Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular


yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
kematian yang tinggi.1 SKA adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard
yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada,
perubahan segmen ST pada elektrokardiogram (EKG), dan perubahan biomarker
jantung.2 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, SKA dibagi
menjadi Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevation myocardial infarction); Infark miokard dengan non elevasi segmen ST
(NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction); dan Angina Pektoris
tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris).3
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction) adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala
iskemia miokard khas (angina tipikal) yang dikaitkan dengan gambaran EKG
berupa elevasi ST yang persisten atau LBBB baru/persangkaan baru diikuti
pelepasan biomarker nekrosis miokard.1,4
Menurut WHO, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama
kematian secara global yakni sebesar 31% atau diperkirakan 17,9 juta kematian
yang diperkirakan pada tahun 2016. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 23,3 juta kematian pada tahun 2030.5 Berdasarkan Statistik Penyakit
Jantung dan Stroke oleh American Heart Association (AHA) tahun 2016,
ditemukan sekitar 15,5 juta orang yang berusia diatas 20 tahun di Amerika Serikat
memiliki penyakit jantung koroner. Dan prevalensi yang dilaporkan meningkat
dengan bertambahnya usia baik pada wanita maupun pria, dan diperkirakan bahwa
setiap 42 detik ditemukan seorang dengan diagnosis infark miokard. 6 Berdasarkan
diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013
sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang,

1
diantaranya 11.892 orang pada provinsi Sulawesi Utara. 7 Penelitian di Indonesia
oleh Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry periode Oktober 2014
sampai Juli 2015 melaporkan dari 3015 kasus SKA 1024 diantaranya adalah kasus
STEMI.8
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan khas iskemik miokard
ditemukan pada pasien dengan karakteristik seperti pria, pada wanita meningkat
setelah menopause, adanya faktor risiko (dislipidemia, hipertensi, merokok,
diabetes melitus, riwayat PJK dini dalam keluarga).1,9,10
STEMI merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner yang memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis menggunakan Intervensi Koroner Perkutan
(IKP) Primer.1 Selain terapi reperfusi, European Society of Cardiology
merekomendasikan pemberian terapi lain seperti anti-platelet, anti-koagulan,
nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.1,11
Terapi reperfusi dini telah menurunkan tingkat mortalitas di rumah sakit
secara substansial dan menunjukkan hasil yang lebih baik pada pasien infark
miokard fase akut. Meski demikian, STEMI masih menimbulkan berbagai
komplikasi antara lain disfungsi miokard, gagal jantung, syok kardiogenik,
aritmia, komplikasi mekanik, perikarditis.1
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus Infark Miokard Akut di RSU GMIM
Bethesda Tomohon.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. YS
Umur : 54 tahun
Alamat : Kinilow I Jaga 8
Pekerjaan : Swasta
Agama : Kristen
Suku : Minahasa
Status : Menikah
Tanggal masuk: 11 Februari 2020

B. Anamnesis
autoanamnesis
Keluhan utama : Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang:
Nyeri dada dirasakan pasien 2 jam SMRS, nyeri seperti tertindih beban berat
tembus sampai punggung belakang, muncul tiba-tiba saat pasien sedang tidur.
Nyeri dirasakan terus menerus selama  20 menit, disertai dengan keringat dingin,
dan sesak napas. Nyeri dada seperti ini tidak pernah dialami pasien sebelumnya.
Tidak ada mual muntah. Tidak ada demam. Tidak ada batuk. BAK dan BAB tidak
ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi, asma, penyakit jantung, penyakit ginjal disangkal. Tidak ada alergi
obat/makanan. Pasien memiliki riwayat kolesterol 4 tahun lalu, tetapi tidak minum
obat dan tidak pernah kontrol lagi. DM baru diketahui saat pemeriksaan GDS.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.
Hipertensi (-), asma (-), penyakit jantung (-), penyakit paru (-), DM (-), alergi
obat/makanan (-).

3
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok sejak 30 tahun lalu, satu hari biasa menghabiskan 1 bungkus
rokok. Riwayat minum alkohol dan kopi sejak 20 tahun lalu, terkadang makan
makanan berlemak tinggi seperti gorengan. Olahraga jarang, selain pekerjaan
swasta, hanya sesekali melakukan bersih-bersih rumah dan halaman.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak lemah, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan
baik.
2. Tanda Vital
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 60 x / menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
Pernafasan : 20 x /menit
Suhu : 36,5 oC
BB : 73 kg
TB : 171 cm
IMT : 24.96 (Overweight)
3. Kulit
Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), kelainan
mimik wajah /bells palsy (-).
5. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
7. Mulut
Bibir pucat (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-).
8. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).

4
9. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), faring hiperemis (-)
10. Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-), kaku (-).
11. Thoraks
Normochest, simetris, pernapasan abdominotorakal, retraksi (-), spider nevi (-),
pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas: SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra
batas kiri bawah: SIC V Linea Midclavicula sinistra
batas kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
Auskultasi: S1S2 tunggal, irama gallop (-), murmur (-)
Pulmo :
Statis (depan dan belakang)
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-), wheezing -/-
Dinamis (depan dan belakang)
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler, suara tambahan (ronchi -/-), wheezing (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : perut tampak mendatar, tidak ada pembesaran hepar dan lien
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani

5
Auskultasi : bising usus (+) normal
13. Ektremitas
Akral dingin Edema
- - - -
- - - -

D. DIAGNOSIS
STEMI Inferior

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

ST elevasi lead II,III,aVF


HR 60x/m
Kesimpulan: STEMI inferior, sinus bradikardi

Hematologi
6
Hb : 12,4 g/dL
Hematokrit : 38,4 %
Eritrosit : 5,52 juta/uL
Leukosit : 10.490/uL
Trombosit : 256.000/uL

Kimia Darah
GDS : 301 mg/dL
SGOT : 25 U/L
Ureum : 29 mg/dL
Kreatinin : 0,91 mg/dL
CKMB : 23 U/L
LDH : 304 U/L
Kolesterol total : 149 mg/dL
Trigliserida : 177 mg/dL
HDL-direk : 38 mg/dL
LDL-direk : 124 mg/dL

Elektrolit
Na : 138 mEq/L
K : 3,54 mEq/L
Cl : 103 mEq/L

F. RESUME
Pasien, laki-laki 54 tahun datang dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam
SMRS, nyeri seperti tertindih beban berat, muncul tiba-tiba saat pasien sedang
duduk Nyeri dirasakan terus menerus, durasi  20 menit. Nyeri disertai dengan
keringat dingin dan sesak napas. Nyeri dada seperti ini tidak pernah dialami
pasien sebelumnya. Mual muntah (-), demam (-), batuk (-). BAK dan BAB tidak
ada keluhan. Tidak ada riwayat hipertensi, asma, penyakit jantung, penyakit
ginjal. Alergi obat/makanan (-). Pasien memiliki riwayat kolesterol tinggi 4 tahun

7
lalu, tetapi tidak minum obat dan tidak pernah kontrol lagi. DM diketahui saat
pemeriksaan GDS. Riwayat keluarga, tidak ada keluarga pasien yang menderita
penyakit yang sama dengan pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak lemah, kesadaran
compos mentis (GCS E4V5M6), status gizi kesan baik, tensi 90/60 mmHg, nadi
60 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup, pernapasan 20 x /menit, suhu 36,5 oC.
Pemeriksaan hematologi GDS 301, SGOT 25, CKMB 23, LDH 304.
Pemeriksaan EKG menunjukkan ST elevasi lead II,III,aVF dan sinus bradikardi.

G. DIAGNOSIS KERJA
STEMI Inferior
DM tipe 2

H. PENATALAKSANAAN
1. Nonfarmakologi
a. Posisikan semifoler
b. Tirah baring
c. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
2. Farmakologi
Tanggal 11 Februari 2020, Jam 08.30 WITA
- O2 via NK 2 lpm
- Aspirin 320 mg
- Clopidogrel 300 mg
- Atorvastatin 20 mg 0-0-1
- IVFD NS 0,9% 14 gtt/m
- Lansoprazole 2 x 30 mg
- Glikuidon 2 x 30 mg
- Rencana fibrinolitik
- Rawat ruang biasa

8
I. FOLLOW UP
Nama : Tn. YS
Diagnosis : IMA inferior
Tgl Subjective (S) Objective (O) Assesment Planning (P)
(A)
11/2/20 Nyeri dada(+) Ku: Lemah/ GCS  STEMI  O2 via NK 2 lpm
Jam E4V5M6 Inferior  Injeksi
08.05 Td: 90/60 mm/Hg  DM Tipe Streptokinase
N: 60 x/mnt 2 1.500.000 unit
RR : 25x/mnt drips, dalam
S:36,5◦C NaCl 0,9%
SpO2 : 95% 100cc/jam
Fisik: premedikasi
Cor: murmur (-), paru: dengan inj.
rh(-/-), wh (-/-) dexametason 1
Ext: edema (-) amp/iv.
Hasil Lab :  Aspirin 80 mg 0-
HL: Leu 10.490; Hb 1-0 (loading 4
12,8; Trombosit tablet)
256.000  Clopidogrel
Kimia klinik: GDS 75mg 0-1-0
301; Ur 29; Cr 0,91; (loading 4 tablet)
Kolesterol total 149;  Atorvastatin
TGA 177; LDL 124; 40mg 0-0-1
HDL 38 (loading 2 tablet)
Elektrolit: Na 138; K  Lansoprazole
3,54; Cl 103 2x30mg
 Glikuidon
2x30mg

11/2/20 Nyeri dada Ku: Lemah/ GCS  STEMI  Rencana pindah


Jam berkurang E4V5M6 Inferior ruangan rawat
9
12.00 Td: 130/70 mm/Hg post biasa
N: 66 x/mnt fibrinoliti
RR : 22x/mnt k
S:36,6◦C  DM Tipe
SpO2 : 98% 2
Fisik:
Cor: murmur (-), paru:
rh(-/-), wh (-/-)
Ext: edema (-)

12/2/20 Nyeri dada (-) Ku: Lemah/ GCS  STEMI  Diviti 1x2,5mg
E4V5M6 Inferior  Aspirin 80 mg 0-
Td: 90/60 mm/Hg post 1-0
N: 64 x/mnt fibrinoliti  Clopidogrel
RR : 20x/mnt k 75mg 0-1-0
S:36,5◦C  DM Tipe  Atorvastatin
SpO2 : 98% 2 40mg 0-0-1
Fisik:  Lansoprazole
Cor: murmur (-), paru: 2x30mg
rh(-/-), wh (-/-)  Glikuidon
Ext: edema (-) 2x30mg
Hasil Lab :
 Metformin
Kimia klinik: SGOT
3x500mg
25; CKMB 23; LDH
 Plan:
304, GDP 224
Echo
GDS 3 porsi
13/2/20 Nyeri dada (-) Ku: Lemah GCS  STEMI  Diviti 1x2,5mg
E4V5M6 Inferior  Aspirin 80 mg 0-
Td: 120/70 mm/Hg post 1-0
N: 66 x/mnt fibrinoliti  Clopidogrel
RR : 20 x/mnt k 75mg 0-1-0

10
S:36,3◦C  DM Tipe  Atorvastatin
SpO2 : 98% 2 40mg 0-0-1
Fisik:  Lansoprazole
Cor: murmur (-), paru: 2x30mg
rh(-/-), wh (-/-)  Glikuidon
Ext: edema (-) 2x30mg
Hasil Lab:  Metformin
GDP 127 3x500mg
Echo:
 LA dilatasi ringan
 LVH konsentrik
 Fungsi sistolik LV
normal, EF 61%
 Analisa segmental
hipokinetik ringan
di basal-mid
inferoseptal,
apicoseptal,
segmen lain
normakinetik
 Fungsi diastolik
normal
 Katup-katup kesan
normal
 Kontraktilitas RV
normal, Tapse 1,7
cm
 IVC 1,8 cm kolaps
> 50%, est rap 8
mmHg

11
14/2/20 Nyeri dada (-) Ku: sedang GCS  STEMI  Diviti 1x2,5mg
E4V5M6 Inferior  Aspirin 80 mg 0-
Td: 110/80 mm/Hg post 1-0
N: 64 x/mnt fibrinoliti  Clopidogrel
RR : 20 x/mnt k 75mg 0-1-0
S:36,8◦C  DM Tipe  Atorvastatin
SpO2 : 98% 2 40mg 0-0-1
Fisik:  Lansoprazole
Cor: murmur (-), paru: 2x30mg
rh(-/-), wh (-/-)  Glikuidon
Ext: edema (-) 2x30mg
Hasil Lab:
 Metformin
HbA1c 10,7
3x500mg
 Rawat jalan

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom Koroner Akut adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah, kemudian diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuklah trombus
yang kaya trombosit dan akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).1
Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction) adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala
iskemia miokard khas (angina tipikal) yang dikaitkan dengan gambaran EKG
berupa elevasi ST yang persisten diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard.1,4

B. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko SKA terbagi dua, yakni yang dapat tidak dapat dikendalikan
dan yang dapat dikendalikan. Fakto risiko yang tidak dapat dikendalikan
diantaranya jenis kelamin pria, usia, dan riwayat penyakit keluarga. Sedangkan
merokok, hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas merupakan faktor
yang dapat dikendalikan lewat gaya hidup sehat.1,12,13
SKA lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (tetapi meningkat
pada menopause), usia tua dibanding usia muda, memiliki riwayat penyakit
10,13
jantung sebelumnya, dan juga riwayat penyakit jantung dalam keluarga,
Sebelum menopause, wanita memproduksi estrogen yang dapat menunda
manifestasi penyakit aterosklerotik. Estrogen memiliki efek pada regulasi lipid,

13
penanda inflamasi, sistem koagulan, serta dapat meningkatkan vasodilatasi
langsung melalui β -reseptor pada dinding pembuluh darah.10
Merokok dan alkohol menyebabkan ketidakstabilan plak yang bahkan
menyebabkan peningkatan terjadinya ruptur plak aterosklerotik dan peningkatan
pembentukan trombus yang merupakan efek dari pro-trombik merokok.10
Hipertensi berpotensi dalam meningkatkan risiko serangan jantung,
spasme koroner, dan pembentukan trombus. Hipertensi kronis menyebabkan
hipertrofi ventrikel kiri yang menyebabkan terjadi peningkatan kebutuhan oksigen
yang menghasilkan pembentukan sumbatan. Sumbatan ini lebih sering muncul di
lapisan subepikardial dari pada subendokardial yang mengakibatkan infark
parsial. Pengurangan aliran darah diastolik menyebabkan iskemia tanpa oklusi
pembuluh total. Ini yang menyebabkan hipertensi lebih berisiko terjadi pada
NSTEMI dan UA dibandingkan STEMI.10
Hiperglikemi (diabetes melitus) menghambat produksi vasodilator seperti
nitrit oksida dan meningkatkan vasokontriktor seperti endotelin-1. Gangguan
penyerapan FFA (free fatty acid) pada otot oleh insulin yang dapat menyebabkan
peningkatan VLDL (Very Low-Density Lipoprotein) dan kolesterol esterase
dalam hati. Sehingga pasien diabetes dengan SKA umumnya memiliki trigliserida
tinggi, HDL rendah, dan peningkatan LDL, yang menyebabkan aterosklerosis
arteri koroner.10

C. EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama
kematian secara global yakni sebesar 31% atau diperkirakan 17,9 juta kematian
yang diperkirakan pada tahun 2016. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat
menjadi 23,3 juta kematian pada tahun 2030.5 Berdasarkan Statistik Penyakit
Jantung dan Stroke oleh American Heart Association (AHA) tahun 2016,
ditemukan sekitar 15,5 juta orang yang berusia diatas 20 tahun di Amerika Serikat
memiliki penyakit jantung koroner. Dan prevalensi yang dilaporkan meningkat
dengan bertambahnya usia baik pada wanita maupun pria, dan diperkirakan bahwa
setiap 42 detik ditemukan seorang dengan diagnosis infark miokard. 6 Berdasarkan

14
diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013
sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang,
diantaranya 11.892 orang pada provinsi Sulawesi Utara. 7 Penelitian di Indonesia
oleh Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry periode Oktober 2014
sampai Juli 2015 melaporkan dari 3015 kasus SKA 1024 diantaranya adalah kasus
STEMI.8

D. DIAGNOSIS
Diagnosis infark miokard dapat ditegakkan dengan mengintegrasikan
informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram
dan tes marka jantung.1
1. Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri,
leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau
persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal,
sesak napas, dan sinkop.1
Nyeri yang bukan karakteristik iskemia miokard adalah nyeri pleuritik (nyeri
tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk). Nyeri abdomen tengah atau
bawah. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral. Nyeri dada yang diakibatkan oleh
gerakan tubuh atau palpasi. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik. Nyeri dada
yang menjalar ke ekstremitas bawah. Diagnosis banding nyeri dada SKA dengan
STEMI antara lain perkarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut,
kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal.1
Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. Infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes melitus dan
usia lanjut.9 Pasien lanjut usia dengan SKA mungkin datang dengan gejala
pingsan, perubahan status mental, kelemahan, atau bahkan stroke tanpa
mengalami nyeri dada. Gejala atipikal umumnya lebih sering muncul pada

15
wanita.Demikian pula, presentasi atipikal juga mungkin muncul pada pasien
diabetes akibat gangguan fungsi otonom.14 Tanyakan pula adakah riwayat infark
miokard sebelumnya serta faktor risikonya antara lain hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.9

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.1
3. Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien diruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.1
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada
sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan
jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia

16
≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV Sedangkan
pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang
usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai
ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang disadapan V7-V9 adalah
≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali
jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan
elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.1
4. Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka
nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi,dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.1
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah

17
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)
maupun infark periprosedural.1
Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang hendaknya
mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang
negative pada 1 kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis IMA. Kadar troponin pada pasien IMA meningkat dalam darah perifer
3-4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan
kadar troponin biasanya menghilang dalam 2-3 hari, namun bila terjadi nekrosis
luas, peningkatan ini dapat mnetap hingga 2 minggu. Apabila pemeriksaan
troponin tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan CKMB. CKMB akan
meningkat dalam waktu 4-6 jam. Mencapai puncaknya pada 12 jam, dan menetap
sampai 2 hari.1

5. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di
ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,

18
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak
boleh menunda terapi SKA.1
6. Pemeriksaan Foto Polos Dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang
gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.1

7. Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dpat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan
diagnosis banding. Hypokinesia dan akinesia segmental dinding ventrikel kiri
dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia hilang.1
8. Pemeriksaan Angiografi Koroner
Angiografi coroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat
keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostic
pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan
oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada
pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak
ditemkan perubahan EKG diagnostik. Penemuan angiografi yang khas antara lain
eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakan yang kabur, dan filling
defect yang mengesankan adanya thrombus intrakoroner.1

E. TERAPI
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.9 Prinsip tatalaksana dari penyakit
jantung koroner yaitu semakin lama seseorang mendapat penanganan maka
semakin besar kerusakan yang dapat terjadi di otot jantung sehingga semakin
besar kemungkinan seseorang untuk meninggal.10

19
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak
harus diberikan semua atau bersamaan.1
a. Tirah baring
b. Oksigen diindikasikan pad apasien hipoksemia (SaO2 < 90% atau PaO2 <
60mmHg)
c. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
d. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a) Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau
b) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel)
e. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai
maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
f. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

1. Penanganan STEMI
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang

20
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut
ini:1
a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit
b. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan
kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu
melakukan IKP)

2. Terapi Reperfusi / Revaskularisasi


Revaskularisasi merupakan penatalaksanaan devinitif pada ACS (STEMI).
Tindakan revaskularisasi dapat dilakukan dengan menggunakan fibrinolitic
theraphy atau melalui prosedur Primary Percutaneous Coronary
Intervention(PPCI)/Intervensi koroner perkutaneus (IKP).14
Dalam menentukan terapi reperfusi/revaskularisasi, tahap pertama adalah
menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila
tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari
tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah
kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP. 1 PPCI mampu
memberikan revaskularisasi optimal pada 90% subjek dan menurunkan mortalitas
pada subjek. Di sisi lain terapi fibrinolitik mampu mengembalikan aliran koroner
normal (pada pasien dengan kategori TIMI 3) pada 50% sampai dengan 60%
subyek.15
PPCI/IKP mampu memberikan revaskularisasi optimal pada 90% subjek dan
menurunkan mortalitas pada subjek. PCI merupakan strategi reperfusi utama pada
pasien STEMI yang dapat tiba di laboratorium kateterisasi dengan inflasi ballon
dalam waktu 90 menit (door to ballon < 90menit). PCI idealnya harus dilakukan
dalam waktu 90 menit dari kontak medis pertama. PCI telah terbukti lebih unggul
dibandingkan fibrinolisis pada perspektif kejadian kematian jangka pendek, infark

21
miokard nonfatal, dan stroke. PCI dianggap sebagai terapi pilihan utama jika
dilakukan pada waktu yang tepat. Dalam sumber lain menyebutkan bahwa
tindakan PCI mampu menurunkan angka kematian, nonfatal MI, dan stroke
sebesar 42% jika rata-rata transfer ke instalasi dengan fasilitas PPCI dapat
dilakukan dalam waktu 80–122 menit.9
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien
tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet
therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting
stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS).1
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
mungkin sebelum angiografi disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin
dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP
yang dapat digunakan antara lain:
a. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari)
b. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading
600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
dikontaindikasikan.
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara
lain:
a. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
IIb/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin.
b. Enoxaparin iv (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi.
c. Fondaparinux tidak disarankan untuk IKP primer.

22
d. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan
untuk IKP primer.

3. Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik adalah modalitas pengobatan definitif untuk pasien dengan
STEMI yang dapat dilakukan dalam waktu 12 jam dari onset gejala dan tidak
memiliki kontraindikasi untuk penggunaannya. Beberapa langkah yang perlu
dilakukan untuk menentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolitik atau IKP
adalah sebagai berikut:

Kontraindikasi fibrinolitik terbagi atas kontraindikasi absolut dan


kontraindikasi relative. Kontraindikasi absolut yang dimaksud antara lain
perdarahan intrakranial sebelumnya atau stroke yang tidak diketahui asalnya
kapan saja, stroke iskemik < 6 bulan terakhir, kerusakan system saraf sentral atau
neoplasma, trauma operasi/trauma kepala yang berat dalam 3 minggu terakhir,
GIT bleeding dalam sebulan terakhir, gangguan perdarahan yang diketahui,

23
diseksi aorta. Kontraindikasi relatif diantaranya adalah Transient ischemic attack
(TIA) dalam 6 bulan terakhir, terapi antikoagulan oral, kehamilan atau dalam
minggu 1 post partum, tempat tusukan yang tidak dapat dikompresi, hipertensi
refrakter (SBP >180mmHg dan/atau DBP >110mmHg), penyakit hati stadium
lanjut, endokarditis infeksi, ulkus peptikum aktif, resusitasi traumatik.1
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel
diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan
direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga
5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:1
a. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi).
b. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan
dan infus selama 3 hari.
c. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
Pasien yang dirawat dalam 70 menit pertama dari onset gejala memiliki
menunjukkan pengurangan ukuran infark sebanyak 50% dan menurunkan angka
kematian hingga 75%. Melalui terapi fibrinolitik, diperkirakan 65 nyawa akan
diselamatkan setiap 1000 pasien juka dilakukan dalam 1jam pertama setelah onset
gejala.9 Pasien yang menunjukkan onset gejala dengan perubahan ECG yang
bermakna (mengindikasikan terjadinya IMA yang luas) dan dikategorikan dalam
resiko rendah terjadinya perdarahan intrakranial memiliki potensi revaskularisasi
yang besar dengan metode ini. Pasien yang menunjukkan gejala ACS disertai
dengan gambaran LBBB pada ECG juga disarankan menerima terapi fibrinolitik
karena mortalitas yang tinggi pada kejadian IMA. Pada kejadian STEMI inferior,
terapi fibrinolitik juga mampu menunjukkan hasil yang positif. Terapi fibrinolitik
telah menunjukkan hasil yang baik dalam penatalaksanaan pada kelompok pasien
dengan pasien komorbit seperti riwayat IMA, diabetes, takikardi, dan hipotensi.

24
Namun dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden stroke meningkat
dan menurunnya keberhasilan terapi fibrinolitik seiring dengan pertambahan
usia.15

4. Koterapi antikogulan
Terapi antikoagulan dapat diberikan dalam bebrapa keadaan, diantaranya:
a. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan terapi
antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih
dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi
UFH berkepanjangan
b. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8
hari pemberian
c. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks
dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
d. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan berikut
ini merupakan rekomendasi dosis:
 Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai
kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP IIb/IIIA
telah diberikan
 Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam
8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12
jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
 Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/
IIIa
e. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa

25
5. Terapi Jangka Panjang
Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien
yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular
selanjutnya dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari saat
pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan gaya
hidup sebelum pasien dipulangkan. Terapi jangka panjang yang disarankan
setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
a. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat.
b. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti.
c. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI.
d. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri.
e. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang.
f. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial.
g. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior. Sebagai
alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan.
h. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemik.

6. Obat-obat yang diperlukan dalam menangani SKA1


a. Anti Iskemia

26
a) Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat beta
terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. penyekat
beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta
juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
selama tidak ada kontraindikasi. Berikut ini jenis dan dosis obat
penyekat beta :

b) Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis.
 Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina
 Pasien yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat
sublingual setiap 5 menit sampai maksimal3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada kontraindikasi
 Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung,
atau hipertensi dalam 48 jam pertama gejala iskemik miokard. Keputusan

27
menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang
terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin
converting enzymes inhibitor (ACE-I)
 Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan
 Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang
tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.

c) Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin


mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada
SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai
efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek
dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina
vasospastik.
 CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien
yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
 CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta.
 CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta.
 CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.

28
 Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.

b. Antiplatelet
 Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya
untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan
 Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi seperti risiko
perdarahan berlebih.
 Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama
dengan antikoagulan atau steroid.
 Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.
 Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan
tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel
kemudian dihentikan).

29
 Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap
hari.
 Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bias mendapatkan
ticagrelor.
 Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat.
 Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang
perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian
pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan,
kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
 Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
 Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif). Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan
selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent

c. Antikogulan
 Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
 Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet.
 Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia,
dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.

30
 Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara
subkutan
 Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
 Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia.
 Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia.
 Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
 Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.

d. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


 Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat.
 Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi
dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih
targen INR terendah yang masih efektif. 3. Jika antikoagulan diberikan

31
bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko
tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih

e. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang
disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada
penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK,
beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
 Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali
ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dan
pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik
(PGK).
 Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada.
 Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung

f. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontraindikasi. Terapi

32
statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan
sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan
kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.1

F. KOMPLIKASI
Gagal jantung, hipotensi, kongesti paru, keadaan output rendah, syok
kardiogenik, aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut, aritmia
supraventricular, aritmia ventricular, sinus bradikardi dan blok jantung,
komplikasi kardiak, regurgitasi katup mitral, ruptur jantung, ruptur septum
ventrikel, infark ventrikel kanan, perikarditis, aneurisma ventrikel kiri, dan
trombus ventrikel kiri.1

G. PROGNOSIS
Stratifikasi TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction) telah divalidasi
untuk prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA. Dari
semua variable yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel yang sangat
tidak mungkin terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian
kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian
kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian
kardiovaskular hingga 41%).1

33
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis infark miokard dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan


fisik, elektrokardiogram dan tes marka jantung.1 Pada kasus ini, anamnesis
dilakukan secara autoanamnesis. Keluhan utama pasien ini adalah nyeri dada, hal
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa nyeri dada tipikal (angina)
merupakan gejala kardinal pasien IMA.1 Sifat nyeri dada yang dirasakan pasien ini
adalah rasa seperti tertindih beban berat di dada sampai ke punggung belakang.
Nyeri dada yang dirasakan pasien terus menerus >20 menit dan disertai keringat
dingin serta sesak napas. Keluhan-keluhan ini sangat sesuai dengan sindrom
koroner akut, yaitu angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal
menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium;
berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.1
Pada anamnesis, juga didapatkan riwayat kolesterol 4 tahun lalu, tetapi
tidak minum obat dan tidak pernah kontrol lagi. Saat dianamnesis, pasien tidak
memiliki riwayat penyakit DM, tetapi setelah dilakukan pemeriksaan, GDS 301
mg/dL. Pasien juga punya kebiasaan merokok sejak 30 tahun lalu, satu hari biasa
menghabiskan 1 bungkus rokok. Pasien juga terkadang makan makanan berlemak
tinggi seperti gorengan tapi jarang olahraga. Hal-hal ini termasuk faktor risiko
sindrom koroner akut, yaitu dislipidemia, hipertensi, merokok, diabetes melitus,
1,10,12,13
riwayat PJK dini dalam keluarga. Pada pasien ini ditemukan faktor
dislipidemia, diabetes melitus, dan merokok. Sindrom koroner akut 3-4x lebih
sering terjadi pada pria dibanding wanita usia <60 tahun, pada usia >75 tahun
kebanyakan pasiennya wanita dimana hal ini disebabkan adanya efek hormonal
yaitu karena hormon esterogen mempunyai efek proteksi terhadap terjadinya

34
aterosklerosis pada perempuan, sedangkan laki-laki lebih rentan terjadi
aterosklerosis dan sering dengan kebiasaan merokok.10,13 Berdasarkan teori ini,
didapatkan persamaan dengan kasus ini dimana pasien adalah seorang pria usia 64
tahun.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding.1 Pada pemeriksaan pasien dalam kasus ini, tidak didapatkan tanda fisik
lain yang abnormal selain tekanan darah dan nadi yang menurun. Tekanan darah
waktu masuk RS 90/60 mmHg, nadi 60 x/menit reguler, kuat angkat, isi cukup.
Sama halnya dengan bradikardi, penyebab hipotensi pada kasus infark miokard
yang melibatkan dinding inferior, posterior, dan ventrikel kanan adalah oklusi
right coronary artery (RCA). Beberapa kondisi lain yang berperan mencetuskan
hipotensi pada pasien STEMI inferoposterior antara lain, meningkatnya tonus
vagal, keterlibatan ventrikel kanan yang terjadi >40% kasus STEMI
inferoposterior dimana kondisi ini menyebabkan berkurangnya kekuatan pompa
ventikel kanan, keterlibatan subklinis atrium dimana kondisi ini mencetuskan
sekresi atrial natriuretic peptide (ANP), yang bekerja sebagai hormon pembuang
cairan. Kehilangan cairan melalui keringat dingin berlebihan dan muntah dapat
mencetuskan hipotensi hipovolemik.16
Pemeriksaan EKG pada pasien ini, didapatkan adanya ST elevasi di lead
II, III, aVF. Hal ini menunjukkan lokasi infark miokard inferior. Sesuai dengan
teori yang mengatakan bahwa STEMI inferior didefinisikan sebagai elevasi
sebesar > 0.1 mV pada pada setidaknya 2 jenis sadapan diantara sadapan II, III,
dan aVF.16,17 Infark inferior dapat merupakan manifestasi yang muncul akibat
tersumbatnya arteri koroner kanan (RCA) maupun arteri sirkumfleks kiri (LCx). 17
Berdasarkan hasil EKG pasien ini, juga ditemukan sinus bradikardi, heart rate
60x/m. Sinus bradikardi sering terjadi pada kasus SKA, terutama pada infark
inferior dan posterior. Oklusi bagian proksimal right coronary artery (RCA)
menyebabkan infark inferior, tetapi dapat juga melibatkan dinding posterior,
ventrikel kanan, dan sistem konduksi, sehingga sering menimbulkan manifestasi
klinis sinus bradikardi. Sinus bradikardi dapat juga terjadi akibat respons

35
vasovagal terhadap nyeri dada berat atau akibat refleks iskemi dari arteri sinoatrial
yang 60% vaskularisasinya dari RCA. Penyebab lain bradikardi pada pasien SKA
disebabkan oleh AV blok karena stimulasi vagal atau iskemi AV node16
Pada pemeriksaan enzim jantung pasien ini, awalnya didapatkan CKMB
23 U/L, LDH 304U/L, SGOT 25U/L. Hasil ini didapatkan 30 menit setelah onset
nyeri dada. Kemudian setelah keesokan harinya diperiksa lagi, didapatkan
hasilnya CKMB 120; LDH 1865; SGOT 298. Hal ini terjadi sesuai dengan teori
yang mengatakan biomarker jantung dikeluarkan berupa protein-protein maupun
enzim di dalam sirkulasi karena saat miokard mengalami kerusakan maka
permeabilitas miokard meningkat sehingga enzim seperti SGOT,LDH maupun
protein seperti troponin, CKMB, Myoglobin keluar ke dalam sirkulasi. CKMB
dan troponin I/T merupakan penanda yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis
infark miokard. Dalam keadaan nekrosis miokard, kadar CKMB dan troponin I/T
normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12
jam setelah awitan angina. Pada dua pemeriksaan dengan beda waktu minimal 4
jam, didapatkan peningkatan CKMB lebih dari 50%. Pada satu pemeriksaan
didapatkan peningkatan CKMB dua kali lipat nilai normal. 1,16 Kadar SGOT pada
infark miokard akut meningkat sejak 8-12 jam setelah serangan nyeri dada,
kemudian mencapai puncak tertinggi yaitu antara 2-10 kali dari nilai normal pada
18-36 jam setelah nyeri dada, dan akan menurun menuju nilai normal pada hari
ke-3 sampai hari ke-4. Hal ini disebabkan adanya oklusi total pada pembuluh
darah koroner pasien STEMI sehingga menyebabkan kerusakan sel yang lebih
luas. Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) atau disebut juga
enzim Aspartat Aminotransferase(AST) dapat ditemukan di jantung, hati, otot
rangka, otak, ginjal, dan sel darah merah. Kadar SGOT dapat meningkat pada
infark miokard, penyakit hati, pankreatitis akut, anemia hemolitik, penyakit ginjal
akut, penyakit otot, dan cedera.18 Pada infark miokard akut, kadar LDH1 serum
meningkat. Peningkatan terjadi 12 sampai 24 jam setelah IMA dan mungkin
persisten selama 12 hari. LDH didapatkan pada semua sel yang bermetabolisme,
dan jika sel rusak maka ditemukan peningkatan kadar LDH dalam serum. LDH
serum total tidak spesifik terhadap suatu jaringan. Yang spesifik terhadap jaringan

36
tertentu adalah isoenzimnya yang dikenal sebagai LDH1 sampai LDH5. LDH1
dan LDH2 ditemukan pada jantung, ginjal, otak dan sel darah merah. LDH1 dan
LDH2, tidak spesifik otot jantung, karena keduanya juga meningkat pada anemia
pernisiosa, kerusakan ginjal akut dan hemolisis.19
Tujuan utama tatalaksana infark miokard adalah untuk diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian
obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.9 Penatalaksaan awal untuk
pasien dengan diagnosis kerja SKA atas dasar keluhan angina di ruang IGD,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau penanda jantung adalah Morfin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua
atau bersamaan.1 penatalaksanaan awal dimulai dari tirah baring dan suplementasi
O2, aspirin 160-320 mg per oral, diberikan sublingual supaya diabsorpsi lebih
cepat, penghambat reseptor ADP (klopidogrel) 300 mg per oral, dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari, nitrogliserin spray/tablet sublingual jika
nyeri dada masih berlangsung saat tiba di IGD. Jika nitrogliserin tidak tersedia,
dapat diberikan isosorbid dinitrat (ISDN). Jika nyeri belum mereda, pemberian
dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali. Morfin sulfat 1-5 mg (IV),
dapat diulang setiap 10-30 menit jika pasien tidak responsif dengan nitrogliserin.
Tatalaksana awal pasien dalam kasus ini sesuai dengan teori diatas. Pasien tirah
baring dengan pemberian oksigen via nasal kanul 2 lpm, aspirin 320mg,
clopidogrel 300mg. Nitrat tidak diberikan pada kasus ini karena pasien dengan
bradikardi nadi 60x/m dan tekanan darah 90/60 karena obat ini dapat menurunkan
preload yang akan memperburuk kondisi hipotensi.10
Revaskularisasi merupakan penatalaksanaan definitif pada ACS (STEMI).
Tindakan revaskularisasi dapat dilakukan dengan menggunakan fibrinolitic
theraphy atau melalui prosedur Primary Percutaneous Coronary Intervention
(PPCI)/ Intervensi koroner perkutaneus (IKP).1,14 Dalam menentukan terapi
revaskularisasi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit
sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah

37
sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam dari
diagnosis STEMI. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan
adalah fibrinolitik.1
Pada kasus ini, reperfusi/revaskularisasi yang dipilih adalah fibrinolitik.
Manfaat absolut terbesar terlihat pada pasien dengan risiko tertinggi, termasuk
orang tua, dan waktu <2 jam setelah onset gejala. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan dalam waktu 12 jam dari onset gejala jika PCI primer tidak
dapat dilakukan dalam 120 menit dari diagnosis STEMI, serta tidak ada
kontraindikasi.1
Sebelum menerima terapi fibrinolitik pasien terlebih dahulu harus
menjalani penapisan resiko penggunaan fibrinolitik baik absolut maupun relatif.
Kontraindikasi absolut yang dimaksud antara lain perdarahan intrakranial
sebelumnya atau stroke yang tidak diketahui asalnya kapan saja, stroke iskemik <
6 bulan terakhir, kerusakan system saraf sentral atau neoplasma, trauma
operasi/trauma kepala yang berat dalam 3 minggu terakhir, GIT bleeding dalam
sebulan terakhir, gangguan perdarahan yang diketahui, diseksi aorta. Sedangkan
kontraindikasi relative diantaranya Transient ischemic attack (TIA) dalam 6 bulan
terakhir, terapi antikoagulan oral, kehamilan atau dalam minggu 1 post partum,
tempat tusukan yang tidak dapat dikompresi, hipertensi refrakter (SBP
>180mmHg dan/atau DBP >110mmHg), penyakit hati stadium lanjut,
endokarditis infeksi, ulkus peptikum aktif, resusitasi traumatik.1 Pasien dalam
kasus ini tidak memiliki riwayat penyakit sebagai kontraindikasi absolut maupun
kontraindikasi relatif untuk terapi fibrinolisis. Prinsip tatalaksana dari penyakit
jantung koroner yaitu semakin lama seseorang mendapat penanganan maka
semakin besar kerusakan yang dapat terjadi di otot jantung sehingga semakin
besar kemungkinan seseorang untuk meninggal. 9 Oleh karena itu diputuskan untuk
dilakukan tindakan reperfusi fibrinolisis pada pasien ini. Obat yang diberikan
pada pasien ini adalah streptokinase injeksi 1.500.000 unit drips, dalam NaCl
0,9% 100cc/jam. Menurut referensi ESC Guidelines 2017 agen yang spesifik
terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan
agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Dosis fibrinolisis

38
dengan streptokinase adalah 1.5 juta unit dalam 30-60 menit iv. Aspirin oral atau
intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan
untuk aspirin.1,11 Pada pasien ini diberikan Aspirin 80mg 0-1-0 dan Clopidogrel
75mg 0-1-0. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang
diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama
dirawat di rumah sakit hingga 8 hari.1,11 Antikoagulan yang diberikan pada pasien
ini adalah Diviti (Fondaparinux sodium) injeksi 1 x 2,5mg.
Obat-obat lainnya yang diperlukan dalam menangani SKA seperti
penyekat beta pada pasien ini tidak diberikan, walaupun efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Tetapi
hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikular.1 Pasien dalam kasus ini didiagnosis infark miokard inferior. Infark
inferior dapat merupakan manifestasi yang muncul akibat tersumbatnya arteri
koroner kanan (RCA) maupun arteri sirkumfleks kiri (LCx). 17 RCA berasal dari
sinus koroner kanan dan kemudian berjalan menelusuri celah atrioventrikular.17
Pada pasien ini diberikan juga obat atorvastatin 40mg 0-0-1. Statin (HMG-
CoA reductase inhibitor, adalah inhibitor biosintesis kolesterol yang poten.
Keuntungan dari penggunaan statin tidak hanya efek menurunkan kolesterol,
namun juga efek independen kolesterol atau efek pleiotropik. Statin secara
langsung berperan dalan perbaikan fungsi endotel , menghambat remodeling
vaskular, menghambat efek inflamasi pada plak aterosklerotik dan stabilisasi plak
melalui kombinasi penurunan lipid, makrofag, dan matrix mettaloproteinase
(MMP), selain itu statin juga meningkatkan bioavailabilitas nitric oxide,
antioksidan.20
Prognosis pasien ini dubia ad bonam berdasarkan stratifikasi TIMI
(Thrombolysis In Myocardial Infarction) didapatkan skor 2 dari 7 variabel yaitu
deviasi ST >1mm saat tiba, dan peningkatan marka jantung (CK-MB). Skor 0-2
menunjukkan risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%).1

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta : PP PERKI; 2018: 1-94
2. Kumar A, Cannon, CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and
Management, Part I. 2009. Mayo Clin Proc, 84(10) : 917-38.
3. Susilo, C. (2015). Identifikasi Faktor Usia, Jenis Kelamin dengan Luas Infark
Miokard Pada Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Ruang ICCU RSD DR.
Soebandi Jember, The Indonesian Journal Of Health Science; Vol.6(1): 1-7.
4. Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014.
5. World Health Organization. Projections of mortality and causes of death,
2015 and 2030. World Health Organization. Geneva Cited October 1st 2018.
Available from
http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/projections/en/
6. Fabian G, Carme P, Roman L, Alejandro L. Epidemiology of coronary heart
disease and acute coronary syndrome. Ann Transl Med. 2016 Jul; 4(13):256

40
7. RISKESDAS Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar;
RISKESDAS, Jakarta, RI, Balitbang Kemenkes.
8. Dharma S, Andriantoro H, Purnawan I, et al. Characteristics, treatment and
in-hospital outcomes of patients with STEMI in a metropolitan area of a
developing country: an initial report of the extended Jakarta Acute Coronary
Syndrome registry. BMJ Open 2016;6:e012193. doi:10.1136/bmjopen-2016-
012193
9. Satoto HH. Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner. Jurnal Anestesiologi
Indonesia. Volume VI, Nomor 3, Tahun 2014
10. Wilar GI. Pengamatan 6 bulan terhadap kejadian kardiovaskular mayor pada
pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen st (STEMI) di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2017.
Jurnal Medik dan Rehabilitasi (JMR);Januari 2019:Vol 1,No 3.
11. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bueno H, et al. 2017 ESC
Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation –Web Addenda. European Heart
Journal. 2017. 1-8.
12. Aram JM, Abdulsalam YT, Bahar RK. Risk factors for acute coronary
syndrome in patients below the age of 40 years. The Egyptian Heart Journal.
2018; 70: 233-235.
13. Udaya R, Pallegoda V, Kushalee P, et al. Epidemiology and risk factors of
patients with types of acute coronary syndrome presenting to a tertiary care
hospital in Sri Lanka. BMC Cardiovascular Disorders. 2019; 19:229
14. Laksono BB. Literature Review Efektifitas Terapi Fibrinolitik dan PPCI
(Primary Percutaneus Corornary Intervention) sebagai Alternative Terapi
Revaskulerisasi pada Acute Coronary Syndrome (Acs). Jurnal Kesehatan
Hesti Wira Sakti;Volume 3 Nomor 3:Oktober 2015. p62-68.
15. Robert, E., O’Connor, William, B., Steven, C.B., Deborah, D., Jonathan, E.,
Chris G., Venu, M., Brian, J.,O’Neil, Andrew, H.T., and Demetris, Y. 2010.
Part 10: Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association

41
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122:S787-S817.
16. Putra BFK. STEMI Inferior dengan Bradikardi dan Hipotensi. Cermin Dunia
Kedokteran-260. Jawa Timur;2018:vol 45,no 1.
17. Fidiaji RHS, Nasution SH. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Infark
Ventrikel Kanan. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Desember 2016:Vol 2,
No 4.
18. Nugroho IS. Skripsi Perbedaan Kadar SGOT Pada Pasien St-Elevasi Miokard
Infark (STEMI) Dan Non-St Elevasi Miokard Infark (NSTEMI) Di RSUD
Dr. Moewardi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2018
19. Samsu N, Sargowo D. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada
Diagnosis Infark Miokard Akut. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 10,
Oktober 2007.
20. Meuthia F. Efek Pemberian Statin tehadap Proliferasi Endothelial Progenitor
Cell (EPC) pada Darah Tepi Penderita Penyakit Jantung Koroner Stabil.
Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya;2016

42

Anda mungkin juga menyukai