Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas
manusia,  ilmu pengetahuan merupakan upaya khusus manusia untuk menyingkapkan
realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu sama lain, membangun
dialog dengan mengakui yang lain, dan meningkatkan harkat kemanusiaannya.
Mengetahui secara ilmiah itu bukan menjadi lingkup mengadanya manusia yang
lengkap, akan tetapi merupakan suatu sarana yang memungkinkan mengadanya dan
tindakan manusia. Paling tidak itu meliputi tiga macam pengetahuan pendukung.
Pertama, dorongan untuk mengetahui justru lahir dari keterpaksaan untuk
mempertahankan hidupnya. Kedua, manusia juga mengalami kebutuhan yang lebih
mendalam, yaitu untuk menemukan tata susunan yang sesungguhnya dalam
kenyataannya. Ketiga, dorongan untuk mengetahui menyangkut penelitian mengenai
realisasi mengadanya manusia. Dengan jalan refleksi itu filsafat dapat memberikan
suatu pandangan hidup. Tetapi hasil filsafat berbeda dari pengertian awam tentang
pandangan hidup, sebab filsafat menguraikan dan merumuskan hakikat realitas
secarasistematis-metodis,  oleh karena itu juga filsafat merupakan ilmu pengetahuan.
Filsafat disebut sebagai ratunya ilmu-ilmu. Perkembangan filsafat sejak awal sampai
sekarang tidak pernah lepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia berkembang.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Metodologi Penelitian Filsafat.
Kami mengangkat tema tersebut agar kita dapat lebih mengetahui tentang metodolgi
penelitian filsafat. Berfilsafat itu tidak hanya dilakukan oleh ilmuan-ilmuan terdahulu
ataupun oleh orang-orang yang ingin menguasai agama hingga ke akar-akarnya.
Bahkan oleh anak-anak yang belum waktunya mengenyam pendidikan pun
sesungguhnya telah berfilsafat dengan bagaimana mereka mempertanyakan sesuatu
dan menelaah untuk dapat memahaminya. Karena itulah kami mengangkat tema ini
sebagai pembahasan dalam makalah kami. Untuk memecahkan beberapa masalah
tersebut, kami mecoba untuk membahas dan memaparkan tentang pengertian,
manfaat dan kedudukan penelitian filsafat.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian metodologi penelitian filsafat?
2. Apa metodologi penelitian filsafat?
3. Apa manfaat penelitian filsafat?
4. Bagaimana kedudukan studi metodologi penelitian filsafat?
5. Apa objek ilmu dan objek filsafat?

C. Tujuan
Untuk mengetahui hal sebagai berikut:
1. Pengertian Metodologi Penelitian
2. Kajian Metodologi Penelitian Filsafat
3. Manfaat Penelitian Filsafat
4. Kedudukan Studi Metodologi Penelitian Filsafat
5. Objek Ilmu dan Objek Filsafat
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metodologi Penelitian Filsafat

Kata ‘metodologi’ berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos dan logos,
kata methodos terdiri dari dua suku kata, yaitu meta yang berarti menuju,
melalui, sesudah dan kata benda hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah.
Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Kata logos
berarti ilmu. Jadi metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu
dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji.
Metode berbeda dengan metodologi, dimana metode adalah suatu cara
atau jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat
yang praktis. Metodologi disebut juga sebagai science of method yaitu ilmu
yang membicarakan tentang cara atau petunjuk yang praktis di dalam penelitian,
sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoretis sebagai metode.
Penelitian filsafat adalah suatu usaha untuk mencari kebenaran dan konsep-
konsep yang bersifat umum tentang realitas yang ada secara sistematis.
Penelitian-penelitian dari berbagai sudut pandangan ilmu dapat dilakukan baik
secara kualitatif maupun secara kuantitatif, sedangkan penelitian filsafat tentu
berbeda dengan penelitian di bidang ilmu meskipun objek materialnya sama.
Penelitian tentang manusia, alam semesta, kehidupan, fakta, maupun peristiwa
apa saja dapat menjadi kajian ilmu maupun filsafat, hanya saja dalam bidang
ilmu dibutuhkan data konkrit untuk keperluan pengambilan keputusan praktis.
Penelitian dalam bidang filsafat adalah segenap rangkaian kegiatan akal budi
dari manusia yang menggunakan berbagai metode ilmiah untuk
mengembangkan pengetahuan dalam bidang filsafat. Persoalan filsafat adalah

3
4

pertanyaan mengenai sesuatu pada taraf keumuman yang tertinggi, mengenai


materi seumumnya, menyangkut persoalan arti, nilai dasar atau asas.
Sebagai studi khusus, metodologi penelitian filsafat memiliki tempatnya
dalam keseluruhan bidang studi filsafat. Metodologi ilmiah pada umumnya
berhubungan dengan pengetahuan manusia, maka metodologi pada umumnya
merupakan bagian epistemologi (filsafat pengetahuan). Akan tetapi dalam hal
penelitian filsafat, metodologi diterapkan pada suatu ilmu khusus (yaitu
filsafat), maka metodologi menjadi bagian filsafat ilmu (yaitu epistemologi
khusus).

B. Metodologi Penelitian Filsafat


1) Filsafat itu Pengertian Refleksif
Filsafat adalah kegiatan Refleksif. Filsafat lebih berupa perenungan dan
suatu tahap lebih lanjut dari kegiatan rasional umum. Yang direfleksikan adalah
pada prinsip apa saja, tanpa batas pada bidang atau tema tertentu. Tujuannya
adalah memperoleh kebenaran yang mendasar, menemukan makna dan inti dari
segala inti. Filsafat merupakan eksplisitasi tentang hakikat manusia itu sendiri,
hakikat semesta, bahkan hakikat tuhan, baik menurut segi struktural , maupun
menurut segi normatifnya.
2) Filsafat itu Ilmu
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan, karena filsafat menguraikan dan
merumuskan hakikat realitas secara sistematis-metodis. Dari satu pihak,
disinilah letak kekuatan filasafat sebagai ilmu, karena menjadi sistematisasi
pandangan hidup secara menyeluruh, sehingga terdapat keterlibatan erat antara
filsuf dengan ilmu yang digelutinya. Dari pihak lain dapat disebut sebagai
kelemahan filsafat, bahwa sebagai keterlibatan erat tersebut, filsafat akan
memperlihatkan jumlah aliran dan sistem serta variasi metode yang besar. Ini
merupakan perbedaan yang mencolok antara filsafat dan ilmu pengetahuan
lain, khususnya eksakta, yang tidak memiliki pengalaman hubungan pribadi
5

seperti filsafat berhubungan dengan yang menekuninya. Hanya ilmu social dan
human mendekati filsafat dalam hal ini.

3) Gaya Berfilsafat
a. Gaya Edukatif
Cara eduktif memberikan penjelasan teratur dan sistematis tentang
seluruh bidang filsafat atau tentang salah satu bagian sejauh sudah dihasilkan
: tentang topik-topiknya, pendapat-pendapat yang berhubungan dengan
topik tersebut dalam bentuk kuliah atau buku. Tetapi gaya edukatif
bahannya disajikan terlalu objektivistis dan statis, sebagai suatu kantong
pengetahuan yang jadi. Peserta didikan dijadikan sebagai “ bank” yang
menyimpan dengan setia semua yang dimasukan. Pengetahuan tidak
berfungsi apabila orang dihadapkan dengan putusan, pilihan atau tindakan
yang menyangkut nilai. Filsafat seperti itu tidak lagi dapat sebagai
pandangan hidup.
Sebagai reaksi muncul gaya ekstrim yang bisa disebut gaya
emansipatoris atau konsientisasi. Cara ini tidak mengajarkan bahan yang
telah jadi, melainkan secara sistematis-metodis mendidik dan mendorong
orang untuk menyusun pandangan hidup sendiri dan memecahkan
masalahnya sendiri. Pandangan hidup amat dihormati berdasarkan pemikiran
bahwa filsafat sebagai ilmu yang bersifat personal, tetapi tetap menekankan
sifat subjektivitis. Gaya berfilsafat seperti ini akan melahirkan keyakinan
pribadi yang kokoh, namun sangat tertutup dan tidak memahami mengenai
pemahaman dan pemecahan aliarn-aliran dan tokoh- tokoh lain.
b. Gaya Inventif
Gaya inventif melengkapi gaya edukatif dari segi ekstrim. Gaya ini
mencari pemahaman baru terhadap modal pemikiran yang telah
dikumpulkan dan memberikan pemecahan bagi permasalahan yang belum
terpecahkan. Cara invetif mampu mengoreksi tendensi objektivistis dengan
6

menekankan evaluasi terhadap pengetahuan yang disajikan sebagai data.


Tetapi dari pihak lain, cara ini dapat menghindarkan diri dari kecendrungan
subjektivistis dengan mengadakan komparasi dengan kekayaan pemikiran
yang telah diperoleh. Gaya ini sesungguhnya berupaya menggabungkan
modal pengetahuan sepanjang sejarah, dengan pemahaman dan keyakinan
personal.

4) Penelitian di Bidang Filsafat


Penelitian dibidang filsafat pada dasarnya berpijak pada gaya inventif.
Agar mampu memberikan evaluasi, seorang filsuf harus mempunyai pendapat
pribadi dan mampu menyusun sistematika pribadi yang membutuhkan inspirasi,
komunikasi bahkan konfrontasi dengan filsuf lain. Penelitian ini merupakan
syarat mutlak bagi pengembangan ilmu filsafat.
Penelitian ini bersifat heuritis. Heuritiska dalam filsafat adalah aktualisasi
pemikirannya terus menerus. Filsafat harus berupaya selalu menyajikan
permasalahan yang bersifat mendasar. Filsafat harus bisa mencegah pemikiran
melulu rutin dan mengembalikannya kejalur refleksif-pribadi, sehingga urgensi
masalah dapat disadari. Filsafat harus menolak pemikiran mekanistis dan
membangun kembali arus pikiran yang dinamis dan kreatif.
5) Dialog dengan Ilmu-Ilmu Lain
Dalam kegiatannya, disamping mengintegrasikan tradisi pemikiran dalam
rangka ilmunya sendiri, bagi penelitian filsafat tidak cukup hanya
merefleksikan data-data dan struktur faktual dalam pengalaman filsuf yang
spontan. Ilmu filsafat memerlukan dialog dengan semua ilmu, bukan filsafat
sebagai sumber pengalaman (parsial) yang otentik. Contohnya: epistemologi
harus memperhatikan logika dan linguistik; kosmologi mempertimbangkan data
ilmu eksakta, termasuk ilmu biologi; filsafat manusia memperhitungkan data
antropologi budaya, psikologi dan sosiologi; filsafat ketuhanan tidak boleh
mengabaikan studi tentang agama dan data-data teologis dari masing-masing
7

agama. Keahlian dalam masing-masing ilmu pengetahuan lain harus


diperhatikan secara serius oleh ilmu filsafat, dan merupakan modal penting
dalam melaksanakan model-model penelitiannya.
6) Peraturan Penelitian Filsafat yang Khusus
Peraturan metodologis umum yang berlaku dalam setiap ilmu meliputi
analisis dan sintesis. Hal tersebut juga berlaku bagi filsafat. Dibanyak pusat
penelitian di Indonesia dikenal hanya satu metode penelitian, yaitu yang
berlaku bagi ilmu-ilmu empiris. Metode itu menggunakan langkah-langkah:
kerangka teoritis, hipotesis, metode penelitia dengan alat penelitian,
pelaksanaan penelitian dengan mengumpulkan data, interrprestasi data, dan
kesimpulan. Menurut pengalaman umum dibanyak lembaga dan pusat
penelitian ilmiah, metodologi penelitian filsafat menurut kekhususannya belum
dikenal dan belum diterima sebagai metode ilmiah yang sah.
Akan tetapi filsafat itu merupakan ilmu tersendiri, dengan objek formal
khusus. Filsafat itu mencari suatu pemahaman kenyataan yang berbeda dari
ilmu-ilmu lain. Maka perlu diberikan uraian teratur mengenai metodologi
penelitian yang sesuai dengan objek formalnya.

C. Manfaat Penelitian Filsafat


1) Filsafat Berdialog dengan Ilmu-Ilmu.
Ilmu pengetahuan berkembang atas dasar dilakukannya penelitian,
sedangkan masalah bagi suatu penelitian tergantung dari suatu kepentingan
tertentu, sehingga sebelum dilakukan penelitian, perlu diberikan kejelasan nilai.
Sejak abad ke-17 ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat.
Namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu mundurnya
refleksi filosofi ilmu. Metode ilmu eksakta seringkali diterapkan secara tidak
relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya memerlukan metode yang
khas. Akhirnya dibutuhkan alternatif dalam metodologi, untuk mengimbangi
pendekatan empiristis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi
8

penghayatan manusia dan pula diperlukan upaya untuk menggunakan metode


yang tepat terhadap bidang-bidang keilmuan yang tidak boleh dipaksakan
pendekatannya. Perlulah kebenaran ditangkap secara holistis, dan
perkembangan ilmu pun berjalan secara bertanggung jawab.
Dalam hidup praktis sebagai penerapan kegiatan ilmiah, filsuf
dibutuhkan. Ahli filsafat diperlukan untuk melengkapi spesialisasi disiplin ilmu
pengetahuan yang terlalu tajam dan terisolasi, sehingga mereka menjadi
tertutup bagi tingkat kebenaran disiplin lainnya. Para filsuf dibutuhkan pada
lembaga formal pengambilan keputusan yang menyentuh hidup orang banyak,
pada lembaga-lembaga pendidikan, keagamaan, hukum social dan budaya.
Mereka membantu untuk menjamin perlengakapan pandangan menyeluruh dan
untuk menjelaskan filsafat tersembunyi dalam pengambilan keputusan
kebijaksanaan dan pelaksanaannya. Untuk itu mereka harus diikutsertakan
dalam studi dan penelitian antar disipliner.
2) Filsafat Sendiri menjadi Operasional.
Bagi seorang sarjana filsafat yang telah menyelesaikan studi formalnya,
harus mampu menfungsionalkan keahliannya dalam rangka hidup
bermasyarakat. Bisa saja ia membatasi diri pada kegiatan bergaya edukatif,
yaitu hanya mengajar dengan mengikuti buku pegangan rutin, akan tetapi tanpa
mengadakan penelitian formal, keahlian filsafat sendiri sudah akan ketinggalan.
Apalagi dengan gaya edukatif semata-mata tidak akan tercapai apa yang
diharapkan dari ahli filsafat yakni sumbangannya untuk memecahkan masalah
baru di masyarakat secara holistis.
Pasar tenaga kerja terbuka lebar bagi para filsuf, tetapi dia harus selalu
berusaha, supaya ilmu filsafat bersifat eksistensial dan relevan. Pemahaman
filisofis yang sistematis perlu dibuat operasional dan diruncingkan pada situasi
konkret, dengan kata lain para filsuf membutuhkan metodologi untuk
mengadakan penelitian. Tidak cukup hanya menguasai metodologi untuk
9

menyusun karangan ilmiah. Tapi harus memiliki ketepatan dalam memilih


diantara bermacam-macam model penelitian filsafat.

D. Kedudukan Studi Metodologi Filsafat


Sebagai studi khusus sendiri metodologi penelitian filsafat memiliki
tempatnya dalam keseluruhan bidang studi filsafat. Metodologi ilmiah pada
umumnya berhubungan dengan pengetahuan manusia. Maka sejauh dipelajari
secara filosofis, metodologi pada umumnya merupakan bagian epistemologi
(filsafat pengetahuan). Akan tetapi dalam hal penelitian filsafat ini metodologi
diterapkan pada suatu ilmu khusus yaitu filsafat maka menjadi bagian dalam
filsafat ilmu yaitu epistemology khusus.
Berhubungan dengan kedudukan dalam studi filsafat formal, ada prasyarat
untuk mempelajari metodologi penelitian filsafat. Prasyarat itu adalah
pengenalan dan penugasan metode filsafat utama yang dipergunakan sepanjang
sejarah. Sebagai konsekuensi berikut ini berarti diperlukan prasyarat lagi yakni
filsafat pengetahuan atau epistemology sehingga logika harus dikuasai dulu
secara matang.

