Anda di halaman 1dari 5

NAMA: GETTI PRATIWI

NIM: 191440111

MATA KULIAH: MANAJEMEN KEPERAWATAN

DOSEN: NS. AMIRUDIN, M.KEP

KONSEP KONFLIK

A. PENGERTIAN
Konflik merupakan suatu proses yang dimulai ketika satu pihak merasa
bahwa pihak lain telah dipengaruhi secara negatif, atau tentang
mempengaruhi secara negatif, tentang sesuatu yang diketahui pihak pertama
(Robbins, 2011). Kreitner dan Kinicki (2010) memberikan definisi konfllik
sebagai suatu proses dimana satu pihak merasa bahwa kepentingannya telah
ditentang atau dipengaruhi secara negatif oleh pihak lain. Konflik dapat
bersifat negatif atau positif tergantung pada sifat dan intensitasnya. Marquis
(2012) mendefinisikan konflik sebagai perselisihan internal atau eksternal
yang merupakan hasil dari perbedaan ide, nilai, atau perasaan antara dua atau
lebih individu. Seorang pemimpin yang memiliki hubungan interpersonal
dengan individu yang memiliki banyak perbedaan, seperti latar belakang dan
tujuan, memandang sebuah konflik sebagai sesuatu yang dapat diprediksi. Hal
yang sama dinyatakan oleh Sunyoto (2013), konflik adalah ketidaksesuaian
antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam
organisasi yang timbul karena harus menggunakan sumber daya yang langka
bersama-sama, atau karena memiliki status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi
yang berbeda. Kategori konflik menurut Marquis (2012) terdiri dari tiga
kategori konflik, yaitu:
1. Konflik intrapersonal.
2. Konflik interpersonal.
3. Konflik antarkelompok
B. HAKEKAT KONFLIK
Winardi (2012) menggambarkan bahwa selama manusia hidup, senantiasa
akan muncul berbagai macam konflik yang bersumber pada macam-macam
sebab. Konflik potensial terjadi ketika adanya interaksi dari orang-orang dan
kelompok dalam organisasi mengembangakan keahlian dan pekerjaan yang
berbeda dengan yang lain. Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa hakekat konflik adalah proses atau hasil interaksi orang-
orang atau kelompok yang berbeda keahlian dan kepentingannya.

Pandangan tentang Konflik dalam Organisasi


Menurut Robbins (2011:489) mengemukakan tiga pandangan mengenai
konflik, yaitu pandangan trasional (Traditional view of conflict), pandangan
hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan
interaksional (interactionism view of conflict).

Proses terjadinya konflik


Konflik merupakan proses dinamis yang muncul tidak secara tiba-tiba, namun
membutuhkan waktu dan melewati beberapa tahapan (Spaho, 2013).
Beberapa teori yang mengemukakan pendekatan terhadap terjadinya proses
konflik, yaitu: teori Robbins (Robbins, 2013, Sunyoto, 2013), teori Pondy’s
(Kely, 2011, Spaho, 2013), teori McShane dan Von Glinow (Wibowo, 2013),
teori Filleys (Huber, 2010), teori Thomas (Huber, 2010, Spaho, 2013).
Namun, penggunaan model teori proses terjadinya konflik yang sering
digunakan adalah teori Robbins. Robbins (2013) menjelaskan konflik terjadi
melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap
kognisi dan personalisasi, tahap maksud, tahap perilaku, dan tahap hasil.
Manfaat konflik
Konflik dapat memberikan manfaat yang banyak bagi organisasi. Sebagai
contoh pengembangan konflik dapat digunakan sebagai ajang adu pendapat,
sehingga organisasi bisa memperoleh pendapat-pendapat yang sudah
tersaring. Konflik yang terjadi tidak selamanya membawa akibat buruk
sepanjang dapat dikelola dengan baik. Justru dengan adanya konflik akan
memancing daya kreasi dan inovasi anggota organisasi baik secara individu
maupun secara kolektif. (Irawati, 2003). Robbins (2013) membahas konflik
dari segi human relations and interactionist perspective. Dijelaskan bahwa
konflik itu adalah hal yang alamiah dan selalu akan terjadi. Konflik
merupakan bagian dari pengalaman hubungan antar pribadi (interpersonal
experience). Karena itu bisa dihindari maka sebaiknya konflik dikelola
dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan perbedaan
serta pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam organisasi. Kesimpulannya
konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani dengan baik
sehingga dapat:
1. mengarah ke inovasi dan perubahan
2. memberi tenaga kepada orang bertindak
3. menyumbangkan perlindungan untuk hal-hal dalam organisasi
4. merupakan unsur penting dalam analisis sistem organisasi

akibat positif dan negatif konflik


Konflik ibarat pisau bermata dua: Ia punya efek negatif dan positif bagi
perkembangan organisasi. Efek ini terutama berkenaan dengan para individu
yang menjadi anggota organisasi, dari level bawah hingga level atas.
Identifikasi atas efek negatif dan positif ini mudah-mudahan membawa kita
lebih mampu memanajemen konflik demi kepentingan diri kita sendiri.
Robert J. Edelmann membagi efek konflik ke dalam dua kategori yaitu efek
negatif dan efek positif. Rincian dari masing-masing efek sebagai berikut.
Efek negatif dari konflik bisa berlingkup baik pada level individu ataupun
organisasi. Pada level organisasi, konflik merusak kinerja organisasi
sekaligus unit-unit yang ada di dalamnya. Pada level individu, konflik
merusak dalam bentuk tertekannya pekerja (job stress). Berikut adalah rincian
efek negatif konflik organisasi:
1. Reaksi umum atas konflik seperti ketidakmampuan konsentrasi dan berpikir
secara jelas, dengan peningkatan gangguan dan kemampuan untuk santai.
2. Penyakit kecil yang tidak bisa diremehkan seperti sakit kepala, sulit tidur
dan mual merupakan peringatan awal, yang jika tidak disikapi serius, akan
berujung pada peningkatan tekanan darah (hipertensi). Apalagi pekerja
tersebut punya pola makan tidak sehat, bisa kolesterol.
3. Tanda perilaku yang meliputi membuang diri dari pergaulan, penggunaan
alkohol yang berlebih, merokok seperti “kereta api” (klepas-klepus), yang
semuanya dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan.
4. Lingkaran setan konflik berujung pada stress, yang kemudian mendorong
terbitnya sinisme baik terhadap klien ataupun kolega kerja. Ini juga
berdampak pada eskalasi konflik.

Efek Positif – Konflik juga punya efek positif di tataran individu. Bahkan,
konflik sesungguhnya lebih banyak efek positif dibandingkan negatif. Rincian
efek positif konflik bisa kami ceritakan sebagai berikut ini:
1. Memperkuat hubungan. Dua orang yang mampu mengenali perbedaan
akibat konflik, kenapa perbedaan muncul, dapat melakukan diskusi guna
menyelesaikannya sehingga satu sama lain dapat mengenal lebih dalam.
2. Meningkatnya kepercayaan. Jika dua orang bisa menyelesaikan konflik,
mereka akan lebih mempercayai masing-masing pihak di masa datang
dengan mengetahui bahwa perbedaan di antara mereka bisa diselesaikan.
3. Peningkatan harga diri. Hasil produktif dari konflik adalah peningkatan
harga diri dari tiap pihak yang bertikai.
4. Penguatan kreativitas dan produktivitas. Konflik jika dimanajemen secara
baik merupakan kondisi yang memungkinkan kreativitas dan diskusi antar
orang dengan kepentingan berbeda, dan ujungnya peningkatan
produktivitas.
5. Kepuasan kerja. Orang butuh sejumlah perangsang dan menggunakan
pengalaman dalam hal penaikan dan penurunan ketegangan, dalam rangka
meraih kepuasan kerja.
Konsekuensi positif dari konflik fungsional termasuk; kesadaran akan
permasalahan, pencarian solusi, perubahan yang positif dan adaptasi sebagai
bagian dari inovasi. Kehilangan konflik yang fungsional dapat menghambat
perubahan yang terjadi dan menyebabkan tim yang stagnan dan tidak produktif
(Gross, 2013). Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan
pengelolaan konflik dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif
akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai
sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu
bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan
yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam
kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja
meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari cara
pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan
masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar
pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam
upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas,
kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat
stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena
karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri,
penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa
mengembangkan karier dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan
potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training)
dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas
kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.

Anda mungkin juga menyukai