Anda di halaman 1dari 4

Guru Honorer itu Buruh Bukan, sih?

Akhir bulan ini kemungkinan insentif untuk pekerja dengan gaji di bawah 5 juta cair. 600 ribu per
bulan, lumayan untuk melumasi rantai pengeluaran yang sedikit ngadat belakangan ini. Syaratnya,
haruslah pekerja yang masih aktif di BPJS Ketenagakerjaan. Ya jelas sih, kalau masih member aktif
BPJS tandanya pasti tergolong pekerja yang masih pekerja. Namanya juga insentif pekerja. Segmen
pekerja dengan upah kategori bawah ini memang belum tersentuh dan perlu disentuh, padahal
bayar pajaknya banyak lho, dan iuran BPJSnya dobel juga. Lalu, ketika ada yang mendengungkan
pertanyaan, guru honorer dapat tidak ya? Seketika rasanya seperti sedang menjawab soal ulangan
bab taksonomi Carolus Linnaeus. Terbayang seekor platypus keluar dari lubang, berenang seperti
berang-berang, berbulu tapi bermulut bebek, kaki berselaput tapi bercakar, bertelur tapi menyusui.

....Guru honorer itu pekerja bukan sih?

Ketika membahas guru honorer, pita memori seringkali terputar ke playlist musim kemarau bulan
Mei dimana lagu pertamanya adalah demo buruh. Demo buruh menjadi agenda tahunan dengan
ekspresi wajah pendemo yang kurang lebih sama, namun dengan tunggangan yang berganti, dulu
Supra sekarang NMax misalnya. Namun di setiap gelaran orasi, baju batik dan peci hitam milik guru
honorer tidak pernah nimbrung. Seakan untuk mengklasifikasikan diri sendiri sebagai bagian dari
kaum buruh proletariat pun malu-malu. Padahal, qualified secara morfologis. Apalagi di masa
sekarang yang semua hal harus dipandang sebagai investasi. Bahkan ketika agama dikatakan
investasi akhirat, maka memandang pendidikan (sekolah) sebagai invetasi adalah pandangan yang
pantas. Makanya, perjuangan kelas pekerja di sektor pendidikan pun semestinya pede saja
menggabungkan diri di rangkaian gerbong besar serikat pekerja.

Jauh sebelum bikin lagu "Pergi Pagi Pulang Pagi" yang secara implisit sebenarnya didedikasikan
untuk kelas pekerja, Armada yang nampaknya adalah pegiat sosialis marxis ini pernah
membombardir telinga rakyat dengan lagu "Kekasih yang Tak Dianggap" yang sepertinya memang
ditujukan untuk guru honorer. Meskipun ternyata liriknya disusun lebih lunak jika dibandingkan
kenyataannya. Jika pada istilah “kekasih yang tidak dianggap” setidaknya ada satu pihak yang
menganggap kekasih meskipun lawannya berpikir tidak, pada kasus guru honorer ini lebih rumit.
Bagaimana bisa dalam sebuah hubungan yang terjalin mesra selama bertahun-tahun antara institusi
sekolah dan karyawannya, keduanya tidak memahami seperti apa sebenarnya relasi yang terjalin di
antaranya. Keduanya berjalan dengan nanar sembari setiap hari memproduksi barang jadi yang siap
dirilis (baca: lulusan) setiap tahun ajaran untuk kemudian mengumpulkan kembali bahan baku
setengah jadi (baca: siswa baru) dengan jumlah yang sama atau bahkan lebih besar. Prosesnya pun
tidak cuma modal otot, apalagi modal dengkul Amien Rais. Harus ada biaya produksi untuk
menjamin setiap proses berlangsung dengan semestinya. Penerimaan, pemrosesan, dan perilisan
produk ada harga yang harus di bayar. Dan dengan berada di dalam kepulan asap siklus yang sama
sepanjang tahun, selama bertahun-tahun, sekolah dan guru seakan enggan menyadari bahwa relasi
mereka adalah sebuah bisnis. Keduanya sukar untuk memahami bahwa proses pendidikan adalah
benar-benar investasi. Bahkan ketika murid dan walinya selaku klien terbuai dengan kenikmatan
investasi bermodal murah ini, sekolah dan guru masih tetap terjebak dalam logika ganjil bahwa
pendidikan adalah sodaqoh. Sodaqoh jariyah dari para guru (terutama honorer) yang sepertinya
terlalu memaksakan diri untuk ikhlas. Mungkin memang susah kali ya kalau bagian ini dibuat lirik
lagu yang easy listening.

