Anda di halaman 1dari 5

OLEH.

REGITA BERLIAN WIDODO

Bagaimana tanggapan kamu tentang sebagai seorang mahasiswa tentang RUU haluan edeologi
pancasila (RUU HIP) tentang trisila dan ekasila.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menduga Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi


Pancasila (RUU HIP) ingin melumpuhkan unsur Ketuhanan pada sila pertama Pancasila secara
terselubung dan berpotensi membangkitkan komunisme.
MUI mengatakan unsur-unsur dalam RUU HIP mengaburkan dan menyimpang dari makna
Pancasila, salah satunya bagian Trisila dan Ekasila yang dinilai sebagai upaya memecah Pancasila.
Dalam Pasal 7 RUU HIP dituliskan:
 Pertama, Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat
kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan,
kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
 Kedua, Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta
ketuhanan yang berkebudayaan.
 Ketiga, Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-
royong.
Saya Tidak Setuju, Dengan ciri Pancasila yang dapat diperas menjadi trisila dan ekasila
berujung kontroversi di Indonesia, segmen agama dalam pancasila menjadi kacau karena sila
ketuhanan yang berkebudayaan membuat agama berdasarkan budaya atau dengan kata lain agama
merupakan ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan. Lebih jauh, tidak penting kitab suci agama
dengan ekasila, segmen agama makin tidak jelas, bahkan hilang. Artinya, agama menjadi terpisah
total dari negara atau hanya menjadi masalah pribadi. Lembaga DPR RI sendiri bisa jadi tidak
percaya Tuhan.
Ir. H. Soekarno pun tidak pernah memaksa gagasan Trisila dan Ekasila kepada peserta rapat
BPUPKI untuk menyetujui ide dia. Trisila dan Ekasila sekaligus ditolak. Akhirnya BPUPKI setuju
Pancasila yang dijadikan dasar negara. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara dapatmenggunakan
dua metodelogi pendekatan yaitu institusional dan human resourse.
Pancasila yang dimaksud oleh RUU HIP jelas bukan Pancasila sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan UUD 145 yang keberlakuannya atas dasar Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebab,
sendi utama (kalau mau pakai istilah ini) Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Bukan keadilan sosial. Keadilan sosial adalah satu prinsip dari lima prinsip
(Pancasila), yang harus diperjuangkan untuk diwujudkan.
Pancasila sebagai termaktub pada Pembukaan UUD 45 menempatkan Tuhan sebagai Causa
Prima, menjadi jiwa seluruh sila dari Pancasila termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Inilah kesepakatan luhur yang diterima semua komponen bangsa dengan suka cita.
Negara ini akan tetap teguh dan eksis bila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap ditempatkan
sebagai Causa Prima, sebagai yang menjiwai sila-sila lainnya dalam Pancasila. Akan bubar, bila
posisi Ketuhanan Yang Maha Esa digeser atau dikerdilkan. Itulah arti sendi Utama. Berbeda dengan
keadilan sosial, sebagai cita-cita bangsa, bila belum tercapai (tapi bukan karena kedzaliman
penguasa), negara tidak akan bubar.
Selanjutnya, ciri pokok (kalau juga mau menggunakan istilah ini) rumusan Pancasila sebagai
termaktub dalam Pembukaan UUD 145, adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, tidak dapat dan tidak boleh diperas-peras menjadi
Trisila dan apalagi Ekasila. Pemerasan Pancasila menjadi berapa sila pun akan menghancurkan
Pancasila itu sendiri dan menghancurkan kesepakatan luhur kita dalam berbangsa dan bernegara.
Pancasila yang dapat diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila –yakni
Gotongroyong, adalah gagasan Bung Karno yang disampaikan pada Sidang BPUPKI 1 Juni 1945.
Itu bukan kesepakatan, melainkan masih berupa usulan sebagaimana usulan-usalan lain yang
disampaikan para tokoh lainnya.
Jadi, RUU HIP menggunakan objek Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya, Pancasila
yang masih berupa usulan. Dengan demikian para pengusul RUU HIP sedang menyeret bangsa ini
ke masa-masa sebelum merdeka, masa-masa perdebatan tajam soal dasar falsafah negara, tepatnya
masa-masa persidangn BPUPKI. Berarti pula mereka sedang mengurai benang yang telah ditenun
menjadi kain oleh the founding fathers menjadi benang-benang yang tercerai berai kembali.
Maka dalam hal ini, para pengusul dan penyusun Nasakah Akademik RUU HIP telah
dengan sengaja melanggar konstitusi. Karena itu, RUU HIP diduga kuat adalah upaya sadar untuk
mengubah/menghanti Pancasila; menghianati kesepakatan luhur bangsa dengan memanipulasi Isi
dan ruh Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya, casing tetap Pancasila
tapi isinya telah diganti.
Ini kejahatan yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejahatan terhadap
keamanan negara. Karena itu, Fraksi pengusul dan penyusun Naskah Akademik RUU HIP harus
segera diusut sesuai UU Nomor 27 tahun 1999.
Konflik Ideologi akan membara dan NKRI bisa bubar. Setidaknya, Indonesia akan tumbuh
menjadi negara lain yang berbeda, yang tercabut dari akar sejarah dan cita-cita pendirinya :
casingnya tetap Indonesia, tapi manusia dan budayanya telah menjadi sesuatu yang lain. Itu artinya,
Indonesia sebagai bangsa telah lenyap.
Bagaimana tanggapan saudara sebagai seorang mahasiswa tentang pernyataan ketua DPR RI
yang menyatakan semoga provinsi Sumbar kembali/mengikuti Negara Pancasila

