Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anotomi Fisiologi Abdomen

Abdomen merupakan bagian tubuh yang terletak di antara toraks dan

pelvis. Rongga abdomen yang sebenarnya dipisahkan dari rongga toraks di sebelah

atas oleh diafragma dan dari rongga pelvis di sebelah bawah oleh suatu bidang

miring yang disebut pintu atas panggul. Dapat dikatakan bahwa pelvis termasuk

bagian dari abdomen, dan rongga abdomen meliputi juga rongga pelvis. Rongga

abdomen meluas ke atas sampai mencapai rongga toraks setinggi sela iga kelima.

Jadi sebagian rongga abdomen terletak atau dilindungi oleh dinding toraks. Sebagian

dari hepar, gaster dan lien terterdapat di dalamnya.

Rongga abdomen atau cavitas abdominis berisi sebagian besar organ

sistem digestivus, sebagian organ urinarium, sistem genitalia, lien, glandula

suprarenalis, dan plexus nervorum. Juga berisi peritoneum yang merupakan

membrane serosa dari sistem digestivus. Kadang-kadang ada organ sistem digestivus

yang sebagian atau sementara terletak di dalam rongga pelvis, misalnya ileum dan

sebaliknya kadang-kadang organ genitalia terdapat di dalam rongga abdomen,

misalnya uterus yang membesar.

Untuk menentukan lokalisasi yang lebih teliti dari rasa nyeri,

pembengkakan atau letak suatu organ, maka abdomen dibagi menjadi sembilan

region oleh dua bidang horizontal yaitu bidang subcostalis dan bidang

transtubercularis serta dua bidang vertikal yang melalui linea midklavikularis kanan

dan kiri.

1
Regio abdomen tersebut adalah (Wibowo,2007) :

1. Atas: hipokondrium kanan-epigastrium-hipokondrium kiri

2. Tengah: lateralis kanan-umbilikalis-lateralis kiri

3. Bawah: inguinal kanan-hipokondrium-inguinal kiri

Gambar 2.1. Topografi Abdomen

Proyeksi letak organ dalam abdomen (Wibowo,2007)

2
Hipokondrium kanan Epigastrium Hipokondrium kiri
 Lobus kanan dari hepar  Pilorus gaster  Lambung
 Kantung empedu  Duodenum  Limpa
 Sebagian dari  Pankreas  Bagian kaudal dari
duodenum  Sebagian dari hepar pankreas
 Fleksura hepatik dari  Fleksura lienalis dari
kolon kolon
 Sebagian dari ginjal  Kutub atas dari ginjal
kanan kiri
 Kelenjar suprarenal  Kelenjar suprarenal kiri
kanan
Lumbal kanan Umbilikal Lumbal kiri
 Kolon asendens  Omentum  Kolon desendens
 Bagian bawah dari  Mesenterium  Bagian bawah dari
ginjal kanan  Bagian bawah dari ginjal kiri
 Sebagian daru duodenum  Sebagian jejunum dan
duodenum dan jejunum  Jejunum dan ileum ileum
Inguinal kanan Hipogastrium Inguinal kiri
 Sekum  Ileum  Kolon sigmoid
 Apendiks  Kandung kemih  Ureter kiri
 Bagian akhir dari  Uterus (pada  Ovarium kiri
ileum kehamilan)
 Ureter kanan

B. Pengertian Trauma Abdomen

Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional

(Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis

akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma perut merupakan

luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut

dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula

dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 2000).

Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa

kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor

implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak

3
disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat

berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja

(Smeltzer, 2001).

Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga

abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen,

terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus

halus, usus besar, pembuluh – pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan

ruptur abdomen (Sjamsuhidayat,2002).

Trauma abdomen didefinisikan sebagai cedera yang terjadi anterior dari

garis puting ke lipatan inguinal dan posterior dari ujung skapula ke lipatan gluteal.

Gerakan pernapasan diafragma memperlihatkan isi intraabdomen yang cedera, pada

pandangan pertama, tampaknya terisolasi ke dada (Ferman, 2003).

C. Etiologi Trauma Abdomen

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang terjadi pada

abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan

kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan

yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul

lainnya.

Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang

menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma

abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit

menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.

Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :

4
1. Paksaan /benda tumpul

Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka

tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan,

kecelakaan kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan,

deselarasi, kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas.

2. Trauma tembus

Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum.

Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka

tembak.

D. Klasifikasi Trauma Abdomen

1. Trauma Tumpul

Trauma tumpul paling sering terjadi pada kasus kecelakaan kendaraan

bermotor. Cedera terjadi sekunder terhadap geser, robek, atau kekuatan dampak

langsung. Kehadiran tanda sabuk pengaman merupakan indikasi cedera intra-

abdomen dalam setidaknya 25% kasus. Memastikan apakah hanya sabuk

pangkuan digunakan, terutama pada anak-anak. Lap-satunya hambatan pada

anak-anak mempengaruhi mereka untuk cedera intra-abdomen seperti perforasi

usus dan robekan mesenterika. Evaluasi tulang belakang lumbal

direkomendasikan karena cedera ini mungkin terkait dengan fraktur transversal

tulang belakang lumbal (Chance fracture) (Stone,2003).

2. Trauma Tajam

5
Setiap luka di bawah garis yang ditarik melintang antara puting harus

diperlakukan sebagai memiliki potensi untuk lintasan intra-abdominal. Seperti

disebutkan sebelumnya, cairan intravena harus digunakan dengan bijaksana

dalam manajemen pra-rumah sakit. Sebelum tiba di Departemen

Kegawatdaruratan, pasien dapat diberikan cairan yang cukup untuk

mempertahankan tekanan darah sistolik 90 mmHg, bukan resusitasi multiliter.

Jika luka tembus hadir, dimulai terapi antibiotik dan mengelola booster tetanus

awal pengobatan(Stone,2003).

a) Luka tembak

Diamanatkan bahwa semua luka tembak dengan lintasan intra-

abdomen diperlukan laparotomi eksplorasi. Beberapa penulis telah

menggambarkan pendekatan yang kurang agresif untuk subset yang dipilih

dengan cermat pasien dengan trauma tembus ke perut termasuk beberapa luka

tembak kecepatan rendah. Manajemen nonoperative luka tembak yang

menembus peritoneum yang kontroversial. Pasien dengan hipotensi meskipun

diberi resusitasi kristaloid akan memerlukan laparotomi segera eksplorasi,

antibiotik untuk menutupi flora pada abdomen, dan booster tetanus. Untuk

pasien hemodinamik stabil, invasi intraperitoneal telah dikesampingkan,

manajemen konservatif luka yang dangkal dan tangensial ke abdomen dapat

digunakan (Stone,2003).

b) Luka Tusukan

6
Pasien dengan luka tusukan memerlukan resusitasi serta booster

tetanus dan antibiotik jika kemungkinan keterlibatan intraperitoneal diduga.

DPL, CT scan, dan laparoskopi dapat digunakan. Jika kemungkinan

keterlibatan peritoneal telah dikesampingkan, pasien dapat dengan aman

diarahkan kepada instruksi perawatan luka lokal. Jika peritoneum telah

terkena, diperlukan laparotomi eksplorasi. Serupa dengan pengelolaan luka

tembak kecepatan rendah seperti yang disebutkan di atas, beberapa ahli bedah

telah mulai mengamati subset yang dipilih dengan cermat pada pasien dengan

tidak ada tanda cedera intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau

diidentifikasi oleh modalitas pencitraan seperti CT scan.

E. Patofisiologi/pathway Trauma Abdomen

1. Patofisiologi Trauma Tumpul Abdomen

Beberapa mekanisme patofisiologi dapat menjelaskan trauma tumpul

abdomen. Secara garis besar trauma tumpul abdomen (non penetrtaing trauma)

dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Trauma kompresi

Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti

bergerak, sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke

depan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian belakang

thorakoabdominal dan kolumna vetebralis dan di depan oleh struktur yang

terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi khusus mekanisme

trauma dan menekankan prinsip yang menyatakan bahwa keadaan jaringan

pada saat pemindahan energi mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada

7
tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik napas dan

menahannya dengan menutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan

peningkatan tekanan intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur

diafragma dan translokasi organ-organ abdomen ke dalam rongga thorax.

Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai akibat tindakan valsava

mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan pecahnya hati.

Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus halus yang

closed loop terjepit antra tulang belakang dan sabuk pengaman yang salah

memakainya.

b. Trauma sabuk pengaman (seat belt)

Sabuk pengaman tiga titik jika digunakan dengan baik,

mengurangi kematian 65%-70% dan mengurangi trauma berat sampai 10

kali. Bila tidak dipakai dengan benar, sabuk pengaman dapat menimbulkan

trauma. Agar berfungsi dengan baik, sabuk pengamna harus dipakai di

bawah spina iliaka anterior superior, dan di atas femur, tidak boleh

mengendur saat tabrakan dan harus mengikat penumpang dengan baik. Bila

dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS) maka hepar, lien, pankreas, usus halus,

diodenum, dan ginjal akan terjepit di antara sabuk pengaman dan tulang

belakang, dan timbul burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vetebra lumbalis

akibat sabuk yangterlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior

dan vetebra lumbal.

8
c. Cedera akselerasi / deselerasi.

Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilasi organ,

seperti pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ

yang distabilisasi tetap bergerak. Shear force terjadi bila pergerakan ini

terus berlanjut, contoh pada ginjal dan limpa denga pedikelnya, pada hati

terjadi laserasi hati bagian sentral, terjadi jika deselerasi lobus kanan dan

kiri sekitar ligamentum teres.

2. Patofisiologi trauma tajam abdomen

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan

mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka

tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang

lebih besar terhadap organ visera, dengan adanya efek tambahan berupa

temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan

kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh

darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan

keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum

(Stone,2003).

Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung

jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan

peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Organ padat akan

mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru

tipe high velocity (American College of Surgeons,2004).

F. Manifestasi Klinis Trauma Abdomen

9
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :

1. Nyeri tekan

2. Nyeri spontan

3. Nyeri lepas

4. Distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum

5. Syok

6. Takikardi

7. Peningkatan suhu tubuh

8. Leukositosis

9. Anorexia

10. Mual dan muntah

Pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :

1. Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen

2. Terjadi perdarahan intra abdominal

3. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus

tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual,

muntah, dan BAB hitam (melena)

4. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah rauma

5. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding

abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat :

10
a. Terdapat luka robekan pada abdomen

b. Luka tusuk sampai menembus abdomen

c. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak

perdarahan/memperparah keadaan

d. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam abdomen

G. Komplikasi Trauma Abdomen

Penatalaksanaan trauma, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai, dapat

mengakibatkan berbagai komplikasi seperti cedera yang tidak terdeteksi, abses intra-

abdomen, berbagai tipe fistula, pankreatitis, sindroma kompartemen abdominal, fasciitis

nekrotikans, dan dehisensi luka.

Menurut Smeltzer (2001), komplikasi dari trauma abdomen yang mungkin terjadi

yaitu :

a. Segera : hemoragi, syok, dan cedera.

b. Lambat : infeksi

H. Pemeriksaan Diagnostik Trauma Abdomen

1. Radiologi

Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk

penatalaksanaan pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi

diindikasikan pada pasien stabil, jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa

disimpulkan diagnosik.

Pasien yang tidak kooperatif, dapat mengganggu hasil tes radiologi

dan dapat beresiko mengalami cedera spinal. Penyebab dari pasien yang tidak

koopertatif ini harus dievaluasi, misalnya karena hipoksia atau cedera otak.

Demi kelancaran, pasien tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberi sedatif.

11
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP,

dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.

Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, setengah tegak dan lateral dekubitus)

berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di

luar lumen di retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk

untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan

adanya kemungkinan cedera retroperitoneal. Foto polos abdomen memiliki

kegunaan yang terbatas, dan sudah digantikan oleh CT-scan dan USG

2. Computed Tomography ( CT-scan )

CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport

penderita ke scanner, pemberian kontras oral maupun intravena, dan scanning

dari abdomen atas bawah dan juga panggul. Proses ini makan waktu dan hanya

digunakan pada penderita dengan hemodinamik normal. CT-scan mampu

memberikan informasi yang berhubungan dengan cedera organ tertentu dan

tingkat keparahannya, dan juga dapat mendiagnosis cedera retroperitoneum dan

organ panggul yang sukar diakses melalui pemeriksaan fisik maupun DPL.

Kotraindikasi relatif terhadap penggunaan CT meliputi penundaan karena

menunggu scanner, pendrita yang tidak kooperatif, dan alergi terhdap bahan

kontras.

Keuntungan CT-scan :

a. non invasive

12
b. mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non

operatif cedera hepar dan lien

c. mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber

perdarahan

d. retroperitoneum dan columna vetebra dapat dilihat

e. imaging tambahan dapat dilakukan jika diperlukan

Kelemahan CT-scan

a. kurang sensitif untuk cedera pankreas, diafragma, usus, dan mesenterium

b. diperlukan kontras intra vena

c. mahal

d. tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak stabil

Gambar 1. Blunt abdominal trauma Gambar 2. Blunt abdominal trauma


with splenic injury and with liver laceration
hemoperitoneum

3. Ultrasound

13
Ultrasound digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonum

setelah terjadi trauma tumpul. USG difokuskan pada daerah intraperitoneal

dimana sering didapati akumulasi darah, yaitu pada

a. kuadran kanan atas abdomen (Morison's space antara liver ginjal kanan)

b. kuadran kiri ats abdomen (perisplenic dan perirenal kiri)

c. Suprapubic region (area perivesical)

d. Subxyphoid region (pericardiumhepatorenal space)

Daerah anechoic karena adanya darah dapat terlihat paling jelas jika

dibandingkan dengan organ padat di sekitarnya. Banyak penelitian retrospektif

menyatakan manfaat USG pada pasien dengan hemodinamik yang stabil atau

tidak stabil untuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal. Beberapa RCT

menunjukkan penggunaan FAST untuk diagnostik akan menghasil pasien

dengan hasil perawatan yang lebih baik.

Keuntungan USG :

a. portabel

b. dapat dilaksanakan dengan cepat

c. tingkat sesitifitas sebesar 65-95% dalam mendeteksi paling sedikit 100

ml cairan intraperitoneal.

d. spesifik untuk hemoperitoneum

e. tanpa radiasi atau kotras

f. mudah dilakuakn pemeriksaan serial jika diperlukan

g. tekniknya mudah dipelajari

h. non invasif

14
i. lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage

Kelemahan USG

a. cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat

dengan baik

b. kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif,

obesitas, adanya gas usus, dan udara subkutan

c. darah tidak bisa dibedakan dari ascites

d. tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus.

Gambar 3. Morison pouch normal Gambar 4. Cairan bebas di Morison


(tidak ada cairan bebas) pouch.

15
Metode pemeriksaan ultrasound pada kasus trauma tumpul abdomen

adalah FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma). Tujuan primer dari

FAST adalah mengidentifikasi adanyan hemoperitonium pada pasien dengan

kecurigaan cidera intra-abdomen. Indikasi FAST adalah pasien yang secara

hemodinamik unstable dengan kecurigaan cedera abdomen dan pasien-pasien

serupa yang juga mengalami cedera ekstra-abdominal signifikan (ortopedi, spinal,

thorax, dll.) yang memerlukan bedah non-abdomen emergensi.

FAST sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang hadir pada saat itu di

IGD/ ICU sebagai prosedur bedside sementara resusitasi dapat terus berlangsung.

FAST direkomendasikan menggunakan 3,5 atau 5 MHz ultrasound sector

transducer probe dan gray scale ‘B mode’ ultrasound scanning.

Scan dimulai dari sub-xiphoid region di sagittal plane. Probe kemudian

digerakkan ke kanan untuk memeriksa Morrison’s pouch (hepato-renal) (sagittal

plane). Setelah itu, probe digerakkan ke arah kiri untuk untuk menilai kavum

spleno-renal (sagittal plane). Pada keadaan ini, direkomendasikan agar bladder

diisikan dengan 200-300 ml dengan larutan normal steril melalui kateter urin yang

kemudian diklem. Cara ini akan memberikan excellent sonological window untuk

memvisualisasi pelvis (transverse plane). Pada pasien yang dicurigai mengalami

cedera bladder, hindari prosedur pengisian di atas. Gantikan dengan meletakkan

kantong berisi saline di atas hipogastrium, dengan demikian akan menimbulkan

acoustic window untuk pelvis.Waktu total yang dibutuhkan untuk seluruh prosedur

ini sebaiknya antara 5-8 menit

16
4. Diagnostic Peritoneal Lavage

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada

penatalaksanaan trauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien yang

memiliki resiko tinggi cedera organ berongga, terutama jika dari CT-scan dan

USG hanya terdeteksi sedikit cairan, dan pada pasien dengan demam yang nyata,

peritonitis, atau keduanya. Keadaan ini berlangsung selama 6-12 jam setelah

cedera organ berongga.

Indikasi:

a. Perubahan sensorium – cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan obat

terlarang.

b. Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang belakang.

c. Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga bawah, panggul, tulang

belakang dari pinggang bawah (lumbar spine).

d. Pemeriksaan fisik yang meragukan.

Secara tradisional, DPL dialakukan melalui 2 tahap, tahap pertama

adalah aspirasi darah bebas intraperitoneal (diagnostic peritoneal tap,DPT). Jika

darah yang teraspirasi 10 ml atau lebih, hentikan prosedur karena hal ini

menandakan adanya cedera intraperitoneal. Jika dari DPT tidak didapatkan darah,

lakukan peritoneal lavage dengan normal saline dan kirim segera hasilnya ke lab

utuk dievaluasi.

Pasien yang memerlukan laparotomy segera merupakan satu-satunya

kontra indikasi untuk DPL atau DPT. Riwayat operasi abdomen, infeksi abdomen,

koagulopati, obesitas dan hamil trimester 2 atau 3 merupakn kontra indikasi

relatif.

17
Keuntungan DPL/DPT

a. triase pasien trauma multisistem dengan hemodinamik yang tidak stabil,

melalui pengeluaran perdarahan intapertoneal

b. dapat mendeteksi perdarahan minor pada pasien dengan hemodinamik

stabil.

Kelemahan dan komplikasi DPL / DPT

a. infeksi lokal atau sistemik ( pada kurang dari 0,3% kasus)

b. cedera intaperitoneal

c. positif palsu karena insersi jarum melalui dinding abdomen dengan

hematoma atau pada gangguan hemostasis

Interpertasi DPL

Pada trauma tumpul abdomen, aspirasi darah sebanyak 10 ml atau

lebih pada DPT menunjukkan kecurigaan lebih dari 90% terhadap adanya

cedera intaperitoneal. Jika hasil lavage pasien yang dikirim ke lab

menunjukkan RBC lebih dari 100.000/mm3 maka dapat dikatakan positif

untuk cedera intraabdominal. Jika hasil aspirasi positif dan adanya

peningkatan RBC pada lavge menunjukkan adanya cedera, terutama viscera

padat dan struktur vaskular, namun hal ini tidak cukup untuk mengindikasikan

laparotomi.

Pada pasien dengan fraktur pelvis, harus diwaspadai adanya positif

palsu pada DPL. Walaupun demikian pada lebih dari 85% kasus, pasien

fraktur pelvis dengan aspirasi positif pada DPT mengindikasikan adanya

18
cedera intraperitoneal. Aspirasi negatif pada pasien fraktur pelvis dengan

hemodinamik yang tidak stabil menunjukkan adanya perdarahan

retroperitoneal, jika demikian perlu dilakukan angiography dengan

embolisasi.

Peningkatan WBC baru terjadi setelah 3–6 jam setelah cedera,

sehingga tidak terlalu penting pada interpretasi DPL. Peningkatan amilase

juga tidak spesifik dan tidak sensitif untuk cedra pankreas.

Kriteria untuk trauma abdomen yang positif DPL berikut tumpul

Index Positive Equivocal

Aspirate

Blood >10 mL -

Fluid Enteric contents -

Lavage

Red blood cells >1.000.000 / mm3 >20.000 / mm3

White blood cells >1.000.000 / mm3 >500 / mm3

Enzyme Amylase >20 IU/L and Amilase >20


alkaline phosphatase >3 IU/L or alkaline
IU/L phosphatase >3
IU/L

Bile Confirmed -
biomechanically

19
20
5. Pemeriksaan Dengan Kontras Yang Khusus

a. Uretrografi

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus

dilakukan uretrografi sebelum pemasangan kateter urin bila kita curigai

adanya ruptur uretra. Pemeriksaan uretrografi dilakukan dengan

memakai kateter No. 8-F dengan balon dipompa 15-20 cc di fossa

naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang tidak diencerkan.

Dilakukan pengambilan foto dengan proyeksi oblik dengan sedikit

tarikan pada penis.

b. Sistografi

Ruptur buli-buli intra ataupun ekstraperitoneal terbaik

ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi.

Dipasang kateter uretra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut

dalam air pada kolf setinggi 40 cm di atas pasien dan dibiarkan kontras

mengalir ke dalam buli-buli atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien

secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto

rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan

periksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama bermanfaat untuk

mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang

pelvisnya (Fremann,2003).

Pada trauma pelvis atau abdomen bagian bawah dengan

hematuria, dilakukan sistografi dan ureterogram bila ada kecurigaan

21
cedera uretra, terutama bila ada riwayat cedera pelana seperti jatuh di

atas setang sepeda (Stone, CK, 2003.)

c. Gastrointestinal

Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya

retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak

akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL.

Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras

ataupun pemeriksaan Ro-foto untuk traktus gastrointestinal bagian atas

ataupun bagian bawah dengan kontras harus dilakukan.

Perbandingan prosedur diagnostik DPL, FAST, serta CT scan

DPL FAST CT Scan


Indikasi Menunjukkan darah Menunjukkan cairan Menunjukkan
bila hipotensif bila hipotensi kerusakan organ bila
tensi normal
Keuntungan Deteksi dini, semua Deteksi dini, semua Lebih spesifik untuk
pasien, cepat 98% pasien, non-invasif, cedera, sensitivitas
sensitif, deteksi cepat, 86-97% 92-98%
cedera usus, tidak akurat, tidak
butuh transpor membutuhkan
transport
Kerugian Invasif, spesifisitas Bergantung operator, Memakan waktu,
rendah, tidak bisa distorsi oleh udara dibutuhkan transpor,
untuk trauma usus, tidak bisa untuk tidak untuk trauma
diafragma dan trauma diafragma, diafragma, usus, dan
retroperitoneal usus dan pankreas pankreas

I. Penatalaksanaan Medis Trauma Abdomen

Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah

diperlukan perawatan operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi dan

penatalaksanaan awal berdasarkan protokol ATLS, harus dipertimbangkan

22
indikasi untuk laparotomi melalui pemeriksaan fisik, ultrasound (USG),

computed tomography (CT), dan DPT/DPL

Algoritma Prosedur Pemeriksaan pada Trauma Tumpul Abdomen

1. Penatalaksanaan di Ruang Emergensi

Penatalaksanaan segera yang dianjurkan untuk pasien dengan

trauma abdomen menurut American College of Surgeons (2004), adalah :

23
a. Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas, pernapasan dan

sirkulasi).

b. Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat menyebabkan

fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan

hemoragi massif

c. Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan

d. Gunting pakaian penderita dari luka.

e. Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar.

f. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan

dilakukan.

g. Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal dan lakukan

bendungan pada luka dada.

h. Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan secara cepat

dan memperbaiki dinamika sirkulasi.

i. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi transfusi; ini

sering merupakan tanda adanya perdarahan internal.

j. Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik. Prosedur ini

membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap

rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.

k. Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan

pantau jumlah urine perjam.

l. Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan

dibasahi dengan salin untuk mencegah kekeringan visera

24
m. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut.

n. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik

dan muntah.

o. Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat

ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.

p. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat

penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.

q. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.

r. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma dapat

menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri

eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan

terapeutik (infeksi nosokomial).

s. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,

kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau

hematuria.

2. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil

Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,

penatalaksanaan bergantung pada ada tidaknya perdarahan intraperitoneal.

Pemeriksaan difokuskan pada USG abdomen atau DPL untuk membuat

keputusan.

Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa

penelitian prespektif mendukung penggunaan USG sebagai alat untuk

skrening trauma, beberapa ahli masih mempertanyakan USG pada

25
penatalaksanaan trauma. Mereka menekankan pada tingkat sensitifitas dan

adanya kemungkinan hasil negatif pada penggunaan USG untuk mendeteksi

cedera intraperitoneal. Walaupun demikian kebanyakan trauma center

memakai Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) untuk

mengevaluasi pasien yang tidak stabil. FAST dilakukan secepatnya setelah

primary survey, atau ketika kliknisi bekerja secara paralel, biasanya

dilakukana bersamaan dengan primary survey, sebagai bagian dari C

(Circulation) pada ABC.

Jika tersedia USG, sangat disarankan penggunaan FAST pada

semua pasien dengan trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST jelek,

misalnya kualitas gambar yang tidak bagus, maka selanjutnya perlu dilakukan

DPL. Jika USG dan DPL menunjukkan adanya hemoperitoneum, maka

diperlukan laparotomi emergensi. Hemoperitoneum pada pasien yang tidak

stabil secara klinis, tanpa cedera lain yang terlihat, juga mengindikasikan

untuk dilakukan laparotomi. Jika melalui USG dan DPL tidak didapati adanya

hemoperitoneum, harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap lokasi

perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien tidak stabil dengan fraktur pelvis

mayor, harus diingat bahwa USG tidak bisa membedakan hemoperitoneum

dan uroperitoneum.

X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial evalutiaon

karena dapat menunjukkan adanya perdarah pada cavum thorax. Radiography

antero-posterior pelvis bisa menunjukkan adanya fraktur pelvis yang

26
membutuhkan stabilisasi segera dan kemungkinan dilakukan angiography

untuk mengkontrol perdarahan.

3. Pasien dengan hemodinamik yang stabil

Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan

kondisi sadar dan bebas dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja biasanya

akurat tapi tetap tidak sempurna. Satu penelitian prospective observational

terhadap pasien dengan hemodinamik stabil, tanpa trauma external dan

dengan pemeriksaan abdomen yang normal, ternyata setelah dibuktikan

melalui CT-scan ditemukan sebanyak 7,1% kasus abnormalitas.

USG dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma

tumpul abdomen yang stabil. Jika pada USG awal tidak terdetekdi adanya

perdarahan intraperitoneal, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik, USG, dan

CT secara serial. Pemeriksaan fisik serial dilakukan jika hasil pemeriksaan

dapat dipercaya, misal pada pasien dengan sensoris normal, dan cedera yang

mengganggu. Penelitian prospective observational terhadap 547 pasien

menunjukkan USG kedua (FAST) yang dilakukan selama 24 jam dari trauma,

meningkatkan sensitifitas terhadap cedra intraabdominal.

Jika USG awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal, maka

kemudian dilakukan CT scan untuk memperoleh gambaran cedera

intraabdominal dan menaksir jumlah hemoperitoneum. Keputusan apakah

diperlukan laparotomy segera atau hanya terapi non operatif tergantung pada

cedera yang terdetaksi dan status klinis pasien. CT abdominal harus dilakukan

pada semua pasien dengan hemodinamik stabil, tapi tidak untuk pasien

27
dengan perubahan sensoris dan status mental karena cedera kepala tertutup,

intoksikasi obat dan alkohol, atau cedera lain yang mengganggu.

4. Indikasi Klinis Laparotomi

Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika

terdapat indikasi klinis sebagai berikut :

a. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya, dan

pada pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika ada

kecurigaan kuat adanya cedera intrabdominal

b. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum

c. bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten

d. dengan ruptur viscera

e. bukti adanya ruptur diafragma

f. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI

bleeding yang persisten dan bermakna.

J. Asuhan Keperawatan Teortis Pasien Dengan Trauma Abdomen

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

1) Nama :
2) Jenis Kelamin :
3) Umur :
4) Alamat :
5) Agama :
6) Status Perkawinan :
7) Pendidikan :

28
8) Pekerjaan :
9) No. Register :
10) Diagnosa Medis :
b. Identitas Penanggung Jawab

1) Nama :
2) Pekerjaan :
3) Umur :
4) Hubungan dengan klien :

c. Primary Survey

1) Airway

Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita

trauma abdomen. Membuka jalan napas menggunakan teknik head

tilt, chin lift atau jaw thrust, periksa adakah benda asing yang dapat

mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Bila penderita tidak sadar dan

tidak ada refleks bertahak (gag reflex) dapat dipakai oropharyngeal

tube. Bila ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih

baik memasang airway definitif. Jika ada disertai dengan cedera

kepala, leher atau dada maka tulang leher (cervical spine) harus

dilindungi dengan imobilisasi in-line (American College of Surgeons,

2004).

2) Breating

29
Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang

airway terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau

ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakeal. Setiap

penderita trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya

diberikan dengan face mask. Pemakaian pulse oximeter baik untuk

menilai saturasi O2 yang adekuat (American College of Surgeons,

2004).

3) Circulation

Resusitasi pasien dengan trauma abdomen penetrasi

dimulai segera setelah tiba. Cairan harus diberikan dengan cepat.

NaCl atau Ringer Laktat dapat digunakan untuk resusitasi kristaloid.

Rute akses intravena adalah penting, pasang kateter intravena perifer

berukuran besar (minimal 2) di ekstremitas atas untuk resusitasi

cairan. Pasien yang datang dengan hipotensi sudah berada di kelas III

syok (30-40% volume darah yang hilang) dan harus menerima produk

darah sesegera mungkin, hal yang sama berlaku pada pasien dengan

perdarahan yang signifikan jelas. Upaya yang harus dilakukan untuk

mencegah hipotermia, termasuk menggunakan selimut hangat dan

cairan prewarmed (American College of Surgeons, 2004).

4) Disability

Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara

cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi

pupil (American College of Surgeons, 2004).

30
5) Exsposure

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan

cara menggunting untuk memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan

lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib pada pasien

dengan trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk bagian bokong,

bagian posterior dari kaki, kulit kepala, bagian belakang leher, dan

perineum. Setelah pakaian dibuka penting penderita diselimuti agar

penderita tidak kedinginan (American College of Surgeons, 2004).

6) Foley Cateter

Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin,

dekompresi buli-buli sebelum melakukan DPL, dan untuk monitor

urinary output sebagai salah satu indeks perfusi jaringan. Hematuria

menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis. Perhatian: ketidak

mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada

metus urethra, hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum

maupun prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi

petunjuk agar dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa

diyakinkan tidak adanya rupture urethra sebelum pemasangan kateter.

Bilamana pada primary survey maupun secondary survey kita ketahui

adanya robek uretra, mungkin harus dilakukan pemasangan kateter

suprapubik oleh dokter yang berpengalaman (American College of

Surgeons, 2004).

7) Gastric Tube

31
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak masa

resusitasi adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut, dekompresi

gaster sebelum melakukan DPL, dan mengeluarkan isi lambung yang

berarti mencegah aspirasi. Adanya darah pada NGT menunjukkan

kemungkinan adanya cedera esofagus ataupun saluran gastrointestinal

bagian atas bila nasofaring ataupun orofaringnya aman. Perhatian:

gastric tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada

kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar bisa

mencegah tube masuk melalui lamina cribiformis menuju otak

(American College of Surgeons, 2004).

d. Secondary Survey

1) Symptom

Biasanya pada pasien dengan trauma abdomen datang kerumah sakit

karena adanya keluhan mual, muntah, penurunan kesadaran. Biasanya

pasien dengan kecelakaan lalu lintas maupun akibat luka tembak.

2) Alergi

Perlu dikaji riwayat pasien terhadap obat maupun terhadap makanan

dan alergi lain (seperti : cuaca).

3) Medikasi

Yang perlu dikaji adalah pengobatan yang sedang di jalani pasien

(misalnya pasien dengan konsumsi rutin obat diabetes, hipertensi dan

penyakit lainnya).

4) Past Illness

32
Yang perlu dikaji adalah penyakit yang pernah dialami pasien

sebelumnya.

5) Last Meal

Kaji waktu pasien terakhir makan. Apabila pasien dengan penurunan

kesadaran kaji kepada keluarga.

6) Event

Kaji kronologi kecelakaan atau mekasnisme trauma yang

dialami pasien . Riwayat trauma sangat penting untuk menilai

penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan bermotor.

Keterangan ini dapat diberikan oleh penderita, penumpang lain, polisi

atau petugas medis gawat darurat di lapangan. Keternagan menbgenai

tanda-tanda vital, cedera yang kelihatan, dan respon terhadap

perawatan pre-hospital juga harus diberikan oleh para petugas yang

memberikan perawatan pre-hospital. Pada trauma tumpul abdomen

terutama yang merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, petugas

medis harus menanyakan hal-hal sebagai berikut :

a) fatalitas dari kejadian ?

b) tipe kendaraan dan kecepatan ?

c) apakah kendaraan terguling ?

33
d) bagaimana kondisi penumpang lainnya ?

e) lokasi pasien dalam kendaraan ?

f) tingkat keparahan rusaknya kendaraan ?

g) deformitas setir ?

h) apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk

pengaman?

i) apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi ketika

kejadian?

j) apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan

sebelumnya?

e. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh yang

terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera berdasarkan hasil

analisis riwayat trauma (Stone,2003). Pemeriksaan fisik abdomen harus

dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi,

perkusi, dan palpasi. Temuan-temuan positif ataupun negatif

didokumentasi dengan baik pada status (Fremann,2003).

Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan

kesulitan pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat

menghilangkan gejala-gejala perut.

1) Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi

34
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian.

Adanya jejas pada dinding perut dapat menolong ke arah

kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian depan

dan belakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti apakah

mengalami ekskoriasi ataupun memar karena alat pengaman,

adakah laserasi, liang tusukan, benda asing yang menancap,

omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status

kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.

b) Auskultasi

Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan

bising usus, yang penting adalah ada atau tidaknya bising usus

tersebut. Darah bebas di retroperitoneum ataupun gastrointestinal

dapat mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya

bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi perut

yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk memperoleh

tanda-tanda rangsangan peritoneum atau hilangnya bising usus.

Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi harus segera dilakukan.

Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan

untuk tindakan selanjutnya (Wibowo,2007).

Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga,

vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus walaupun

tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising

35
usus tidak diagnostik untuk trauma intraabdominal

(Freman,2003).

c) Perkusi

Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum

dan mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita

ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di

kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada

hemoperitoneum (Freman,2003). Adanya darah dalam rongga

perut dapat ditentukan dengan shifting dullness, sedangkan udara

bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau

menghilang (Wibowo,2007).

d) Palpasi

Adanya kekakuan dinding perut yang volunter

(disengaja oleh pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini

menjadi kurang bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang

involunter merupakan tanda yang bermakna untuk rangsang

peritoneal. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya

nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah

tangan yang menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan

peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus, maupun

hemoperitoneum tahap awal.

2) Menilai stabilitas pelvis

36
Penekanan secara manual pada sias ataupun crista iliaca

akan menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang menyebabkan

dugaan pada fraktur pelvis pada pasien dengan trauma tumpul. Harus

hati-hati karena manuver ini bisa menyebabkan atau menambah

perdarahan yang terjadi.

3) Pemeriksaan penis, perineum dan rectum

Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan

kuat robeknya uretra. Inspeksi pada skrotum dan perineum dilakukan

untuk melihat ada tidaknya ekimosis ataupun hematom dengan

dugaan yang sama dengan diatas. Tujuan pemeriksaan rektum pada

pasien dengan trauma tumpul adalah untuk menentukan tonus

sfingter, posisi prostat (prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan

dugaan cedera uretra), dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis.

Pada pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan

menilai tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena

perforasi usus.

4) Pemeriksaan vagina

Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang dari

fraktur pelvis ataupun luka tusuk.

5) Pemeriksaan glutea

Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai Iipatan

glutea. Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan (50%) dengan

cedera intraabdominal.

37
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan agen cidera bilogis

b. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan

c. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan inadekuatnya

oksigen ke otak

d. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi

abdomen.

e. Gangguan eliminasi urine

f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma tumpul abdomen

g. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik

h. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak

adekuatnya pertahanan tubuh.

i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status

kesehatan

j. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia, mual, muntah.

k. PK : Perdarahan

l. PK : Syok Hipovolemik

38
DAFTAR PUSTAKA
Stone, CK, 2003. Current Diagnosis & Treatment Emergency Medicine. 6th edition.
USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Fermann, GJ, 2003. Emergency Medicine-An Approach to Clinical Problem Solving.


In: Hamilton, et al., Emergency Medicine-An Approach to Clinical Problem
Solving. 2nd edition. USA : W. B. Saunders Company.

Wibowo, D.S., dan Paryana, W., 2007. Dinding Abdomen. Anatomi Tubuh Manusia.
Graha Ilmu. Yogyakarta: 273-279.

Williams, et al., 2008. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. 25th edition. UK:
Edward Arnold Ltd.

Beauchamp, et al., 2008. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery. 18th edition.


USA : Elvesier, Inc.

Brunicardi, FC, 2007. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter Edisi
7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.

Offner, P., 2013. Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management.


Available from : http://emedicine.medscape.com/article/2036859-treatment
[Accessed 26 June 2013]

39
Wilkinson, D.A, 2000. Primary Trauma Care. Available from :
http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_ENG.p
df [Accessed 26 June 2013]

Isenhour J.L., Marx J., 2007. Advances in abdominal trauma. Emerg Med Clin N Am
25 (2007), pg 713–733. Available from: http:// emed.theclinics.com.
[ Accessed on: 26 Jun 2013]

Stanton-Maxey K.J, et al. 2011. Penetrating Abdominal Trauma. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview [Accessed on 27
Jun 2013]

Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media Aesculapius

Sjamsuhidayat. 1998. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC


Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-BedahBrunner and Suddarth  
Ed.8 Vol.3. : Jakarta: EGC.

Suddarth & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC

40

Anda mungkin juga menyukai