Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

“Kelarutan Zat Padat”

OLEH :

GUSWAN FERDIANSYAH (1701062)

TANGGAL PRAKTIKUM :

Kamis, 16 juli 2020

DOSEN PEMBIMBING:

Apt. Anita Lukman, M.Farm

ASISTEN :

DHEA ANANDA

YULINDA ANGGRAINI

PROGRAM STUDI SI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

2020
OBJEK I

KELARUTAN ZAT PADAT

1. Tujuan Praktikum
 Menentukan kelarutan zat padat secara kuantitatif
 Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan zat
 Menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan
zat aktif dalam air untuk pembuatan zat cair.

2. Tinjauan Pustaka

Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut didalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan memainkan peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari. Di alam kebanyakan reaksi berlangsung dalam larutan air, tubuh
menyerap mineral, vitamin dan makanan dalam bentuk larutan.Sejalan dengan pesatnya
perkembangan penelitian di bidang obat, saat ini tersedia berbagai pilihan obat, sehingga
diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk mengobati suatu
penyakit, kelarutan sangat besar pengaruhnya terhadap pembuatan obat dimana bahan-
bahan dapat dicampurkan menjadi suatu larutan sejati, larutan koloid, dan dispersi kasar.

Kelarutan suatu zat didefinisikan sebagai jumlah obat solut yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu larutan jenuh dalam sejumlah solven. Pada suatu temperatur tertentu
suatu larutan jenuh yang bercampur dengan solut yang tidak terlarut merupakan contoh
lain dari kelarutan kesetimbangan dinamik(Mochtar, 1989). Jika gambar ionik dimasukkan
kedalam air, maka banyaknya garam yang dapat larut dalam sejumlah pelarut tertentu
merupakan nilai dari perkalian ion-ion yang beragam dan merupakan salah satu sifat fisik
dari senyawa garam itu sendiri.

Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan terlarut
kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis. Oleh karena itu salah satu cara
untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu zat aktif adalah dengan menaikkan
kelarutannya di dalam air. Kelarutan atau solubility (s) adalah kebanyakan senyawa dalam
satuan garam yang dapat membuat jenuh larutan. Jika volume larutan dm 3 maka kelarutan
itu mempunyai satuan molar (m). (Martin, 1990) . Kelarutan suatu senyawa adalah jumlah
maksimal senyawa bersangkutan yang larut dalam sejumlah pelarut tertentu pada suatu
suhu tertentu dan merupakan larutan jenuh yang ada dalam kesetimbangan dengan bentuk
padatnya (Roth, 1988). Secara kuantitatif kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai suatu
konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan juga dapat dinyatakan dalam satuan molaritas, molalitas, dan persen. Data
kelarutan suatu zat dalam air sangat penting untuk diketahui dalam pembuatan sediaan
farmasi.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain adalah
(Mirawati, 2013) :

1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan didalam dunia pengobatan adalah zat organik yang
bersifat asam lemah, kelarutan asam lemah seperti barbiturat dan sulfonamide dalam akar
akan bertambah dengan naiknya pH karena terbentuknya garam yang mudah larut dalam
air. Sedangkan basa-basa organik seperti alkaloida dan anastetik pada umumnya sukar
larut.
2. Pengaruh temperatur
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada termperatur, titik leleh zat padat,
dan panas peleburan molar zat tersebut.
3. Pengaruh jenis pelarut
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan
melarutkan lebih baik zat-zat polar ionik, begitu juga sebaliknya.
4. Pengaruh konstanta dielektrik
Telah diketahui bahwa kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut.
5. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel
Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu zat.
Konfigurasi molekul dan bentuk sediaan susunan kristal juga mempengaruhi.
6. Pengaruh penambahan zat-zat lain
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikkan kelarutan suatu zat.
Surfaktan mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk agregat yang dikenal
sebagai misel.
Untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam pengertian umum
kadang-kadang perlu digunakan tanpa mengindahkan perubahan kimia yang mungkin
terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut
adalah kelarutan pada suhu 20oC dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa, 1
bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu
pelarut, pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan pada suhu
kamar, kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran
mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran debu. Pernyataan bagian dalam
kelarutan berarti bahwa 1 g zat padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah dalam sejumlah
ml pelarut (Ditjen POM, 1979).
Sifat yang penting dari misel ini adalah kemampuannya untuk menaikkan
kelarutan zat yang biasanya sukar larut dalam air. Proses ini dikenall sebagai solubility.
Solubility terjadi karena molekul zat yang sukar larut berasosiasi dengan misel
membentuk suatu larutan yang jernih dan stabil secara termodinamika. Lokasi molekul
zat terlarut dalam misel tergantung pada pelarut zat tersebut. Molekul non polar akan
masuk kedaerah polisade dan membentuk suatu misell campuran (Mirawati, 2013).

