan guru pengembang karakter
berjalan dengan flamboyan di koridor saat jam terakhir, sambil memikirkan RPP dan instrumen
mapel baru, tunjangan sertifikasi yang terancam, di saat rekap asesmen peserta didik sudah ditagih
kepala sekolah, dan kerinduannya pada mapel sejarah yang dicintainya. Apakah masih bisa
tersenyum solekhah di momen solimi semacam itu?

Anda mungkin juga menyukai