Lanjut, pendidikan mahal maupun pendidikan gratis pada dasarnya sama. Keduanya membutuhkan
sarana yang sama, pelaku yang sama, klien yang sama, dan tentu saja modal yang sama. Modal
sekolah di zaman orde baru dan milenial sama saja. Yang membedakan hanyalah tentang siapa yang
mengeluarkan modal, siapa yang harus membayar. Jika biaya dibebankan pada masyarakat, maka
dikategorikan sebagai pendidikan mahal. Namun jika beban tersebut ditanggung pemerintah, maka
bisa dikategorikan sebagai pendidikan murah. Ini hanya tentang siapa investor dominannya. Naif jika
mewujudkan investasi pendidikan murah justru dengan mengurangi besaran modal yang tentunya
berpengaruh langsung pada besaran biaya produksi. Rusak malah. Fokusnya adalah pada
investornya, sebab inilah muara sekaligus hulu dari aliran bisnis ini. Lalu, siapa sebenarnya
investornya? Tanyakan saja siapa yang mengambil keuntungan dari proses bisnis ini?

Negara, orangtua, dan anaknya. Gampang ya, soal IPS SMP kok.

Maka pada merekalah pintu utama investasi pendidikan di buka. Semua harus mau menyadari dan
mengakui tanpa syarat bahwa proses pendidikan adalah sebuah investasi bisnis jangka panjang
dunia akhirat. Mereka harus rela untuk keluar modal dan tidak bermimpi tentang investasi gratisan.
Kesadaran ketiganya adalah pertanda fajar baru di dunia pendidikan yang remang-remang ini.
Kemudian, fokus investasi dialirkan penuh pada satu-satunya perusahaan penyedia jasa pendidikan
yang saat ini dimiliki, yaitu sekolah, negeri maupun swasta. Faktor-faktor produksinya sudah lengkap
semua dan siap beroprasi, dan banyak dimana-mana. Permasalahannya selanjutnya adalah
kesadaran pengelola dan faktor produksi akan jati dirinya yang selanjutnya berpengaruh pada
ketidakberesan bentuk dan rupa perusahaan. Pada titik inilah keremangan wujud guru honorer
berada.
Guru honorer seharusnya mulai keluar dari siluet dan muncul dengan bentuk yang tegas bahwa
mereka juga buruh yang termasuk kelas pekerja yang sama dengan guru yang berstatus pegawai
(PNS dan GTY). Meski kemudian khalayak mengidentifikasikan pegawai dan buruh sebagai sesuatu
yang sedikit berbeda. Bolehlah kita sepakati, untuk kalangan kita saja ya,
bahwa pembedanya adalah terkait hak yang diterima. Jika pegawai, maka artinya hak yang diterima
sudah di atas standar hidup plus tunjangan ini itu, sedangkan buruh berarti hak yang diterima di
masih dibawahnya tanpa tunjangan melekat. Setidaknya makna secara realitasnya begitu. Bedanya
itu saja. Bidang, tugas pokok, kewajiban, dan beban kerjanya kurang lebih sama. Kemudian, setelah
bentuk disepakati maka pemilahan masalah cenderung lebih mudah. Perjuangan guru honorer untuk
terbebas dari upah bulan-bulanan bisa mulai menemukan rangkaian kereta untuk mengaitkan
gerbongnya. Guru honorer bisa bergerak dengan lokomotif yang sama: Buruh. Dengan begitu, ia bisa
turut bergerak dalam arus yang lebih deras untuk memperjuangkan penghidupannya. Atau
setidaknya, bisa memaksa untuk dilihat dengan kejelasan bentuknya, dan arah pergerakannya. Yang
dituntut jelas: Upah UMR, minimal itu. Setidaknya setarakan dulu status dengan taraf hidup standar
di daerah. Kemudian, perlindungan dan kejelasan secara legalitas sebagai pekerja. Ini penting, agar
akad kerja yang terjalin adalah akad profesional, bukan ikatan perasaan person to person dengan
atasan pemberi kerja. Ciri profesionalitas tentu saja terwujud pada perjanjian kerja yang disusun
berdasarkan rujukan aturan-aturan resmi yang berlaku. Perjanjian kerja beda dengan surat
pernyataan yang isinya sesuai dengan kebutuhan. Ada bagian-bagian rigid yang tidak bisa dibuat
sendiri oleh pemberi kerja dan pekerja berdasarkan standar subyektif. Apalagi di sekolah negeri yang
jelas bukan milik neneknya siapa-siapa. Di bagian bawah SK guru honorer tentunya tidak perlu ada
tulisan "keputusan tidak dapat diganggu gugat". Akad kerjanya setara, masing-masing memiliki hak
dan kewajiban yang membatasi. Maka istilahnya honorer, bukan lagi bakti, apalagi mengabdi.

Sekolah sekarang ini dituntut untuk dikelola secara profesional. Mirip seperti sebuah anak
perusahaan. Manajerial sekolah negeri maupun swasta, setidaknya sejak era KTSP, diberi ruang
ontonom. Meskipun tetap dipayungi petunjuk tenis tertentu agar tetap on the track, terutama pada
pengelolaan dana BOS dan BOP. Didalamnya, ploting anggaran disesuaikan dengan kebutuhan
sekolah. Termasuk untuk merekrut guru dan pegawai honorer ketika memang dibutuhkan.
Prosesnya sudah seperti perusahaan beneran. Ada open rekrutmen, lamaran, seleksi tahap 1 tahap
2, masa training, kemudian SK tugas. Setidaknya cara ini sudah menganut prinsip keterbukaan dan
kesetaraan. Siapapun bisa dan boleh mendaftar. Idealnya memang seperti itu, bukan berdasarkan
hubungan kekerabatan dan tanpa seleksi seperti jaman Sengkuni diangkat jadi patih Astinapura dulu.
Meskipun sebenarnya secara formal, belum ada aturan yang menutup rapat lubang bawah tanah itu.
Mungkin, ini salah satu pertimbangan pemerintah enggan mengangkat tenaga honorer secara
otomatis tanpa tes. Akan ada hati yang terluka.

Rekrutmen ini, tentunya sudah berdasarkan analisis kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Ada
batasan aturan maksimal 15% alokasi dana bos untuk honor. Dan lagi, SPP 0 rupiah membuat
anggaran sekolah yang sebagian besar alokasinya untuk honor tersebut menjadi berkurang. Tapi
sekolah bukan lembaga amatir tanpa papan nama yang baru kemarin sore dibentuk. Rencana kerja
dan rencana strategisnya jelas. Rancangan anggarannya tidak hanya untuk satu dua minggu
kedepan. Rancangan perubahan pun diperbolehkan. Ketika besar anggaran berkurang, skala prioritas
untuk guru dan tenaga honorer sekolah tetap menjadi yang utama. Hanya karena anggaran, masa
iya jam kosong terus. Mending beli buku paket edisi revisinya saja yang ditunda dulu. Berdasarkan
kejelasan matriks kerja ini, setidaknya guru dan tenaga honorer hanya dapat diputus kontrak ketika
sudah ada penempatan pegawai tetap dari pemerintah atau faktor indisipliner yang indikatornya
terukur. Jaminan masa kerja jelas. Bukan berarti permanen ya, tapi ada waktu tertentu yang
disepakati dimana pekerja dapat nyaman dan tenang bekerja tanpa diganggu kemungkinan
pemberhentian sewaktu-waktu, setidaknya per satu tahun. Kemudian kesempatan untuk
memperpanjang masa kontrak sesuai klausul yang fair merujuk pada kebutuhan sekolah. Konsep
PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja), yang masih menunggu perpresnya, nantinya
kurang lebih seperti itu. Kalau di perusahaan namanya tenaga kontrak atau PKWT (perjanjian kerja
waktu tertentu). Statusnya jelas, hak yang diterima pun waras. Berbeda dengan BHL (buruh harian
lepas) yang upahnya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, yang sedari awal memang tidak ada
ikatan kerja. Biasanya BHL ini untuk bidang pekerjaan yang temporal, sporadis, dan tidak tetap.
Dalam konteks sekolah, sistem BHL tentunya tidak pas mengingat keberadaan siswa tidak mungkin
temporal, apalagi sporadis. Rentang waktunya ada. Memastikan status dan masa kerja guru honorer
juga tetap bisa dilakukan. Dipayungi dengan regulasi meneduhkan yang tidak mengizinkan
kemungkinan adanya potensi standar individu untuk memperbolehkan mood menjadi penentu
keputusan. Pijakannya kuat, kepatuhan bukan semata kepada atasan, tapi pada aturan. Kerja
tenang, fokus, dan terencana tanpa tekanan dan beban kerja ngasal yang biasanya dibungkus
dengan label loyalitas.

Apa sudah seperti itu? Perlu poling dulu pakai form online untuk tahu, tapi hati-hati nyasarnya di
change.org lho ya. Tidak direkomendasikan.

Setelah kejelasan status dan regulasi kerja, pekerja juga mestinya mendapatkan jaminan kesehatan
dan keselamatan kerja dalam payung BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan. Minimalnya itu. Biasanya
didalam besaran upah yang diberikan perusahaan sudah termasuk di dalamnya. Otomatis
dibayarkan perusahaan, tanpa mengurangi take home pay. Atau setidaknya ada persentase subsidi.
Bukan full bayar sendiri lewat pemotongan gaji. Hitung-hitungan ketika menetapkan kebutuhan dan
rekrutmen pegawai sudah mencakup ini. Mestinya. Tidak seperti pekerja sektor swasta yang
otomatis dimasukkan ke BPJS oleh perusahaannya karena ada regulasi yang mewajibkan, di sekolah
lebih longgar. Sekedar info CMIIW, guru dan tenaga honorer ada jenisnya, GTT (guru tidak tetap) dan
PTT (pegawai tidak tetap) yang digaji pemda dan honorer sekolah yang digaji oleh sekolah. Pemda
sekarang sudah tidak diperkenankan mengangkat GTT-PTT lagi. Untuk menutup kekurangan tenaga
pendidik, akhirnya sekolah memaksimalkan rekrutmen honorer. GTT-PTT dan honorer sekolah
kurang lebih sama saja dari segi upah, payung regulasi, dan perlindungan jaminan sosial. Aturan
longgar yang tidak mendorong guru dan tenaga honorer sekolah untuk menjadi peserta jaminan
sosial ini membuat pelaksanaannya bergantung pada kebijakan pengelola. Beberapa ada yang BPJS
kesehatannya otomatis dibayarkan dari potongan gaji. Jika BPJS ketenagakerjaan juga full potong
gaji juga, ujungnya banyak yang tidak ikut karena besarannya agak lumayan untuk dua potongan itu.
Padahal, jaminan sosial ini bisa sangat membantu di saat butuh berobat, kecelakaan kerja, atau
ketika berhenti bekerja. Atau saat seperti ini, dapet uang kaget 600 ribu. Lumayan banget di situasi
serba tidak pasti seperti sekarang ini. Atau memang...

...Sometimes, it doesn't have to be so sure

...Sometimes, the bitter of love can be so good

Kalau bitter of life gimana, Ardhito?

Anda mungkin juga menyukai