Selain penambahan surfaktan dapat juga ditambahkan zat-zat pembentuk


kompleks untuk menaikkan kelarutan suatu zat, misalnya penambahan ureten dalam
pembuatan injeksi. Kelarutan suatu zat dalam pelarut tertentu diketahui dengan membuat
larutan jenuh dari zat itu pada suhu yang spesifik dan penentuan jumlah zat yang larut
pada sejumlah berat tertentu dan larutan dengan cara analisis kimia (Ansel, 2005).
Kelarutan bergantung juga pada sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-
ion dalam campuran itu. Tipe larutan yang paling umum yang kita jumpai di laboratorium
terdiri atas solute yang terlarut dalam zat cair, oleh karena itu sebagian besar perhatian
kita, kita arahkan terhadap larutan tipe ini. Larutan yang berbentuk cair (contohnya NaCl
dalam air), melarutkan zat cair dalam zat cair (contohnya etilen glikol dalam air, larutan
anti beku), atau melarutkan gas dalam zat cair contohnya CO2 dalam air, efferfescens)
(Ditjen POM, 1979).

3. Alat dan Bahan


1. Pengaruh penambahan Tween 80 terhadap kelarutan asetosal :
 Alat :
- Buret 10 ml
- Pipet gondok 10 ml
- Erlenmeyer
- Kertas saring
 Bahan :
- Larutan tween 80
- Aquadest
- Larutan NaOH
- Indikator pp
- Kalium Hidrogen Ptalat

2. Pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan teofilin :


 Alat :
- Buret 10 ml
- Pipet gondok 10 ml
- Erlenmeyer
- Kertas saring
 Bahan :
- Etanol
- Gliserin
- Aquadest
- Larutan NaOH 0,1 N
- Indikator pp
- Kalium Hidrogen Ptalat

4. Cara Kerja
1. Pembuatan baku NaOH :
 Kalium hidrogen phtalat sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu
dilarutkan dengan 10 ml aquadest, kemudian tambahkan 1-2 tetes indikator PP.
 Titrasi dengan larutan NaOH hingga terjadi perubahan warna dari tidak berwarna
menjadi warna merah muda stabil. Catat volume titrasi dan hitung normalitas
NaOH. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali.

2. Pengaruh penambahan Tween 80 terhadap kelarutan asetosal :


 Buat 50 ml larutan surfaktan dalam berbagai konsentrasi : 1%, 3%, 5%, dan 10%
b/v dalam aquadest.
 Timbang 500 mg asetosal.
 Masukkan 50 ml larutan surfaktan dan asetosal yang ditimbang ke dalam
erlenmeyer 125 ml, asetosal dilarutkan dalam larutan surfaktan dengan bantuan
magnetik stirer selama lebih kurang 15 menit.
 Saring ke dalam erlenmeyer 50 ml.
 Tentukan kadar asetosal dengan cara: dipipet 10 ml filtrat, dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Ditambahkan 1 tetes indikator PP kemudian titrasi dengan larutan
NaOH 0,1 N sampai terjadi warna merah muda. Titrasi dilakukan sebanyak tiga
kali.
 Lakukan percobaan blangko (menggunakan aquadest 50 ml saja), lalu hitung
jumlah asetosal yang terlarut (mg) dan tentukan % kadar asetosal yang terlarut
dalam setiap larutan.
 Buat grafik antara % surfaktan dengan % asetosal yang terlarut

3. Pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan teofilin :


 Timbang 200 mg teofilin.
 Larutkan teofilin sedikit demi sedikit kedalam masing-masing campuran pelarut
diatas di dalam Erlenmeyer 125 ml. Kocok selama 15 menit.
 Saring larutan tersebut ke dalam erlenmeyer 50 ml menggunakan kertas saring.
 Tentukan kadar teofilin dengan cara : pipet 10 ml filtrat, masukkan ke dalam
erlenmeyer. Tambahkan satu tetes indikator pp kemudian titrasi dengan larutan
NaOH 0,1 N sampai terjadi warna merah muda. Titrasi dilakukan sebanyak tiga
kali.
 Lakukan percobaan blangko (menggunakan aquadest 50 ml saja) lalu hitung
jumlah teofilin yang terlarut (mg) dan tentukan % kadar teofilin yang terlarut
dalam setiap pelarut campur.
 Buat grafik antara % gliserin dengan teofilin yang terlarut.

5. Hasil dan pembahasan


a. Hasil
1. Pembakuan NaOH

Pengulangan Volume KHP Volume NaOH


1 10 ml 14,6 ml
2 10 ml 15,3 ml
3 10 ml 15,7 ml

Be KHP : 204,22
14,6 ml+15,3 ml+15,7 ml
Volume rata-rata : = 15, 2 ml
3
Mg 300 mg
Normalitas NaOH : = = 0,0967 N
Be x V 204,22 x 15,2 ml

2. Penentuan kadar asetosal dalam larutan surfaktan

N Konsentrasi Volume Volume Asetosal % Asetosal


o Tween 80 NaOH (ml) rata-rata terlarut (mg) terlarut
(ml)
1 Blanko 2,5 ml
  2,3 ml 2,46 ml 214,284 mg 42,8568%
  2,6 ml
2 Tween 80 1% 3 ml
  3,1 ml 3,06 ml 266,5485 mg 53,3097%
  3,1 ml
3 Tween 80 3% 4,1 ml
  3,9 ml 3,9 ml 339,7187 mg 67,943%
  3,7 ml
4 Tween 80 5% 4,2 ml
  4,5 ml 4,33 ml 377,1745 mg 75,434%
  4,3 ml
5 Tween 80 5,7 ml
10%
  5,7 ml 5,73 ml 499,125 mg 99,825%
  5,8 ml

 Blanko :
V1 = 2,5 ml
V2 = 2,3 ml
V3 = 2,6 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
2,5 mL+2,3 mL+ 2,6 mL
=
3
= 2,46 mL

Mg Asetosal terlarut = V x N x Be
= 2,46 ml x 0,0967 N x180,16
50 ml
= 42,8568 mg x
10 ml
= 214,284 mg

mg asetosal terlarut dalam50 ml


% Kadar Asetosal = x 100%
mg asetosal awal
214,284 mg
= x 100%
500 mg
= 42,8568%

 Tween 80 (1%)
V1 = 3 ml
V2 = 3,1 ml
V3 = 3,1 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
3 mL+3,1 mL+3,1 mL
=
3
= 3,06 mL
Mg Asetosal terlarut = V x N x Be
= 3,06 ml x 0,0967 N x180,16
50 ml
= 53,3097 mg x
10 ml
= 266,5485 mg
mg asetosal terlarut dalam50 ml
% Kadar Asetosal = x 100%
mg asetosal awal
266,5485 mg
= x 100%
500 mg
= 53,3097%

 Tween 80 (3%)
V1 = 4,1 ml
V2 = 3,9 ml
V3 = 3,7 ml

V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
4,1 mL+3,9 mL+ 3,7 mL
=
3
= 3,9 mL

Mg Asetosal terlarut = V x N x Be
= 3,9 ml x 0,0967 N x180,16
50 ml
= 67,9437 mg x
10 ml
= 339,7185 mg
mg asetosal terlarut dalam50 ml
% Kadar Asetosal = x 100%
mg asetosal awal
339,7185mg
= x 100%
500 mg
= 67,943%

 Tween 80 (5%)
V1 = 4,2 ml
V2 = 4,5 ml
V3 = 4,3 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata =
3
4,2 mL+ 4,5 mL+ 4,3 mL
=
3
= 4,33 mL

Mg Asetosal terlarut = V x N x Be
= 4,33 ml x 0,0967 N x180,16
50 ml
= 75,4349 mg x
10 ml
= 377,1745 mg

mg asetosal terlarut dalam50 ml


% Kadar Asetosal = x 100%
mg asetosal awal
377,1745mg
= x 100%
500 mg
= 75,434%
 Tween 80 (10%)
V1 = 5,7 ml
V2 = 5,7 ml
V3 = 5,8 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
5,7 mL+5,7 mL +5,8 mL
=
3
= 5,73 mL

Mg Asetosal terlarut = V x N x Be
= 5,73 ml x 0,0967 N x180,16
50 ml
= 99,8250 mg x
10 ml
= 499,125 mg

mg asetosal terlarut dalam50 ml


% Kadar Asetosal = x 100%
mg asetosal awal
499,125 mg
= x 100%
500 mg
= 99,825%

Grafik % surfaktan dengan % asetosal yang terlarut


120.000%

100.000%
% Kadar Asetosal Terlarut

80.000%

60.000%

40.000%

20.000%

0.000%
0% 1% 3% 5% 10%
% Surfaktan
3. Penentuan kadar teofilin dalam pelarut campur

No Air (ml) Alkohol (ml) Gliserin (ml) Jumlah (ml)


1 45 5 - 50
2 42,5 5 2,5 50
3 40 5 5 50
4 37,5 5 7,5 50
5 35 5 10 50

Pelarut Volume NaOH Volume rata- Teofilin terlarut % Teofilin


campur (ml) rata (ml) (mg) terlarut
1 1,3 ml
1,2 ml 1,23 ml 117,7515 mg 58,875%
1,2 ml
2 1,4 ml
1,5 ml 1,43 ml 136,898mg 68,449%
1,4 ml
3 1,6 ml
1,5 ml 1,53 ml 146,471mg 73,235%
1,5 ml
4 1,6 ml
1,6 ml 1,63 ml 156,0445 mg 78,02%
1,7 ml
5 1,7 ml
1,7 ml 1,73 ml 165,618mg 82,80%
1,8 ml

 Pelarut campur 1
V1 = 1,3 ml
V2 = 1,2 ml
V3 = 1,2 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
1,3 mL+1,2 mL+1,2 mL
=
3
= 1,23 mL

Mg Teofilin terlarut = V x N x Be
= 1,23 ml x 0,0967 N x 198
50 ml
= 23,5503 mg x
10 ml
= 117,7515 mg

mgteofilin terlarut dalam 50 ml


% Kadar Teofilin = x 100%
mgteofilin awal
117,7515 mg
= x 100%
200 mg
= 58,875%
 Pelarut campur 2
V1 = 1,4 ml
V2 = 1,5 ml
V3 = 1,4 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
1,4 mL+1,5 mL +1,4 mL
=
3
= 1,43 mL
Mg Teofilin terlarut = V x N x Be
= 1,43 ml x 0,0967 N x198
50 ml
= 27,3796 mg x
10 ml
= 136,898 mg

mgteofilin terlarut dalam 50 ml


% Kadar Teofilin = x 100%
mgteofilin awal
136,898mg
= x 100%
200 mg
= 68,449%
 Pelarut campur 3
V1 = 1,6 ml
V2 = 1,5 ml
V3 = 1,5 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
1,6 mL+1,5 mL+1,5 mL
=
3
= 1,53 mL

Mg Teofilin terlarut = V x N x Be

= 1,53 ml x 0,0967 N x198


50 ml
= 29,2942 mg x
10 ml
= 146,471 mg

mgteofilin terlarut dalam 50 ml


% Kadar Teofilin = x 100%
mgteofilin awal
146,471mg
= x 100%
200 mg
= 73,235%
 Pelarut campur 4
V1 = 1,6 ml
V2 = 1,6 ml
V3 = 1,7 ml

V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
1,6 mL+1,6 mL+ 1,7 mL
=
3
= 1,63 mL

Mg Teofilin terlarut = V x N x Be
= 1,63 ml x 0,0967 N x198
50 ml
= 31,2089 mg x
10 ml
= 156,0445mg

mgteofilin terlarut dalam 50 ml


% Kadar Teofilin = x 100%
mgteofilin awal
156,0445mg
= x 100%
200 mg
= 78,02%

 Pelarut campur 5
V1 = 1,7 ml
V2 = 1,7 ml
V3 = 1,8 ml
V 1+V 2+V 3
Volume rata-rata NaOH =
3
1,7 mL+1,7 mL +1,8 mL
=
3
= 1,73 mL

Mg Teofilin terlarut = V x N x Be
= 1,73 ml x 0,0967 N x198
50 ml
= 33,1236 mg x
10 ml
= 165,618 mg

mgteofilin terlarut dalam 50 ml


% Kadar Teofilin = x 100%
mgteofilin awal
165,618mg
= x 100%
200 mg

= 82,80 %

% Kadar Teofilin Telarut


90.000%
80.000%
% Kadar Teofilin Terlarut

70.000%
60.000%
50.000%
40.000% % Kadar Teofilin Telarut
30.000%
20.000%
10.000%
0.000%
I II III 1V V
% Gliserin
b. Pembahasan
Pada praktikum onjek pertama ini dilakukan suatu percobaan mengenai sifat fisik
suatu zat yang berkaitan dengan kelarutan suatu zat padat. Tujuan dari percobaan ini
adalah untuk dapat menentukan kelarutan zat padat secara kuantitatif, kenudian
melihat factor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keluarutan sutau zat, serta
menjelaskan usaha-usaha yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan zat
aktif dalam air untuk pembuatan zat cair. Sifat suatu zat pada salah satunya adalah
keluarutanya sangat penting dikaji dalam ilmu farmasi sebelum memformula suatu
sediaan obat. Hal ini menjadi pertimbangan penting salam pre formulasi suatu obat.
Pada umumnya obat baru dapat diabsorpsi dari saluran cerna dalam keadaan terlarut
kecuali kalau transport obat melalui mekanisme pinositosis. Oleh karena itu salah satu
cara untuk meningkatkan ketersediaan hayati suatu zat aktif adalah dengan
menaikkan kelarutannya di dalam air. Kelarutan atau solubility (s) adalah kebanyakan
senyawa dalam satuan garam yang dapat membuat jenuh larutan. Jika volume larutan
dm 3 maka kelarutan itu mempunyai satuan molar (m).
Diketahui sebelumnya kelarutan merupakan besaran kuantitatif didefinisikan
sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu,
sedangkan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih
zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Menurut U.S. Pharmacopeia dan
National Formulary definisi kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut di mana akan
larut 1 gram zat terlarut.
Pada percobaan ini sampel yang dihunakan ada dua yaitu Asetosal dan juga
Teofilin dimana sifat kelarutan dari asetosal adalah agak sukar larut dalam air, mudah
larut dalam etanol (95%), larut dalam kloroform p dan dalam eter p, dengan pemerian
hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hampir tidak
berbau, rasa asam. Teofilin memiliki kelarutan larut dalam 180 bagian air, lebih
mudah larut dalam air panas, larut dalam lebih kurang 120 bagian etanol (95%),
mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam amonia encer (FI III). Sukar
larut dalam air tetapi lebih mudah larut dalam air panas, mudah larut dalam alkali
hidroksida, dan amonium hidroksida, daka sukar larut dalam etanol, dalam kloroform
dan dalam eter.
Pada percobaan ini dilakukan uji yang beryujuan untuk melhat hubungan Antara
konsentrasi surfaktan yang digunakan dengan tingkat kelarutan asetosal, dan melihat
hubungan Antara kombinasi pelarut campur terhadap kelarutan teofilin. Dengan
melakukan analisa secara kuantitatif konvensional yaitu metode titrasi untuk dapat
menentukan persentase kadar suatu zat yang ingin diidentifikasi kadarnya didalam
sutau pelarut yang melarutkanya. Pentiter yang digunakan dalam analisa titimetri
tersebut dalah NaOH karena merupakan baku skunder yang dapat berekasi dengan
sampel.
Surfaktan yang digunakan dalam praktikum kali kali ini yaitu Tween 80, Tween
80 merupakan salah satu jenis surfaktan non-ionik, dimana menurut jurnal yang saya
dapatkan surfaktan non-ionik merupakan bahan esensial yang tidak beracun dengan
konsentrasi ambang batas lebih dari 100 g/kg. Selain itu surfaktan non-ionik
umumnya bersifat biodegredabel. Dimana hal ini bertujuan untuk membantu
meningkatkan kelarutan dari cairan dan zat padat. Penggunaan surfaktan Tween 80
digunakan dengan berbagai jenis konsentrasi, yaitu 1%, 3%, 5%, dan 10%. Kemudian
juga menggunakan belangko sebagai perbandingan yaitu hanya pelarut saja tanpa
menggunakan surfaktan sehingga dengan demikian dapat dijadikan sebagai
pembanding.
Dari percobaan tersebut maka didapatkan data yang linier yaitu dari percobaan
yang didapat, terlihat pada tabel hasil bahwa pada blanko didapatkan mg asetosal
terlarut 214,2841 mg dengan %kadar terlarut yaitu 42,8568%. Pada Tween 80 1%
didapatkan mg asetosal terlarut 266,5485 mg dengan %kadar terlarut 53,3097%. Pada
Tween 80 3% didapatkan mg asetosal terlarut 339,7187 mg dengan %kadar terlarut
67,9437%. Pada Tween 80 5% didapatkan mg asetosal terlarut 377,1748 mg dengan
%kadar terlarut 75,4349%. Pada Tween 80 10% didapatkan mg asetosal terlarut
499,1251 mg dengan %kadar terlarut 99,8250%.
Dari data tersebut dapat disimpulkam bahwa penambahan surfaktan dapat
meningkatkan kelarutan suatu zat padat yang mana sifat kelarutanya sukar larut
dalam air tersebut, dimana hal ini dapat dilihat dengan membandingkan larutan yang
telah diberi surfaktan dengan larutan blanko (tanpa surfaktan). Kemudian dapat
disimpulkan pula bahwa meningkatnya konsentrasi surfaktan juga berbanding lurus
dengan meningkatnya konsentrasi zat terlarut. Hal ini dapat dilihat melalui persentase
kadar dari analisa kuantitatif yang dilakukan dengan titrasi.
Selanjutnya uji kelarutan zat padat dengan menggunakan pelarut campur, pelarut
campur yang digunakan dalam percobaan kali ini yaitu air : alkohol : gliserin. Kadar
alkohol yang digunakan dalam percobaan kali ini tetap yaitu 5 ml. Pada percobaan
kali ini penggunaan pelarut campur dimana % air lebih banyak daripada etanol dan
gliserin, yang mana air merupakan dielektrik yang sangat tinggi yang mudah
dijumpai. Air memiliki tetapak dielektrik yang mampu melarutkan zat
polar,sedangkan semakin tinggi suatu tetapan dielektrik suatu larutan semakin mudah
larutan tersebut melarutkan
Dari tabel hasil yang ddidapatkan praktikan pada pelarut campur 1 (45 : 5 : 0)
didapatkan mg teofilin terlarut 117,7515 mg dengan %kadar terlarut 58,8757%. Pada
pelarut campur 2 (42,5 : 5 : 2,5) didapatkan mg teofilin terlarut 136,8981 mg dengan
%kadar terlarut 68,4490%. Pada pelarut campur 3 (40 : 5 : 5) didapatkan mg teofilin
terlarut 146,4714 mg dengan %kadar terlarut 73,2357%. Pada pelarut campur 4
(37,5 : 5 : 7,5) didapatkan mg teofilin terlarut 156,0445 mg dengan %kadar terlarut
78,0222%. Pada pelarut campur 5 (35 : 5 : 10) didapatkan mg teofilin terlarut
165,6180 mg dengan %kadar terlarut 82,8090%. Dari hasil yang didapat, sesuai
dengan literatur yaitu semakin tinggi konsentrasi gliserin yang divariasikan dalam
pelarut campur, semakin tinggi pula kemampuan pelarut campur tersebut untuk
melarutkan teofilin. Dari bentuk kurva yang didapat sesuai dengan literatur yang
kurva linear, dimana semakin tinggi konsentrasi gliserin yang ditambahkan pada
pelarut campur itu bertambah yang menyebabkan meningkatnya kelarutan teofilin.
6. Kesimpulan
 Kelarutan suatu zat adalah jumlah maksimal senyawa bersangkutan yang larut
dalam sejumlah pelarut tertentu pada suatu suhu tertentu dan merupakan larutan
jenuh yang ada dalam kesetimbangan dengan bentuk padatnya.
 Pentingnya mempelajari kelarutan yaitu untuk pertimbangan formulasi dan jga
terkait proses ADME oleh obat didalam tubuh
 Pengujian dengan menggunakan surfaktan dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi surfaktan yang digunakan maka, semakin tinggi kelarutan suatu
zat tersebut.
 Pengujian dengan menggunakan pelarut campur dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi kadar gliserin pada variai pelarut campur (air dan alkohol) yang
digunakan, maka meningkatkan kelarutan dari suatu zat tersebut, karena gliserin
dapat meningkatkan konstanta dielektrik yang menyebabkan terjadinya perubahan
polaritas.
 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat yaitu pH,
Temperatur, Ukuran partikel, Jenis pelarut, Konstanta dielektrik, dan penambahan
zat lain

7. Daftar Pustaka
8.
Ansel, Haward. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Fakultas Farmasi Universitas
Muslim Indonesia; Makassar.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI ; Jakarta.
Martin, Alfred dkk. 1990. Farmasi Fisika jilid I dan II Edisi III. Press; Yogyakarta.
Mohtar, 1989. Farmasi Fisika. Gajah Mada University Press ; Yogyakarta.
Roth, H.J dan G. Blaschke. 1988. Analisis Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press :
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai