Anda di halaman 1dari 2

Metode Pembelajaran

PEMBELAJARAN KEARIFAN LOKAL TERINTEGRASI


BAGIAN 1: Teks Prosedur – Makanan Tradisional
Slasi Widasmara, S.Pd.
Guru Bahasa Indonesia SMP Astra Makmur Jaya

KAPURUNG →
← KUE TETU
Kuliner khas Palopo yang
terbuat dari sagu pohon Kuliner khas Bugis yang
dengan kuah ikan terbuat dari adonan santan
dan tepung yang lembut
dengan pemanis gula cair

TUMPI →
← JALANGKOTE Panganan khas Mandar
Kue khas Bugis semacam berupa adonan tepung
pastel dengan isi sayuran dengan isian parutan
dan mie kelapa dan gula merah
yang lazim djumpai di
acara-acara adat

KAPURUNG →
Kuliner khas Palopo yang KUE PANADA →
terbuat dari sagu pohon Kuliner khas Manado ini berisi
dengan kuah ikan olahan ikan laut dengn bumbu
khas yang pedas dan manis

← SANGGARA BELANDA
TARIPANG → Sanggara Belanda artinya
Kue khas Makassar yang pisang gooreng Belanda. Kue
manis dan legit sangat khas Bugis-Makassar ini
cocok untuk teman minum menggunakan margarin dan
teh dan kopi keju yang dulu hanya dipakai
oleh orang Belanda

Kuliner atau makanan tradisional terkait erat dengan budaya di dalam masyarakat. Seringkali
makanan tradisional tidak hanya enak di lidah, namun memiliki makna luhur yang mengandung
pelajaran hidup yang penting baik dari segi budaya maupun keagamaan. Oleh karena itu, kita sering
menjumpai kuliner-kuliner khas yang wajib ada di perayaan-perayaan adat maupun acara keagamaan.
Pentingnya makna kuliner tersebut merupakan bukti bahwa kuliner sangat penting dalam memahami
suatu kebudayaan. Inilah titik tolak untuk memahami dan menyadari posisi kuliner tradisional pada
posisinya sebagai harta karun kearifan lokal.

Efek perkembangan teknologi pada dekade belakangan ini terasa sangat menggerus watak
dan kesadaran generasi muda akan budayanya. Akulturasi budaya tanpa kontrol dan pembatasan yang
jelas memberikan andil terbesar pada pudarnya jati diri remaja. Proses menuju kematangan yang
seharusnya tertata dan terarah sejak usia dini seakan menemui jalan bercabang-cabang yang arah
ujung muaranya tak jelas. Tidak mengherankan, sebab pendidik dan sistem pendidikan telah lama
terjebak dalam pemikiran bahwa budaya fisik dan ritualitas dapat dikesampingkan dibanding esensi
budaya yang merupakan intinya. Analogi kacang dan kulit, tidak penting apakah kita pernah melihat
kulitnya sejauh kita tetap bisa menikmati kacangnya. Pemikiran yang masuk akal namun mengandung
logical falacy yang membuat keblinger. Bagaimana tidak, tanpa keinginan mengetahui kulitnya apakah
mungkin seseorang dapat mengetahui bagaimana rupa daunnya, batangnya, dan cara menanamnya?
Bukankah logika remeh itu dapat menjadi akar pemikiran pragmatis dimana individu hanya fokus pada
inti tujuan, tanpa mau repot memikirkan hakikatnya secara menyeluruh?
Apakah hanya penulis yang merasakan bahwa mata pelajaran muatan lokal yang sempat
digalakkan pada akhir tahun 90-an pada masa kini sudah bukan lagi mata pelajaran wajib, boleh ada
boleh tidak? Bahkan meskipun ada, mulok (muatan lokal) telah bertransformasi menjadi nama-nama
yang asing semacam entrepreneurship, perikanan, pertanian, dan semacamnya yang tidak memilki
benang merah dengan konten budaya yang hendak disasar muatan lokal pada masa awal
penggalakkannya. Tentu kita bisa memahami dengan jelas apa tujuan dari mulok entrepreneurship yang
di dalamnya berisi kiat-kiat dan pembiasaan menjadi wirausahawan dibandingkan mulok budaya
Banyumasan misalnya, yang berisi pengenalan tradisi, budaya, makanan tradisional, dan nilai-nilai
luhurnya.

Ketersediaan ruang dalam mata pelajaran mulok yang bukan lagi diperuntukkan bagi
pengenalan budaya tidak serta merta menutup pintu masuk budaya di ruang kelas.

Mencintai kuliner lokal tidak sekedar memaksakan diri untuk mengakui bahwa kue tumpi lebih manis
dan lebih sehat dari es krim.

Anda mungkin juga menyukai