Saat umumkan cagub-cawagub Pilkada Sumbar 2020, Puan Maharani berharap semoga
Sumbar mendukung negara Pancasila. Pernyataan ini dibanjiri kritik oleh sejumlah pejabat publik
asal Sumbar dan mengimbau Puan berhati-hati.
Ustaz Abdul Somad menanggapi pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Republik Indonesia, Puan Maharani yang sempat menjadi polemik beberapa waktu lalu.
Menurutnya, Sumatera Barat merupakan Provinsi yang sangat mendukung Negara Pancasila
dan sangat mendukung Negara Pancasila . Bagi UAS , masyarakat Sumbar dan Minangkabau
adalah masyarakat yang paling mengerti dan menjiwai Pancasila. Masyarakat Sumbar masyarakat
yang paling beradat, masyarakat yang paling beragama dan paling Pancasilais.
Sebelumnya publik menyoroti ucapan Puan Maharani yang terkesan meragukan jiwa
pancasila warga Sumbar . Puan mengucapkan itu ketika membacakan deklarasi dukungan PDIP
terhadap pasangan Mulyadi-Ali Mukhni di Pilgub Sumbar .
Beberapa tokoh di Sumatera Barat sebelumnya juga menanggapi pernyataan Ketua DPR RI
yang sempat viral itu. Beberapa tokoh Sumatera Barat meminta Puan Maharani untuk meminta
maaf dan meminta agar meralat pernyataannya itu.
Saya Tidak Setuju, Selain karena faktor sakit hati dan lupa sejarah, pernyataan Puan bisa
dimaknai sebagai sebuah bentuk sikap hegemonik atas pemaknaan Pancasila. Bahwa seolah ada
satu kelompok yang lebih Pancasilais dibandingkan kelompok lainnya.
Akhir akhir ini nampaknya mulai muncul kecenderungan untuk menafsirkan Pancasila
sesuai dengan selera kepentingan politiknya. Sehingga kalau ada daerah atau wilayah yang tidak
disukainya karena alasan tertentu bisa dianggap kurang atau tidak Pancasila.
Kita jadi teringat pada masa Orba berkuasa. Saat itu dislogankan bahwa Pancasila adalah
harga mati, tidak ada gantinya. Saat itu slogan tersebut didengungkan Orba sejalan dengan
gagasannya menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi di Indonesia.
Kampanye ini pun dibarengi dengan tafsiran tunggal memaknai dan menerapkan Pancasila. Mereka
yang menafsir di luar tafsiran penguasa, dianggap sebagai musuh negara. Akibatnya, Pancasila
ditempatkan sebagai barang suci, tafsiran terhadapnya pun menjadi anti kritik, bagaimana ber-
Pancasila menjadi hak monopoli penguasa.
Pancasila pun menjadi hambar karenanya. Praktek bermasyarakat berdasar Pancasila juga
bersifat legalisme, publik melakukan hal-hal yang dikata sejalan dengan Pancasila hanya karena
takut ini dan itu, utamanya takut kalau diciduk oleh aparat keamanan negara.
Tidak ada ruang bertanya yang diberikan—apalagi mempertanyakan mengapa harus begini
dan begitu terhadap Pancasila—bagi masyarakat, termasuk generasi muda kaitan posisi Pancasila.
Pikiran publik dicuci melalui orientasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Masyarakat hanya menerima sesuatu yang sudah jadi saja.
Karena mendapatkan tafsir Pancasila dalam bentuk kaku, sudah jadi, dan itu hasil pikir
orang lain, masyarakat pun gagal mengaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari yang tidaks
sesuai dengan faktanya. Saat itu Soeharto mungkin bisa mengaitkannya, namun tidak bagi yang
lainnya.
Masyarakat Indonesia hidup dalam kepura-puraan ber-Pancasila. Tatkala tiba zaman bebas
berekspresi (pasca reformasi 1998), kita tampil dengan wajah yang sebenarnya. Mereka-mereka
yang dulunya anti Pancasila, tetapi takut menunjukan rupa, akhirnya dengan gagah berani
menunjukan sikapnya.
Cara ber-Pancasila ala-Soeharto yang berbentuk indoktrinasi, tanpa ada keterlibatan
masyarakat secara aktif di alam bebas menafsirkan Pancasila sesuai konteksnya masing-masing,
telah melahirkan gaya hidup ber-Pancasila yang berwajah ganda. Kita kerap berkata, bahwa setia
pada Pancasila dan UUD 1945, tetapi sesunguhhnya hati kita tak tau apa maksud dan maknanya.
Kalaupun ditanya mengapa kita berucap begitu, jawaban dominan adalah, ―karena
kalau tidak demikian, maka kita akan dianggap penghianat negara!‖ Rupanya kini sejarah mulai
berulang dimana kita secara tidak sadar sepertinya ingin kembali melakoni sejarah kelam Orba
tentang tafsir Pancasila. Ditandai dengan munculnya RUU HIP yang kemudian berganti dengan
RUU BPIP (Badan Pembina Idiologi Pancasila) dan lahirnya pernyataan-pernyataan kontroversial
dari para pejabatnya.
Apakah pernyataan mbak Puan tentang Sumatera Barat dan Pancasila itu menjadi bagian
dari upaya menjadi juru tafsir tunggal Pancasila versi penguasa?. Klarifikasi atas pernyataannya
sudah dilakukan oleh para petinggi partainya namun penilaian diserahkan kepada masyarakat
tentunya.
Dibalik keraguan Sumatera Barat mendukung negara Pancasila, sebenarnya ada fakta-fakta
di depan mata yang luput dari perhatian dan fokus kita bersama yaitu adanya berbagai
penyimpangan terhadap nilai nilai pancasila yang dianggap sebagai hal yang biasa. Penyimpangan-
penyimpangan seperti adanya korupsi yang makin merajalela, penerapan sistem ekonomi liberal dan
sekuler serta penguasaan kekayaan negara ditangan segelintir orang yang punya modal dan kuasa.
Bukankah semua itu bertentangan dengan Pancasila?, sehingga akan lebih arif kiranya kalau
para pejabat tidak menyampaikan suatu pernyataan yang mengundang kontroversi mengenai
kesetiaannya pada Pancasila oleh suatu daerah atau elemen bangsa. Karena hal itu hanya akan
menjadi pemicu perpecahan anak anak bangsa.
Jangan sampai kita menjadi orang yang paling lantang berteriak saya Indonesia, saya
pancasila hanya untuk menutupi pelanggaran pelanggaran yang dilakukannya terhadap nilai nilai
pancasila. Kalau itu yang terjadi lalu apa bedanya dengan penguasa dimasa Orba yang telah
dilengserkan bersama.

REFERENSI

Anonim. 2020. Kontroversi RUU Haluan Ideologi Pancasila, Dari Ekasila Hingga Merebaknya Isu
Komunisme. https://waspada.co.id/2020/06/kontroversi-ruu-haluan-ideologi-pancasila-dari-
ekasila-hingga-merebaknya-isu-komunisme/ (diakses 18 September 2020)
Anonim. 2020. Kontroversi RUU HIP, Trisila dan Ekasila Jadi Kacau.
https://www.kompasiana.com/abdurrofiabdullah/5ef2e11a097f3636812a6d93/kontroversi-
ruu-hip-trisila-dan-ekasila-jadi-kacau (diakses 18 September 2020)
Sitanggang, Masri. 2020. RUU HIP: Upaya Mengubah Pancasila?.
https://republika.co.id/berita/qca4uu385/ruu-hip-upaya-mengubah-pancasila (diakses 18
September 2020)
Caniago, Halbert. 2020. Pernyataan Ketua DPR RI Soal Sumbar Jadi Polemik, Ini Tanggapan UAS.
https://klikpositif.com/baca/76456/pernyataan-ketua-dpr-ri-soal-sumbar-jadi-polemik-ini-
tanggapan-uas (diakses 18 September 2020)
Anonim, 2020. Mengurai Makna: "Semoga Sumbar Dukung Negara Pancasila". https://www.law-
justice.co/artikel/92704/mengurai-makna-semoga-sumbar-dukung-negara-pancasila/
(diakses 18 September 2020)

Anda mungkin juga menyukai