E. Objek Ilmu dan Objek Filsafat


1) Struktur Pengetahuan Manusia Menurut Taraf-Taraf Subjek
Pengetahuan manusia pada umumnya berarti komunikasi dengan
kenyataan berhubungan dengan ide dan kesadaran manusia. Manusia menerima
pengaruh dari lingkungan, baik dunia maupun masyarakat, dengan cara
memahami, mengungkapkan dan memberikan makna sehingga pengetahuan
manusia tersebut bersifat dialogal (dua arah). Pengetahuan yang sesuai dengan
hakikatnya dalam manusia dapat dibedakan atas 3 yaitu :
a. Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera.
Kemampuan ini dimiliki manusia sebagai makhluk biotik, tetapi tidak semua
10

makhluk biotik memilikinya. Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu


disebabkan oleh adanya perbedaan indera yang satu dengan indera yang
lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek
yang dapat ditangkap. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda
mengenai barang atau makhluk yang menjadi objek seperti bunyi, bentuk, rasa
atau bau. Pengetahuan inderawi berbeda menurut perbedaan indera atau
terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu. Pendengaran hanya mampu
menangkap suara dan terbatas pada frekuensi tertentu sesuai dengan kepekaan
indera pendengaran masing-masing orang. Mata peka terhadap cahaya dan
tidak mampu menangkap bau yang merupakan tugas indera penciuman dan
begitu juga dengan indera yang lainnya. Oleh karena itu secara objektif
pengetahuan yang ditangkap oleh satu indera saja tidak dapat dipandang
sebagai pengetahuan yang utuh. Ibarat pengetahuan orang yang buta yang
berbeda pendapat tentang gajah, karena hanya mengandalkan indera peraba
saja. Namun pengetahuan inderawi tetap memilki peranan yang penting karena
bertindak sebagai pintu gerbang menuju pengetahuan yang utuh.
b. Pengetahuan Naluri
Persepsi dan naluri merupakan daya khas yang dimiliki makhluk yang
memiliki psikhe (jiwa), dalam rangka mempertahankan hidup dan
melangsungkan kehidupannya di alam. Naluri merupakan bagian misteri alam
kehidupan, sejauh telah memperlihatkan bayangan kesadaran yang pertama,
entah secara lemah atau kuat.
Naluri sangat peka dalam binatang dan justru memperlihatkan
kelebihannya dari makhluk hidup lain. Naluri binatang didukung oleh
kemampuan fisik binatang tersebut.
Kendati berbeda dan lebih tinggi lagi dari binatang, manusia secara
principal juga memilki pengetahuan naluriah. Untuk mempertahankan
hidupnya manusia dilengkapi dengan pengetahuan natural spontan dan
kehendak yang cenderung melakukan hidup sesuai dengan pengetahuan itu.
11

Pengetahuan itu nampak dalam persepsi yang disertai dengan emosi-emosi


spontan, seperti ketakutan, kemarahan, rasa gembira, munculnya keinginan
untuk lari atau memukul orang yang mengancam.
Namun naluri tidak sepenuhnya didukung oleh kemampuan fisik yang
tepat sebagaimana pada binatang dan oleh karena itu tidak pernah ada
manusia yang “siap jalan” dalam hubungan alam yang “siap pakai”. Namun
meskipun keadaan fisik dan biotiknya tidak mencukupi untuk hidup dengan
nalurinya semata, tetapi manusia memiliki kekuatan nonfisik yang secara
terpadu mampu membangun alam sesuai kebutuhannya.
c. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan lebih tinggi lagi yang hanya terdapat pada manusia ialah
pengetahuan rasional. Pengetahuan ini dicirikan oleh kesadaran akan sebab
musabab suatu keputusan, ia tak terbatas pada kepekaan indera tertentu dan
tidak hanya tertuju pada objek tertentu. Pengetahuan rasional memiliki tiga
tingkatan dan satu tingkatan pengetahuan lain yang sifatnya khusus.
1. Pengetahuan biasa
Setiap orang memilki pengetahuan ini, yang bersifat intuitif-
spontan dan kurang memakai penalaran formal. Pengetahuan ini
diperoleh pergaulan normal dengan lingkungan sekitar. Pengetahuan
ini meliputi beberapa tingkat : pengetahuan tentang barang dan benda,
pengetahuan tanaman dan ternak, pengetahuan tentang manusia,
misalnya setiap orang dewasa secara spontan mengetahui tentang
penyebab dalam peristiwa alamiah, tentang hubungan social dan
tentangng pendidikan anak. Diantara pengertian itu termuat
pengetahuan tentang hal-hal terakhir seperti hakikat manusia, makna
hidup manusia, kematian dan Sang Pencipta.
2. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang terorganisasi yaitu
dengan sistem dan metode berusaha mencari hubungan-hubungan
12

tetap diantara gejala-gejala (van peursen 1985:16). Pengetahuan ilmiah


empiris mengumpulkan gejala-gejala tersebut dan tetap tinggal dalam
garis kawasan horizontal.
Tetapi masih ada pengetahuan ilmiah yang serba lain sifatnya
yaitu pengetahuan filosofis. Dengan memakai sistem dan metode,
filsafat memikirkan penjelasan terakhir dari gejala-gejala dan berusaha
mempelajari asumsi-asumsi paling dasariah didalamnya. Khususnya
berusaha merincikan tentang pengetahuan terakhir seperti: hidup dan
mati manusia, kebaikan, tuhan. Pengetahuan ini merupakan lanjutan
dari refleksi atas objek pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah
empiris.
3. Pengetahuan terhadap hal yang bersifat transenden
Pengetahuan transenden dibedakan kepada dua macam:
a. Pengetahuan transenden yang termasuk kedalam jangkauan filsafat,
sejauh filsafat merefleksikan hal-hal terakhir dalam hidup dan
pengelaman manusia. Pengetahuan ini masih dapat disebut
pengetahuan natural dan mendapat tempat dalam rangka
kemampuan akal.
b. Pengetahuan transenden yang berhubungan dengan pemberitahuan
diri yang khusus dari pihak tuhan atau bersangkut dengan wahyu
atau supernatural. Pengetahuan ini tidak dapat dikembangkan dan
ditemukan secara otonom dalam struktur pengetahuan rasional,
tetapi hanya dapat didekati dalam sikap penyerahan dalam
kepercayaan. Pengetahuan ini dapat dipertangguang jawabkan
dengan kemampuan akal dan terjadi dalam teologi.

d. Pengetahuan Intuitif atau Imajinatif


Pengetahuan intuitif merupakan suatu pengetahuan yang begitu
khusus. Pengetahuan ini sebenarnya tetap termuat dalam rasionalitas
13

manusia pada umumnya, tetapi dilawankan dengan pengetahuan rasional


sejauh ini justru menekankan sistematika dan kekuatan metodis.
a. Kemampuan fantasi bebas
Pengetahuan imajinatif atau intuitif ini merupakan kegiatan mental
yang menghasilkan kembali dan menciptakan gambaran-gambaran
tanpa ada objek real yang sesuai dengannya. Gambaran-gambaran itu
dapat dipadukan tanpa arah dan dengan kombinasi tak terduga.
Misalnya: seseorang dapat membayangkan diri dalam macam-macam
situasi dan peranan dan situasi-situasi itu juga dengan tiba-tiba dapat
tergambar berubah dengan menjadi sebaliknya atau menjadi lain sekali.
b. Kemampuan imajinasi estesis
Unsur-unsur yang terbentuk oleh permainan fantasi yang disengaja
membentuk kombinasi yang harmonis dan mengungkapkan siatuasi
batin penciptanya dalam bentuk baru dan mampu menggerakkan
pengalaman yang sama pada orang lain. Contoh : kita dapat menangis
terharu apabila mendengar lagu atau musik yang dimainkan, cerita,
novel, puisi dapat menggetarkan hati pembacanya, suatu lukisan
seringkali mampu melantunkan penikmatnya.
c. Kemampuan fantasi dalam fungsi praktis
Fungsi fantasi dapat menjelaskan dan menyempurnakan
penalaran.Pemikiran masalah-maslah konkret seringkali tidak
dilaksanakan orang semata-mata dengan perhitungan lurus dan
matematis, tetapi juga dengan fantasi. Misalnya seorang guru
menemukan ilustrasi bahan untuk materi pelajaran dengan
mengimajinasikan contoh-contoh dan perbandingan-perbandingan.

d. Kemampuan imajinasi dalam penemuan ilmiah


Imajinasi dapat membentuk intelektual ilmu pengetahuan dan
filsafat.Imajinasi ini dapat dengan tiba-tiba membuka pemahaman, tanpa
14

ada suatu metodik terarah. Contoh kisah Archimedes menemukan cara


mengukur benda yang tidak memilki bentuk pasti.

2) Struktur Pengetahuan Manusia Dalam Rangka Pemahaman Objek


Formal Ilmu
a) Perbedaan tingkat kebenaran
Struktur pengetahuan manusia menunjukan tingkatan-tingkatan
dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam
struktur tersebut menunjukan tingkatan kebenaran yang berbeda.
Pengetahuan inderawi merupakan tingkat terendah dalam struktur
tersebut sampai tingkat tertinggi yaitu pengetahuan rasional dan
intuitif. Tingkat lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak
lengkap, tidak terstuktur dan pada umumnya kabur, khususnya pada
tingkat pengetahuan inderawi dan naluri. Maka tingkat pengetahuan
lebih rendah harus diliputi, dilengkapi dan diatasi oleh tingkat
diatasnya.
b) Pengetahuan rasional tingkat tinggi
Pada struktur pengetahuan manusia pada dasarnya pengetahuan
rasionalnya mengantarkan dirinya untuk mendapatkan tingkat
pengetahuan dan kebenaran yang tertinggi, sejauh mungkin bagi akal
manusia yang otonom. Pengetahuan rasional ini dikembangkan dan
mencapai batasnya dalam pengetahuan ilmiah. Maka untuk selanjutnya
perhatian dan tekanan akan ditunjukkan pada pengetahuan ilmiah dan
filsafat, sebab bagian inilah dalam konteks pemahaman terhadap
objekformal ilmu paling relevan
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan
penataan pengetahuannya, agar terstruktur dengan jelas. Ilmu dicirikan
dengan pemakaian sistem dan metode ilmiah yang dapat diberikan
bermacam-macam bentuk. Metode ilmu dapat bersifat sangat teoritis
15

dan apriori dengan membuat usur-unsur bangunanya sendiri, seperti


yang terjadi dalam matematika. Metode ilmu juga dapat bersifat
empiris, dengan unsur-unsur bangunan seakan-akan diolah dari
lingkungannya.
c) Metode ilmu ditentukan oleh objek
Metode ilmiah yang dipakai dalam ilmu tertentu tergantung
dari objek formal bagi ilmu yang bersangkutan. Sebaliknya sesuai
dengan metode yang dipergunakan, juga akan tampaklah objek formal
yang selaras dengan metode itu.
Contohnya:
Adanya Tuhan tidak akan pernah akan ditemukan dengan jalan indra,
atau dengan perpanjangan seperti mikroskop. Tetapi dengan begitu
apakah manusia sudah dapat dipertanggungjawabkan, bahwa ia tidak
percaya atas kebenaran Tuhan?
Kenyataan ini menunjukkan bahwa diperlukan hampiran yang
tepat untuk setiap ilmu yang berbeda tarafnya. Sesungguhnya cara dan
gaya untuk mendekati kenyataan dan mencari kebenaran itu berbeda-
beda, bahkan dalam banyak hal tertentu harus berbeda. Justru itulah
merupakan penghampiran objek formal. Pendekatan dalam bermacam-
macam ilmu itu sudah berbeda menurut objek konkret.

Contohnya:
 Objek logam diteliti mungkin disinari, atau dengan direndam dalam
bahan kimia. Objek yang hidup seperti bunga atau hewan, diteliti
dengan cara lain.
16

 Cara meneliti intelegensi anak, atau kejujuran seorang pengikut


dalam suatu ideologi.

Jikalau dilihat manusia sendiri saja, ia dapat didekati menurut taraf


yang berbeda, karena manusia memang makhluk yang paling rumit
aspeknya. Manusia didekati entah sebagai kompleks fisiko-kimis
(kadar gula), entah sebagai organisme (penyakit), entah sebagai
rumpun mekanisme psikis (neurosis), atau pula sebagai pribadi
maupun makhluk sosial (keluarga).

3) Pembagian Ilmu-Ilmu Menurut Objek Formalnya


a) Taraf-taraf dalam Keseluruhan Kenyataan
Kenyataan dalam arti paling luas ialah dunia manusia. Menurut Van
Laer (1962), taraf kenyataan ada 4 yaitu:
1. Taraf Pelikan atau Fisiko-Kimis
2. Dunia Hidup (Bios)
3. Dunia Psikis (Persepsi, Nafsu, Naluri)
4. Dunia Human.
Dunia human sendiri (taraf tertinggi) justru menurut antar relasi di
antara orang, dapat dibagi lagi menjadi 4 level atau lapisan yaitu:
 Bidang Ekonomis
Contoh: Yang menyangkut barang milik, misalnya tanah dan uang.
 Dunia Sosio-Politis
Contoh: Yang meliputi lembaga politis, struktur sosial, kekuasaan.
 Dunia Humanistic
Contoh: Hubungan antarpribadi, persahabatan, pendidikan,
estetika.
 Dunia Religius
Contoh: Khususnya dalam hubungan umat religius.
17

Segi moral tidak dimasukkan dalam salah satu di antara keempat


level atau lapisan tersebut, sebab dimensi moral bukanlah suatu taraf
tersendiri, melainkan menyangkut penghayatan pada masing-masing
bidang tadi.
Keempat taraf kenyataan yang umum, dan keempat lapisan human
khususnya memiliki kaitan erat dengan pengetahuan manusia. Kualitas
kebenaran yang dicapai manusia tidak hanya tergantung dari tingkat
pengertian dari pihak subjek terhadap kenyataan, seperti pengertian
inderawi, naluriah, atau rasional. Tetapi pemahaman akan kenyataan,
bersama dengan kebenarannya, tergantung dari pilihan taraf yang ingin
dipahami dalam kenyataan. Misalnya pendidikan orang muda dapat
dipandang dari sudut dorongan psikologis, atau hanya dipahami dari
segi ekonomis, atau pula politis, humanistik, atau dari segi religius.
Masing-masing merupakan pemahaman otentik, akan tetapi yang satu
lebih parsial daripada yang lainnya.
b) Ilmu Rendah dan Tinggi
Sesuai dengan taraf kenyataan yang diduduki objeknya, maka ilmu-
ilmu dapat diklasifikasikan rendah dan tinggi. Makin tinggi objeknya dan
makin kaya kenyataan yang diliputinya, semakin kaya pula ilmu itu
sendiri, sebab ilmu itu merangkum keseluruhan kenyataan, dan semakin
juga ilmu itu menemukan kebenaran yang utuh. Maka tingginya ilmu juga
tergantung dari ukuran sejauh ilmu itu meliputi manusia seutuhnya
sebagai objeknya.
Pemahaman manusia dibangun dari bawah. Ilmu-ilmu yang lebih
rendah itu mutlak perlu sebagai dasar dan pengarahan bagi ilmu-ilmu
yang lebih tinggi. Mereka menentukan batas-batas pertama bagi
kemungkinan perkembangan ilmu-ilmu yang lebih tinggi. Namun
pembatasan itu tidak mutlak, melainkan memberikan ruang gerak yang
18

luas bagi ilmu-ilmu lebih rendah itu sebagai bantuan, dan harus
memperhitungkannya juga sebagai landasan. Akan tetapi mereka juga
menempatkannya dalam perspektif baru, dan mengangkatnya. Mereka
memberikan kemungkinan bagi ilmu-ilmu lebih rendah untuk berfungsi
pada bidang jauh lebih tinggi dan mencapai perhalusan yang tidak
terduga.
Ilmu-ilmu yang lebih rendah pada umumnya diteliti dengan metode
kuantitatif, yang paling sesuai dengan objeknya yang sederhana dan tanpa
keunikan. Sebaliknya ilmu-ilmu yang lebih tinggi diteliti dengan metode
kualitatif. Objeknya bersifat kualitatif ialah manusia menurut ekspresinya,
entah dalam dirinya sendiri sebagai pribadi, entah di dunia sekitarnya.
Sering dilakukan kesalahan menggunakan hampiran metodologis secara
kuantitatif untuk objek yang sesungguhnya tidak dapat tercapai dengan
jalan itu. Ironisnya ialah bahwa kesalahan semacam itu kerap kurang
disadari bahkan oleh para ilmuwan.
4) Keutuhan Pengetahuan Ilmiah
a) Setiap Ilmu Bertendensi Menutup Diri
i. Sebuah kisah
Ada kisah lucu yang diambil dari cerita-cerita sufi tentang
Nasarudin Hoja. Di bawah sinar lampu penerang jalan yang benderang,
Nasarudin kelihatan sibuk mencari-cari sesuatu. Seorang bertanya:
“Apa yang sedang kau cari, wahai Nasarudin”.
“Kunci” jawab Nasarudin.
“Apakah kunci tersebut hilang di sekitar ini?”
“Tidak; kunci itu hilang di dalam rumahku.”
“Lalu mengapa kau cari di sini?”
“Di sini terang benderang, sedangkan di dalam rumahku gelap gulita.
Aku merasa lebih mudah mencari barang hilang di tempat yang terang
daripada di tempat gelap”.
19

Kisah tersebut sama sekali tidak ilmiah, tetapi mempunyai makna


mendalam. Pada batas-batas tertentu jawaban Nasarudin adalah rasional.
Secara teoritis mencari barang hilang di tempat terang jauh lebih mudah
daripada mencarinya di tempat gelap. Namun secara praktis tidak
ditemukan yang dicari. Ternyata sikap aneh dari Nasarudin seringkali
kita temukan pada ilmuwan, yang menganggap dengan memakai metode
yang diyakini bisa mencari sesuatu yang seharusnya dicari di tempat
atau dengan metode yang berbeda. Mereka kehilangan manusia yang
sesungguhnya, tetapi mencari di tempat salah. Mungkin terlalu
sederhana, apabila justru manusia yang sesungguhnya itulah kita
ibaratkan sebagai kunci Nasarudin yang hilang dirumahnya yang gelap.
Tetapi sekurang-kurangnya pencarian seharusnya diupayakannya
dengan cara yang sesuai dengan keadaan rumah tersebut, bukan dengan
cara mencarinya di tempat lain.
ii. Metode terbatas menghasilkan objek terbatas
Ilmu ditentukan oleh objeknya dan objek itu memastikan
pemakaian metode. Akan tetapi sebaliknya juga metode tertentu
menghasilkan objek tertentu. Benar yang sudah ditulis Ignas Kleden,
setiap disiplin ilmu menjadi khas karena metode yang digunakannya.
Tetapi masih ada akibat lain juga.
Di samping membuat sesuatu disiplin berbeda dari lainnya, metode
ilmu bisa juga membuatnya tertutup terhadap disiplin lainnya. Akibat itu
tidak mengherankan, sebab setiap metode ilmiah sebetulnya
mengisolasikan objek disiplin tersebut, dengan sifat-sifat lainnya.
Dengan demikian metode ilmu biologi meneliti manusia sebagai suatu
organisme, dan bukan sebagai makhluk budaya. Metode ilmu ekonomi
mengharuskan manusia diperlakukan sebagai makhluk yang mencari
nafkah, dan bukan sebagai makhluk yang mempunyai perasaan
20

keagamaan juga. Begitulah seterusnya dengan disiplin ilmu lainnya.


Kecenderungan metodologis itu bisa membawa dua akibat utama.
Pertama, metode ilmiah membuat ilmu pengetahuan menjadi sistem
tertutup; dan kedua, metode ilmiah lebih mengunggulkan kategori
teoritis daripada kategori praktis.
b) Landasan Bagi Ilmu Untuk Menutup Diri
i. Otonomi Ilmu
Sifat ilmu sebagai sesuatu sistem tertutup bermula dari tuntutan
akan otonomi ilmu pengetahuan. Filsuf dan sosiolog Auguste Comte,
dengan mengajukan tiga tahapan perkembangan ilmu setidak-tidaknya
mencerminkan kecenderungan dalam kalangan ilmuwan untuk
mendapatkan otonomi ilmu pengetahuan.
Menurut Comte, tahapan pembebasan pertama ilmu pengetahuan
ingin melepaskan diri dari lingkungan teologis yang bersifat mistis.
Pada tahap kedua ilmu pengetahuan juga melepaskan diri dari
lingkungan metafisis yang bersifat abstrak. Dengan demikian ilmu
menemukan otonominya dengan menerima lingkungan positivistis;
metode ilmiah membatasi diri hanya pada objek-objek yang dihasilkan
observasi empiris. Dalam tahap positif ini, agama yang pada abad
pertengahan menjadi jantung kehidupan bersama, dan menjiwai dan
melambangkan seluruh masyarakat, harus menyerahkan hegemoninya
atas ordre intellectuelle (wilayah akal budi) kepada ilmu pengetahuan
empiris.

ii. Prioritas Teori


Pandangan bahwa dalam ilmu pengetahuan kategori teoretis
mandahului kategori praktis, didasarkan atas tanggapan, bahwa
pengolahan ilmu pengetahuan dan pengembangannya adalah hal yang
berbeda dari penerapan dan penggunaan hasil-hasil ilmu pengetahuan.
21

Dengan demikian muncul keyakinan bahwa ilmu pengetahuan tidak


perlu dikontrol atau direncanakan, karena ilmu pengetahuan tidak akan
berkembang salah, selama dia diberi otonomi yang cukup luas. Yang
salah bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan penggunaanya.
iii. Sukses Ilmu Eksakta
Sikap prinsipal yang mendorong sistem ketertutupan ilmu dan
keangkuhan ilmu diperkuat oleh keberhasilan ilmu (eksakta) dalam
rangka mewujudkan impian manusia mengenai hidup manusiawi.
Sukses ilmu terutama dicapai melalui teknologi yang
dikembangkannya.
Sastrapratedja menyatakan bahwa dalam perkembangan zaman
teknologi dewasa ini manusia tidak lagi hidup menurut siklus alamiah
dengan diatur oleh ritme alam. Sekarang manusia diatur oleh alam
kedua suatu lingkungan yang dalam arti tertentu artifisial, sebagai hasil
teknologi. Pada zaman dahulu alam kedua lebih merupakan imitasi
dari lingkungan alamnya. Zaman kini ditandai dengan penemuan-
penemuan (inventivitas). Manusia tidak lagi meniru alam pertama,
tetapi menciptakan dunia secara baru, dengan ide dan kemauannya.
Alam kedua penciptaan teknologis, tidak hanya melengkapi apa yang
kurang dalam alam pertama, tetapi menggantinya. Tetapi bersama itu
timbul pula masalah baru. Sebab sudah begitu memahami hukum-
hukum alam, manusia dapat memanipulasi alam, dan bahkan
membentuk alam kedua yang berlawanan dengan yang pertama.
Dengan adanya kemampuan seperti itu, ilmu pengetahuan
merasa yakin, bahwa sumbangan paling besar yang dapat diberikan
untuk kemajuan dan kebaikan umat manusia ialah, jikalau dan selama
ini pengetahuan diberi kesempatan ilmiahnya sendiri. Oleh karena itu
ilmu pengetahuan tidak mau tunduk kepada kaidah-kaidah yang lain
22

daripada yang dipegangnya sendiri, dengan bertanggung jawab sendiri


bagi mutu dan integritasnya.
iv. Kehilangan Keutuhan Pengetahuan Ilmiah
Keberhasilan ilmu eksakta dalam mengembangkan teknologi,
khususnya berhadapan dengan kegagalan ilmu-ilmu human dalam
menjawab masalah manusia, membawa dampak buruk lagi terhadap
kedudukan serta upaya pengembangan ilmu-ilmu human. Agar ikut
serta dalam sukses ilmu-ilmu human dikembangkan dengan
pendekatan yang tidak berbeda dengan metodologi ilmu eksakta.
Dengan demikian gaya berfikir menurut ilmu eksakta dan teknologi
dominan dan hampir eksklusif di dunia ilmiah.
Gagasan rasionalistis dan positivistis cenderung untuk
menyisihkan seluruh pemahaman yang didapat secara refleksi. Ditolak
adanya keterkaitan antara materi dengan nonmateri, dunia fisik dengan
nonfisik. Apabila kerangka berfikir ini digunakan
23

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat bermula dari rasa heran hingga menimbulkan pertanyaan dan asumsi-
asumsi yang fundamental. Hal ini melatarbelakangi pentingnya penelitian dalam
filsafat guna menjawab problema yang berkembang. Problema dalam filsafat tidak
dapat dipecahkan dengan hanya mengumpulkan fakta, namun memerlukan
metodologi yang tepat. Metodologi merupakan epistemologi yang mengkaji perihal
urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh
memenuhi ciri-ciri ilmiah.
Metodologi penelian filsafat meliputi komponen Filsafat sebagai Pengertian
Refleksif, filsafat sebagai ilmu daya berfilsafat. Penelitian dibidang filsafat berpijak
pada gaya inventif. Seorang filsuf harus mempunyai pendapat pribadi; dan agar
mampu menyusun sistematika pribadi, ia membutuhkan inspirasi, komunikasi,
bahkan konfrontasi dengan filsuf-filsuf lain. Penelitian filsafat bersifat heuristis.
Heuristika dalam filsafat adalah aktualisasi pemikiran yang berlangsung terus
menerus, membangun arus pikiran yang dinamis dan kreatif.
Ilmu filsafat memerlukan dialog dengan semua ilmu bukan filsafat sebagai
sumber pengalaman (parsial) yang otentik. Di samping ilmu ini, ilmu filsafat juga
merujuk pada epistemologi terhadap ilmu lain. Peraturan metodologis umum yang
berlaku dalam setiap ilmu meliputi analisis dan sintesis. Pada beberapa pusat
penelitian di Indonesia hanya mengenal satu metode penelitian dan berlaku bagi
ilmu-ilmu empiris.
Filsafat mempunyai tempat dan kedudukan khusus. Filsafat tidak hanya terbatas
pada satu bidang atau lapisan saja melainkan meliputi satu bidang dan semua dimensi
yang diteliti oleh ilmu lain, dan memuat bidang-bidang itu semua tanpa pengecualian
menjadi objek langsung dari penelitinya. Jadi manusia sebagai objek dalam filsafat
adalah dengan mempelajari semua objek sampai yang paling kaya dan khususnya
manusia dalam segala dimensinya
23
24

Manusia sebagai objek formal filsafat memiliki beberapa sifat dasar, yang
menjadikan kekhususan metodologi penelitian dalam filsafat. Maka sifat dasar adalah
Objek dan subjek, Ekspresif dan intensif, Berhubungan (relative) dan otonom, Sama
dan unik, Lama (tetap) dan baru.
25

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton dan Zubair, A. Charris. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta:
Kasinius (Anggota IKAPI).

Anda mungkin juga menyukai