Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang terutama disebabkan oleh

infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, tetapi juga disebabkan oleh karena

infeksi Mycobacterium bovis atau Mycobacterium africanum. Infeksi awal

biasanya tanpa gejala (asymptomatic) dan lebih dari 95% tubuh manusia memiliki

imunitas. Akan tetapi imunitas tidak cukup kuat untuk melakukan eradikasi

terdahap basil tuberkulosis dan basil ini dapat memberikan peningkatan terhadap

infeksi secara progresif (cepat). Jika infeksi terjadi selama 2 tahun (dihitung

terhadap infeksi awal) maka penyakit tuberkulosis akan muncul. Anak-anak dan

pasien yang memiliki sistem kekebalan yang lemah akan semakin memudahkan

meningkatnya resiko perkembangan basil tuberkulosis. Manifestasi yang sering

dijumpai dari tuberkulosis adalah penyakit paru-paru. Pasien biasanya

menunjukkan gejala batuk, demam, berkeringat dimalam hari dan penurunan berat

badan (Sweetman, 1999).

2.2 Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid

Tuberkulosis memerlukan pengobatan dengan tiga sampai lima jenis obat

yang berbeda yang diberikan secara bersama-sama (sekaligus), tergantung kepada

kategori pasiennya. Sediaan obat anti tuberkulosis ini dapat diberikan dalam

formulasi obat tunggal (dalam sediaan yang berbeda-beda) atau diberikan dalam

formulasi kombinasi dosis tetap (fixed dose combination (FDC)) yang mana dua

Universitas Sumatera Utara


atau lebih obat anti tuberkulosis berada dalam perbandingan tetap (perbandingan

tertentu) dalam formulasi yang sama. Pihak organisasi kesehatan dunia (world

health organization (WHO)) dan perkumpulan internasional yang melawan

penyakit tuberkulosis dan paru-paru (international union against tuberculosis and

lung disease (IUATLD)) menyarankan agar menghindari penggunaan sediaan obat

anti tuberkulosis dalam formulasi obat tunggal (dalam sediaan yang berbedabeda)

dan menyarankan penggunaan sediaan obat anti tuberkulosis dalam formulasi

kombinasi dosis tetap (fixed dose combination (FDC)) sebagai pengobatan utama

untuk tuberkulosis (WHO, 1999).

Merujuk kepada ketentuan organisasi kesehatan dunia (world health

organization (WHO)), 1999, beberapa latar belakang atau alasan dari penggunaan

sediaan obat anti tuberkulosis dalam formulasi kombinasi dosis tetap (fixed dose

combination (FDC)) adalah:

• Penggunaan obat monoterapi dalam pengobatan tuberkulosis dihindari,

karena beresiko untuk terjadinya resistensi mikobakterium. Dengan

penggunaan sediaan obat anti tuberkulosis dalam formulasi kombinasi dosis

tetap maka resistensi mikobakterium akan dihindari.

• Peresepan dan pemberian obat yang lebih mudah, kepatuhan pasien lebih

meningkat (karena obat berada dalam satu sediaan).

• Distribusi dan manajemen stok obat yang lebih mudah.

• Biaya sediaan obat anti tuberkulosis dalam formulasi kombinasi dosis tetap

adalah sama dan bahkan lebih rendah dari jumlah biaya penggunaan sediaan

obat anti tuberkulosis dalam formulasi obat tunggal (dalam sediaan yang

berbeda-beda).

Universitas Sumatera Utara


• Biaya registrasi dan pajak pada beberapa negara cukup tinggi. Sehingga bila

obat anti tuberkulosis berada dalam formulasi kombinasi dosis tetap (dalam

satu sediaan) akan menurunkan biaya.

2.2.1 Rifampisin Rumus

struktur :

ΗΟ

Ο
Η OH O
OH OH
O
O NH

N
O N

O OH N
O

Gambar 2.1. Rumus struktur rifampisin.

Nama Kimia : 5, 6, 9, 17, 19, 21-Heksahidroksi-23-metoksi-2, 4, 12, 16, 18, 20,

22-heptametil-8 [N-(4-metil-1-piperazinil) formimidoil]-2,

7(epoksipentadeka [1, 11, 13] trienimino) nafto [2, 1-b] furan- 1,

11-(2H)-dion-21-asetat.

Sinonim : Rifampicinum, Rifampin, Rivalzadin, 3-[{(4-Metil-1-

piperazinil) imino} metil] rifamisin.

Rumus Molekul : C43H58N4O12.

Berat Molekul : 822,95.

Universitas Sumatera Utara


Pemerian : Serbuk hablur, coklat merah.

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol, eter dan

aseton, mudah larut dalam kloroform, larut dalam etil asetat dan

dalam metanol (Depkes RI, 1995; Sweetman, 1999).

2.2.1.1 Penggunaan dan Cara Pemberian

Rifampisin adalah kelompok antimikobakterial dan digunakan untuk

pengobatan berbagai jenis infeksi. Sering digunakan dalam bentuk kombinasi

dengan antibakterial lainnya untuk menghindari resistensi dan untuk pengobatan

tuberkulosis. Penggunaan pada pasien dewasa secara umumnya adalah 600 mg per

hari melalui mulut pada keadaan lambung kosong. Sedangkan pada pasien anak-

anak diberikan dosis 10 mg/kg hingga 20 mg/kg per hari dengan batas maksimum

600 mg per hari (Sweetman, 1999).

2.2.1.2 Farmakokinetika

Rifampisin segera diabsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi

maksimum obat dalam plasma adalah 7 µg/mL sampai 24 µg/mL setelah 2 jam

sampai 4 jam pemberian dosis 600 mg. Hal ini dapat berbeda antara individu yang

satu dengan individu yang lainnya. Rifampisin berada 80% dalam protein plasma.

Waktu paruh rifampisin berkisar antara 2 jam sampai 5 jam, dengan waktu paruh

yang lebih pendek (1 jam sampai 3 jam) pada penggunaan 2 minggu pertama

karena rifampisin menginduksi metabolisme terhadap rifampisin itu sendiri.

Rifampisin secara cepat dimetabolisme di hati menjadi 25-O-deasetilrifampisin.

Deasetilrifampisin diserap kembali ke saluran cerna dan meningkatkan ekskresi

Universitas Sumatera Utara


melalui feses, tetapi siklus enterohepatik tetap berjalan. Sekitar 60% obat

diekskresikan melalui feses sedangkan 30% obat diekskresikan melalui urin,

setengah bagian tersebut diekskresikan dalam waktu 24 jam. Metabolit

formilrifampisin juga diekskresikan melalui urin. Pada pasien gangguan ginjal

waktu paruh rifampisin menjadi lebih panjang dari normalnya (Sweetman, 1999;

Peloquin, 2002).

2.2.1.3 Efek Samping

Efek samping dari penggunaan rifampisin adalah gangguan saluran cerna

(anoreksia, diare, mual dan muntah), gangguan darah (trombositopenia,

eosinofilia, leukopenia dan anemia), gangguan saraf (sakit kepala), udema dan

perubahan warna pada urin, feses, keringat, air liur, dahak, air mata dan cairan

tubuh lainnya menjadi jingga hingga merah (Sweetman, 1999).

2.2.2 Isoniazid

Rumus struktur :
O

NH 2
N
H
N

Gambar 2.2. Rumus struktur isoniazid.

Nama Kimia : Asam isonikotinat hidrazida.

Sinonim : Isoniazidum, INH, INAH, Isonikotinoilhidrazin,

Isonikotinilhidrazida, Isonikotinilhidrazin, Tubazid.


Rumus Molekul : C6H7N3O.

Universitas Sumatera Utara


Berat Molekul : 137,14.

Pemerian : Hablur putih atau tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak

berbau, perlahan-lahan dipengaruhi oleh udara dan cahaya.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut

dalam kloroform dan dalam eter, praktis tidak larut dalam

benzena (Depkes RI, 1995; Sweetman, 1999).

2.2.2.1 Penggunaan dan Cara Pemberian

Isoniazid adalah turunan hidrazida dan merupakan obat utama dalam

pengobatan penyakit tuberkulosis. Sering digunakan dalam bentuk kombinasi.

Penggunaan pada pasien dewasa secara umumnya adalah 300 mg per hari melalui

mulut pada keadaan lambung kosong. Sedangkan pada pasien anak-anak

bervariasi, yakni: 5 mg/kg per hari (menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World

Health Organization/WHO)), 10 mg/kg per hari (di Inggris (United

Kingdom/UK)) dan 10 mg/kg hingga 15 mg/kg per hari (di Amerika Serikat

(United States of America/USA)) dengan semuanya mencantumkan batas

maksimum 300 mg per hari (Sweetman, 1999).

2.2.2.2 Farmakokinetika

Isoniazid segera diabsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi maksimum

obat dalam plasma adalah 3 µg/mL sampai 7 µg/mL setelah 1 jam sampai 2 jam

pemberian dosis 300 mg. Waktu paruh isoniazid berkisar antara 1 jam sampai 6

jam, dengan waktu paruh yang lebih pendek pada individu yang memiliki

asetilator yang cepat. Rute metabolik primer adalah asetilasi dari isoniazid

Universitas Sumatera Utara


menghasilkan asetilisoniazid oleh N-asetiltransferase yang ditemukan dalam hati

dan usus halus. Asetilisoniazid kemudian dihidrolisis menjadi asam isonikotinat

dan monoasetilhidrazin. Asam isonikotinat berkonjugasi dengan glisin

menghasilkan asam isonikotiurat (isonikotinil glisin), sedangkan

monoasetilhidrazin yang kemudian mengalami asetilasi menjadi diasetilhidrazin.

Beberapa bagian yang tidak dimetabolisme akan mengalami konjugasi

membentuk hidrazon. Metabolit Isoniazid tidak memiliki aktivitas tuberkulostatik.

Pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, lebih dari 75% dari obat

diekskresikan melalui urine selama 24 jam yang terutama sebagai metabolit.

Sejumlah kecil obat yang diekskresikan melalui feses. Isoniazid juga akan

dikeluarkan dari tubuh bila pasien menjalani dialisis (Sweetman, 1999).

2.2.2.3 Efek Samping

Efek samping dari penggunaan isoniazid adalah gangguan hati (mual,

muntah dan lelah), gangguan darah (anemia, agranulositosis, trombositopenia dan

eosinofilia), hipersensesitivitas (eritema) dan efek samping lainnya (konstipasi dan

retensi urin) (Sweetman, 1999).

2.2.3 Pirazinamid Rumus

struktur :

Universitas Sumatera Utara


O

N
NH 2

Gambar 2.3. Rumus struktur pirazinamid.

Nama Kimia : Pirazinkarboksamida.

Sinonim : Pirazinamidum, Asam pirazinoat amida.

Rumus Molekul : C5H5N3O.

Berat Molekul : 123,11.

Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga praktis putih, tidak berbau atau

praktis tidak berbau.

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol, dalam eter

dan dalam kloroform (Depkes RI, 1995; Sweetman, 1999).

2.2.3.1 Penggunaan dan Cara Pemberian

Pirazinamid adalah salah satu jenis obat dari terapi tuberkulosis, awal terapi

adalah selama 8 minggu. Pirazinamid biasanya diberikan per hari atau 2 kali

sampai 3 kali seminggu. Penggunaan pada pasien dewasa secara umumnya adalah

maksimum 3 g per hari melalui mulut. Sedangkan pada pasien anak-anak dosis

yang diberikan 35 mg/kg per hari di Amerika Serikat (United States of America

(USA)) dengan batas maksimum 1,5 g per hari (Sweetman, 1999).

2.2.3.2 Farmakokinetika

Pirazinamid segera diabsorbsi dari saluran pencernaan. Konsentrasi

Universitas Sumatera Utara


maksimum obat dalam plasma adalah 33 µg/mL setelah 2 jam pemberian dosis 1,5

g dan 59 µg/mL setelah 2 jam pemberian dosis 3 g. Pirazinamid secara luas

didistribusikan ke cairan tubuh. Waktu paruh pirazinamid berkisar antara 9 jam

sampai 10 jam. Produk metabolisme yang terutama di hati adalah asam pirazinoat,

selanjutnya mengalami hidroksilasi menjadi produk ekskresi asam

5hidroksipirazinoat. Produk ekskresi ini segera diekskresikan melalui ginjal

terutama oleh filtrasi glomerulus. Sekitar 70% dari obat diekskresikan melalui

urine selama 24 jam dan 4% dalam bentuk tidak berubah yang terutama sebagai

metabolit. Pirazinamid juga akan dikeluarkan dari tubuh bila pasien menjalani

dialisis. Jalur metabolisme yang utama adalah pirazinamid mengalami deaminasi

menjadi asam pirazinoat yang kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam

hidroksipirazinoa, sedangkan jalur metabolisme yang lainnya adalah pirazinamid

mengalami hidroksilasi menjadi hidroksipirazinamid yang kemudian mengalami

deaminasi menjadi asam hidroksipirazinoat (Sweetman, 1999).

2.2.3.3 Efek Samping

Efek samping dari penggunaan pirazinamid adalah gangguan hati

(hepatomegali), gangguan darah (anemia) dan efek samping lainnya (mual,

muntah, demam, hiperurisemia/asam urat dan disuria) (Sweetman, 1999).

2.3 Analisis Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid

Menurut organisasi kesehatan dunia (world health organization (WHO))

tahun 2006, tablet campuran rifampisin, isoniazid dan pirazinamid dapat

Universitas Sumatera Utara


ditentukan kadarnya secara kromatografi cair kinerja tinggi. Untuk isoniazid dan

pirazinamid dapat ditentukan kadarnya secara kromatografi cair kinerja tinggi

menggunakan kolom L1 (oktadesil silana yang terikat secara kimiawi pada

partikel mikro keramik) diameter kolom 4,6 mm, panjang kolom 15 cm, diameter

ukuran partikel 5 µm dengan campuran fase gerak, yakni: 50 g amonium asetat

dalam 1000 mL air yang kemudian ditambahkan asam asetat glasial sampai pH 5

(fase gerak A) dan metanol (fase gerak B) dengan perbandingan kedua campuran

94:6 yang laju alir (flow rate) 2 mL/menit dan deteksi dilakukan pada panjang

gelombang 240 nm. Ekstraksi sampel dilakukan dengan menggunakan air. Untuk

rifampisin ditentukan kadarnya secara terpisah secara kromatografi cair kinerja

tinggi menggunakan kolom L1 (oktadesil silana yang terikat secara kimiawi pada

partikel mikro keramik) diameter kolom 4,6 mm, panjang kolom 25 cm, diameter

ukuran partikel 5 µm dengan campuran fase gerak, yakni: dapar fosfat pH 7

(kalium dihidrogen fosfat (0,1 mol/L) yang disesuaikan pH dengan natrium

hidroksida (0,01 mol/L)) (fase gerak A) dan metanol (fase gerak B) dengan

perbandingan kedua campuran 4:6 yang laju alir (flow rate) 1 mL/menit dan

deteksi dilakukan pada panjang gelombang 254 nm. Ekstraksi sampel dilakukan

dengan menggunakan metanol.

Menurut Farmakope Amerika Serikat edisi ketiga puluh (United States

Pharmacopoeia 30th Edition (USP XXX)) tahun 2007, tablet campuran rifampisin,

isoniazid dan pirazinamid dapat ditentukan kadarnya secara kromatografi cair

kinerja tinggi. Untuk Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid dapat ditentukan

kadarnya secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi menggunakan kolom L1

(oktadesil silana yang terikat secara kimiawi pada partikel mikro keramik)

Universitas Sumatera Utara


diameter kolom 4,6 mm, panjang kolom 25 cm, diameter ukuran partikel 5 µm

dengan fase gerak campuran larutan dapar fosfat pH 6,8 dan asetonitril

(96:4) (fase gerak A) dan campuran larutan dapar fosfat pH 6,8 dan asetonitril

(55:45) (fase gerak B) dengan perbandingan kedua campuran yang berubah-ubah

(sistem gradien) (dapat dilihat pada Tabel 2.1) yang laju alir (flow rate) 1,5

mL/menit dan deteksi dilakukan pada panjang gelombang 238 nm. Ekstraksi

sampel dilakukan dengan menggunakan dapar fosfat pH 6,8.

Tabel 2.1. Perubahan perbandingan fase gerak (USP XXX, 2007).


Waktu (menit) Fase Gerak A Fase Gerak B Elusi
0 100 0 setimbang
0-5 100 0 isokratik
5-6 100→0 0→100 gradien linear
6-15 0 100 isokratik

Menurut Dorneanu tahun 2010, campuran rifampisin, isoniazid dan

etambutol dapat ditentukan dengan dapat ditentukan kadarnya secara kromatografi

cair kinerja tinggi fase balik dengan menggunakan kolom Phenomenex Luna 1005

C18, diameter kolom 4,6 mm, panjang kolom 25 cm, diameter ukuran partikel 5

µm dengan fase gerak campuran larutan dapar asetat pH 5 dan metanol (80:20)

(fase gerak A) dan campuran larutan asam oksalat 0,01 M dan asetonitril (30:70)

(fase gerak B) dengan perbandingan kedua campuran fase gerak tersebut yang

berubah-ubah (sistem gradien) (dapat dilihat pada Tabel 2.2) yang laju alir (flow

rate) 1 mL/menit dan deteksi dilakukan pada panjang gelombang 270 nm (untuk

isoniazid dan etambutol) selama 9 menit dan diubah menjadi 320 nm (untuk

rifampisin) hingga selesai analisis. Perubahan panjang gelombang dilakukan pada

waktu 9 menit hingga 9,1 menit. Analisis untuk setiap sampel memerlukan waktu

30 menit dan untuk menyetimbangkan sistem diperlukan waktu 8 menit. Sampel

Universitas Sumatera Utara


diektraksi, dengan cara: sediaan dilarutkan dengan 10 mL metanol dalam labu

tentukur 50 mL, disonikasi selama 10 menit, didinginkan, ditambahkan dengan air

hingga garis tanda dan dikocok. Campuran disaring, dipipet filtrat 5 mL,

dimasukkan kedalam labu tentukur 25 mL, diencerkan dengan air hingga garis

tanda, dikocok dan kemudian sampel dapat dianalisis. Metode divalidasi dengan

beberapa pengujian, antara lain: uji akurasi dengan parameter persentase

perolehan kembali (recovery percentage (% recovery)), uji presisi dengan

parameter simpangan baku relatif (relative standard deviation (RSD)), linearitas,

batas deteksi, batas kuantitasi, rentang, selektivitas dan kekuatan.

Tabel 2.2. Perubahan perbandingan fase gerak (Dorneanu, 2010).


Waktu (menit) Fase Gerak A Fase Gerak B Elusi
0 100 0 setimbang
0-6,5 100 0 isokratik
6,5-15 100→50 0→50 gradien linear
15-22 50→0 50→100 gradien linear

Menurut Dionex tahun 2010, untuk penetapan kadar rifampisin, isoniazid,

pirazinamid dan etambutol secara kromatografi cair kinerja tinggi fase normal

dengan menggunakan kolom Acclaim Polar Advantage II diameter kolom 4,6 mm,

panjang kolom 15 cm, temperatur kolom 35oC, diameter ukuran partikel 3 µm

dengan fase gerak campuran 8% asetonitril dalam larutan NaH 2PO4 20 mM (1,5

mL trietilamin per liter) pH 6,8 (fase gerak A) dan 50% asetonitril dalam larutan

NaH2PO4 20 mM (1,5 mL trietilamin per liter) pH 6,8 (fase gerak B) dengan

perbandingan kedua campuran fase gerak tersebut yang berubah-ubah (sistem

gradien) (dapat dilihat pada Tabel 2.3) yang laju alir (flow rate) 1 mL/menit dan

deteksi dilakukan pada panjang gelombang 200 nm dan 238 nm. Sampel

diektraksi, dengan cara: satu tablet dimasukkan dalam gelas beker 50 mL,

Universitas Sumatera Utara


ditambahkan 5 mL asetonitil dan 20 mL fase gerak A, diaduk, disonikasi hingga

larut, dimasukkan kedalam labu tentukur 100 mL, ditambahkan dengan fase gerak

A hingga garis tanda dan dikocok. Campuran disaring, dipipet filtrat 0,75 mL,

dimasukkan kedalam labu tentukur 10 mL, diencerkan dengan fase gerak A hingga

garis tanda, dikocok dan kemudian sampel dapat dianalisis. Analisis untuk setiap

sampel memerlukan waktu 10,5 menit. Metode divalidasi dengan beberapa

pengujian, antara lain: uji akurasi dengan parameter persentase perolehan kembali

(recovery percentage (% recovery)), uji presisi dengan parameter (simpangan baku

relatif (relative standard deviation (RSD)) dan linearitas.

Tabel 2.3. Perubahan perbandingan fase gerak (Dionex, 2010).


Waktu (menit) Fase Gerak A Fase Gerak B Elusi
0 100 0 setimbang
3 100 0 isokratik
3-3,5 100→0 0→100 gradien linear
3,5-10,5 0 100 isokratik

Menurut Song dan kawan-kawan tahun 2007, rifampisin, isoniazid,

pirazinamid, etambutol dan dua metabolit utamanya (yakni: asetilisoniazid dan 25-

desasetilrifampisin) dapat ditentukan kadarnya dari dalam darah untuk monitoring

terapi obat secara kromatografi cair kinerja tinggi tandem spektrometri massa

(KCKT/SM/SM) menggunakan kolom Hydrosphere C18, diameter kolom 3 mm,

panjang kolom 5 cm, diameter ukuran partikel 3 µm dengan fase gerak campuran

asam format 0,3% dalam metanol (fase gerak A) dan asam format 0,3% dalam air

(fase gerak B) dengan perbandingan kedua campuran fase gerak tersebut yang

berubah-ubah (sistem gradien) (dapat dilihat pada Tabel 2.4). Laju alir (flow rate)

juga berubah-ubah selama analisis (sistem gradien), yakni: 0,15 mL/menit selama

1,8 menit kemudian berubah menjadi 0,4 mL/menit dalam waktu 0,2 menit

Universitas Sumatera Utara


(hingga 2 menit) selanjutnya dipertahankan selama 2 menit (hingga 4 menit).

Deteksi dilakukan pada mode ion positif dan hanya memerlukan waktu 4 menit

untuk analisis setiap sampelnya. Pada penelitian ini digunakan baku dalam

(internal standard), yakni: rifabutin dan asam 6-aminonikotinat. Serta dilakukan

uji validasi terhadap metode ini, yang mencakup: uji akurasi dengan parameter

persentase perolehan kembali (recovery percentage (% recovery)), uji presisi

dengan parameter simpangan baku relatif (relative standard deviation (RSD)),

batas deteksi, batas kuantitasi dan linearitas. Sampel dipersiapkan dengan dua

tahap pengendapan protein, yakni: metanol 50% selama 20 menit dan metanol

100% selama 20 menit selanjutnya dilakukan penyaringan kemudian filtrat yang

diperoleh dapat digunakan dianalisis. Pada penelitian ini didapatkan bahwa

puncak isoniazid, pirazinamid, etambutol, asetilisoniazid dan 6-aminonikotinat

masih tumpang tindih. Begitu pula dengan puncak rifampisin dan

25desasetilrifampisin juga masih tumpang tindih. Hanya puncak rifabutin yang

terpisah dengan baik dengan puncak yang lainnya. Akan tetapi, dengan

kromatografi cair kinerja tinggi tandem spektrometri massa (KCKT/SM/SM)

dilakukan pendeteksian dengan mode pemantauan reaksi berganda (multiple

reaction monitoring (MRM)), maka setiap senyawa akan dideteksi sebagai

kromatogram yang terpisah (masing-masing).

Tabel 2.4. Perubahan perbandingan fase gerak (Song, 2007).


Waktu (menit) Fase Gerak A Fase Gerak B Elusi
0 60 40 setimbang
1,8 60 40 isokratik
1,8-2 60→80 40→20 gradien linear
2-3 80→60 20→40 gradien linear

Universitas Sumatera Utara


3-4 60 40 isokratik

2.4 Spektrofotometri Infra Merah

Senyawa kimia yang ikatan kovalen antara dua atomnya memiliki perbedaan

elektronegativitas (keelektronegatifan/momen dipol) akan menyerap radiasi

elektromagnetik pada frekuensi tertentu pada daerah infra merah. Terjadinya

absorbsi karena molekul tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi ketika

mengabsorbsi radiasi infra merah. Karena setiap ikatan yang berbeda memiliki

frekuensi getaran yang berbeda dan ikatan yang sama dari dua senyawa yang

berbeda berada dalam lingkungan yang berbeda, maka tidak ada dua molekul yang

berbeda struktur memiliki spektrum infra merah yang sama, kecuali senyawa

isomer optis aktif (Pavia, et al., 2009).

Radiasi elektromagnetik infra merah bila dilewatkan pada suatu sampel

maka akan diserap oleh ikatan-ikatan molekul didalam sampel sehingga molekul

tersebut akan mengalami gerakan vibrasi regangan dan vibrasi bengkokan. Namun

bentuk vibrasi regangan ini dapat dibagi lagi atas dua, yakni: regangan asimetrik

dan regangan simetrik. Bentuk vibrasi bengkokan juga dapat dibagi atas:

guntingan, pelintiran, kibasan dan goyangan. Vibrasi regangan terjadi pada

bilangan gelombang yang lebih besar (panjang gelombang yang lebih kecil)

sedangkan vibrasi bengkokan terjadi pada bilangan gelombang yang lebih kecil

(panjang gelombang yang lebih besar) (Pavia, et al., 2009; Watson, 2009).

Radiasi elektromagnetik yang diserap merupakan ciri khas dari setiap ikatan.

Spektrum infra merah dapat digunakan untuk memeriksa identitas bahan baku

obat yang digunakan dan dapat mengidentidikasi bahan kimia sintetik sebagai

Universitas Sumatera Utara


pemeriksaan pendahuluan (Watson, 2009).

2.5 Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh ahli botani Rusia pada tahun

1903 yang bernama Michael Tswett untuk memisahkan pigmen warna dalam

tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang

berisi kalsium karbonat. Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang

paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat

dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, analisis

kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi, industri dan lain sebagainya

(Rohman dan Gandjar, 2007).

Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang digunakan untuk

memisahkan beberapa komponen yang terdapat dalam sampel dengan didasarkan

pada afinitas relatif masing-masing komponen diantara fase diam (stationary

phase) dan fase gerak (mobile phase) (Sadek, 2004). Jenis kromatografi pada

umunya diberi nama berdasarkan jenis fase gerak yang digunakan. Pada

kromatografi cair menggunakan fase gerak berupa zat cair dan kromatografi gas

menggunakan fase gerak berupa zat gas (Hamilton dan Sewell, 1977).

Menurut Rohman dan Gandjar tahun 2007 serta Meyer tahun 2004,

kromatografi dapat dibedakan menjadi berbagai macam tergantung pada

pengelompokkannya. Berdasarkan mekanisme pemisahan, kromatografi dapat

dibedakan menjadi beberapa metode, yakni:

(a) kromatografi adsorbsi (adsorption chromatography)

(b) kromatografi fase normal (normal phase chromatography)

Universitas Sumatera Utara


(c) kromatografi fase balik (reversed phase chromatography)

(d) kromatografi partisi (partition chromatography)

(e) kromatografi ion (ion chromatography)

(f) kromatografi pasangan ion (ion pair chromatography)

(g) kromatografi penukar ion (ion exchange chromatography)

(h) kromatografi eksklusi ukuran (size exclusion chromatography) (i)

kromatografi fase terikat (chemically bonded phase chromatography) (j)

kromatografi afinitas (affinity chromatography).

Kromatografi fase balik merupakan contoh khusus dari kromatografi fase

terikat. Kromatografi ini menggunakan fase diam dari silika yang dimodifikasi

secara kimiawi. Fase diam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilan

(ODS atau C18) yang relatif non polar sedangkan fase geraknya relatif lebih polar

daripada fase diam. Kondisi kepolaran kedua fase ini merupakan kebalikan dari

kromatografi fase normal sehingga disebut kromatografi fase balik. Kromatografi

fase balik merupakan kromatografi yang paling modern dalam kromatografi cair

kinerja tinggi (Meyer, 2004; Rohman dan Gandjar, 2007).

Menurut Rohman dan Gandjar tahun 2007, berdasarkan alat yang digunakan,

kromatografi dapat dibagi atas: (a) kromatografi kertas (KK)

(b) kromatografi lapis tipis (KLT)


(c) kromatografi cair (KC)

(d) kromatografi gas (KG).

2.5.1 Kromatografi Cair

Kromatografi kolom cair atau secara umum seringkali disebut kromatografi

cair memiliki 2 sistem kolom, yakni: sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem

Universitas Sumatera Utara


kolom terbuka terdiri dari sebuah kolom gelas yang dikemas dengan partikel fase

diam berukuran besar (~ 30 µm atau lebih), sedangkan fase geraknya ditambahkan

atau dituangkan dari bagian atas kolom. Karena ukuran partikelnya cukup besar,

maka fase gerak dapat turun melewati kolom hanya dengan gaya gravitas (gaya

tarik bumi) dan terkadang dibantu dengan penyedotan menggunakan pompa

vakum. Selanjutnya untuk meningkatkan efisiensi pemisahan, laju alir tinggi dan

ukuran partikel fase diam yang kecil ( 10 µm) mutlak diperlukan. Akan tetapi,

hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan balik (back pressure) sehingga

sebuah pompa berkinerja tinggi diperlukan untuk mengatasi tekanan balik ini dan

kemudian akan memaksa fase gerak melewati kolom. Sistem ini disebut sebagai

sistem kolom tertutup dan instrumen yang dikembangkan untuk sistem ini dikenal

sebagai kromatografi cair kinerja tinggi (Lembke, 2011).

Sejak kemunculan kromatografi cair kinerja tinggi atau high performance

liquid chromatography pada tahun 1975, maka kromatografi cair kinerja tinggi

terus berkembang menjadi begitu populer hingga sekarang ini (Siouffi, 2000).

Kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan suatu padatan, cairan, resin

penukar ion (ion exchange resin) atau polimer berpori (porous polymer) sebagai

fase diamnya, sedangkan fase geraknya berupa suatu cairan yang dipaksa

melewati kolom berukuran tertentu dibawah tekanan yang tinggi (Hamilton dan

Sewell, 1977).

2.5.1.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan sistem pemisahan dengan

kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam

Universitas Sumatera Utara


teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi dan detektor yang sangat sensitif

dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai cuplikan secara kualitatif

maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (USP XXX,

2007).

Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan metode yang sering digunakan

untuk menganalisis senyawa obat. Kromatografi cair kinerja tinggi dapat

digunakan untuk pemeriksaan kemurnian bahan obat, pengawasan proses sintesis

dan pengawasan mutu (quality control) (Ahuja dan Dong, 2005).

2.5.1.2 Pemisahan dalam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Pemisahan analit dalam kolom kromatografi berdasarkan pada aliran fase

gerak yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi

analit dengan permukaan fase diam sehingga terjadi perbedaan waktu perpindahan

setiap komponen dalam campuran (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).

Contohnya, campuran dua komponen dimasukkan kedalam sistem

kromatografi (partikel ● dan ▲) (Gambar 2.4a). Di mana komponen ▲ cenderung

menetap di fase diam dan komponen ● lebih cenderung didalam fase gerak

(Gambar 2.4b). Masuknya eluen (fase gerak) yang baru kedalam kolom akan

menimbulkan kesetimbangan baru, molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi

sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya,

sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase

gerak (Gambar 2.4c). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen

akan terpisah. Komponen ● yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah

lebih cepat daripada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase diam,

Universitas Sumatera Utara


sehingga komponen ● akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, yang

kemudian diikuti oleh komponen ▲ (Gambar 2.4d) (Meyer, 2004).

Gambar 2.4. Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi didalam


kolom kromatografi cair kinerja tinggi (Meyer, 2004).
2.5.1.3 Konsep Umum Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Komponen yang telah terpisah dalam sistem kromatografi cair kinerja tinggi

akan dibawa oleh fase gerak menuju ke detektor dan sinyal yang terekam oleh

detektor disebut sebagai puncak, sedangkan keseluruhan puncak yang direkam

oleh detektor selama proses analisis dinamakan dengan kromatogram. Puncak

yang direkam oleh detektor akan diperoleh selama analisis memiliki dua informasi

yang sangat penting, yakni: informasi kualitatif dan juga informasi kuantitatif

(Meyer, 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.3.1 Waktu Tambat (tR)

Waktu tambat atau retention time (tR) adalah periode waktu yang dilalui dari

penyuntikan sampel hingga diperoleh rekaman signal maksimum. Waktu tambat

suatu zat selalu konstan pada kondisi kromatografi yang sama. Hal ini dijadikan

suatu dasar analisis kualitatif. Suatu puncak kromatografi dapat diidentifikasi

dengan membandingkan waktu tambatnya terhadap baku (Meyer, 2004).

Sebuah puncak memiliki tinggi puncak (h) dan lebar puncak (W b). Lebar

puncak yang diukur biasanya merupakan lebar pada 5% tinggi puncak (W0,05).

Tinggi dan luas puncak berkaitan secara proporsional atas kadar ataupun jumlah

analit tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif).

Namun demikian luas puncak lebih umum digunakan dalam proses analisis,

karena lebih akurat dan lebih cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi

puncak (Ornaf dan Dong, 2005). Kromatogram dari kromatografi cair kinerja

tinggi dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Kromatogram puncak tunggal yang diperoleh dari analisis

Universitas Sumatera Utara


kromatografi cair kinerja tinggi (Ornaf dan Dong, 2005).

Gambar 2.6. Kromatogram dua puncak yang diperoleh


dari analisis kromatografi cair kinerja tinggi (Meyer,
2004).

Pada Gambar 2.6, dapat dilihat bahwa, w adalah lebar puncak dan t0 disebut

waktu hampa (void time/dead time), yaitu: waktu tambat pelarut yang tidak

tertahan atau waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom

(breakthrough time) (Meyer, 2004).

Menurut Meyer tahun 2004, waktu tambat dipengaruhi oleh laju alir (μ) dan

panjang kolom (L). Jika laju alir lambat atau kolom panjang, maka tR akan

semakin besar dan sebaliknya.

Waktu tambat dipengaruhi oleh laju alir (μ) dapat dihitung dengan menggunakan

rumus:

𝐿
𝜇=
𝑡𝑅

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.3.2 Faktor Kapasitas (k’)

Menurut Ornaf dan Dong tahun 2005, Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu

ukuran derajat tambatan dari analit yang tidak dipengaruhi laju alir dan panjang

kolom. Faktor kapasitas dihitung dengan membagi waktu tambat bersih (t’ R)

dengan waktu hampa (t0) seperti yang dapat dilihat pada rumus berikut ini:

𝑘′ = 𝑡′𝑅 = 𝑡𝑅 −𝑡0
𝑡0 𝑡0

Faktor kapasitas juga disebut sebagai faktor tambat (k) dalam beberapa

literatur lainnya. Idealnya, analit yang sama jika diukur pada dua instrumen

berbeda dengan ukuran kolom yang berbeda namun memiliki fase diam dan fase

gerak yang sama, maka faktor kapasitas dari analit pada kedua sistem

kromatografi cair kinerja tinggi tersebut secara teoritis adalah sama (Kazakevich

dan LoBrutto, 2007).

Faktor kapasitas yang disukai berada diantara nilai 1 hingga 10. Jika nilai

faktor kapasitas terlalu kecil menunjukkan bahwa analit terlalu cepat melewati

kolom sehingga tidak terjadi interaksi antara analit dengan fase diam dan oleh

karena itu, tidak akan muncul didalam kromatogram. Sebaliknya jika faktor

kapasitas terlalu besar maka akan mengindikasikan waktu analisis yang panjang

(Meyer, 2004). Nilai faktor kapasitas dari analit yang lebih kecil dari 1 dan juga

lebih besar dari 20 akan menjadi masalah dalam analisis menggunakan

kromatografi cair kinerja tinggi (Ornaf dan Dong, 2005)

2.5.1.3.3 Selektivitas (α)

Menurut Kazakevich dan LoBrutto tahun 2007, Selektifitas (α) adalah

Universitas Sumatera Utara


kemampuan sistem kromatografi untuk membedakan analit yang berbeda.

Selektifitas ditentukan sebagai rasio perbandingan faktor kapasitas (k’) dari analit

yang berbeda:

𝑘2 𝑡𝑅2 − 𝑡0
𝛼= =
𝑘1 𝑡𝑅1 − 𝑡0

Nilai selektifitas yang didapatkan dalam sistem kromatografi cair kinerja

tinggi harus lebih besar dari 1. Seletivitas juga dikenal sebagai faktor pemisahan

atau tambatan relatif (Ornaf dan Dong, 2005).

Proses pemisahan antara dua komponen dalam kromatografi cair kinerja

tinggi hanya dimungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang

berbeda dalam melewati kolom (Ornaf dan Dong, 2005). Kemampuan sistem

kromatografi dalam memisahkan atau membedakan analit yang berbeda dikenal

sebagai selektivitas. Selektivitas umumnya bergantung kepada sifat analit tersebut

dan interaksi antara analit dengan permukaan fase diam dan fase gerak. Jenis fase

gerak seperti metanol dan asetonitril juga diketahui dapat mempengaruhi sifat

selektivitas (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7. Kromatogram hasil analisis kromatografi cair kinerja tinggi dengan
berbagai selektifitas dan efisiensi (Kazakevich dan LoBrutto,
2007).

2.5.1.3.4 Efisiensi Kolom (N)

Ukuran kuantitatif dari efisiensi kolom disebut sebagai nilai lempeng (plate

number) atau N (Ornaf dan Dong, 2005). Menurut Kazakevich dan LoBrutto tahun

2007, Efisiensi adalah ukuran tingkat penyebaran puncak dalam kolom. Efisiensi

kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritikal atau theoretical plates (N), yang

dapat dihitung dengan rumus:

𝑡𝑅 2
𝑁 = 16 ×

Universitas Sumatera Utara


𝑊
Menurut Snyder dan Kirkland tahun 1979, kolom yang efisien adalah kolom

yang mampu menghasilkan pita sempit dan memisahkan dengan baik setiap analit

dalam campuran (sampel). Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom

semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin baik.

Hubungan yang proporsional antara nilai lempeng pengan panjang kolom disebut

sebagai tinggi setara dengan lempeng teoritikal (Height Equivalent of a

Theoritical Plate atau HETP atau H) dan dapat dihitung dengan menggunakan

rumus:

𝐿
𝐻=
𝑁

Tujuan utama dari analisis kromatografi cair kinerja tinggi secara praktik

adalah untuk mendapatkan nilai lempeng teoritis yang maksimum, tinggi setara

setara dengan lempeng teoritikal yang minimum dan efisiensi kolom yang

tertinggi (Snyder dan Kirkland, 1979).

2.5.1.3.5 Resolusi (Rs)

Menurut Ornaf dan Dong tahun 2005, Resolusi (Rs) merupakan derajat

pemisahan dari dua puncak analit yang berdekatan. Resolusi dapat didefinisikan

sebagai perbedaan waktu tambat antara dua puncak dibagi dengan rata-rata lebar

kedua puncak. Oleh karena itu resolusi dapat dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut ini:

𝑡𝑅2 − 𝑡𝑅1 𝑡𝑅2 − 𝑡𝑅1 𝑡𝑅2 − 𝑡𝑅1


𝑅= =2× = 1,18 ×
(𝑊2 −2 𝑊1) 𝑊2 − 𝑊 1 𝑊212 − 𝑊122

Universitas Sumatera Utara


Pemisahan yang terpisah dengan sempurna telah dapat terlihat bila resolusi

setara dengan 1. Akan tetapi, pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkan

harus lebih besar dari 1,5. Sementara itu, bila kedua puncak yang berdekatan

memiliki perbedaan ukuran yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang

lebih besar (Meyer, 2004).

2.5.1.3.6 Faktor Ikutan (Tf) dan Faktor Asimetri (As)

Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian

dengan derajat simetris yang sempurna (Ornaf dan Dong, 2005). Namun

kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai (bentuk

Gaussian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8). Jika diperhatikan secara

cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi memperlihatkan tailing

(Dolan, 2003). Pada Gambar 2.8, ditunjukkan tiga jenis bentuk puncak.

Gambar 2.8. Bentuk puncak kromatogram (Meyer, 2004).

Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara, yakni:

faktor ikutan atau tailing factor (Tf) dan faktor asimetris. Faktor ikutan atau

tailing factor (Tf) seperti yang diterangkan dalam Farmakope Amerika Serikat

edisi ketiga puluh (United States Pharmacopoeia 30th Edition (USP XXX)) tahun

2007 dihitung dengan menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5% (W0,05),

rumusnya dituliskan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


𝑎+𝑏
𝑇𝑓 =
2×𝑎
Dengan nilai a dan b merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5%

seperti yang ditunjukkan di Gambar 2.9.

Gambar 2.9. Pengukuran derajat asimetris puncak (Dolan, 2003).

Sedangkan faktor asimetri (As) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

𝑏
𝐴𝑆 =
𝑎

Akan tetapi, nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan

setengah lebar puncak pada ketinggian 10% seperti yang ditunjukkan di Gambar

2.9. Jika nilai a sama dengan b, maka faktor tailing dan asimetri bernilai 1.

Kondisi ini menunjukkan bentuk puncak yang simetris sempurna (Dolan, 2003).

Bila puncak berbentuk tailing, maka kedua faktor ini akan bernilai lebih besar dari

1 dan sebaliknya bila puncak berbentuk fronting, maka faktor tailing dan asimetri

Universitas Sumatera Utara


akan bernilai lebih kecil dari 1 (Hinshaw, 2004).

2.5.1.4 Instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi terdiri atas 6 bagian (dapat

dilihat pada Gambar 2.10), yakni: wadah fase gerak (reservoir), pompa (pump),

tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detektor (detector) dan perekam

(recorder) (McMaster, 2007).

Gambar 2.10. Instrumen dasar kromatografi cair kinerja tinggi (McMaster, 2007).

2.5.1.4.1 Wadah Fase Gerak (Reservoir)

Wadah fase gerak menyimpan sejumlah fase gerak yang secara langsung

berhubungan dengan sistem (Meyer, 2004). Wadah haruslah bersih dan inert,

seperti botol pereaksi kosong maupun labu gelas. Adalah hal yang penting untuk

menghilangkan gelembung udara (sonikasi atau degassing) fase gerak sebelum

digunakan karena gelembung gas kecil dalam fase gerak dapat terkumpul di

kepala pompa (pump head) ataupun detektor sehingga akan mengganggu kondisi

kromatografi cair kinerja tinggi (Brown dan DeAntonis, 1997).

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.4.2 Pompa (Pump)

Pompa yang digunakan pada kromatografi cair kinerja tinggi haruslah

merupakan instrumen yang kokoh untuk menghasilkan tekanan tinggi hingga 350

bar atau bahkan 500 bar. Tipe pompa yang umum digunakan adalah pompa piston

bersilinder pendek (short-stroke piston pump). Laju alir dapat bervariasi dari 0,1

mL/menit hingga 5 mL/menit atau 10 mL/menit. Pompa terdiri dari motor, piring

putar (rotating disk/cam), piston dan katup periksa (check valve). Piston dapat

terbuat dari batu safir ataupun keramik, sedangkan bola yang terdapat didalam

katup periksa (check valve) terbuat dari batu rubi, sedangkan dudukan (seat)

terbuat dari batu safir. Kebanyakan pompa saat ini telah memiliki saluran pembilas

yang biasanya air dapat bersirkulasi. Larutan ini berfungsi untuk membilas piston

agar bersih dari garam dapar atau materi yang bersifat abrasif dari pengunci piston

atau piston seal (Meyer, 2004). Jenis pompa yang lain adalah pompa pengganti

positif (positive displacement pump) dan pompa pembesar pneumatik (pneumatic

amplifier pump) (Snyder dan Kirkland, 1979).

2.5.1.4.3 Tempat Injeksi Sampel (Injector)

Ada 3 jenis macam tempat injeksi sampel atau injektor (injector), yakni:

tempat injeksi sampel syringe (syringe injector), katup sampling (sampling valve)

dan tempat injeksi sampel otomatik (automatic injector). Tempat injeksi sampel

syringe (syringe injector) merupakan bentuk tempat injeksi sampel atau injektor

(injector) yang paling sederhana (Snyder dan Kirkland, 1979).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.11. Katup sampling (sampling valve) atau tempat injeksi sampel
manual (manual injector) (Meyer, 2004).

Katup sampling (sampling valve) atau tempat injeksi sampel manual

(manual injector) mengandung 6 katup saluran dilengkapi dengan rotor,

lengkungan sampel (sample loop) dan celah jarum suntik (needle port). Larutan

sampel akan disuntikkan kedalam lengkungan sampel (sample loop) dengan jarum

suntik gauge pada posisi “masuk (load)” dan larutan sampel yang ada di

lengkungan sampel (sample loop) kemudian akan dialirkan ke kolom dengan

memutar rotor ke posisi “injek (inject)”. Ukuran lengkungan sampel (sample loop)

eksternal bervariasi antara 6 μL hingga 2 mL (Ornaf dan Dong, 2005). Tempat

injeksi sampel otomatik (automatic injector) atau disebut juga autosampler

memiliki prinsip yang mirip, hanya saja sistem pemasukkan sampelnya bekerja

secara otomatis (Meyer, 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.4.4 Kolom (Column)

Kolom merupakan jantung atau bagian yang terpenting dari suatu instrumen

kromatografi cair kinerja tinggi karena proses pemisahan terjadi didalam kolom.

Kolom umumnya terbuat dari baja anti karat dengan tingkat 316 (316 grade

stainless steel) dan dikemas dengan fase diam tertentu. Ukuran panjang kolom

untuk tujuan analitik berkisar antara 10 cm hingga 25 cm dan diameter dalam

berkisar 3 mm hingga 9 mm (Brown dan DeAntonis, 1997). Sedangkan untuk

tujuan preparatif panjang berkisar antara 30 cm atau lebih dan diameter dalam

berkisar 10 mm hingga 25,4 mm (Meyer, 2004).

2.5.1.4.5 Detektor (Detector)

Karakteristik detektor yang baik adalah sensitif, batas deteksi rendah, respon

yang linier, mampu mendeteksi solut secara universal, tidak destruktif, mudah

dioperasikan, memiliki volume pendeteksian (dead volume) yang kecil dan tidak

sensitif terhadap perubahan temperatur serta kecepatan fase gerak (Hamilton dan

Sewell, 1977). Beberapa detektor yang paling sering digunakan dalam

kromatografi cair kinerja tinggi adalah detektor spektrofotometri

ultraviolet/visible, photodiode-array (PDA), fluoresensi, spektrometri massa,

indeks bias dan elektrokimia (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.5.1.4.6 Perekam atau Rekorder (Recorder)

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator dan rekorder dihubungkan

ke detektor. Alat ini akan menangkap sinyal elektronik dari detektor dan

memplotkannya kedalam kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis

Universitas Sumatera Utara


(Brown dan DeAntonis, 1997).

2.6 Validasi Metode

Validasi metode adalah suatu proses yang menunjukkan bahwa prosedur

analitik telah sesuai dengan penggunaan yang dikehendaki. Proses validasi metode

untuk prosedur analitik dimulai dengan pengumpulan data validasi oleh pelaksana

guna mendukung prosedur analitiknya (Bliesner, 2006). Validasi merupakan

persyaratan mendasar yang diperlukan untuk menjamin kualitas dan hasil dari

semua aplikasi analitik (Ermer, 2005). Adapun karakteristik dalam validasi metode

menurut Farmakope Amerika Serikat edisi ke-30 (United States Pharmacopoeia)

tahun 2007, yaitu: akurasi/kecermatan, presisi/keseksamaan,

spesifisitas/selektifitas, batas deteksi, batas kuantitasi, linearitas, rentang/kisaran,

kekuatan/ketahanan dan kekasaran/ketangguhan.

2.6.1 Akurasi (Kecermatan)

Akurasi/kecermatan adalah kedekatan antara nilai hasil uji yang diperoleh

melalui metode analitik dengan nilai sebenarnya. Akurasi dinyatakan dalam

persentase perolehan kembali (recovery percentage (% recovery)). Akurasi dapat

ditentukan dengan dua metode, yakni: spiked-placebo recovery dan standard

addition method. Pada spiked-placebo recovery atau metode simulasi, analit murni

ditambahkan (spiked) kedalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi, lalu

campuran tersebut dianalisis dan jumlah analit hasil analisis dibandingkan dengan

jumlah analit teoritis yang diharapkan. Jika plasebo tidak memungkinkan untuk

disiapkan, maka sejumlah analit yang telah diketahui konsentrasinya dapat

Universitas Sumatera Utara


ditambahkan langsung kedalam sediaan farmasi otentik. Metode ini dinamakan

standard addition method atau metode penambahan baku (USP XXX, 2007;

Ermer, 2005; Harmita, 2004).

2.6.2 Presisi (Keseksamaan)

Presisi/keseksamaan adalah ukuran keterulangan metode analitik, termasuk

di antaranya kemampuan instrumen dalam memberikan hasil analitik yang

reprodusibel. Berdasarkan rekomendasi konferensi internasional untuk harmosasi

(international conference on the harmonisation (ICH)), karakteristik presisi

dilakukan pada 3 tingkatan, yakni: keterulangan (repeatability), presisi antara

(intermediate precision) dan reprodusibilitas (reproducibility). Keterulangan

dilakukan dengan cara menganalisis sampel yang sama oleh analis yang sama

menggunakan instrumen yang sama dalam periode waktu singkat. Presisi antara

dikerjakan oleh analis yang berbeda. Sedangkan reprodusibilitas dikerjakan oleh

analis yang berbeda dan di laboratorium yang berbeda (USP XXX, 2007;

Épshtein, 2004).

2.6.3 Spesifisitas (Selektifitas)

Dalam prosedur analitik yang spesifik, pengukuran yang digunakan untuk

penentuan suatu senyawa tidak dipengaruhi oleh adanya material lain

(Vanderwielen dan Hardwidge, 1982). Spesifisitas/selektifitas adalah kemampuan

untuk mengukur analit yang dituju secara tepat dan spesifik dengan adanya

komponen lain dalam matriks sampel seperti ketidakmurnian, produk degradatif

dan komponen matriks. Secara umum, spesifisitas dapat ditunjukkan oleh

Universitas Sumatera Utara


pendekatan secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan langsung dapat

ditunjukkan oleh minimalnya gangguan oleh senyawa lain terhadap hasil analisis

misalnya mendapatkan hasil yang sama dengan atau tanpa senyawa pengganggu,

resolusi kromatografik yang bagus dan kemurnian puncak (peak purity).

Pendekatan tidak langsung adalah lewat pengamatan karakteristik akurasi dari

metode tersebut. Bila akurasi metode telah dapat diterima (acceptable) dan valid,

maka metode tersebut otomatis telah masuk kriteria sebagai metode yang spesifik

(Ermer, 2005).

2.6.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih

dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. Sedangkan batas

kuantitasi adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan

dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode

yang digunakan (USP XXX, 2007).

Menurut konferensi internasional untuk harmosasi (international

conference on the harmonisation (ICH)), batas deteksi dan batas kuantitasi dapat

ditentukan dengan dua metode, yakni: metode non-instrumental visual dan metode

perhitungan. Metode non instrumental visual digunakan dalam analisis dengan

metode kromatografi lapis tipis dan metode titrimetri. Sementara itu, metode

perhitungan banyak digunakan dalam analisis menggunakan instrumental (seperti

metode kromatografi cair kinerja tinggi).

Menurut Rohman dan Gandjar tahun 2007, batas deteksi dan batas

kuantitasi dihitung berdasarkan simpangan baku atau standar deviasi (standard

Universitas Sumatera Utara


deviation (SD)) dan kemiringan (slope (b)).

2.6.5 Linearitas

Linearitas adalah kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji

yang secara langsung proposional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang

diberikan. Linearitas dapat ditentukan secara langsung dengan pengukuran suatu

senyawa (analit) pada sekurang-kurangnya lima titik konsentrasi yang mencakup

seluruh rentang konsentrasi kerja (Ermer, 2005). Berdasarkan rekomendasi

konferensi internasional untuk harmosasi (international conference on the

harmonisation (ICH)), linearitas dalam prakteknya diperkirakan pertama kali

secara visual dari penampilan kurva plot luas area/tinggi puncak dengan

konsentrasi (Épshtein, 2004). Untuk prosedur analitik, kriteria linearitasnya pada

tingkat koefisien korelasi tidak lebih kecil dari 0,99 (Watson, 2009).

2.6.6 Rentang (Kisaran)

Rentang suatu prosedur dapat divalidasi lewat pembuktian bahwa prosedur

analitik tersebut mampu memberikan presisi, akurasi dan linearitas yang dapat

diterima ketika digunakan untuk menganalisis sampel dengan kandungan analit

yang berada dalam rentang konsentrasi tertentu (USP XXX, 2007; USP

Convention, 2006). Rentang harus mencakup sekurang-kurangnya rentang hasil

analisis yang diperlukan atau diharapkan dalam penelitian atau konsentrasi target

uji. Rentang kerja dari suatu prosedur analitik biasanya didapatkan dari hasil

validasi karakteristik yang lain (Ermer, 2005). Farmakope Jepang (Japan

Pharmacopoeia (JP)) merekomendasikan validasi rentang dilakukan lewat

Universitas Sumatera Utara


pengujian terhadap 80% hingga 120% dari batas yang diperlukan dalam analisis

(JP Committee, 2006).

2.6.7 Kekuatan (Ketahanan)

Kekuatan/ketahanan merupakan pengujian kemampuan dari suatu metode

untuk tidak terpengaruh oleh adanya sedikit perubahan parameter pada

metode/prosedur analitik. Kekuatan/ketahanan dievaluasi dengan melakukan

sedikit perubahan parameter pada metode/prosedur analitik tersebut, seperti:

persentase kandungan pelarut organik dalam fase gerak, jumlah zat tambahan

(garam, pereaksi pasangan ion dan lain-lain) dalam fase gerak, pH larutan dapar,

temperatur kolom kromatografi cair kinerja tinggi, waktu pengekstraksian analit,

komposisi pengekstraksi, perbandingan konsentrasi fase gerak, laju alir fase gerak

dan tipe kolom serta pabrik pembuat kolom (Épshtein, 2004).

2.6.8 Kekasaran (Ketangguhan)

Kekasaran/ketangguhan merupakan tingkat reprodusibilitas hasil yang

diperoleh dengan kondisi yang bervariasi dan dinyatakan sebagai simpangan baku

relatif (relative standard deviation (RSD)). Kondisi ini meliputi laboratorium,

analis, reagen dan waktu percobaan yang berbeda (Rohman dan Gandjar, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai