Anda di halaman 1dari 27

Laporan Mikrobiologi

Universitas Abulyatama

UJI SENSITIVITAS ANTIMIKROBA

DOSEN PEMBIMBING :

dr. Ratih Ayu Atika, MKM

DISUSUN OLEH :

Hayatun Nufus 19171057

JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA

LAMPOH KEUDE, ACEH BESAR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Uji kepekaan terhadap antimikroba dimulai  ketika pertemuan yang diprakarsai
WHO di Genewa (1977), kepedulian terhadap resistensi antimikroba semakin meluas baik
yang berhubungan dengan infeksi manusia atau hewan. Hal ini mencetuskan
program surveilance  untuk memonitor resistensi antimikroba menggunakan metode yang
sesuai. Dengan tes kepekaan terhadap antimikroba akan membantu klinisi untuk
menentukan antimikroba yang sesuai untuk mengobati infeksi. Untuk mendapatkan hasil
yang valid, tes kepekaan harus dilakukan dengan metode yang  akurat dan presisi yang
baik, dimana metode tersebut langsung dapat digunakan dalam menunjang upaya
pengobatan. Kriteria  yang penting dalam metode tes kepekaan adalah hubungannya
dengan respon pasien terhadap terapi antimikroba.
Dari pertemuan tersebut WHO  merekomendasikan  penggunaan teknik difusi
Kirby-Bauer yang telah diperkenalkan pada tahun 1976, metode tersebut sangat sesuai
khususnya untuk golongan Enterobactriaceae, tetapi dapat pula digunakan untuk semua
bakteri pathogen.
Pada prinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan terhadap
bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu
antimikroba atau kemampuan suatu antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri
yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih sebagai antimikroba  yang berpotensi untuk
pengobatan.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tes kepekaan
Penentuan tes laboratorium terhadap mikroorganisme, untuk hasil yang lebih akurat
harus memperhatikan faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi baik terhadap
mikroorganisme ataupun pengaruh terhadap daya kerja antimikroba, sehingga harus
dihindari  faktor-faktor lingkungan yang kemungkinan merpengaruhi,
Faktor lingkungan tersebut diantaranya:
1. pH
Beberapa antimikroba dipengaruhi oleh pH lingkungan, contohnya  aktifitas

1
antibakteri eritromisin  dan aminoglikosida berkurang apabila terjadi  penurunan
pH, sedangkan aktifitas tetrasiklin akan menurun bila terjadi peningkatan pH.
Aktifitas aminoglikosida yang daya kerjanya menghambat sintesis protein bakteri
melalui membran sel dengan proses oksidasi, sehingga apabila  tidak terdapat
oksigen akan mengurangi aktifitas antimikroba tersebut.
2. Kation
Aktifitas aminoglikosida juga dipengaruhi oleh konsentrasi kation Ca++ dan Mg++.
Tahapan aktifitas antimikroba yang penting adalah absorpsi antimikroba ke
permukaan sel bakteri. Aminoglikosida bermuatan positif dan bekerja  terutama
untuk bakteri gram negatif,  misalnya membran luar Pseudomomonas
aeruginosa  yang bermuatan negative
3. Tersedianya bahan gizi tertentu
Bahan gizi tertentu dapat mempengaruhi aktifitas antimikroba, misalnya bakteri
enterococcus mampu menggunakan timin  dan asam folat hasil metabolisme
untuk menghindari pengaruh aktifitas  sulfoamida dan trimetroprim, yang
dihambat oleh  jalur metabolik asam folat.
Pengujian dilakukan di bawah kondisi standar, dimana kondisi standar berpedoman
kepada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Standar yang harus
dipenuhi yaitu: konsentrasi inokulum bakteri, media perbenihan (Muller Hinton)
dengan memperhatikan pH, konsentrasi  kation, tambahan darah dan serum, kandungan
timidin, suhu inkubasi, lamanya inkubasi dan konsentrasi antimikroba
Walaupun kondisi penting untuk pemeriksaan invitro telah distandarkan namun,
tidak ada kondisi invitro yang  menggambarkan kondisi yang sama dengan keadaan
invivo tempat yang sebenarnya bakteri tersebut menginfeksi. Dengan demikian ada
beberapa faktor yang memegang peranan penting dari  pasien disamping hal-hal yang
dapat mempengaruhi hasil uji kepekaan  yang telah diperhitungkan pada metode uji.
Faktor tersebut yaitu:
a. Difusi  antimikroba pada sel dan jaringan  hospes
b. Protein serum pengikat antimikroba
c. Gangguan dan interaksi obat
d. Status daya tahan dan system imun pasien
e. Mengidap beberapa penyakit  secara bersamaan
f. Virulensi dan patogenitas bakteri yang menginfeksi
g. Tempat infeksi dan keparahan penyakit

2
Dasar pemeriksaan uji kepekaan
1. Merupakan metode yang langsung mengukur aktifitas satu atau lebih antimikroba 
terhadap inokulum bakteri
2. Merupakan metode yang secara langsung mendeteksi keberadaan mekanisme
resitensi spesifik pada inokulum bakteri
3. Merupakan metode khusus untuk mengukur interaksi antara mikroba dan
antimikroba

1.2. RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan uji sensitivitas?

1.2.2 Bagaimana prinsip dari uji sensitivitas / uji kepekaan?

1.2.3 Apa saja metode yang digunakan untuk uji sensitivitas?

1.2.4 Apa saja jenis – jenis antibiotik yang digunakan untuk uji sensitivitas?

1.2.5 Apa faktor – faktor yang mempengaruhi hasil dari uji sensitivitas?

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Uji Sensitivitas

Staphylococcus merupakan salah satu penyakit yang umum pada unggas dan
mempunyai dampak ekonomik yang penting terhadap gangguan pertumbuhan, produksi
telur yang tertunda, puncak produksi yang tidak tercapai, ketahanan produksi telur yang
rendah, dan peningkatan mortalitas pada masa produksi telur. Penyakit ini dapat diobati
dengan pemberian antibiotik dan biasanya akan berhasil baik, namun banyak obat yang
sering digunakan cenderung tidak optimal dan menimbulkan resisten. Resistensi bakteri
terhadap antibiotik dapat terjadi karena penggunaan antibiotik yang secara terus-menerus
pada peternakan sehingga dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan (Veteriner et
al., 2014.).

Resistensi antimikroba yang berhubungan dengan infeksi pada manusia atau


hewan. Hal ini memicu program pengawasan untuk memantau resistensi antimikroba
menggunakan metode yang tepat. Sensitivitas tes antimikroba akan membantu dokter
untuk menentukan antimikroba yang tepat dalam mengobati infeksi. Untuk mendapatkan
hasil yang akurat, tes sensitivitas harus dilakukan dengan metode yang akurat dan tepat,
yang merupakan metode langsung dapat digunakan untuk mendukung upaya pengobatan.
Kriteria penting dalam metode uji sensitivitas adalah untuk melakukan dengan respon
pasien terhadap terapi antimikroba (Soleha, 2015).

Tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan terhadap bakteri penyebab


penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu antimikroba atau
kemampuan suatu antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh in
vitro, sehingga dapat dipilih sebagai antimikroba yang berpotensi untuk pengobatan. Uji
kepekaan antimikroba (antimicrobial susceptibility testing) dilakukan pada isolat mikroba
yang didapatkan dari spesimen pasien untuk mendapatkan agen antimikroba yang tepat
untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroba tersebut. Pengujian
dilakukan di bawah kondisi standar, dimana kondisi standar berpedoman kepada Clinical
and Laboratory Standards Institute (CLSI). Standar yang harus dipenuhi yaitu konsentrasi
inokulum bakteri, media perbenihan (Muller Hinton) dengan memperhatikan pH,

4
konsentrasi kation, tambahan darah dan serum, kandungan timidin, suhu inkubasi, lamanya
inkubasi, dan konsentrasi antimikroba (Soleha, 2015).

Bakteripenyebab infeksi telah mengembangkan perlindungan terhadap senyawa


biokimia lingkungan, dan untuk resisten terhadap antibiotik yang berbahaya bagi mereka.
Resistensi mikroorganisme patogen tersebut memberikan perlindungan terhadap intervensi
kemoterapi antibiotik dan dapat menyebabkan infeksi yang menjadi lebih sulit untuk
disembuhkan. Obat untuk mengatasi infeksi bakteri adalah antibiotik. Antibiotik
merupakan senyawa alami maupun sintetik yang mempunyai efek menekan atau
menghentikan proses biokimiawi di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh
mikroba (Soleha, 2015) . Dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan pada praktik
perawatan kesehatan. Penderita yang dirawat di rumah sakit dalam jangka panjang semakin
banyak sehingga pajanan terhadap antibiotik semakin bertambah dan meningkatkan
resistensi terhadap antibiotik (Nurmala, Andriani, & Liana, 2015)

2.2. Prinsip Uji Sensitivitas

Metode yang digunakan dalam uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik dilakukan
dengan metode Kirby-Bauer yaitu dengan menggunakan cakram antibiotic (Sri,
Intensification, & Lahan, 2013). Sensitivitas bakteri terhadap antibiotik diperoleh melalui
pengukuran diameter zona hambatan yang terbentuk setelah penempelan cakram antibiotik.
Hasil pengukuran zona hambat selanjutnya dibandingkan dengan standar diameter zona
hambatan berdasarkan pedoman CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute).
Ukuran zona jernih tergantung kepada kecepatan difusi antimikroba, derajat sensitifitas
mikroorganisme, dan kecepatan pertumbuhan bakteri. (Nurmala et al., 2015).

Mekanisme resistensi bakteri dapat terjadi dengan mekanisme sebagai berikut


(Soleha, 2015) :

1. Pengurangan akses antibiotik ke target porin pada membran luar

2. Inaktivasi enzimatis laktamase-ß (ß- laktamase)

3. Modifikasi/proteksi target resistensi terhadap ß-laktam, tetrasiklin, dan kuinolon

4. Kegagalan aktivasi antibiotik

5. Efluks aktif antibiotik

5
Pada prinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan terhadap
bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu
antimikroba atau kemampuan suatu antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri
yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih sebagai antimikroba yang berpotensi untuk
pengobatan.

Uji kepekaan antimikroba (antimicrobial susceptibility testing) dilakukan pada


isolat mikroba yang didapatkan dari spesimen pasien untuk mendapatkan agen antimikroba
yang tepat untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroba tersebut
(Soleha, 2015).

2.3. Metode Uji Sensitivitas

Ada dua macam metode untuk uji sensitivitas yaitu metode dilusi dan metode difusi.
a. Dilusi
Pada prinsipnya antibiotik diencerkan hingga diperoleh beberapa konsentrasi.
Metode yang dipakai ada dua macam, yaitu metode dilusi kaldu disebut juga dengan dilusi
cair dan metode dilusi agar atau dilusi padat yang bertujuan untuk penentuan aktivitas
antimikroba secara kuantitatif, Antimikroba dilarutkan kedalam media agar atau kaldu,
yang kemudian ditanami bakteri yang akan dites. Setelah diinkubasi semalam, konsentrasi
terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut dengan MIC (minimal
inhibitory concentration). Nilai MIC dapat pula dibandingkan dengan konsentrasi obat
yang didapat di serum dan cairan tubuh lainnya untuk mendapatkan perkiraan respon klinik
(diah ayu, 2009).

a. Dilusi perbenihan cair


Dilusi perbenihan cair terdiri dari makrodilusi dan mikrodilusi. Pada prinsipnya
pengerjaannya sama hanya berbeda dalam volume. Untuk makrodilusi volume yang
digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan mikrodilusi volume yang digunakan 0,05 ml sampai
0,1 ml. Antimikroba yang digunakan disediakan pada berbagai macam pengenceran
biasanya dalam satuan µg/ml, konsentrasi bervariasi tergantung jenis dan sifat antibiotik,
misalnya sefotaksim untuk uji kepekaan terhadap Streptococcus pneumonia,
pengenceran tidak melebihi 2 μg/ml, sedangkan untuk Escherichia coli pengenceran
dilakukan pada 16 µg/ml atau lebih. Secara umum untuk penentuan MIC, pengenceran
antimikroba dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya misalnya mulai dari 16, 8, 4, 2,

6
1, 0,5, 0,25 µg/ml konsentrasi terendah yang menunjukkan hambatan pertumbuhan dengan
jelas baik dilihat secara visual atau alat semiotomatis dan otomatis, disebut dengan
konsentrasi daya hambat minimum / MIC (minimal inhibitory concentration).

Gambar 1. Penentuan MIC Metode Perbenihan Cair

b. Dilusi agar
Pada teknik dilusi agar, antibiotik sesuai dengan pengenceran akan ditambahkan ke
dalam agar, sehingga akan memerlukan perbenihan agar sesuai jumlah pengenceran
ditambah satu perbenihan agar untuk kontrol tanpa penambahan antibiotik, konsentrasi
terendah antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri merupakan MIC
antibiotik yang diuji. Salah satu kelebihan metode agar dilusi untuk penentuan MIC
Neisseria gonorrhoeae yang tidak dapat tumbuh pada teknik dilusi perbenihan cair.

Gambar 2. Penentuan MIC pada Teknik Agar Dilusi

Dasar penentuan antimikroba secara in vitro adalah MIC (minimum inhibition


concentration) dan MBC (minimum bactericidal concentration). MIC merupakan
konsentrasi terendah bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan hasil
yang dilihat dari pertumbuhan koloni pada agar atau kekeruhan pada pembiakan cair.

7
Sedangkan MBC adalah konsentrasi terendah antimikroba yang dapat membunuh 99,9%
pada biakan selama waktu yang ditentukan. Absorpsi obat dan distribusi antimikroba akan
mempengaruhi dosis, rute dan frekuensi pemberian antimikroba untuk mendapatkan dosis
efektif di tempat terjadinya infeksi (diah ayu, 2009).
Penentuan konsentrasi minimum antibiotik yang dapat membunuh bakteri /
minimum bactericidal concentration (MBC) dilakukan dengan menanam bakteri pada
perbenihan cair yang digunakan untuk MIC ke dalam agar kemudian diinkubasi semalam
pada 37⁰C. MBC adalah ketika tidak terjadi pertumbuhan lagi pada agar. Penentuan MBC
dilakukan penanaman dari semua perbenihan cair pada penentuan MIC. Penentuan MBC
dilakukan penanaman dari semua perbenihan cair pada penentuan MIC.
Gambar 3. Penentuan MBC Antibiotik

Keuntungan dan kerugian metode dilusi memungkinkan penentuan kualitatif dan


kuantitatif dilakukan bersama-sama. MIC dapat membantu dalam penentuan tingkat
resistensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan antimikroba. Kerugiannya metode ini
tidak efisien karena pengerjaannya yang rumit, memerlukan banyak alat-alat dan bahan
serta memerlukan ketelitian dalam proses pengerjaannya termasuk persiapan konsentrasi
antimikroba yang bervariasi (diah ayu, 2009).

8
b. Difusi
Cakram kertas, yang telah dibubuhkan sejumlah antimikroba tertentu, ditempatkan
pada media yang telah ditanami organisme yang akan diuji secara merata. Tingginya
konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh difusi dari cakram dan pertumbuhan
organisme uji dihambat penyebarannya sepanjang difusi antimikroba (terbentuk zona
jernih disekitar cakram), sehingga bakteri tersebut merupakan bakteri yang sensitif
terhadap antimikroba. Ada hubungan persamaan yang hampir linear (berbanding lurus)
antara log MIC, seperti yang diukur oleh metode dilusi dan diameter zona daya hambat
pada metode difusi (Soleha, 2015).

Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme diklasifikasikan ke dalam dua atau lebih
kategori. Sistem yang sederhana menentukan dua kategori, yaitu sensitif dan resisten.
Meskipun klasifikasi tersebut memberikan banyak keuntungan untuk kepentingan statistik
dan epidemiologi, bagi klinisi merupakan ukuran yang terlalu kasar untuk digunakan.
Dengan demikian hasil dengan tiga klasifikasi yang biasa digunakan, (sensitif, intermediet,
dan resisten) seperti pada metode Kirby- Bauer.

Ukuran zona jernih tergantung kepada kecepatan difusi antimikroba, derajat


sensitifitas mikroorganisme, dan kecepatan pertumbuhan bakteri. Zona hambat cakram
antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan MIC. Semakin luas zona
hambat, maka semakin kecil konsentrasi daya hambat minimum MIC. Untuk derajat
kategori bakteri dibandingkan terhadap diameter zona hambat yang berbeda-beda setiap
antimikroba, sehingga dapat ditentukan kategori resisten, intermediate atau sensitif
terhadap antimikroba uji (Soleha, 2015).

Gambar 4. Konsentrasi MIC (μg/ml) dan Kemungkinan Penggunaan Daya Hambat Hambat
Digunakan Sebagai Antimikroba

9
Media difusi menggunakan kertas disk yang berisi antibiotik dan telah diketahui
konsentrasinya. Pada metode difusi, media yang dipakai adalah agar Mueller Hinton. Ada
beberapa cara pada metode difusi ini, yaitu :
1. Cara Kirby-Bauer
Cara Kirby-Bauer merupakan suatu metode uji sensitivitas bakteri yang dilakukan
dengan membuat suspensi bakteri pada media Brain Heart Infusion (BHI) cair dari koloni
pertumbuhan kuman 24 jam, selanjutnya disuspensikan dalam 0,5 ml BHI cair (diinkubasi
4-8 jam pada suhu 37°C). Hasil inkubasi bakteri diencerkan sampai sesuai dengan standar
konsentrasi kuman 108 CFU/ml (CFU : Coloni Forming Unit). Suspensi bakteri diuji
sensitivitas dengan meratakan suspensi bakteri tersebut pada permukaan media agar. Disk
antibiotik diletakkan di atas media tersebut dan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C
selama 19-24 jam (Soleha, 2015). Dibaca hasilnya :
a) Zona radical
Suatu daerah disekitar disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya
pertumbuhan bakteri. Potensi antibiotik diukur dengan mengukur diameter dari zona
radical (Soleha, 2015).
b) Zona iradical
Suatu daerah disekitar disk yang menunjukkan pertumbuhan bakteri dihambat
oleh antibiotik tersebut, tapi tidak dimatikan. Disini akan terlihat adanya
pertumbuhan yang kurang subur atau lebih jarang dibanding dengan daerah diluar
pengaruh antibiotik tersebut (Jawetz et al., 2001).
Pengukuran sensitivitas mikroorganisme terhadap antibiotik
Larutan antibiotik/sampel uji dengan konsentrasi tertentu dikeringkan pada kertas
cakram. Kemudian diletakan pada permukaan agar yang sudah dioleskan mikroba yang
standar. Efektivitas antibiotik berhubungan dengan zona inhibisi pertumbuhannya. Makin
luas diameternya, makin potensi sample antibiotic.
Prosedur Kerja :
a. Persiapkan kultur murni berumur 18-24 jam pada medium non selektif.
b. Sesuaikan kekeruhan sekitar standar kekeruhan 0.5 McFarland
c. Pilih 4-5 koloni murni dari plat agar dan pindahkan ke dalam tabung media kaldu
spt kaldu tryptic-soy. Inkubasi semalam pada35°C atau sampai diperoleh kekeruhan
sesuai standar 0.5 McFarland.
d. McFarland 0.5 dan tabung berisi mikroorganisme yang disesuaikankekeruhannya.
e. Inokulasi pada lempeng secara merata. Dalam 15 menit setelah distandarkan, ambil

10
dengan aplikator steril dan tanam pada lempeng agar Muller Hinton secara rotasi
berulang kali. Yakinkan utk menyerap kelebihan cairannya pada sisi lempeng.
Biarkan 3-5 menit agar kelebihan cairan mengering atau terabsorb.
f. Memilih cakram antibiotik dan memasangkannya

Medium agar harus pH 7.2 to 7.4 pada suhu ruangan. Permukaan harus lembab tanpa
tetesan air. Cakram antibiotik harus disimpan pada 8°C atau disimpan pada-14°C.
Sebelum digunakan biarkan dahulu pada suhu ruangan. Jangan gunakan yang sudah
kadaluarsa.Inkubasi pada 32°C selama 16-18 jam

Antibiotik berdifusi ke dalam agar konsentrasiantibiotik terus berkurang menjauh


dari cakramnya Setelah inkubasi, perhatikan daerah bening pada permukaan agar dan
disebut sbg zona inhibisi.

11
2. Cara sumuran
Suspensi bakteri 108CFU/ml diratakan pada media agar, kemudian agar tersebut
dibuat sumuran dengan garis tengah tertentu menurut kebutuhan. Larutan antibiotik yang
digunakan diteteskan kedalam sumuran. Diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam.
Dibaca hasilnya, seperti pada cara Kirby-Bauer (Jawetz et al., 2001).

3. Cara Pour Plate


Setelah dibuat suspensi kuman dengan larutan BHI sampai konsentrasi standar
(108CFU/ml), lalu diambil satu mata ose dan dimasukkan kedalam 4ml agar base 1,5%
dengan temperatur 50⁰C. Suspensi kuman tersebut dibuat homogen dan dituang pada
media agar Mueller Hinton. Setelah beku, kemudian dipasang disk antibiotik (diinkubasi
15-20 jam pada suhu 37⁰C) dibaca dan disesuaikan dengan standar masing-masing
antibiotik (Jawetz et al., 2001).

12
2.4. Jenis – Jenis Antibiotik

Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan dari kata anti
(lawan) dan bios (hidup).Kalau diterjemahkan bebas menjadi "melawan sesuatu yang
hidup".Antibiotika di dunia kedokteran digunakan sebagai obat untuk memerangi infeksi
yang disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh
suatu mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi
mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik
penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan dari produk
mikroba(diah ayu, 2009).
Antibiotik merupakan senyawa alami maupun sintetik yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan proses biokimiawi di dalam organisme, khususnya dalam
proses infeksi oleh mikroba. Macam- macam kelompok antibiotik, yaitu (Soleha, 2015) :

1. Antibiotik yang mengganggu biosintesis dinding sel bakteri, contohnya adalah


kelompok β-laktam dan kelompok glikopeptida. Contoh antibiotik β-laktam adalah
penisilin dan sefalosporin, sedangkan antibiotik kelompok glikopeptida contohnya
adalah vankomisin.

2. Antibiotik yang termasuk kelompok peptida yang mengandung lanthionine


(contoh: nisin dan subtilin) merusak molekul membran sel bakteri.

3. Antibiotik kelompok makrolid bekerja menghambat sintesis protein bakteri.


4. Antibiotik kelompok aminoglikosida menghambat proses translasi.
5. Antibiotik kelompok tetrasiklin bekerja pada ribosom bakteri dengan cara

13
menghambat interaksi kodon-antikodon antara mRNA dengan tRNA.

Antibiotik yang digunakan untuk membasmi mikroba, khususnya penyebab infeksi


pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif yang setinggi mungkin.Artinya,
antibiotik tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik
untuk inang/hospes.Antibiotik dibagi menjadi dua golongan berdasar kegiatannya, yaitu
antibiotik yang memiliki kegiatan luas (Broad Spectrum) dan antibiotik yang memiliki
kegiatan sempit (Narrow Spectrum).
1. Antibiotik yang memiliki kegiatan luas (Broad Spectrum)
yaitu antibiotik yang dapat mematikan Gram positif dan bakteri Gram negative.
Antibiotik jenis ini diharapkan dapat mematikan sebagian besar bakteri, termasuk virus
tertentu dan protozoa. Tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol serta Ampisillin
merupakan golongan broad spectrum(diah ayu, 2009).
a. Ampisilin
Ampisilin adalah antibiotik yang termasuk golongan penisilin.Penisilin merupakan
salah satu bakterisid yang mekanisme kerjanya menghambat pembentukan dinding dan
permeabilitas membran sel. Penggunaan penisilin tergantung pada berat ringannya
penyakit dan preparat yang digunakan.Daerah kerjanya yaitu mencakup kokus Gram
positif serta Staphylococcus, Streptococcus sedang basil Gram negatif yakni, basil
Clostridium, basil anthrak.
Ampisilin merupakan penisilin semisintetik yang stabil terhadap asam atau amidase
tetapi tidak tahan terhadap enzim lactamase. Ampisilin mempunyai keaktifan melawan
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif dan merupakan antibiotika spektrum
luas.Ampisilin merupakan prototip golongan aminopenisilin berspektrum luas, tetapi
aktivitasnya terhadap Gram positif kurang daripada penisilin G. Semua penisilin golongan
ini dirusak oleh -laktamase yang diproduksi kuman Gram positif maupun Gram
negatif.Bakteri E. coli dan Proteus mirabilis merupakan kuman Gram negatif yang sensitif,
tetapi dewasa ini telah dilaporkan adanya kuman yang resisten diantara kuman yang
semula sangat sensitif tersebut. Umumnya Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, Asinobakter,
dan proteus indol positif resisten terhadap ampisilin dan aminopenisilin lainnya.
Ampisilin stabil terhadap asam karena itu dapat digunakan secara oral.Absorpsi
relatif lambat, laju absorpsi sekitar 50%. Kadar darah maksimum dicapai setelah kira-kira
dua jam. Waktu paruh plasma sekitar satu sampai dua jam, kurang lebih dua kali lebih
lama daripada benzilpenisilin.Ampisilin terutama digunakan pada infeksi saluran nafas,

14
saluran urin dan empedu, pada otitis media, pertusis dan septiliemia yang peka terhadap
ampisilin.
Ampicillin
Resisten Intermediet Sensitiv
< 13 mm 14 - 16 mm > 17 mm
Tabel ketentuan zona hambat minimum pada ampicillin

b. Tetrasiklin
Tetrasiklin pertama kali ditemukan oleh Lloyd Conover.Berita tentang Tetrasiklin
yang dipatenkan pertama kali tahun 1955.Tetrasiklin merupakan antibiotika yang memberi
harapan dan sudah terbukti menjadi salah satu penemuan antibiotika penting.Antibiotik
golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh
Streptomyces aureofaciens.Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari Streptomyces
rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat
diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki spektrum
aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke ribosom
bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang luas terhadap
gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan rickettsia.Generasi pertama
meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin.Generasi kedua merupakan
penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua
memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki volume
distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain itu bioavailabilitas lebih besar,
demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15 jam).Doksisiklin dan minosiklin
tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri
anaerob seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap Vankomisin
sekalipun tetap efektif.
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium
atau garam HCl-nya mudah larut.Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCl
tetrasiklin bersifat relatif stabil.Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga
cepat berkurang potensinya.Golongan tetrasiklin adalah suatu senyawa yang bersifat
amfoter sehingga dapat membentuk garam baik dengan asam maupun basa.Sifat basa
tetrasiklin disebabkan oleh adanya radikal dimetilamino yang terdapat didalam struktur
kimia tetrasiklin, sedangkan sifat asamnya disebabkan oleh adanya radikal hidroksi

15
fenolik.
Menurut farmakope Indonesia Edisi 4, Tetrasiklin memiliki pemerian serbuk hablur
kuning, tidak berbau.Stabil di udara tetapi pada pemaparan dengan cahaya matahari kuat,
menjadi gelap. Dalam laruta dengan pH lebih kecil dari 2, potensi berkurang dan cepat
rusak dalam larutan alkali hidroksida (4).Tetrasiklin mempunyai kelarutan sangat sukar
larut dalam air, larut dalam 50 bagian etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam kloroform
P, dan dalam eter P. Larut dalam asam encer, larut dalam alkali disertai peruraian.

c. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas yang mempunyai aktifitas
bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Kloramfenikol memiliki nama
kimia 1- (pnitrofenil)- dikloroasetamido-1,3-propandiol, rumus molekul C11H12Cl2N2O5.
Kloramfenikol merupakan senyawa fenil propan tersubstitusi yang mempunyai dua unsur
struktur tidak lazim untuk bahan alam yaitu suatu gugus nitro aromatik dan residu diklor
asetil.Gugus R pada turunan kloramfenikol berpengaruh pada aktivitasnya sebagai anti
bakteri Staphylococcus aureus. Kloramfenikol (R=NO2) mempunyai aktivitas antibakteri
terhadap Staphyllococcus aureus yang optimal.
Untuk mendapatkan senyawa turunan kloramfenikol baru dengan aktivitas optimal,
harus diperhatikan agar gugus R bersifat penarik elektron kuat dan mempunya sifat
lipofilik lemah.Turunan kloramfenikol yang mempunyai gugus trifluoro lebih aktif
daripada kloramfenikol terhadap E. coli.Turunan yang gugus hidroksilnya pada C3
terdapat sebagai ester juga digunakan dalam terapi.
Kloramfenikol aktif terhadap sejumlah organisme gram positif dan gram negatif,
tetapi karena toksisitasnya penggunaan obat ini dibatasi hanya untuk mengobati infeksi
yang mengancam kehidupan dan tidak ada alternative lain.
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri Gram-
positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma.
Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S.
Efek samping yang ditimbulkan adalah supresi sumsum tulang, grey baby syndrome,
neuritis optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam.
Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan demam tifoid, infeksi berat lain
terutama yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae, abses serebral, mastoiditis,
ganggren, septikemia, pengobatan empiris pada meningitis. Dosis yang diberikan untuk
infeksi yang disebabkan oleh bakteri sensitif tetapi tidak sensitif terhadap antibiotic lainnya

16
adalah bayi<2 minggu: 25 mg/kgBB/hari dalam 4dosis terbagi, bayi 2 minggu–1 tahun: 50
mg/kgBB/haridalam 4 dosis terbagi, anak : oral atau injeksi IV atau infusIV: 50 mg/kgBB/
hari dalam 4 dosis terbagi. Untuk infeksiberat seperti meningitis, septikemia, dan
epiglottitis hemofilus hingga 100 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi,kurangi dosis tinggi
segera setelah terjadi perbaikan gejalaklinis.

d. Amoksisilin
Amoksisilin adalah salah satu senyawa antibiotik golongan beta-laktam dan
memiliki nama kimia alfa-amino-hidroksilbenzil-penisilin. Obat ini awalnya
dikembangkan memiliki keuntungan lebih dibandingkan ampisilin yaitu dapat diabsorpsi
lebih baik di traktus gastrointestinal.Obat ini tersedia dalam bentuk amoksisilin trihidrat
untuk administrasi oral dan amoksisilin sodium untuk penggunaan parenteral.Amoksisilin
telah menggantikan ampisilin sebagai antibiotik yang sering digunakan di berbagai tempat
(Grayson, 2010). Secara kimiawi, amoksisilin adalah asam (2S,5R,6R)-6-[[(2R)-2-Amino-
2-(4-hidroksifenil) asetil] amino]- 3,3 - dimetil- 7- okso - 4- tia - 1 - aza - bisiklo [3.2.0]
heptan-2- karboksilat.
Amoksisilin merupakan salah satu antibiotik golongan penisilin yang banyak
beredar di pasaran dan banyak digunakan karena harga antibiotik golongan ini relatif
murah (Harianto dan Transitawuri, 2006).Amoksisilin berspektrum luas dan sering
diberikan pada pasien untuk pengobatan beberapa penyakit seperti pneumonia, otitis,
sinusitis, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan penyakit lainnya. Obat ini tersedia dalam
berbagai sediaan seperti tablet, kapsul, suspensi oral, dan tablet dispersible.

Amoxicillin
Resisten Intermediet Sensitiv
< 14 mm 15 - 16 mm > 17 mm

Table ketentuan zona hambat minimum Amoxicillin

2. Antibiotic yang memiliki kegiatan sempit (Narrow Spectrum).


Antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba saja,
bakteri gram positif atau gram negative saja.Contohnya eritromisin, klindamisin,
kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedangkan streptomisin,
gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif(Bobone, Emaliah, Yuda,
Miluwati, & Putri, 2013).

17
a. Penisilin
Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi, mekanisme kerja,
farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan sefalosforin, monobaktam,
karbapenem, dan penghambat beta-laktamase. Semua obat tersebut merupakan senyawa
beta lactam yang dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam beranggota empat
yang unik. Penisilin mempunyai mekanisme kerja dengan caramempengaruhi langkah
akhir sintesis dinding sel bakteri (transpepetidase atau ikatan silang), sehingga membrane
kurang stabil secara osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga penisilin disebut
bakterisida.Keberhasilan penisilin menyebabkan kematian sel berkaitan dengan ukurannya,
hanya defektif terhadap organisme yang tumbuh secara cepat dan mensintesis
peptidoglikan dinding sel.
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spectrum aktivitas antibiotiknya,
antara lain penislin G dan penislin V, penislin yang resisten terhadap beta-laktamase,
aminopenislin, karboksipenislin, ureidopenislin. Tampak pada tabel 1.

Penisilin G (Benzil Penisilin) merupakan klasifikasi dari antibiotik golongan


penisilin yang diindikasikan pada pasien dengan penyakit pneumonia, infeksi tenggorokan,
otitis media, penyakit Lyme, endokarditis streptokokus, infeksi meningokokus,
enterokolitis nekrotika, fasciitis nekrotika, leptospirosis, antraks, aktinomikosis, abses otak,
gas gangren, selulitis, osteomielitis. Golongan antibiotik ini dikontraindikasikan pada

18
pasien dengan hipersensitif. Dosis pemakaian penisilin pada infeksi ringan sampai sedang
pada organisme yang sensitif adalah dengan cara injeksi (Intarmuskular) IM atau
(Intravena) IV lambat atau infus IV. Pada neonatus dosis yang digunakan 50 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis terbagi, pada usia 1−4 minggu dosis yang digunakan 75 mg/kgBB/hari
dalam 3 dosis terbagi, usia 1 bulan–12 tahun: 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi.
Pada infeksi berat digunakan dosis yang lebih tinggi.
Golongan Benzatin Penisilin diindikasikan pada pasien dengan faringitis yang
disebabkan oleh Streptokokus, carrier difteri, sifilis dan infeksi treponema lain (ulkus
tropikum), profilaksis demam rematik. Dosis yang digunakan untuk faringitis streptokokal,
profilaksis primer demam rematik adalah injeksi IM jika berat badan<30 kg dosis yang
digunakan 450–675 mg dosis tunggal.Berat badan>30 kg, 900 mg dosis tunggal.Ampisilin
diindikasikan pada pasien dengan penyakit mastoiditis, infeksi ginekologik, septikemia,
peritonitis, endokarditis, meningitis, kolesistitis, osteomielitis yang disebabkan oleh kuman
yang sensitif.Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap
golongan penisilin. Dosis yang digunakan pada neonatus 25–50 mg/kgBB/dosis, pada usia
1 minggu setiap 12 jam, usia 2–4 minggu setiap 6–8 jam pemberian secara IV. Dosis pada
bayi dan anak secara oral adalah 7,5–25 mg/kgBB/dosis setiap 6 jam. Golongan
amoksisilin diindikasikan pada pasien dengan penyakit infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas bagian atas, bronkitis, pneumonia, otitis media, abses gigi, osteomielitis,
penyakit Lyme pada anak, profilaksis endokarditis, profilaksis paska-splenektomi, infeksi
ginekologik, gonore, eradikasi Helicobacter pylori. Tersedia dalam bentuk kapsul dan
tablet. Dosis untuk anak<10 tahun, 125 mg setiap 8 jam, untuk infeksi berat dosis
diberikan dosis ganda. Dosis untuk neonatus sampai umur 3 bulan, 20−30 mg/kgBB dalam
dosis terbagi setiap 12 jam.

b. Gentamisin
Gentamisin merupakan antibiotika golongan aminoglikosida. Mekanisme kerja
gentamisin adalah dengan mengikat secara ineversibel sub unit ribosom 30s dari kuman,
yaitu dengan menghambat sintesis protein dan menyebabkan kesalahan translokasi kode
genetik. Gentamisin bersifat bakterisidal. Gentamisin efektif terhadap berbagai strain
kuman Gram negatif termasuk Spesies Brucella, alymmatobaterium, ompulobacter,
Citrobacter, Escherichia, Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Providencia, Pseudomonas,
Serratia, Vibrio dan Yersinia. Terhadap mikroorganisme Gram positif, gentamisin juga
efektif terutama terhadap Staphylococcus aureus dan Listeria monocytogenes serta

19
beberapa strain Staphylococcus epidermis, tetapi gentamisin tidak efektif terhadap
enterococcus dan streptococcus.

2.5 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Uji Sensitivitas Bakteri

A. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tes kepekaan

Penentuan tes laboratorium terhadap mikroorganisme, untuk hasil yang lebih akurat
harus memperhatikan faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi baik terhadap
mikroorganisme ataupun pengaruh terhadap daya kerja antimikroba, sehingga harus
dihindari  faktor-faktor lingkungan yang kemungkinan merpengaruhi,

Faktor lingkungan tersebut diantaranya:

1. pH

Beberapa antimikroba dipengaruhi oleh pH lingkungan, contohnya  aktifitas


antibakteri eritromisin  dan aminoglikosida berkurang apabila terjadi  penurunan
pH, sedangkan aktifitas tetrasiklin akan menurun bila terjadi peningkatan pH.
Aktifitas aminoglikosida yang daya kerjanya menghambat sintesis protein
bakteri melalui membran sel dengan proses oksidasi, sehingga apabila  tidak
terdapat oksigen akan mengurangi aktifitas antimikroba tersebut.

2. Kation

Aktifitas aminoglikosida juga dipengaruhi oleh konsentrasi kation Ca2+ dan


Mg2+. Tahapan aktifitas antimikroba yang penting adalah absorpsi antimikroba
ke permukaan sel bakteri. Aminoglikosida bermuatan positif dan
bekerja  terutama untuk bakteri gram negatif,  misalnya membran
luar Pseudomomonas aeruginosa  yang bermuatan negatif

3. Tersedianya bahan gizi tertentu

Bahan gizi tertentu dapat mempengaruhi aktifitas antimikroba, misalnya


bakteri enterococcus mampu menggunakan timin  dan asam folat hasil
metabolisme untuk menghindari pengaruh aktifitas  sulfoamida dan
trimetroprim, yang dihambat oleh  jalur metabolik asam folat.

Informasi mengenai resistensi yang kemungkinan berasal dari

20
lingkungan  digunakan untuk membuat metoda standar  yang dapat mengurangi
pengaruh faktor lingkungan terhadap bakteri  uji, sehingga pemeriksaan lebih
akurat.

Tujuan pengendalian faktor lingkungan  

1. Hambatan pertumbuhan berkaitan dengan aktifitas antimikroba melawan bakteri uji dan
tidak dibatasi oleh bahan gizi, suhu dan kondisi lingkungan lainnya yang dapat
menghalangi pertumbuhan, sehingga dapat dipastikan hambatan pertumbuhan hanya
disebabkan oleh antimikroba yang digunakan.

2. Mengoptimalkan  kondisi untuk pemeliharaan keutuhan dan aktifitas antimikroba


sehingga dapat dipastikan kegagalan menghambat pertumbuhan bakteri disebabkan oleh
keresistenan bakteri itu sendiri tapi bukan dari pengaruh lingkungan yang membuat
antimikroba inaktif.

3. Untuk mempertahankan hasil konsisten yang berulang (reproducibility dan consistency)


sehingga organisme yang sama akan memperlihatkan hasil kepekaan yang sama, terhadap
metode uji laboratorium yang digunakan

Pengujian dilakukan di bawah kondisi standar, dimana kondisi standar berpedoman


kepada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Standar yang harus dipenuhi
yaitu: konsentrasi inokulum bakteri, media perbenihan (Muller Hinton) dengan
memperhatikan pH, konsentrasi  kation, tambahan darah dan serum, kandungan timidin,
suhu inkubasi, lamanya inkubasi dan konsentrasi antimikroba (Soleha, 2015).

Walaupun kondisi penting untuk pemeriksaan invitro telah distandarkan namun


tidak ada kondisi invitro yang  mengambarkan kondisi yang sama dengan keadaan invivo
tempat yang sebenarnya bakteri tersebut menginfeksi. Dengan demikian ada beberapa
faktor yang memegang peranan penting dari  pasien disamping hal-hal yang dapat
mempengaruhi hasil uji kepekaan  yang telah diperhitungkan pada metode uji. Faktor
tersebut yaitu (Soleha, 2015):

a.  Difusi  antimikroba pada sel dan jaringan  hospes

b. Protein serum pengikat antimikroba

c. Gangguan dan interaksi obat

21
d. Status daya tahan dan system imun pasien

e. Mengidap beberapa penyakit  secara bersamaan

f. Virulensi dan patogenitas bakteri yang menginfeksi

g. Tempat infeksi dan keparahan penyakit

B. Faktor-Faktor Teknis yang Mempengaruhi Ukuran Diameter Zone Hambatan


1. Kepekatan Inokulum
Jika inokulum terlalu encer, zona hambatan akan menjadi lebih lebar walaupun
kepekaan organismenya tidak berubah. Galur yang relatif resisten mungkin dilaporkan
sebagai sensitif. Sebaliknya, jika inokulum terlalu pekat, ukuran zona akan menyempit dan
galur yang sensitif dapat dilaporkan sebagai resisten. Biasanya hasil optimal didapat
dengan ukuran inokulum yang menghasilkan pertumbuhan yang hampir menyatu
(konfluen).(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010).
2. Waktu Pemasangan Cakram
Jika setelah ditanami dengan galur uji lempeng agar, dibiarkan pada suhu ruang
lebih lama dari waktu baku, perkembangbiakan inokulum dapat terjadi sebelum cakram
dipasang. Ini menyebabkan zona diameter mengecil dan dapat menyebabkan suatu galur
sensitif dilaporkan sebagai resisten.(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010).
3. Suhu Inkubasi
Uji kepekaan biasanya diinkubasi pada suhu 350C untuk pertumbuhan yang
optimal. Jika suhu diturunkan, waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan efektif akan
memanjang dan dihasilkan zona lebih lebar. Jika galur Staphylococcus aureus yang
heteroresisten diuji dengan metisilin (oksasilin), bagian yang resisten dapat dideteksi pada
suhu 350C. Pada suhu yang lebih tinggi, seluruh biakan tampak sensitif. Pada suhu 35 0C
atau lebih rendah, koloni yang resisten tumbuh di dalam zona hambatan. Koloni-koloni
yang resisten dapat dilihat lebih mudah bila agar dibiarkan selama beberapa jam pada suhu
ruang sebelum pembacaan hasil. Koloni-koloni tersebut harus selalu diidentifikasi untuk
memeriksa apakah merupakan pencemar.(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck,
2010).

22
4. Waktu inkubasi
Kebanyakan teknik menerapkan masa inkubasi antara 16-18 jam. Walaupun
demikian, pada keadaan darurat, laporan pendahuluan dapat dibuat setelah 6 jam. Ini tidak
dianjurkan secara rutin dan hasilnya harus selalu dipastikan setelah masa inkubasi
konvensional.(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010).
5. Ukuran Lempeng, Ketebalan Media Agar, dan Pengaturan Jarak Cakram
Antimikroba
Uji kepekaan biasanya dikerjakan menggunakan cawan petri ukuran 9-10 cm, jarak
cakram 3 cm dan 2 cm dari pinggir petridish dan tidak lebih dari 6 atau 7 cakram
antimikroba pada tiap lempeng agar. Jika jumlah antimikroba yang harus diuji lebih
banyak, lebih disukai menggunakan dua lempeng atau satu lempeng agar berdiameter 14
cm. Zona hambatan yang sangat besar mungkin terbentuk pada media yang sangat tipis;
dan sebaliknya berlaku untuk media yang tebal. Perubahan kecil dalam ketebalan lapisan
agar efeknya dapat diabaikan. Pengaturan jarak cakram yang tepat sangat penting untuk
mencegah tumpang tindihnya zona hambatan atau deformasi didekat tepi-tepi lempeng.
Ketebalan media agar 4 mm, bila kurang maka difusi obat lebih cepat dan bila lebih maka
difusi obat lambat.(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010).

6. Potensi Cakram Antimikroba


Diameter zona hambatan terkait dengan jumlah obat dalam cakram. Tiap jenis obat
mempunyai diameter disk yang sama tetapi potensinya berbeda. Jika potensi obat
berkurang akibat rusak selama penyimpanan, zona hambatan akan menunjukkan
pengurangan ukuran yang sesuai. Yang harus diperhatikan :

1. Cara penyimpanan : obat yang labil seperti penisillin dll disimpan pada suhu 40C.

2. ED nya dan setiap disk obat baru diterima harus dicek dengan kontrol strain.
(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010).

7. Komposisi Media
Media mempengaruhi ukuran zona melalui efeknya terhadap kecepatan
pertumbuhan organisme, kecepatan difusi obat antimikroba, dan aktivitas obat.
Penggunakan media harus sesuai dengan metode tersebut.(Yerhaegen, Engbaek, Rohner,
Piot, & Heuck, 2010).

23
Banyak faktor yang mempengaruhi diameter zona yang mungkin diperoleh pada uji
organisme yang sama nyata-nyata menunjukkan perlunya standardisasi pada metode
difusi-cakram. Hasil yang sahih hanya bisa didapatkan bila kondisi yang ditetapkan untuk
metode tertentu diikuti secara ketat. Perubahan pada salah satu faktor yang mempengaruhi
pemeriksaan dapat menghasilkan laporan-laporan yang sangat menyesatkan klinisi.
(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010)
Ketelitian dan ketepatan metode harus dipantau dengan menetapkan program
pengendalian mutu. Dengan demikian, penyimpangan dapat segera diusut dan diambil
tindakan untuk mengatasinya.(Yerhaegen, Engbaek, Rohner, Piot, & Heuck, 2010).

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan terhadap bakteri penyebab


penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu antimikroba atau
kemampuan suatu antimikroba untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Pada prinsipnya
tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan terhadap bakteri penyebab penyakit
yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu antimikroba. Ada dua macam
metode untuk uji sensitivitas yaitu metode dilusi dan metode difusi. Kedua metode ini
digunakan untuk mendapatkan MIC (minimum inhibition concentration) suatu agen
antimikroba. Ada beberapa cara pada metode difusi, yaitu cara Kirby-Bauer, cara sumuran,
dan cara pour plate. Cara yang paling umum digunakan dalam uji sensitivitas bakteri
terhadap antibiotik dilakukan dengan metode Kirby-Bauer yaitu dengan menggunakan
cakram antibiotic, seperti penisilin, ampisilin, amoksilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
gentasimin. Pengujian dilakukan di bawah kondisi standar, dimana kondisi standar
berpedoman kepada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Standar yang
harus dipenuhi yaitu konsentrasi inokulum bakteri, media perbenihan (Muller Hinton)
dengan memperhatikan pH, konsentrasi kation, tambahan darah dan serum, kandungan
timidin, suhu inkubasi, lamanya inkubasi, dan konsentrasi antimikroba.
Alasan dilakukannya uji kepekaan antimikroba adalah untuk mendapatkan agen
antimikroba yang tepat untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu. Uji sensitifitas
antimikroba tidak dilakukan pada setiap spesimen, melainkan hanya dilakukan pada
spesimen dengan jenis mikroba tertentu yang belum diketahui secara umum
sensitifitasnya terhadap jenis-jenis antimikroba yang umum digunakan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Diah Ayu, I. (2009). Uji Resistensi Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
Dari Isolat Susu Sapi Segar Terhadap Beberapa Antibiotik. Skripsi, Hal : 1–29.

Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A., 2001, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi XXII,
diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, 205-209. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Nurmala, Andriani, & Liana, D. (2015). Resistensi dan Sensitivitas Bakteri terhadap
Antibiotik di RSU dr. Soedarso Pontianak Tahun 2011-2013. eJKI, 3(1), 21–28.
Retrieved from http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/viewFile/4803/3338

Soleha, T. U. (2015). Uji Kepekaan terhadap Antibiotik Susceptibility Test of


Antimicroba. Uji Kepekaan Terhadap Antibiotik. Juke Unila 5(9). Hal: 120-122.

Sri, M., Intensification, R., & Lahan, D. I. (2013). Edisi Agustus 2013 Volume VII No. 2,
VII(2), 106–120.

Veteriner, J. K., Toelle, N. N., Mikrobiologi, L., Studi, P., Hewan, K., Pertanian, P., …
Negeri, P. (n.d.). Uji Sensitivitas Staphylococcus spp Terhadap Beberapa
Antibiotik Yang Berbeda, 2(2), 151–154.

Yerhaegen, J. Y. E. J., Engbaek, K., Rohner, P., Piot, P., & Heuck, C. C. (2010). Prosedur
Laboratorium Dasar Untuk Bakterologi Klinis.

26

Anda mungkin juga menyukai