Anda di halaman 1dari 14

KONSEP KONFLIK

1. Definisi Konflik
Organisasi yang di dalamnya merupakan sekumpulan individu dengan
dinamika kelompok yang dinamis, memberikan peluang terjadinya konflik.
Konflik merupakan suatu proses yang dimulai ketika satu pihak merasa
bahwa pihak lain telah dipengaruhi secara negatif, atau tentang
mempengaruhi secara negatif, tentang sesuatu yang diketahui pihak pertama
(Robbins, 2011). Kreitner dan Kinicki (2010) memberikan definisi konfllik
sebagai suatu proses dimana satu pihak merasa bahwa kepentingannya telah
ditentang atau dipengaruhi secara negatif oleh pihak lain. Konflik dapat
bersifat negatif atau positif tergantung pada sifat dan intensitasnya.
Marquis (2012) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan internal
atau eksternal yang merupakan hasil dari perbedaan ide, nilai, atau perasaan
antara dua atau lebih individu. Seorang pemimpin yang memiliki hubungan
interpersonal dengan individu yang memiliki banyak perbedaan, seperti latar
belakang dan tujuan, memandang sebuah konflik sebagai sesuatu yang dapat
diprediksi. Hal yang sama dinyatakan oleh Sunyoto (2013), konflik adalah
ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-
kelompok dalam organisasi yang timbul karena harus menggunakan sumber
daya yang langka bersama-sama, atau karena memiliki status, tujuan, nilai-
nilai dan persepsi yang berbeda.
Konflik adalah ketidaksepahaman yang melibatkan pihak tertentu
yang merasa terancam dengan kepentingan, kebutuhan, dan kepedulian orang
yang terlibat di dalamnya. Konflik di lingkungan kesehatan cenderung lebih
sulit karena mereka sering melibatkan hubungan yang kompleks dan
berkesinambungan yang didasarkan kepada emosi. Sebuah konflik yang
terdiri dari substansi, prosedur, dimensi piskologi dimana yang terlibat di
dalam konflik memberikan responnya berdasarkan persepsi mereka masing-
masing terhadap situasi tertentu. Dalam persepsi ini akan penuh dengan
pikiran dan emosi yang mendorong individu untuk mencapai solusi
(Johansen, 2012). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

4
5

konflik merupakan bagian dari proses organisasi dengan komponen perilaku


kelompok yang di dalamnya terdapat perselisihan internal maupun eksternal
antara dua individu atau lebih karena perbedaan ide, nilai, perasaan, tujuan
dan latar belakang.
Kategori konflik menurut Marquis (2012) terdiri dari tiga kategori
konflik, yaitu :
1. Konflik intrapersonal.
Terjadi ketika individu melibatkan perjuangan internal untuk
mengklarifikasi nilai-nilai yang bertentangan. Konflik ini terjadi di dalam
ranah kognitif dan afektif. Individu dapat mempersepsikan dirinya
memiliki perbedaan dengan organisasi maupun dengan staf yang lain.
Namun, konflik tersebut hanya terjadi di dalam pikiran saja (Cox, 2003).
Shih (2010) menyatakan bahwa kecerdasan emosial individu dapat
memfasilitasi bagaimana manajemen konflik dilakukan secara tepat yang
meningkatkan produktivitas dan kinerja tim.
2. Konflik interpersonal.
Konflik interpersonal diartikan sebagai konflik yang muncul antara dua tau
lebih individu. Dalam kasus ini terjadi sebuah ketidaksepakatan, konflik,
atau perselisihan (Huber, 2010). Hal ini dapat terjadi karena nilai yang
berbeda antar individu, miskomunikasi, maupun pemahaman yang
berbeda.
3. Konflik antarkelompok
Konflik antarkelompok terjadi jika antara kelompok yang satu mengalami
ketidaksesuaian dengan kelompok lain dalam sato organisasi (Sunyoto,
2013).

2. Hakekat Konflik
Winardi (2012) menggambarkan bahwa selama manusia hidup, senantiasa
akan muncul berbagai macam konflik yang bersumber pada macam-macam sebab.
Konflik potensial terjadi ketika adanya interaksi dari orang-orang dan kelompok
dalam organisasi mengembangakan keahlian dan pekerjaan yang berbeda dengan
yang lain. Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

Universitas Indonesia
6

hakekat konflik adalah proses atau hasil interaksi orang-orang atau kelompok
yang berbeda keahlian dan kepentingannya.
2.1 Pandangan tentang Konflik dalam Organisasi
Menurut Robbins (2011:489) mengemukakan tiga pandangan mengenai
konflik, yaitu pandangan trasional (Traditional view of conflict), pandangan
hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan
interaksional (interactionism view of conflict).
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik
dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan,
perusakan dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya.
Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan
tradisional ini menganggap konflik sebagai disfungsional akibat komun ikasi
yang buruk, kurang keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan
kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi
karyawan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik
itu tidak terelakkan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan
konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik
membawa manfaat pada kerja kelompok.
Pandangan interaksional mendorong konflik atas dasar bahwa
kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis,
apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi.
2.2 Proses Terjadinya Konflik
Konflik merupakan proses dinamis yang muncul tidak secara tiba-tiba,
namun membutuhkan waktu dan melewati beberapa tahapan (Spaho, 2013).
Beberapa teori yang mengemukakan pendekatan terhadap terjadinya proses
konflik, yaitu: teori Robbins (Robbins, 2013, Sunyoto, 2013), teori Pondy’s
(Kely, 2011, Spaho, 2013), teori McShane dan Von Glinow (Wibowo, 2013),
teori Filleys (Huber, 2010), teori Thomas (Huber, 2010, Spaho, 2013). Namun,
penggunaan model teori proses terjadinya konflik yang sering digunakan
adalah teori Robbins. Robbins (2013) menjelaskan konflik terjadi melalui lima

Universitas Indonesia
7

tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kognisi dan
personalisasi, tahap maksud, tahap perilaku, dan tahap hasil. Berikut bagan
yang menggambarkan proses terjadinya konflik.

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 5


Tahap 3 Tahap 4
Oposisi Kognisi dan Hasil
Intensi Perilaku Konflik
potensial personalisasi

Dirasakan Manajemen Peningkatan


Kondisi awal: sebagai konflik: Konflik kerja
Komunikasi konflik Kompetisi memburuk: kelompok
Struktur Kolaborasi Party’s
Faktor pribadi Kompromi behaviour
Menghindar Reaksi yang
Konflik nyata Akomodasi lain Penurunan
kerja
kelompok

Gambar 2.1 Proses konflik Robbins dan Judge


(sumber “Organizational Behavior 15th ed” oleh Stephen P. Robbins, Timothy
Judge, 2013). Copyright 2013 Pearson education.

Tahap I : Oposisi atau ketidakcocokan Potensial


Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah adanya kondisi yang
menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi itu tidak perlu
langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik
itu harus muncul. Demi sederhananya, kondisi itu (yang dapat juga dipandang
sebagai kasus atau sumber konflik) telah dimanfaatkan ke dalam tiga katagori
umum : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Tahap II : Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara
negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi
atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi
anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila salah satu pihak atau lebih
dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya konflik itu. Tahap II penting karena
disitulah persoalan konflik cenderung didefinisikan.
Tahap III : Maksud

Universitas Indonesia
8

Maksud berada diantara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-
terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu
cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan konflik:
bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tidak tegas dan
kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi
(kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal
ketegasan dan kekooperatifan).
Tahap IV : Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk
melaksanakan maksud-maksud setipa pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini
mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil
perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-
terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orisinil.
Tahap V : Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan
konsekuensi. Konsekuensi dari konflik dapat berupa hasil fungsional dan
disfungsional. Konsekuensi fungsional merupakan kondisi positif yang
menguntungkan organisasi dan berkontribusi dalam pencapaian tujuan
organisasi yang diharapkan (Sunyoto, 2013). Hasil disfungsional merupakan
bentuk konsekuensi yang destruktif pada kinerja dari sebuah konflik dalam
kelompok atau organisasi. Robbins (2011) menyatakan secara umum jika
oposisi yang tidak terkendali melahirkan ketidaksenangan, yang bertindak
untuk melarutkan ikatan dalam organisasi sehingga hasil akhirnya adalah
perusakan dalam kelompok.

3. Manfaat Konflik
Konflik dapat memberikan manfaat yang banyak bagi organisasi. Sebagai
contoh pengembangan konflik dapat digunakan sebagai ajang adu pendapat,
sehingga organisasi bisa memperoleh pendapat-pendapat yang sudah tersaring.
Konflik yang terjadi tidak selamanya membawa akibat buruk sepanjang dapat
dikelola dengan baik. Justru dengan adanya konflik akan memancing daya kreasi
dan inovasi anggota organisasi baik secara individu maupun secara kolektif.

Universitas Indonesia
9

(Irawati, 2003). Robbins (2013) membahas konflik dari segi human relations and
interactionist perspective. Dijelaskan bahwa konflik itu adalah hal yang alamiah
dan selalu akan terjadi. Konflik merupakan bagian dari pengalaman hubungan
antar pribadi (interpersonal experience). Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya
konflik dikelola dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan
perbedaan serta pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam organisasi.
Kesimpulannya konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani
dengan baik sehingga dapat :
1. mengarah ke inovasi dan perubahan
2. memberi tenaga kepada orang bertindak
3. menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi
4. merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi

Organisasi harus mempunyai tingkat konflik moderat (tidak terlalu kecil


atau terlalu tinggi). Wibowo (2014) mengungkapkan Konflik pada tingkat
moderat baik dan dapat bermanfaat antara lain :
1. Memperbaiki pengambilan keputusan.
2. Memberikan energi untuk melakukan debat dan mendorong orang menguji
kembali asumsinya tentang masalah dan kemungkinan solusinya.
3. Mencegah organisasi dari stagnansi dan menjadi tidak responsif pada
lingkungan eksternal dan pemangku kepentingan lain.
4. Konflik dengan orang diluar tim potensial meningkatkan kohesivitas didalam
tim

Pickering (2000), meringkas beberapa manfaat konflik dalam organisasi sebagai


berikut :
1. Menambah motivasi
2. Mempertinggi problem 
3. Kepaduan group 
4. Pencocokan yang real 
5. Menambah skil pengetahuan 
6. Mempertinggi kreatifitas 
7. Berkontribusi untuk tercapainya tujuan 

Universitas Indonesia
10

8. Pendorong untuk pertumbuhan.

4. Akibat positif dan negatif konflik.


Suatu konflik merupakan hal wajar dalam suatu organisasi. Tjutju
Yuniarsih, dkk. (1998:115), mengemukakan bahwa konflik tidak dapat dihindari
dalam organisasi, akan tetapi konflik antar kelompok sekaligus dapat menjadi
kekuatan positif dan negatif, sehingga manajemen seyogyanya tidak perlu
menghilangkan semua konflik, tetapi hanya pada konflik yang menimbulkan
dampak gangguan atas usaha organisasi mencapai tujuan. Ahmadian (2012)
menyatakan hal yang sama bahwa organisasi tidak lepas dari permasalahan
konflik, yang dapat meningkatkan perubahan terhadap perilaku, kondisi, adaptasi,
dan toleransi terhadap lingkungan sekitar sehingga menimnbulkan konsekuensi
negatif terhadap kinerja tim (Ahmadian, 2012). Perawat di rumah sakit yang
bekerja secara tim, akan sering dihadapkan pada situasi konflik. Hal ini dijelaskan
pula oleh Nwosu (2014) bahwa konflik bukan sebuah masalah, sebelum konflik
tersebut menyebabkan penurunan produktivitas, perilaku individu yang tidak
tepat, dan konflik yang terus-menerus terjadi.
Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin terbukti bermanfaat jika
digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi. Konflik dapat dicegah
atau diatasi dengan disiplin, mempertimbangkan tahap kehidupan, komunikasi
termasuk mendengarkan secara aktif.
Dengan demikian konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi
merupakan sesuatu hal yang perlu untuk dikelola agar dapat memberikan
kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi. Phillip L. Hunsaker (2001:481)
mengemukakan bahwa :
Conflict are not negative; they are a natural feature of every organization
and can never be completely eliminated. However, they can be managed to
avoid hostility, lack of cooperation, and failure to meet goals. When
channeled properly, conflicts can l ad to creativity, innovative solving, and
positive change
(Konflik itu bukan sesuatu yang negatif, tetapi hal itu secara alami akan
tetap ada dalam setiap organisasi. Bagaimanapun konflik itu bila dikelola
dengan baik maka konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan

Universitas Indonesia
11

organisasi. Ketika konflik dikelola secara baik, dapat menumbuhkan


kreativitas, inovasi dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan perubahan
positif bagi pengembangan organisasi).

Sejalan dengan pendapat di atas, Richard J. Bodine (1998:35)


mengemukakan bahwa konflik itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam
kehidupan. Ketika konflik dapat dipahami secara wajar, ia dapat menjadi peluang
dan kreativitas dalam pembelajaran/pendidikan. Konflik secara sinergis dapat
menumbuhkan kreativitas baru, kadang kadang tidak dapat diduga sebelumnya.
Tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan bagi pengembangan pribadi maupun
perubahan masyarakat).
Cox menjelaskan kerangka konsep penelitiannya yang berfokus pada jenis
konflik intrapersonal dan interpersonal sehingga berpengaruh terhadap kepuasan
kerja perawat. Perawat yang berada di dalam organisasi kesehatan, dihadapkan
dengan berbagai macam konflik. Dalam hasilnya ternyata faktor yang
mempengaruhi konflik yang terjadi terdiri dari jabatan, teknologi unit, ukuran
unit, dan jumlah RN dalam suatu unit.

Konflik
Konflik intrakelompok
Intrapersonal

Kepuasan kerja
Ukuran unit

Penampilan
Jumlah RN
kerja tim

Jabatan Konflik antar


kelompok
Teknologi unit

Gambar 2.2. Model kerangka konseptual untuk efek konflik terhadap


kepuasan kerja dan penampilan kerja tim.

(diadaptasi dari “The Effects of Intrapersonal, Intragroup, and Intergroup Conflict


on Team Performance Effectiveness and Work Satisfaction” oleh Kathleen B.

Universitas Indonesia
12

Cox,2003, Nursing Administration Quarterly, 27(2), 153-163). Copyright 2003


Lippincot Williams&Wilkins

Porter-O'Grady (2004) dengan jurnal yang berjudul “Constructing a


Conflict Resolution Program for Health Care” mengemukakan bahwa konflik
merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia,
muncul sebagai tantangan sehari-hari di institusi pelayanan kesehatan. Institusi
harus meningkatkan lingkungan kerja yang kondusif dan budaya organisasi untuk
meningkatkan kolaborasi diantara staf. Program edukasi akannakan membantu
perawat untuk memahami konflik dan memiliki skill dan kompetensi untuk
menangani konflik dengan konstruktif, hal yang sangat utama. Edukasi
manajemen konflik harus dimulai selama pendidikan dan dilanjutkan terus
menerus melalui program training di tempat kerja.
Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang
baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba
memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan
sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran sasaran yang diinginkan. Konflik
sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga
dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan
mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh
Depdikbud (1983) yang dikutip oleh D. Deni Koswara (1994: 2), bahwa selain
mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan, yaitu :
a. Konflik dapat menyebabkan timbulnya perasaan "tidak enak" sehingga
menghambat komunikasi.
b. Konflik dapat membawa organisasi ke arah disintegrasi.
c. Konflik menyebabkan ketegangan antara individu atau kelompok
d. Konflik dapat menghalangi kerjasama di antara individu mengganggu saluran
komunikasi.
e. Konflik dapat memindahkan perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.

Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia punya efek negatif dan positif bagi
perkembangan organisasi. Efek ini terutama berkenaan dengan para individu yang
menjadi anggota organisasi, dari level bawah hingga level atas. Identifikasi atas

Universitas Indonesia
13

efek negatif dan positif ini mudah-mudahan membawa kita lebih mampu
memanajemen konflik demi kepentingan diri kita sendiri.
Robert J. Edelmann membagi efek konflik ke dalam dua kategori yaitu
efek negatif dan efek positif. Rincian dari masing-masing efek sebagai berikut.
Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun
organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi sekaligus
unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik merusak dalam
bentuk tertekannya pekerja (job stress).
Berikut adalah rincian efek negatif konflik organisasi:
1. Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir
secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
2. Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur dan
mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan
berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi pekerja tersebut
punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
3. Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan
alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (klepas-klepus), yang
semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
4. Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong
terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga berdampak
pada eskalasi konflik.

Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan, konflik
sesungguhnya lebih banyak efek positif dibandingkan negatif. Rincian efek positif
konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini :
1. Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan
akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna
menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam.
2. Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik,
mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang
dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan.

Universitas Indonesia
14

3. Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan


harga diri dari tiap pihak yang bertikai.
4. Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara
baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar
orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan
produktivitas.
5. Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan
pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka
meraih kepuasan kerja.

Konsekuensi positif dari konflik fungsional termasuk; kesadaran akan


permasalahan, pencarian solusi, perubahan yang positif dan adaptasi sebagai
bagian dari inovasi. Kehilangan konflik yang fungsional dapat menghambat
perubahan yang terjadi dan menyebabkan tim yang stagnan dan tidak produktif
(Gross, 2013). Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan
pengelolaan konflik dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif
akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber
daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja,
seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas,
masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap
karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik
kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan
masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar
pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran,
inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat
stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan

Universitas Indonesia
15

memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam


keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi
dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan
potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan
konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua
ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja
meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.

Dalam tatanan pelayanan kesehatan, manajemen konflik yang sering


digunakan oleh perawat untuk menyelesaikan konflik adalah kompromi. Terdapat
perbedaan manajemen konflik yang bekerja di tatanan klinis dan akademik,
sebanyak 83% perawat yang bekerja di pelayanan menggunakan tipe manajemen
konflik akomodasi, dan hanya 17% yang menggunakan penyelesaian di tatanan
akademik (Iglesias, 2012). Konflik dapat menyebabkan hasil yang positif maupun
negatif terhadap kerja tim. Tim yang efektif memiliki anggota yang mampu
mengatasi konflik dan menjembatani adanya perbedaan-perbedaan yang terjadi
menjadi pengambilan keputusan yang lebih baik. Konsekuensi negatif terjadi
ketika resolusi konflik tidak dilakukan secara tepat, karena seringkali kerja tim
terdiri dari area yang berbeda di dalam organisasi (Gagarinskaya, 2013)
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, P.2), sesungguhnya disebabkan
oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu adanya kecenderungan untuk
membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya
muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir
pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam
sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan
diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang
terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya
yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing

Universitas Indonesia
16

kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan,


kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam
pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh
teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres
yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag
ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya
produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan
provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang
lain. Perawat dihadapkan pada tantangan konflik pada tingkat organisasi. Hal
ini karena organisasi pelayanan kesehatan yang memiliki budaya kerja dimana
kolaborasi staf di dalamnya bekerja secara terus-menerus dan
berkesinambungan (Moisoglou, 2014). Lingkungan pekerjaan yang
mengandalkan kerja tim memiliki fenomena yang tinggi mengenai terjadinya
konflik organisasi di dalamnya.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut
labor turnover. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan
kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet,
kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan
memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.

Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja sekaligus


orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat perhatian. Jika
tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti :
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja
mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan
contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat
mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang
lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.

Universitas Indonesia
17

3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim karena
mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali
dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat
pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gosip
dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada
tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian
mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang
jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian
dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer
akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari
efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin, 2000 :
131-132).

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai