1. Definisi Konflik
Organisasi yang di dalamnya merupakan sekumpulan individu dengan
dinamika kelompok yang dinamis, memberikan peluang terjadinya konflik.
Konflik merupakan suatu proses yang dimulai ketika satu pihak merasa
bahwa pihak lain telah dipengaruhi secara negatif, atau tentang
mempengaruhi secara negatif, tentang sesuatu yang diketahui pihak pertama
(Robbins, 2011). Kreitner dan Kinicki (2010) memberikan definisi konfllik
sebagai suatu proses dimana satu pihak merasa bahwa kepentingannya telah
ditentang atau dipengaruhi secara negatif oleh pihak lain. Konflik dapat
bersifat negatif atau positif tergantung pada sifat dan intensitasnya.
Marquis (2012) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan internal
atau eksternal yang merupakan hasil dari perbedaan ide, nilai, atau perasaan
antara dua atau lebih individu. Seorang pemimpin yang memiliki hubungan
interpersonal dengan individu yang memiliki banyak perbedaan, seperti latar
belakang dan tujuan, memandang sebuah konflik sebagai sesuatu yang dapat
diprediksi. Hal yang sama dinyatakan oleh Sunyoto (2013), konflik adalah
ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-
kelompok dalam organisasi yang timbul karena harus menggunakan sumber
daya yang langka bersama-sama, atau karena memiliki status, tujuan, nilai-
nilai dan persepsi yang berbeda.
Konflik adalah ketidaksepahaman yang melibatkan pihak tertentu
yang merasa terancam dengan kepentingan, kebutuhan, dan kepedulian orang
yang terlibat di dalamnya. Konflik di lingkungan kesehatan cenderung lebih
sulit karena mereka sering melibatkan hubungan yang kompleks dan
berkesinambungan yang didasarkan kepada emosi. Sebuah konflik yang
terdiri dari substansi, prosedur, dimensi piskologi dimana yang terlibat di
dalam konflik memberikan responnya berdasarkan persepsi mereka masing-
masing terhadap situasi tertentu. Dalam persepsi ini akan penuh dengan
pikiran dan emosi yang mendorong individu untuk mencapai solusi
(Johansen, 2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
4
5
2. Hakekat Konflik
Winardi (2012) menggambarkan bahwa selama manusia hidup, senantiasa
akan muncul berbagai macam konflik yang bersumber pada macam-macam sebab.
Konflik potensial terjadi ketika adanya interaksi dari orang-orang dan kelompok
dalam organisasi mengembangakan keahlian dan pekerjaan yang berbeda dengan
yang lain. Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
Universitas Indonesia
6
hakekat konflik adalah proses atau hasil interaksi orang-orang atau kelompok
yang berbeda keahlian dan kepentingannya.
2.1 Pandangan tentang Konflik dalam Organisasi
Menurut Robbins (2011:489) mengemukakan tiga pandangan mengenai
konflik, yaitu pandangan trasional (Traditional view of conflict), pandangan
hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan
interaksional (interactionism view of conflict).
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik
dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan,
perusakan dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya.
Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan
tradisional ini menganggap konflik sebagai disfungsional akibat komun ikasi
yang buruk, kurang keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan
kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
karyawan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik
itu tidak terelakkan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan
konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik
membawa manfaat pada kerja kelompok.
Pandangan interaksional mendorong konflik atas dasar bahwa
kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis,
apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
2.2 Proses Terjadinya Konflik
Konflik merupakan proses dinamis yang muncul tidak secara tiba-tiba,
namun membutuhkan waktu dan melewati beberapa tahapan (Spaho, 2013).
Beberapa teori yang mengemukakan pendekatan terhadap terjadinya proses
konflik, yaitu: teori Robbins (Robbins, 2013, Sunyoto, 2013), teori Pondy’s
(Kely, 2011, Spaho, 2013), teori McShane dan Von Glinow (Wibowo, 2013),
teori Filleys (Huber, 2010), teori Thomas (Huber, 2010, Spaho, 2013). Namun,
penggunaan model teori proses terjadinya konflik yang sering digunakan
adalah teori Robbins. Robbins (2013) menjelaskan konflik terjadi melalui lima
Universitas Indonesia
7
tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kognisi dan
personalisasi, tahap maksud, tahap perilaku, dan tahap hasil. Berikut bagan
yang menggambarkan proses terjadinya konflik.
Universitas Indonesia
8
Maksud berada diantara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-
terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu
cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan konflik:
bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tidak tegas dan
kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi
(kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal
ketegasan dan kekooperatifan).
Tahap IV : Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk
melaksanakan maksud-maksud setipa pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini
mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil
perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-
terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orisinil.
Tahap V : Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan
konsekuensi. Konsekuensi dari konflik dapat berupa hasil fungsional dan
disfungsional. Konsekuensi fungsional merupakan kondisi positif yang
menguntungkan organisasi dan berkontribusi dalam pencapaian tujuan
organisasi yang diharapkan (Sunyoto, 2013). Hasil disfungsional merupakan
bentuk konsekuensi yang destruktif pada kinerja dari sebuah konflik dalam
kelompok atau organisasi. Robbins (2011) menyatakan secara umum jika
oposisi yang tidak terkendali melahirkan ketidaksenangan, yang bertindak
untuk melarutkan ikatan dalam organisasi sehingga hasil akhirnya adalah
perusakan dalam kelompok.
3. Manfaat Konflik
Konflik dapat memberikan manfaat yang banyak bagi organisasi. Sebagai
contoh pengembangan konflik dapat digunakan sebagai ajang adu pendapat,
sehingga organisasi bisa memperoleh pendapat-pendapat yang sudah tersaring.
Konflik yang terjadi tidak selamanya membawa akibat buruk sepanjang dapat
dikelola dengan baik. Justru dengan adanya konflik akan memancing daya kreasi
dan inovasi anggota organisasi baik secara individu maupun secara kolektif.
Universitas Indonesia
9
(Irawati, 2003). Robbins (2013) membahas konflik dari segi human relations and
interactionist perspective. Dijelaskan bahwa konflik itu adalah hal yang alamiah
dan selalu akan terjadi. Konflik merupakan bagian dari pengalaman hubungan
antar pribadi (interpersonal experience). Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya
konflik dikelola dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan
perbedaan serta pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam organisasi.
Kesimpulannya konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani
dengan baik sehingga dapat :
1. mengarah ke inovasi dan perubahan
2. memberi tenaga kepada orang bertindak
3. menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi
4. merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
Konflik
Konflik intrakelompok
Intrapersonal
Kepuasan kerja
Ukuran unit
Penampilan
Jumlah RN
kerja tim
Universitas Indonesia
12
Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia punya efek negatif dan positif bagi
perkembangan organisasi. Efek ini terutama berkenaan dengan para individu yang
menjadi anggota organisasi, dari level bawah hingga level atas. Identifikasi atas
Universitas Indonesia
13
efek negatif dan positif ini mudah-mudahan membawa kita lebih mampu
memanajemen konflik demi kepentingan diri kita sendiri.
Robert J. Edelmann membagi efek konflik ke dalam dua kategori yaitu
efek negatif dan efek positif. Rincian dari masing-masing efek sebagai berikut.
Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun
organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus
unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam
bentuk tertekannya pekerja (job stress).
Berikut adalah rincian efek negatif konflik organisasi:
1. Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir
secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
2. Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan
mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan
berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi pekerja tersebut
punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
3. Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan
alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (klepas-klepus), yang
semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
4. Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong
terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga berdampak
pada eskalasi konflik.
Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan, konflik
sesungguhnya lebih banyak efek positif dibandingkan negatif. Rincian efek positif
konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini :
1. Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan
akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna
menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam.
2. Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik,
mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang
dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan.
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena
mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali
dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat
pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip
dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada
tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian
mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang
jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian
dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer
akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari
efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin, 2000 :
131-132).
Universitas Indonesia