Gadis Fujiastuti-Fkik PDF
Gadis Fujiastuti-Fkik PDF
SKRIPSI
Gadis Fujiastuti
NIM: 1112102000062
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Gadis Fujiastuti
NIM: 1112102000062
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
ABSTRAK
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular pada pediatri. ISPA terutama terjadi di negara-negara
dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah termasuk Indonesia. Menurut hasil
Riskesdas 2013 periode prevalensi ISPA pada kelompok umur 1-4 tahun yaitu
sebesar 25,8 % dan kelompok umur 5-14 tahun adalah 15,4 %. Kejadian masalah
terkait obat (DRPs) lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dengan orang
dewasa. Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu kejadian yang tidak
diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga
potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui jumlah kejadian dari DRPs yang meliputi
ketidaktepatan dosis yaitu dosis kurang dan dosis lebih, indikasi tanpa obat, obat
tanpa indikasi, potensial interaksi serta ketidaktepatan pemilihan obat pada terapi
pengobatan infeksi saluran pernafasan akut pada pasien pediatri di instalasi rawat
inap salah satu rumah sakit daerah Bangka tahun 2015. Penelitian ini bersifat
retrospektif dimana data diperoleh melalui data sekunder berupa rekam medis
pasien periode Januari-Desember 2015 dengan desain penelitian cross-sectional.
Teknik pengambilan data berupa total sampling, didapatkan 80 sampel yang sesuai
kriteria inklusi. Hasil penelitian Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi adalah
dosis rendah sebanyak 60 %, dosis tinggi sebanyak 12,5 %, obat tanpa indikasi
sebanyak 5 %, ketidaktepatan pemilihan obat sebanyak 2,5 % dan potensi interaksi
obat sebanyak 56,3 %, serta tidak terdapat DRPs kategori indikasi tanpa obat. Hal
ini menunjukkan bahwa pentingnya peranan apoteker dalam melakukan
pemantauan terapi obat pasien untuk meminimalisir terjadinya DRPs.
Kata Kunci : Drug Related Problems (DRPs), ISPA, Pediatri, Rawat Inap Salah
Satu Rumah Sakit Daerah Bangka
vi
ABSTRACT
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, karunia serta nikmat Iman dan islam yang tak terhingga. Shalawat serta
salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas
limpahan cinta dan kasihNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) Pada Pasien Pediatri Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu
Rumah Sakit Daerah Bangka”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan
terwujud dan berjalan lancar tanpa bantuan, dukungan, bimbingan dan doa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Yardi, Ph.D, Apt. dan Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc., Apt. selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, dalam
penelitian ini juga untuk kesabaran dalam membimbing, memberikan saran,
dukungan serta kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga
terselesaikannya skripsi ini.
2. Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Supandi, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing akademik Farmasi kelas
C tahun ajaran 2012. Serta seluruh pihak dosen pengajar Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta atas ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan.
5. Ibu dr. Hj. Dede Lina Lindayanti, MKM, dr. Bayu, Ibu Rokimah, M.Farm, Apt.
dan Ibu Titin serta seluruh civitas di salah satu rumah sakit daerah Bangka yang
telah memberikan kesempatan dan membantu kelancaran dalam melakukan
viii
penelitian dan pengambilan data serta memberikan dukungan yang sangat
besar.
6. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Trian Gusrianto dan ibunda Winarmi yang
tidak pernah lelah untuk memberikan doa, dukungan moril maupun materil,
cinta, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis dari kecil hingga
saat ini.
7. Kedua adik tersayang Rani Dwi Ramadaningsih dan M. Glenn Al-Khalif, serta
seluruh keluarga besar atas semangat, dukungan dan doa kepada penulis.
8. Endang Suryani, Moethia, Risha Natasya, Nisa Utami Dewi, Zakiyah Zahra N.
A., Khoirunnisak, Lailatul Khotimah atas kebersamaan, persaudaraan,
persahabatan, doa, semangat, dukungan, serta selalu menemani dan
mendengarkan penulis.
9. Teman seperjuangan penelitian Annissa Fadilla Martha yang selalu menemani
dan memberikan masukan, bantuan, kesabaran, serta semangat selama masa
penelitian hingga penyusunan skripsi.
10. Kak Randika yang selalu membantu dan memberikan masukan serta saran
kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi.
11. Teman-teman Farmasi 2012 khususnya Farmasi 2012 kelas AC atas
kebersamaan, serta berbagi suka dan duka selama perkuliahan.
12. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan
penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Kesempurnaan hanya milik Allah, begitu pula dengan skripsi ini. Dengan segala
kerendahan hati penulis berharap kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan
penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.
Gadis Fujiastuti
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 10 Oktober 2016
Yang menyatakan,
(Gadis Fujiastuti)
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xix
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................xx
BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1. Latar Belakang...........................................................................1
1.2. Rumusan Masalah .....................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................4
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................4
1.3.2. Tujuan Khusus ...............................................................4
1.4. Manfaat hasil Penelitian ...........................................................5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................6
2.1. Literatur Review ........................................................................6
2.2. Drug Related Problem (DRPs) ................................................10
2.2.1 Klasifikasi Drug Related Problems .............................10
2.2.1.1 Ketidaktepatan Pemilihan Obat (Salah Obat) ..11
2.2.1.2 Dosis Rendah ...................................................11
2.2.1.3 Dosis Tinggi .....................................................11
2.2.1.4 Indikasi Tanpa Obat .........................................12
2.2.1.5 Obat Tanpa Indikasi .........................................12
2.2.1.6 Reaksi Obat yang Merugikan ..........................12
xi
2.2.1.7 Ketidakpatuhan Pasien .....................................15
2.3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ................................16
2.3.1. Definisi ISPA ...............................................................16
2.3.2. Klasifikasi ISPA ..........................................................17
2.3.3. Tonsilitis ......................................................................20
2.3.3.1 Faktor Resiko ...................................................21
2.3.3.2 Patofisiologi .....................................................22
2.3.3.3 Gejala Tonsilitis ...............................................23
2.3.3.4 Pemeriksaan .....................................................23
2.3.3.5 Penatalaksanaan ...............................................25
2.3.4. Faringitis ......................................................................26
2.3.4.1 Faktor Resiko ...................................................27
2.3.4.2 Patofisiologi .....................................................27
2.3.4.3 Gejala Faringitis ...............................................28
2.3.4.4 Pemeriksaan .....................................................29
2.3.4.5 Penatalaksanaan ...............................................30
2.3.5. Bronkitis ......................................................................31
2.3.5.1 Faktor Resiko ...................................................32
2.3.5.2 Patofisiologi .....................................................32
2.3.5.3 Gejala Bronkitis ...............................................33
2.3.5.4 Pemeriksaan .....................................................33
2.3.5.5 Penatalaksanaan ...............................................34
2.3.6. Bronkhiolitis ................................................................36
2.3.6.1 Faktor Resiko ...................................................37
2.3.6.2 Patofisiologi .....................................................37
2.3.6.3 Gejala Bronkhiolitis .........................................39
2.3.6.4 Pemeriksaan .....................................................39
2.3.6.5 Penatalaksanaan ...............................................40
2.3.7. Pneumonia ...................................................................42
2.3.7.1 Faktor Resiko ...................................................44
2.3.7.2 Patofisiologi .....................................................44
2.3.7.3 Gejala Pneumonia ............................................45
xii
2.3.7.4 Pemeriksaan .....................................................46
2.3.7.5 Penatalaksanaan ...............................................47
2.3.8. Tuberkulosis ................................................................51
2.3.8.1 Faktor Resiko ...................................................51
2.3.8.2 Patofisiologi .....................................................52
2.3.8.3 Gejala Tuberkulosis .........................................54
2.3.8.4 Pemeriksaan .....................................................55
2.3.8.5 Penatalaksanaan ...............................................57
2.4. Rumah Sakit ............................................................................61
2.5. Pelayanan Farmasi Klinis Di Rumah Sakit .............................62
2.6. Rekam Medis ...........................................................................63
2.7. Terapi Obat Berkaitan Dengan Karakteristik Pasien Pediatri .64
BAB III. METODE PENELITIAN .............................................................70
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................70
3.1.1. Tempat Penelitian .........................................................70
3.1.2. Waktu Penelitian ..........................................................70
3.2. Desain Penelitian .....................................................................70
3.3. Kerangka Konsep ....................................................................71
3.4. Variabel Penelitian ..................................................................72
3.4.1. Variabel Independen.....................................................72
3.4.2. Variabel Dependen .......................................................72
3.5. Definisi Operasional ................................................................73
3.6. Populasi dan Sampel Penelitian...............................................76
3.6.1. Populasi ........................................................................76
3.6.2. Sampel ..........................................................................76
3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian ..................................77
3.7.1. Kriteria Inklusi .............................................................77
3.7.2. Kriteria Eksklusi ...........................................................77
3.8. Cara Pengumpulan Data ..........................................................77
3.9. Instrumen Penelitian ................................................................77
3.10 Prosedur Penelitian ..................................................................78
3.10.1. Bagan Alur Penelitian ...............................................78
xiii
3.10.2. Persiapan (Permohonan Izin Penelitian) ...................78
3.10.3. Pelaksanaan Pengumpulan Data ...............................78
3.10.3.1. Penelusuran Dokumen ...............................78
3.10.4. Manajemen Data .......................................................79
3.10.5. Pengolahan Data .......................................................79
3.10.6. Rencana Analisis Data ..............................................80
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................81
4.1. Hasil ........................................................................................81
4.1.1. Karakteristik Pasien..................................................81
4.1.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit
..................................................................................81
4.1.1.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia ....................82
4.1.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin .....82
4.1.1.4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta
..................................................................................83
4.1.2. Profil Penggunaan Obat ...........................................84
4.1.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi................................84
4.1.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral ...................................84
4.1.2.3. Profil Penggunaan Obat Inhalasi ..............................85
4.1.2.4. Profil Penggunaan Obat Luar ...................................85
4.1.3. Jumlah Penggunaan Obat .........................................86
4.1.4. Drug Related Problems (DRPs) ...............................86
4.1.4.1. DRPs Kategori Dosis Rendah ..................................87
4.1.4.2. DRPs Kategori Dosis Tinggi ....................................88
4.1.4.3. DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat ........................89
4.1.4.4. DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi ........................89
4.1.4.5. DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat .....................89
4.1.4.6. DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat ......91
4.2. Pembahasan .............................................................................91
4.2.1. Karakteristik Pasien..................................................91
4.2.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit
..................................................................................91
xiv
4.2.1.2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia ....................92
4.2.1.3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin .....93
4.2.1.4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta
..................................................................................95
4.2.2. Profil Penggunaan Obat ...........................................98
4.2.2.1. Profil Penggunaan Obat Injeksi................................98
4.2.2.2. Profil Penggunaan Obat Oral .................................101
4.2.2.3. Profil Penggunaan Obat Inhalasi ............................105
4.2.2.4. Profil Penggunaan Obat Luar .................................106
4.2.3. Jumlah Penggunaan Obat .......................................107
4.2.4. Drug Related Problems (DRPs) .............................108
4.2.4.1. DRPs Kategori Dosis Rendah ................................109
4.2.4.2. DRPs Kategori Dosis Tinggi ..................................111
4.2.4.3. DRPs Kategori Indikasi Tanpa Obat ......................113
4.2.4.4. DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi ......................113
4.2.4.5. DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat ...................114
4.2.4.6. DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat ....115
4.3. Keterbatasan Penelitian .........................................................116
4.3.1. Kendala....................................................................116
4.3.2. Kelemahan ...............................................................116
4.4. Kekuatan Penelitian ...............................................................116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................117
5.1. Kesimpulan ............................................................................117
5.2. Saran ......................................................................................117
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................119
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Terapi Awal Pada Bronkitis ......................................................... 36
Tabel 2.2 Agen Penyebab Infeksi Virus D Saluran Napas Pada Anak ........ 36
Tabel 2.3 Dugaan Bakteri Penyebab Pneumonia ........................................ 43
Tabel 2.4 Antibiotika Pada Terapi Pneumonia ............................................ 48
Tabel 2.5 Sistem Skoring Tb Anak .............................................................. 56
Tabel 2.6 Dosis Obat Tb Rekomendasi Dosis Dalam Mg/Kgbb ................. 58
Tabel 2.7 OAT KDT Pada Anak.................................................................. 61
Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional dari Variabel dalam Penelitian ........ 73
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit 82
Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia ....................... 82
Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin........ 83
Tabel 4.4 Distribusi Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta . 83
Tabel 4.5 Distribusi Profil Penggunaan Obat Injeksi Pada Pasien Pediatri
Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka
..................................................................................................... 84
Tabel 4.6 Distribusi Profil Penggunaan Obat Oral Pada Pasien Pediatri Di
Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka ... 85
Tabel 4.7 Distribusi Profil Penggunaan Obat Inhalasi Pada Pasien Pediatri
Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka
..................................................................................................... 85
Tabel 4.8 Distribusi Profil Penggunaan Obat Luar Pada Pasien Pediatri Di
Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka ... 86
Tabel 4.9 Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Pada Pasien Pediatri Di
Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka ... 86
Tabel 4.10 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Dosis
Rendah Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi Rawat
Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ............................ 88
Tabel 4.11 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian Ketidaktepatan Durasi
Pemberian Antibiotik Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di
Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. .. 88
xvi
Tabel 4.12 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Dosis
Tinggi Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi Rawat
Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ............................ 89
Tabel 4.13 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Obat
Tanpa Indikasi Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi
Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka.................. 89
Tabel 4.14 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Potensi
Interaksi Obat Pada Pasien Pediatri Penderita ISPA Di Instalasi
Rawat Salah Satu Rumah Sakit Daerah Bangka. ......................... 90
Tabel 4.15 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori Potensi
Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan. ......................... 90
Tabel 4.16 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian Jenis Obat Terbanyak
Yang Mengalami DRPs Kategori Potensi Interaksi Obat
Berdasarkan Tingkat Keparahan. ................................................. 91
Tabel 4.17 Distribusi Persentase Jumlah Kejadian DRPs Kategori
Ketidaktepatan Pemilihan Obat Pada Pasien Pediatri Penderita
ISPA Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah
Bangka. ........................................................................................ 91
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Tonsil .......................................................................... 20
Gambar 2.2 Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Sarana Pelayanan
Kesehatan Dasar ........................................................................ 59
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian .......................................... 71
Gambar 4.1 Persentase Jumlah Kejadian DRPs Pasien Pediatri Penderita
ISPA Di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Daerah
Bangka ....................................................................................... 87
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Pengambilan Data dan Penetian Dari
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta .................................................................. 127
Lampiran 2. Surat Persetujuan Izin Pengambilan Data dan Penetian Dari
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta .................................................................. 128
Lampiran 3. Rekapitulasi 5 Data Pasien dari 80 Sampel Penelitian .............. 129
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori Dosis
Rendah dan Dosis Tinggi yang Paling Banyak ......................... 135
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori Obat Tanpa
Indikasi....................................................................................... 147
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori Potensi
Interaksi yang Paling Banyak .................................................... 150
Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Analisis Data DRPs Kategori
Ketidaktepatan Pemilihan Obat ................................................. 155
Lampiran 8. Data Koding Pasien Berdasarkan Kategori DRPs ..................... 157
Lampiran 9. Hasil Analisis SPSS (Statistical Package for the Social
Sciences) 22.0 ............................................................................ 160
xix
DAFTAR ISTILAH
xx
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tidak tepat, yaitu dosis berlebih sebanyak 27,51 % dan dosis kurang
41,12 %. Pemberian obat dalam sediaan yang tidak tepat ditemukan
pada 24,07 % resep. Selain itu pada penelitian ini juga ditemukan
bahwa seperlima penderita ISPA mendapat obat dengan frekuensi
pemberian yang keliru.
d. Penelitian keempat dilakukan oleh Rashed, et al (2013: 873-879)
dengan judul penelitian Epidemiology And Potential Risk Factors Of
Drug-Related Problems In Hong Kong Paediatric Wards, dimana
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui epidemiologi dan
mengidentifikasi faktor risiko DRPs pada anak-anak dirawat di rumah
sakit di Hong Kong. Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif
pada anak usia 0-18 tahun yang dirawat di bangsal medis, unit
perawatan intensif anak atau unit perawatan intensif neonatal dari
tujuh rumah sakit di Hong Kong, selama periode 3 bulan. Grafik
pasien, catatan medis dan data laboratorium dicek setiap hari untuk
mengidentifikasi DRPs. Berdasarkan penelitian diperoleh 329 anak-
anak (usia rata-rata 2 tahun, kisaran interkuartil 0 bulan-9 tahun) yang
memenuhi kriteria inklusi, terdapat 82 DRPs yang terjadi pada 69
pasien. DRPs yang paling banyak terjadi adalah kategori
ketidaktepatan dosis (n= 35; 42,7 %), diikuti masalah ketidaktepatan
pemilihan obat (n= 19; 23,2 %) dan reaksi obat merugikan (n= 11;
13,4 %).
e. Penelitian kelima dilakukan oleh Nori, et al (2014: 534-538) dengan
judul penelitian Drug Related Problems in Sulaimani Pediatric
Teaching Hospital, Iraq. Penelitian ini bersifat prospektif yang
meneliti tentang masalah terkait obat (DRPs) di Rumah Sakit Anak
Pendidikan Sulaimani, daerah Kurdistan, Irak. Resep obat dari dokter
terbaru yang dievaluasi dari tanggal 6 Februari-10 Juni 2013. Dengan
menggunakan kuesioner khusus yang terstandar untuk
mengidentifikasi jenis kesalahan pengobatan yang muncul di lembar
tindak lanjut dari pasien anak dan dipilih secara acak, serta dirawat di
rumah sakit karena penyebab yang berbeda. Pertanyaan dijawab oleh
orang tua pasien, diperoleh lebih dari 500 resep obat ditinjau dan
terdapat 499 kesalahan pengobatan (85 %). Jenis yang paling umum
dari kesalahan pengobatan adalah dosis yang salah 33 %, resep yang
tidak lengkap 29 %, 6% untuk interaksi obat, 4 % untuk efek samping,
2 % untuk interval dosis yang salah, durasi yang salah terapi dan
keterlambatan dalam pelayanan, dan 1 % karena kelalaian obat. Jenis
yang paling umum dari resep tidak lengkap adalah dosis (53 %) dan
bentuk sediaan (18 %).
f. Berdasarkan database dari USP MEDMARX pada tahun 2006-2007
menunjukkan bahwa 2,5 % dari medication error pada pasien pediatri
berpotensi membahayakan nyawa pasien. Jenis medication errors
yang terjadi yang berpotensi membahayakan pasien pediatri adalah
penggunaan dosis yang tidak tepat sebanyak 37,5 %, salah obat
sebanyak 13,7 %, omission error sebanyak 19,9 %, dan peresepan
obat yang salah sebanyak 9,4 % yang diikuti dengan kesalahan teknik
pemberian obat, salah waktu pemberian obat, penyiapan obat yang
tidak tepat, salah bentuk sediaan obat dan salah rute pemberian obat.
g. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh GS. Takata et al (2008:
e927-e935) tentang pengembangan, pengujian dan penemuan alat
pemicu untuk identifikasi bahaya terkait pengobatan pada pasien anak
di rumah sakit USA (United State of America). Jenis bahaya terkait
pengobatan yang diteliti adalah kejadian efek samping obat.
Penelitian ini dilakukan pada 80 pasien dari masing-masing bagian
dipilih secara acak untuk dilakukan review chart secara retrospektif.
Diperoleh hasil bahwa pada populasi pasien pediatri rawat inap
mengalami efek samping obat sebanyak 11,1 %. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa 22 % dari kejadian efek samping obat yang dapat
dicegah, 17,8 % bisa diidentifikasi sebelumnya, dan 16,8 % bisa saja
dikurangi secara lebih efektif.
Penelitian-penelitian tersebut menjadi salah satu landasan peneliti
untuk melakukan penelitian tentang DRPs pada terapi untuk pasien
pediatri penderita ISPA.
cepat, frekuensi pemberian, durasi terapi, cara pemberian obat pada pasien
yang tidak tepat, dan konsentrasi obat diatas kisaran terapi (Cipolle, et al,
1998).
hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor
atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang
sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF 58, 2009).
Keparahan interaksi obat diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga level: minor, moderate, atau major.
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi
mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial
berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah
penurunan absorbsi Siprofloksasin oleh Antasida ketika dosis
diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari
bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe
intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate
mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan
perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit atau perpanjangan
lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi
Vankomisin dan Gentamisin perlu dilakukan monitoring
nefrotoksisitas (Bailie, 2004).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien
termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya
kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah perkembangan
aritmia yang terjadi karena pemberian Eritromisin dan Terfenadin
(Piscitelii, 2005).
Berdasarkan signifikansinya, interaksi obat dapat dibagi menjadi lima,
yaitu:
1. Level 1 - Tidak bermakna secara klinis (Not clinically significant)
Interaksi dapat terjadi namun hasilnya tidak signifikan secara klinis.
c. Kesadaran menurun
d. Wheezing
e. Demam/dingin.
b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
1. Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat
diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau
meronta).
2. Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a. Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
b. Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
3. Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak
ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur
2 bulan-5 tahun yaitu:
a. Tidak bisa minum
b. Kejang
c. Kesadaran menurun
d. Stridor
e. Gizi buruk
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. ISPA Ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala
batuk, pilek dan sesak.
b. ISPA Sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari
39⁰ C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA Berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba,
nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan
gelisah.
2.3.3. Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar
limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s
tonsil) (Soepardi, Effiaty Arsyad, et al. 2007).
Penyebab utama tonsilitis adalah kuman golongan streptokokus
(Streptococcus α, Streptococcus ß hemolycitus, Streptococcus viridians
dan Streptococcus pyogeneses), penyebab yang lain yaitu infeksi virus
(influenza, serta herpes) (Nic dan Noc,2008).
Macam-macam tonsillitis ( Soepardi, Effiaty Arsyad,et al ,2007 )
yaitu:
a. Tonsilitis Akut
Tonsilitis viral
Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold
yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering
adalah virus Epstein Barr.
Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman Grup A
Streptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai Strept
throat, Pneumococcus, Streptococcus viridian dan Streptococcus
piogenes. Detritus merupakan kumpulan leukosit bakteri yang
mulai mati.
b. Tonsilitis Membranosa
Tonsilitis Difteri
Penyebab yaitu oleh kuman Coryne bacterium diphteriae, kuman
yang termasuk gram positif dan hidung disalurkan napas bagian
atas yaitu hidung, faring dan laring.
Tonsilitis Septik
Penyebab Streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu
sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena itu, di
Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum di minum maka penyakit ini jarang di temukan.
Angina Plaut Vincent
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri Spirochaeta atau
Triponema yang didapatkan pada penderita dengan higiene mulut
yang kurang dan defisiensi vitamin C.
c. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
2.3.3.2. Patofisiologi
Bakteri atau virus masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang
masuk dan membentuk antibodi terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut
dengan detritus disebut tonsilitis falikularis. Pada tonsilitis akut dimulai
dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien
hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan
demam tinggi (39⁰C-40⁰C). Sekresi yang berlebih membuat pasien
mengeluh sakit menelan, tenggorokan akan terasa mengental. (Charlene J.
Reeves, 2001).
Namun apabila penjamu memiliki kadar imunitas yang tinggi
terhadap infeksi virus atau bakteri, maka tidak akan terjadi kerusakan
tubuh ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan
terjadi penyakit (Arwin, 2010).
Sistem imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga
membersihkan debris sel dan mempersiapkan perbaikan jaringan
(Sherwood, 2001).
Tonsilitis kronik dapat terjadi karena proses radang yang berulang
sehingga menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.
Akibatnya pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan
parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus (Iskandar N,1993).
2.3.3.4. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan pada tonsil akan terlihat tonsil hipertrofi, tetapi
kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak jelas. Terdapat
detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan (Herawati
dan Rukmini S, 2003).
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1-T4.
2.3.3.5. Penatalaksanaan
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara
simptomatik. Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat
membantu. Gejala yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Namun
tonsilitis yang disebabkan oleh Streptokokus perlu diobati dengan penisilin
V secara oral, sefalosporin, makrolid, klindamisin, atau injeksi secara
intramuskular penisilin benzatin G. Terapi yang menggunakan penisilin
mungkin gagal (6-23 %), oleh karena itu penggunaan antibiotik tambahan
mungkin akan berguna (Desai et al., 2008).
Terapi antibiotik yang digunakan untuk pasien tonsilitis yang
disebabkan oleh Grup A Streptokokus β-hemolitik berdasarkan guideline
Standard Treatment Guidelines And Essential Medicines List (2013):
Sebagai aturan umum faringotonsilitis disebabkan oleh GAS
(Grup A Streptokokus ) harus diobati dengan antibiotik
Jika pengobatan dimulai dini , durasi penyakit dapat
dipersingkat .
Antibiotik dapat menghambat penyebaran infeksi dan
mengurangi risiko komplikasi .
Fenoksimetilpenisilin : 500 mg setiap 8 jam selama 10 hari
- dosis maksimum untuk anak-anak kurang dari 10 tahun
250 mg per dosis
- dosis maksimum untuk anak-anak yang lebih dari 10
tahun 500 mg per dosis
ATAU
Amoksisilin 250-500 mg setiap 8 jam selama 10 hari
ATAU
Eritromisin ; 250-500 mg setiap 8 jam selama 10 hari ;
2.3.4. Faringitis
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering
meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama
dengan tonsilitis, rhinitis dan laringitis. Faringitis banyak diderita
anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas. Faringitis
dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau
bekerja di lingkungan anak-anak. (Bisno Alan et al., 2001)
Penyakit ini juga sering dilihat sebagai inflamasi virus. Namun
juga bisa disebabkan oleh bakteri, seperti Hemolytic streptococcy,
2.3.4.2. Patofisiologi
Faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon
inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian
mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan
menyebabkan terjadinya pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema
dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat
2.3.4.4. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Fisik (Kemenkes RI, 2014)
Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis, eksudat (virus influenza, Coxsachievirus,
Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada
Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring
dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher
anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di
orofaring dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya
hiperemis.
Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).
Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma
perkejuan pada mukosa faring dan laring.
Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
1. Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul
2.3.4.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan faringitis adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2014)
a. Istirahat cukup
b. Minum air putih yang cukup
c. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur
antiseptik untuk menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal
diberikan Nistatin 100.000-400.000 IU, 2 x/hari. Untuk faringitis
kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan Nitras Argentin 25 %.
d. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Metisoprinol
(Isoprenosin) dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam
4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan
50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.
e. Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan
penyebab faringitis sebelum terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika
dapat dimulai lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi
terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu hasil
pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan antibiotika menyebabkan
resolusi dari tanda dan gejala yang cepat. Namun perlu diingat adanya
2 fakta berikut:
2.3.5. Bronkitis
Bronkitis adalah suatu peradangan bronkiolus, bronkus, dan
trakhea oleh berbagai sebab. Bronkitis biasanya lebih sering disebabkan
oleh virus seperti Rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus
influenza, virus para influenza, dan Coxsackie virus. Bronkitis adalah
suatu peradangan pada bronkus yang disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme baik virus, bakteri, maupun parasit. Ada 2 jenis bronkitis
yaitu bronkitis akut dan kronik (Muttaqin, 2008).
2.3.5.2. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lendir dan
inflamasi. Akibat iritasi yang konstan, kelenjar-kelenjar yang mensekresi
lendir dan sel-sel goblet jumlahnya meningkat, fungsi silia menurun, dan
lebih banyak lendir yang dihasilkan, sehingga bronkhiolus menjadi
menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus
dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan
2.3.5.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bronkitis menurut Permenkes RI No. 5 Tahun 2014 yaitu:
a. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak
hanya pada fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari sesuai dengan pola kehidupannya.
b. Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat dideteksi lebih
awal.
c. Oksigenasi pasien harus memadai.
d. Istirahat yang cukup.
e. Pemberian obat antitusif (penekan batuk): DMP (Dekstrometorfan)
15 mg, diminum 2-3 kali sehari. Kodein (obat Doveri) dapat diberikan
10 mg, diminum 3 x/hari, bekerja dengan menekan batuk pada pusat
batuk di otak. Antitusif tidak dianjurkan pada kehamilan, ibu
menyusui dan anak usia 6 tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis
akut yang disertai sesak napas, pemberian antitusif perlu umpan balik
dari penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif
dihentikan.
Tabel 2.1. Terapi awal pada Bronkitis (Pharmaceutical Care untuk Penyakit
ISPA, 2005)
2.3.6. Bronkhiolitis
Bronkiolitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang
lazim, akibat dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Disebabkan
oleh Virus Sinsisium Respiratorik (VSR), Virus Para Influenzae,
mikroplasma, dan Adenovirus. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak sekitar umur 6 bulan (Behrman, 1999).
Yang didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek
beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan
dangkal dan cepat, batuk dan gelisah (Ngastiyah, 2005).
Tabel 2.2. Agen penyebab infeksi virus di saluran napas pada anak (Welliver RC, 2009)
2.3.6.2. Patofisiologi
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas
yang disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri. Bronkiolitis akut
ditandai obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema, penimbunan
lendir, serta debris-debris seluler. Proses patologis yang terjadi akan
mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Ventilasi yang makin
menurun pada alveolus akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini.
(Mansbach JM. et al, 2009)
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang
(80-350 nm), termasuk Paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein
permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi
sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan protein F
(fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan
sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi
protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan
B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat
dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi
di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran
nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan
melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran
napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan
bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel
epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema
submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan
mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel
2.3.6.4. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisis didapatkan frekuensi nafas yang meningkat
(takipnea), disertai adanya ekspirasi yang memanjang bahkan mengi. Pada
kasus yang berat mengi dapat terdengar tanpa stetoskop. Pada pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan radiologis dijumpai gambaran hiperinflasi,
dengan infiltrat yang biasanya tidak luas. Bahkan ada kecenderungan
ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis. Berbeda
dengan pneumonia bakteri, gambaran klinis yang berat akan menunjukkan
gambaran kelainan radiologis yang berat pula, sementara pada bronkiolitis
gambaran klinis berat tanpa gambaran radiologis berat.
Pada pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya tidak
memberikan gambaran yang bermakna, dapat disertai dengan limfopenia.
2.3.6.5. Penatalaksanaan
Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga pengobatan
biasanya hanya suportif (WHO, 2005).
1. Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi
dan distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah
dengan nasal prolongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal
dengan kadar oksigen 30-40 % (WHO, 2013). Apabila tidak ada
oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan
udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent) untuk
mencairkan sekret di tempat peradangan (WHO, 2005). Terapi
oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. Penggunaan kateter
nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan
kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).
Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP
bahkan mengurangi kebutuhan obat sedasi (Mayfield S et al, 2014).
2. Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis
metabolik dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah
dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan
tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum.
Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa
melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui
lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak,
akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang terisi cairan
(WHO, 2005).
3. Bronkodilator dan Kortikosteroid
Albuterol dan Epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak
harus diberikan. Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic
2.3.7. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah
yang mengenai parenkim paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yaitu
Streptococcus pneumonia dan Haemophillus influenza. Pada bayi dan anak
kecil ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia
yang berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi (Wardhani dan
Setiowulan, 2000).
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,
radiasi, dan lain-lain). Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda
sesuai dengan distribusi umur pasien. Secara umum bakteri yang paling
berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptokokus Grup B,
serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.
3. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret
oropharyngeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat
pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan
gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada
Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari
flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci
anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri
yang lazim dijumpai campuran antara gram negatif batang + S. Aureus
+ anaerob (John Flaherty, 2002).
2.3.7.2. Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman
atau penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya
sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia/bakteremia atau
penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal saluran
respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal dalam
keadaan steril (Arguedas AG et al, 1990; Long SS, 1994). Paru terlindung
dari infeksi dengan beberapa mekanisme:
filtrasi partikel di hidung
pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis
ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
pembersihan ke arah kranial oleh selimut mukosilier
fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
drainase melalui sistem limfatik
Pneumonia terjadi jika satu atau lebih mekanisme di atas mengalami
gangguan.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri
ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian
dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan
tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi
sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi E : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003)
2.3.7.4. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru.
Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernapas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup,
pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai
bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air broncogram,
penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis
etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau
gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia
sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai
30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran
ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan
diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah
dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25 % penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia
dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
2.3.7.5. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa
alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu. (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003)
Tabel 2.4. Antibiotika pada terapi Pneumonia (Pharmaceutical Care untuk Penyakit
ISPA, 2005)
Keterangan :
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis berat,
gagal ginjal
2.3.8. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari
22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar
5,8 %. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu
TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/MDR) (Kemenkes RI, 2014).
Mycobacterium tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan
berbentuk batang. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang
paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat
khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk
identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai basil tahan
asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab.
Kuman dapat dormant atau tertidur sampai beberapa tahun dalam jaringan
tubuh.
4. Pendidikan
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat
mempengaruhi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan.
Terdapat beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa seseorang
yang mempunyai pendidikan rendah akan berpeluang untuk
mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding
dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi
(Croft, 2002).
5. Faktor-faktor Toksis
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting
dapat menurunkan daya tahan tubuh (Nelson, 1995).
2.3.8.2. Patofisiologi
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98 % kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik
(droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfa menuju
kelenjar limfa regional, yaitu kelenjar limfa yang mempunyai saluran
limfa ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfa (limfangitis) dan di kelenjar limfa (limfadenitis)
yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfa yang akan terlibat adalah kelenjar limfa parahilus,
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak jelas Laporan BTA (+)
keluarga, BTA
(-) atau BTA
tidak jelas/tidak
tahu
Uji Tuberkulin (-) (+) (≥10mm,
(Mantoux) atau ≥5mm
pada
keadaan
imunokompr
omais)
Berat BB/TB < 90% Klinis gizi
badan/keadaan gizi atau BB/U < buruk atau
80% BB/TB <70%
atau BB/U <
60%
Demam yang tidak > 2 minggu
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik ≥3 minggu
Pembesaran >1 cm,
kelenjar limfe kolli, Lebih dari 1
aksila, inguinal KGB,
tidak nyeri
Pembengkakan Ada pembeng-
tulang/sendi kakan
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal Gambaran
kelainan sugestif TB
tidak jelas
Total skor
Catatan:
a. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.
b. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak membaik
setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di Puskesmas.
c. Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa: pembesaran kelenjar
hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
d. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat imunisasi BCG
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit untuk
evaluasi lebih lanjut.
Sistem skoring (scoring system) diagnosis TB membantu tenaga
kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya under diagnosis maupun over diagnosis.
Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6 atau
lebih. Namun demikian, jika anak yang kontak dengan pasien BTA positif
dan uji tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala, maka anak
cukup diberikan profilaksis INH terutama anak balita.
Gambar 2.2. Alur tatalaksana pasien TB Anak pada sarana pelayanan kesehatan
dasar (Kemenkes RI, 2014)
Suspek TB Anak
Sistem Skoring
Infeksi laten TB
Didapat dari Didapat dari
parameter uji parameter uji
tuberkulin (+) tuberkulin (+)
dan kontak; dan kontak; Pertimba- Bukan
dengan gejala tanpa gejala ngan dokter TB
klinis lain klinis lain (**)
TB Anak
INH Observasi
Profilaksis
Keterangan:
(*) : Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**) : Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor
< 6 bila ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai
dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji
tuberkulin
Berat badan 2 bulan tiap hari 3KDT Anak 4 bulan tiap hari 2KDT Anak
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
jam, lebih dari 1 bulan setiap 24 jam. Pada anak usia 7-8 bulan
4 mg/kg BB setiap 24 jam.
c. Metabolisme
Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus
disebabkan oleh rendahnya aliran darah ke hati, asupan obat oleh
sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi empedu. Sistem enzim
di hati pada neonatus dan bayi belum sempurna, terutama pada
proses oksidasi dan glukoronidase, sebaliknya pada jalur
konjugasi dengan asam sulfat berlangsung sempurna.
Meskipun metabolisme Asetaminofen melalui jalur
glukoronidase pada anak masih belum sempurna dibandingkan
pada orang dewasa, sebagian kecil dari bagian ini dikompensasi
melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur metabolisme
ini mungkin berhubungan langsung dengan usia (9) dan
mungkin memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu
tahun agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari
peningkatan klirens pada usia setelah satu tahun.
Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi
lebih besar daripada dosis dewasa agar tercapai konsentrasi
plasma terapeutik. Hal ini disebabkan bayi belum mampu
melakukan metabolisme senyawa tersebut menjadi bentuk
metabolit aktifnya.
d. Eliminasi Melalui Ginjal
Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus
menurun dan bersihan (clearance) obat tidak dapat di prediksi,
tergantung cara eliminasi obat tersebut di ginjal.
Pada umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi melalui
ginjal. Kecepatan filtrasi glomerulus pada neonatus adalah
0,6-0,8 mL/menit per 1,73 m2 dan pada bayi adalah
2-4 mL/menit per 1,73 m2. Proses filtrasi glomerulus, sekresi
tubuler dan reabsorpsi tubuler akan menunjukkan efisiensi
ekskresi ginjal. Proses perkembangan proses ini akan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.6.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
populasi tersebut (Sugiyono, 2005). Sampel dalam penelitian ini adalah
populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 80 pasien. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua
pasien yang memenuhi kriteria inklusi diambil sebagai penelitian.
Pengolahan data
Analisis data:
Analisis Univariat
Hasil
4.1. Hasil
Berdasarkan hasil penelitian dari seluruh data rekam medik pasien
pediatri di salah satu rumah sakit daerah Bangka periode
Januari-Desember tahun 2015, diperoleh 117 pasien pediatri dengan
diagnosis penyakit ISPA dari 1326 pasien pediatri yang dirawat inap. Dan
terdapat 80 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi adalah pasien pediatri penderita
ISPA pada instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
periode Januari-Desember 2015 dengan rekam medis lengkap dan terbaca.
Persentase (%)
Kategori Umur Jumlah Pasien
(N = 80)
< 1 bulan 3 3,8
1 bulan - 2 tahun 45 56,3
2 tahun - 12 tahun 29 36,3
12 tahun - < 16 tahun 3 3,8
Jumlah Total 80 100,0
Tabel 4.5. Distribusi profil penggunaan obat injeksi pada pasien pediatri di instalasi
rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
Tabel 4.6. Distribusi profil penggunaan obat oral pada pasien pediatri di instalasi
rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
Tabel 4.7. Distribusi profil penggunaan obat inhalasi pada pasien pediatri di
instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
antikonvulsi hanya digunakan sebanyak 1 kali (4,5 %). Berikut ini adalah
tabel distribusi profil penggunaan obat topikal pada pasien.
Tabel 4.8. Distribusi profil penggunaan obat luar pada pasien pediatri di instalasi
rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
Tabel 4.9. Distribusi jumlah penggunaan obat pada pasien pediatri di instalasi rawat
inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
70
50
40
30
20
12,5
10 5
0 2,5
0
Kategori DRPs
Dosis Terlalu Rendah Dosis Terlalu Tinggi
Indikasi Tanpa Obat Obat Tanpa Indikasi
Ketidaktepatan Pemilihan Obat Interaksi Obat
Gambar 4.1. Persentase jumlah kejadian DRPs pasien pediatri penderita ISPA di
instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka
Tabel 4.10. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori dosis rendah pada
pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit
daerah Bangka
Persentase (%)
DRPs Kategori Dosis Rendah Jumlah Kejadian
N = 80
Ada 48 60
Tidak Ada 32 40
Jumlah Total 80 100
Ketidaktepatan Durasi
Jumlah Kejadian Persentase (%)
Pemberian Antibiotik
Tepat 51 66,23
Tidak Tepat 26 33,76
Jumlah Total 77 100,00
Tabel 4.12. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori dosis tinggi pada
pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah
sakit daerah Bangka
Persentase (%)
DRPs Kategori Dosis Tinggi Jumlah Kejadian
N = 80
Ada 10 12,5
Tidak Ada 70 87,5
Jumlah Total 80 100,0
Tabel 4.13. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori obat tanpa indikasi
pada pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu
rumah sakit daerah Bangka
Tabel 4.14. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori potensi interaksi obat
pada pasien pediatri penderita ISPA di instalasi rawat inap salah satu rumah
sakit daerah Bangka.
Tabel 4.15. Distribusi persentase jumlah kejadian DRPs kategori potensi interaksi
obat berdasarkan tingkat keparahan
Tabel 4.16. Distribusi persentase jumlah kejadian jenis obat terbanyak yang mengalami
DRPs kategori potensi interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan
4.2. Pembahasan
4.2.1. Karakteristik Pasien
4.2.1.1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosa Penyakit
Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri dan ada beberapa
yang disebabkan oleh jamur. Penyakit ini menyerang saluran pernapasan
bagian atas dan bawah. Pada kesempatan ini peneliti melakukan
penelitian dengan mengambil data rekam medik tahun 2015 pasien rawat
inap di salah satu rumah sakit daerah Bangka diperoleh data jumlah
pasien anak yang dirawat sebanyak 1326 pasien dan pasien anak yang
dirawat karena diagnosa ISPA ada 117 kasus namun hanya 80 kasus yang
memenuhi kriteria inklusi. Dari 80 pasien tersebut terdapat diagnosa
ISPA yang berbeda-beda yaitu faringitis, nasofaringitis, rhinofaringitis,
tonsilitis, bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia, dan TBC.
Berdasarkan hasil penelitian pneumonia merupakan penyakit ISPA
yang paling banyak diderita oleh pasien pediatri di instalasi rawat inap
salah satu rumah sakit daerah Bangka sebanyak 57 pasien (71,25 %). Hal
ini sesuai dengan data pada profil kesehatan Kabupaten Bangka Tengah
dimana penyakit pneumonia masih banyak diderita oleh balita di daerah
Kabupaten Bangka Tengah dan termasuk ke dalam 20 penyakit
terbanyak yang diderita oleh masyarakat. Selain itu persentase kejadian
pneumonia pada tahun 2014 meningkat jika dibandingkan dengan tahun
2013, meskipun data pada tahun 2015 belum tersedia hal ini dapat
menggambarkan bahwa masih banyak pasien pediatri yang menderita
pneumonia. Kemudian untuk penyakit kedua terbanyak yang diderita
oleh pasien pediatri di instalasi rawat inap adalah TB dengan jumlah
penderita sebanyak 7 pasien (8,75 %). Penyakit TB disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis, berdasarkan data dari Dinkes
Kabupaten Bangka Tengah prevalensi penyakit TB pada tahun 2014
meningkat dibandingkan dengan tahun 2013. Penyebab prevalensi
penyakit ISPA terutama pneumonia dan TB masih terjadi kemungkinan
dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap
penyakit ini dan pencegahannya sehingga kesadaran masyarakat untuk
memeriksakan penyakit ini agar memperoleh penanganan yang tepat
masih kurang.
f. Diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan
urin. Pada penelitian ini obat golongan diuretik diberikan kepada
pasien yang menderita kelainan jantung. Diuretik yang digunakan
adalah diuretik loop yaitu Furosemid. Mekanisme kerja furosemid
adalah menghambat penyerapan kembali natrium oleh sel tubuli
ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,
kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang normal.
Evaluasi DRPs kategori dosis rendah pada pasien tidak hanya dilihat
dari jumlah besaran obat yang diberikan, namun dilihat juga durasi
pemberian obat khususnya antibiotik. Antibiotik merupakan salah satu
terapi pokok pada pasien ISPA yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Penggunaan antibiotik oleh pasien harus memperhatikan waktu,
frekuensi dan lama pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan
kondisi pasien (Kemenkes, 2011). Hal ini untuk mencegah terjadinya
resistensi terhadap antibiotik.
Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat 26 pasien yang mengalami
ketidaktepatan durasi pemberian antibiotik. Ketidaktepatan durasi
pemberian antibiotik dalam penelitian ini adalah durasi pemberian
antibiotik yang kurang dari durasi pemberian yang sudah ditetapkan di
literatur. Dari hasil penelitian ketidaktepatan durasi pemberian antibiotik
yang paling banyak terjadi adalah antibiotik yang diberikan untuk pasien
penderita pneumonia. Antibiotik yang diberikan adalah Seftriakson,
dimana berdasarkan Phamaceutical Care ISPA pengobatan untuk pasien
pneumonia dengan antibiotik selama 5-10 hari bahkan sampai 14 hari.
Seftriakson merupakan antibiotik spektrum luas dan golongan
sefalosporin generasi ke 3. Mekanisme kerja Seftriakson adalah
bakterisidal dengan menghambat sintesis peptidoglikan yang diperlukan
kuman sehingga sel mengalami lisis dan sel bakteri akan mati (Katzung,
2004). Kurangnya durasi pemberian obat ini pada pasien dapat
menyebabkan obat tidak dapat bekerja optimal dalam membunuh bakteri
penyebab penyakit tersebut sehingga dapat menimbulkan resistensi
bateri terhadap antibiotik tersebut.
4.3.2. Kelemahan
Penelitian ini memiliki kekurangan, diantaranya:
1. Penelitian deskriptif retrospektif
Pada penelitian deskriptif hanya dapat menggambarkan demografi
berupa hasil analisis ketepatan penggunaan obat untuk mengetahui
DRPs pada terapi yang digunakan oleh pasien. Dengan metode
retrospektif peneliti tidak dapat dilakukan observasi secara langsung
pada pasien hanya dapat melihat data dari rekam medis pasien.
2. Terdapat sediaan obat racikan yang tidak diketahui kekuatan sediaan
dan komposisinya.
5.1. Kesimpulan
1. Profil penggunaan obat pada pasien terdapat 13 kelas terapi yang
diberikan pada pasien. Kelas terapi yang paling banyak digunakan
pada pemberian injeksi adalah antibiotik, kemudian untuk pemberian
oral yang paling banyak adalah obat saluran pernapasan. Obat inhalasi
yang paling banyak digunakan adalah obat antiasma dan obat luar
untuk rute topikal adalah antiinflamasi dan antipuritik sedangkan
untuk rute rektal yaitu analgesik dan antipiretik.
2. Jenis Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada pasien pediatri
di instalasi rawat inap salah satu rumah sakit daerah Bangka adalah
kategori dosis rendah, dosis tinggi, obat tanpa indikasi, potensi
interaksi obat dan ketidaktepatan pemilihan obat. Namun pada hasil
penelitian tidak ditemukannya jenis Drug Related Problems (DRPs)
kategori indikasi tanpa obat.
3. Jumlah dan persentase Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi
adalah DRPs kategori dosis rendah sebanyak 60 %, dosis tinggi
sebanyak 12,5 %, obat tanpa indikasi sebanyak 5 %, ketidaktepatan
pemilihan obat sebanyak 2,5 % dan potensi interaksi obat sebanyak
56,3 %, serta tidak terdapat DRPs kategori indikasi tanpa obat.
5.2. Saran
1. Perlu adanya kerjasama dan kolaborasi yang tepat antara dokter,
apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kefarmasian dan pengobatan pada pasien, sehingga
didapatkan terapi yang tepat, efektif, dan aman.
2. Perlu adanya peran yang maksimal atau optimal dari farmasi klinik
untuk memonitoring dan mengevaluasi penggunaan obat pasien agar
tidak terjadinya DRPs.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, G.L., Boies, L.R., dan Hilger, P.A. (1989) Diseases Of The Nasopharynx
And Oropharynx. In: Boies Fundamentals Of Otolaryngology, A Text Book
Of Ear, Nose And Throat Diseases, 6th Edition. W.B. Saunders. Philadelphia.
pp. 332-369.
Anonim. (2009). British National Formulary, 58th ed. BMJ Group and RPS
Publishing. London.
Akib, A.A.P,et al. (2010). Alergi-Imunologi Anak Edisi ke-2. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta.
Arguedas, A.G., Stutman, H.R., dan Marks, M.I. Bacterial Pneumonias. Dalam:
Wilmott, R.W., et al. (1990). Kendig’s Disorders of the respiratory tract in
children 5th Edition. Elsevier Saunders. Philadelphia: 371-94.
Bailie, G.R., et al. (2004). Medfacts Pocket Guide of Drug Interaction. Second
Edition. Bone Care International, Nephrology Pharmacy Associated Inc.
Middleton.
Behrman, R. E. (1999). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 1 Edisi 15. EGC.
Jakarta
Bisno, A.L. (2001). Acute Pharyngitis: Primary Care. The New England Journal of
Medicine 344 (3): 205-211.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C. (1998). Pharmaceutical Care
Practice. The Mc Graw Hills Companies. New York.
Cody, D.T.R., et al. (1993). Penyakit Hidung, Telinga Dan Tenggorok. Jakarta.
EGC.
Croft, J., Norman, H. dan Fred, M. (2002). Tuberkulosis Klinik. Edisi 2. Penerbit
Widya Medik. Jakarta.
Desai, S., et al., (2008). Disease of the Respiratory Tract. In: Greenberg, M.S., M.
Glick, dan Jonathan A S. (2008). Burket’s Oral Medicine. BC Decker Inc.
Hamilton, Ontario. pp. 305 - 306.
Dwiprahasto, Iwan. (2005). Drug Use Study for Acute Respiratory Infection in
Children Under 10 Years of Age. Berkala Ilmu Kedokteran 37 (4): 204-211.
Grouzard, V., et al. (2016). Clinical Guidelines; Diagnosis and Treatment Manual
2016 Edition. Medecins Sans Frontieres. Swiss.
Istikomah. (2013). Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Anak
Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2012. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
IONI. (2008). Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM RI.
Mayfield S., et al. (2014). High-Flow Nasal Cannula Oxygen Therapy For Infants
With Bronchioltis: Pilot Study. Journal Paediatrics and Child Health 50(5):
373-8. doi: 10.1111/jpc.12509.
Nori, D.O., Tavga A.A., dan Saad A.H. (2014). Drug Related Problems in
Sulaimani Pediatric Teaching Hospital, Iraq. World Journal of
Pharmaceutical Sciences 2 (6): 534-538.
Prest, M. (2003). Penggunaan Obat Pada Anak, dalam: Aslam, M., Tan, C.K.,
Prayitno, A., Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan Rasional dan penghargaan
Pilihan Pasien. PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
pp. 191-192.
Rashed, A.N., et al. (2013). Epidemiology and potential risk factors of drug-related
problems in Hong Kong paediatric wards. British Journal of Clinical
Pharmacology 77(5): 873-879.
Reeves, C. J., G. Roux, dan R. Lockhart. (1999). Medical Surgical Nursing. The
McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. Terjemahan: dr. J.
Setyono. (2001). Keperawatan Medikal Bedah, (Edisi 1). Salemba Medika.
Jakarta.
Setiawati, A. (2007). Interaksi obat, dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi lima.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Gaya Baru. Jakarta.
Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem, Edisi 2. EGC. Jakarta.
Shutman, et al. (2012). IDSA Guideline: Clinical Practice Guideline for the
Diagnosis and Management of Group A Streptococcal Pharyngitis: 2012
Update by the Infectious Diseases Society of America. Oxford University
Press. Amerika.
Siregar, C.J.P. Lia Amalia. (2003). Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. pp. 7-18.
Smeltzer, C.S., dan Brenda G.B. (2002). Terjemahan A. Waluyo, et al. (2002).
Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8th.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Soepardi, E. A., et al. (2002). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Strand, L.M., et al. (1990). Drug Related Problems: Their Structure and Function.
Departemen of Pharmacy Practice. Amerika Serikat.
Supriyatno, B. (2006). Infeksi Respiratorik Bawah Akut pada Anak. Sari Pediatri
8 (2): 100-106.
Takemoto, C.K., Jane H.H., dan Donna M.K. (2003). Pediatric Dosage Handbook
9th Edition. Lexi Comp, Inc. Canada.
Thompson, L.D.R. Pharyngitis. In:.; Bailey, B.J., Johnson, J.T., dan Newlands,
S.D. (2006). Head and Neck Surgery – Otolaryngology, 4th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia, PA. pp. 601-614.
Welliver RC. Bronchiolitis And Infectious Asthma. In: Feigin RD, et al. Feigin
Textbook of Pediatric Infectious Disease. 6th ed. (2009). WB Saunders.
Philadelphia. pp. 277-85
WHO. (2003). Penanganan ISPA pada Anak Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang. Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
__________. (2013). Pocket Book Of Hospital Care For Children: Guidelines For
The Management Of Common Childhood Illnesses. 2nd Ed. WHO Press.
Geneva.
Wong, D.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric Volume 2. EGC. Jakarta.
Yasin, N.M., Joko S., dan Eri S. (2009). Drug Related Problem (DRP) of Dengue
Hemorragic Fever (DHF) medication in pediatric patient. Majalah Farmasi
Indonesia 20 (1): 27 – 34.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
129
L Diagnosa
BB Tanggal Obat yang Nama Dosis Waktu Status
No / Usia Dirawat/Penyakit Ket Rute Dosis Literatur
Kg Dirawat Digunakan Generik Obat Penggunaan Pasien
P Penyerta
1 P 5 21 29/12/2014 Pneumonia Lasal Salbutamol Bronkhodi Oral 3x½ 2-6 tahun 0,1- 30/12/2014 Sembuh
Th - lator cth 0,2 mg/kg BB, 3 –
03/01/2015 x/hari (*) 03/01/2015
(5 hari)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
130
2 L 1,9 10 11/02/2015 Rhinofaringitis Sanmol Syr Parasetamol Anti- Oral 3x1 1-2 tahun (18-23 11/02/2015 Sembuh
Th – piretik cth pon) 120 mg (*) –
13/02/2015 13/02/2015
1-2 tahun (3 hari)
5 ml
3-4x/hari (**)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
131
3 P 2,2 11 16/05/2015 Nasofaringitis Akut, Parasetamol Parasetamol Anti- Oral 3x1 2-3 tahun (24-35 16/05/2015 Sembuh
- Kejang piretik cth pon), 160 mg (*) -
20/05/2015 20/05/2015
2-6 tahun , 5-10 (5 hari)
ml,
3-4 x/hari (**)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
132
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
133
5 P 13 38 26/08/2015 Demam Berdarah, Imudator - Suple- Oral 1x1 >12 tahun 27/08/2015 Sembuh
Th - Tonsilitis men cth 2 C, 1-3x/hari -
31/08/2015 (**) 30/08/2015
(4 hari)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
134
4-48 mg/hari,
3xhari (**)
Keterangan:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
135
Lampiran 4. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Dosis Rendah dan Dosis Tinggi yang Paling Banyak (*Data Tidak Dapat
Ditampilkan Semua)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
136
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
137
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
138
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
139
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
140
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
141
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
143
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
144
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
145
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
146
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
147
Lampiran 5. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Obat Tanpa Indikasi
Cefixime 05/01/2015-06/01/2015
Berdasarkan Clinical Practice
KU:
Lasal 01/01/2015-06/01/2015 Guideline dari American
Batuk, Sesak, Demam, Academy Of Pediatri tahun
Muntah Ceftriaxon Inj 01/01/2015-06/01/2015 2014 menyatakan bahwa
penggunaan antibiotik pada
7 -
Zinc 05/01/2015-06/01/2015 pasien penderita bronkhiolitis
TTV (Awal Masuk):
tidak direkomendasi-kan
RR: 66 x/menit
Domperidon 01/01/2015-06/01/2015 karena penyebab utama
T: 37,4 ⁰C
bronkhiolitis adalah virus
HR: 160 x/menit Cefixime 01/01/2015-06/01/2015 bukan bakteri
Rh: -/-
Wh: +/- Metil Prednisolon 01/01/2015-06/01/2015
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
148
Mucos 13/05/2015-16/05/2015
Kandistin digunakan untuk
TTV (Awal Masuk):
Lasal 09/05/2015-16/05/2015 pasien candidiasis atau
51 RR: 60 x/menit - terinfeksi jamur candida
T: 38 ⁰C Cefixime 15/05/2015-16/05/2015 namun pada pasien tidak terda-
HR: 108 x/menit pat riwayat infeksi candida
Nebu Combivent 09/05/2015-16/05/2015
Rh: +/+
Wh: -/- Kandistin 14/05/2015-16/05/2015
Zirkum 15/05/2015-16/05/2015
L-Bio 15/05/2015-16/05/2015
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
149
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
150
Lampiran 6. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Potensi Interaksi yang Paling Banyak (*Data Tidak Dapat Ditampilkan
Semua)
Nama Obat Tingkat Keparahan
Nomor Yang Waktu Mekanisme
Berpotensi Pemberian Managemen
Pasien Major Moderate Minor Interaksi
Interaksi
Lasal
(Salbutamol)
+
Rhinos 29/12/2015
Klorfeniramin meningkatkan dan Tidak Perhatian dan
(Klorfenira- - - -
salbutamol menurunkan sedasi Diketahui monitoring
min, 31/12/2015
Pseudoefe-
drin)
Perhatian disarankan
jika agonis adrenergik
beta-2 digunakan
4
Lasal bersamaan dengan agen
(Salbutamol) lain adrenergik,
+ Salbutamol dan pseudoefedrin terutama pada pasien
29/12/2015 keduanya menurunkan sedasi serta dengan gangguan
Rhinos
- - meningkatkan efek simpatis - Sinergis kardiovaskuler seperti
(Klorfenira-
31/12/2015 (adrenergik) , termasuk peningkatan insufisiensi koroner,
min,
Pseudoefe- tekanan darah dan denyut jantung aritmia jantung,
drin) hipertrofik
cardiomyopathy
obstruktif atau
hipertensi. Tekanan
darah dan denyut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
151
Perhatian disarankan
jika agonis adrenergik
beta-2 digunakan
bersamaan dengan agen
lain adrenergik,
terutama pada pasien
Alco Salbutamol dan pseudoefedrin dengan gangguan
06/02/2015 keduanya menurunkan sedasi serta kardiovaskuler seperti
(Pseudoefe-
25 - - meningkatkan efek simpatis - Sinergis insufisiensi koroner,
drin)
09/02/2015 (adrenergik) , termasuk peningkatan aritmia jantung,
+
Lasal tekanan darah dan denyut jantung hipertrofik
(Salbutamol) cardiomyopathy
obstruktif atau
hipertensi. Tekanan
darah dan denyut
jantung harus diawasi
secara ketat
Nebu
Combivent
18/06/2015
(Salbutamol, Salbutamol dan gentamisin keduanya
40 - - - - -
Ipratropium dapat mengurangi kalium serum
22/06/2015
Sulfat)
+
Gentamisin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
152
Perhatian disarankan
jika agonis adrenergik
beta-2 digunakan
bersamaan dengan agen
Nebu
lain adrenergik,
Combivent
terutama pada pasien
(Salbutamol,
Salbutamol dan pseudoefedrin dengan gangguan
Ipratropium 18/06/2015 keduanya menurunkan sedasi serta kardiovaskuler seperti
Sulfat) - - meningkatkan efek simpatis - Sinergis insufisiensi koroner,
+ 22/06/2015 (adrenergik) , termasuk peningkatan aritmia jantung,
Alco
tekanan darah dan denyut jantung hipertrofik
(Pseudoefe-
cardiomyopathy
drin)
obstruktif atau
hipertensi. Tekanan
darah dan denyut
jantung harus diawasi
secara ketat
Perhatian disarankan
jika agonis adrenergik
Alco beta-2 digunakan
(Pseudoefe- bersamaan dengan agen
drin) lain adrenergik,
+ Salbutamol dan pseudoefedrin terutama pada pasien
Nebu 10/08/2015 keduanya menurunkan sedasi serta dengan gangguan
41 Combivent - - meningkatkan efek simpatis - Sinergis kardiovaskuler seperti
(Salbutamol, 13/08/2015 (adrenergik) , termasuk peningkatan insufisiensi koroner,
Ipratropium tekanan darah dan denyut jantung aritmia jantung,
Sulfat) hipertrofik
cardiomyopathy
obstruktif atau
hipertensi. Tekanan
darah dan denyut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
153
Perhatian disarankan
jika agonis adrenergik
beta-2 digunakan
bersamaan dengan agen
lain adrenergik,
Alco terutama pada pasien
Salbutamol dan pseudoefedrin
(Pseudoefe- dengan gangguan
keduanya menurunkan sedasi serta
drin) kardiovaskuler seperti
meningkatkan efek simpatis
+ 13/11/2015 insufisiensi koroner,
(adrenergik) , termasuk peningkatan
57 Nebu - - - Sinergis aritmia jantung,
tekanan darah dan denyut jantung
Ventolin 14/11/2015 hipertrofik
(Salbutamol) cardiomyopathy
obstruktif atau
hipertensi. Tekanan
darah dan denyut
jantung harus diawasi
secara ketat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
154
Sanmol
(Parasetamol)
03/12/2015 Asetaminofen Tidak
60 + - - -
- menurunkan ekskresi diketahui
Diazepam
06/12/2015 diazepam
27/05/2015
-
29/06/2015
Furosemide , gentamisin
(Gentami-
keduanya meningkatkan
Furosemide sin) Sinergisme
toksisitas satu sama lain. Hindari atau gunakan
72 + - - farmakodi-
Peningkatan risiko alternatif obat
Gentamisin 26/05/2015 namik
ototoxicity dan
-
nefrotoksisitas
01/06/2015
(Furosemid)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
155
Lampiran 7. Rekapitulasi Hasil Analis Data DRPs Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Nomor Jenis DRPs
Nama Obat yang Hasil Laboratorium
Pasien Penyakit / Keluhan pasien Waktu Pemberian Ketidaktepatan Pemilihan
Dipakai (Jika Ada)
Obat
Parasetamol 03/08/2015-04/08/2015
Pemilihan penggunaan
Pneumonia Ambroxol 03/08/2015-07/08/2015 Hb: 11,0 gr/dl antibiotik kurang tepat, pada
Jenis Kelamin: Laki-laki Leukosit: 30100/l pasien diberikan 2 antibiotik
Lasal 04/08/2015-07/08/2015 Eritrosit: 5,41 jt/l yaitu cefixime dan ceftriaxon
Usia: 10 Bulan
Trombosit: 53700 mm/l dalam waktu yang bersamaan,
Trilac 03/08/2015-04/08/2015 Hematokrit: 33 % dimana kedua antibiotik tsb
33 MCV: 61 fl merupakan antibiotik
KU: Diazepam 04/08/2015
MCH: 20 pg golongan sefalosprin generasi
Batuk pilek, Sesak, Demam ± MCHC: 33 % ke 3 dan spektrum luas
Cefixime 06/08/2015-07/08/2015
5 hari, Muntah Limfosit: 25 % sehingga seharusnya pasien
Ceftriaxon 04/08/2015-07/08/2015 Monosit: 13 % cukup diberikan 1 antibiotik
Granulosit: 62 % saja untuk meminimalisir efek
Nebu Combivent 04/08/2015-07/08/2015 samping yang terjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
156
Dahak sulit keluar, Mencret Puyer Batuk 12/09/2015-15/09/2015 Mix sehingga seharusnya pasien
1x (Mon, Eos,Bas): 15 % cukup diberikan 1 antibiotik
Kandistin 14/09/2015-15/09/2015 Neutrofil: 46 % saja untuk meminimalisir efek
samping yang terjadi
Cefixime 14/09/2015-15/09/2015
Nebu Combivent 12/09/2015-15/09/2015
Ceftriaxon 12/09/2015-15/09/2015
Asedas 29/07/2015-05/08/2015
Ambroxol 29/07/2015-01/08/2015
Interzink 31/07/2015-05/08/2015
Vectrin 01/07/2015-05/08/2015
KDT Dewasa 29/07/2015-05/08/2015
Prednisone 29/07/2015-05/08/2015
Vitamin B6 01/07/2015-05/08/2015
Kandistin 03/07/2015-05/08/2015
Nebu Combivent 31/07/2015-05/08/2015
Ceftriaxon 29/07/2015-05/08/2015
Gentamisin 29/07/2015-05/08/2015
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
157
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
158
27 0 0 0 0 0 0 0 0 0
28 0 0 0 0 0 0 0 0 0
29 0 1 0 0 0 1 0 1 0
30 0 0 0 0 0 0 0 0 0
31 1 0 0 0 0 1 0 1 0
32 1 1 0 0 0 0 0 0 0
33 1 0 0 0 1 1 0 0 1
34 1 1 0 0 0 1 0 1 1
35 0 0 0 0 0 1 0 1 0
36 0 0 0 0 0 0 0 0 0
37 0 1 0 0 0 0 0 0 0
38 0 0 0 0 0 0 0 0 0
39 0 0 0 0 0 1 0 1 0
40 1 0 0 0 0 1 0 1 0
41 1 0 0 0 0 1 0 1 0
42 0 0 0 0 0 0 0 0 0
43 0 0 0 0 0 0 0 0 0
44 1 0 0 0 0 0 0 0 0
45 0 0 0 0 0 1 0 1 0
46 1 0 0 0 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0 0 0 0
48 0 0 0 0 0 1 0 1 0
49 1 0 0 0 0 1 0 1 0
50 1 0 0 0 0 1 0 1 0
51 1 0 1 0 0 0 0 0 0
52 0 0 0 0 0 0 0 0 0
53 0 0 0 0 1 0 0 0 0
54 1 0 0 0 0 1 1 1 1
55 1 1 0 0 0 1 0 1 0
56 1 0 0 0 0 1 0 0 1
57 1 0 1 0 0 1 0 1 0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
159
58 0 0 0 0 0 1 0 1 1
59 1 0 0 0 0 1 0 1 0
60 1 0 0 0 0 1 0 0 1
61 1 0 0 0 0 0 0 0 0
62 1 0 0 0 0 1 0 1 0
63 1 0 0 0 0 0 0 0 0
64 0 0 0 0 0 0 0 0 0
65 1 0 0 0 0 1 0 1 0
66 1 0 0 0 0 0 0 0 0
67 1 1 0 0 0 1 0 1 1
68 0 0 0 0 0 1 0 1 0
69 1 0 0 0 0 1 0 1 0
70 1 0 0 0 0 1 0 1 0
71 1 0 0 0 0 0 0 0 0
72 1 1 0 0 0 1 1 1 0
73 0 0 0 0 0 1 0 1 1
74 1 0 0 0 0 1 0 1 1
75 1 0 0 0 0 1 0 1 0
76 1 1 0 0 0 1 0 1 0
77 0 0 0 0 0 0 0 0 0
78 1 1 0 0 0 1 0 1 1
79 1 0 0 0 0 1 0 1 0
80 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan:
0 : Tidak Ada
1 : Ada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
160
Lampiran 9. Hasil Analisis SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) 22.0
Jenis Kelamin
Dosis Rendah
Cumulative
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 43 53,8 53,8 53,8
Valid Tidak ada 32 40,0 40,0 40,0
Perempuan 37 46,3 46,3 100,0
Ada 48 60,0 60,0 100,0
Total 80 100,0 100,0
Total 80 100,0 100,0
Usia
Dosis Tinggi
Cumulative
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Neonatus 3 3,8 3,8 3,8
Valid Tidak ada 70 97,5 97,5 97,5
Bayi 45 56,3 56,3 60,0
Ada 10 12,5 12,5 100,0
Anak-anak 29 36,3 36,3 96,3
Total 80 100,0 100,0
Remaja 3 3,8 3,8 100,0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
161
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
162
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta