Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan Di Pe
Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan Di Pe
PERGURUAN TINGGI
KELOMPOK 1
Disusun Oleh:
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
makalah yang berjudul “Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan
Tinggi” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai
tugas untuk mata kuliah Kewarganegaraan.
2. Masing – masing anggota dari kelompok 1 yang saling bertukar pikiran dan
ide dalam penulisan makalah ini serta saling memberi semangat.
3. Teman – teman Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jakarta angkatan 2017, yang
telah memberikan saran dan kritik kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
ii
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 25
3.2 Saran.............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kepribadian yaitu Mata Kuliah Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan Bahasa
masing-masing sebanyak 3 sks.
Setiap Bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke
arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup.
Saat ini dinamika kehidupan Bangsa Indonesia memiliki persoalan dimana
melemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai-nilai dasar yang telah lama
menjadi prinsip dan bahkan sebagai pandangan hidup, mengakibatkan sistem
filosofi bangsa Indonesia menjadi rapuh. Ada dua faktor penyebabnya, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh globalisasi
yang di semangati liberalisme mendorong lahirnya sistem kapitalisme di bidang
ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Dalam praktiknya sistem
kapitalisme dan demokrasi liberal yang disponsori oleh negara-negara maju
seperti Amerika, mampu menggeser tatanan dunia lama yang lokal regional
menjadi tatanan dunia baru yang bersifat global mondial. Bahkan mampu
menyusup dan mempengaruhi tatanan nilai kehidupan internal setiap bangsa di
dunia. Tarik ulur yang memicu ketegangan saat ini sedang terjadi dalam internal
setiap bangsa, antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang
menjadi identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang telah
dikemas melalui teknologinya (Iriyanto Widisuseno, 2004: 4).
2
berkembang seperti Indonesia sangat rentan terkooptasi nilai-nilai asing yang
cenderung berorientasi praktis dan pragmatis dapat menggeser nilai-nilai dasar
kehidupan. Kecenderungan munculnya situasi semacam ini sudah mulai
menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini. Seperti nampak
pada sebagian masyarakat dan bahkan para elit yang sudah semakin melupakan
peran nilai-nilai dasar yang wujud kristalisasinya berupa Pancasila dalam
perbincangan lingkup ketatanegaraan atau bahkan kehidupan sehari-hari.
Pancasila sudah semakin tergeser dari perannya dalam praktik ketatanegaraan dan
produk kebijakan-kebijakan pembangunan. Praktik penyelenggaraan
ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas dari konsep
filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila nampak hanya dalam status
formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai sistem filosofi bangsa sudah
tidak memiliki daya spirit bagi kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan
bernegara. Sistem filosofi Pancasila sudah rapuh. Masyarakat dan bangsa
Indonesia kehilangan dasar, pegangan dan arah pembangunan.
3
1.3.2 Untuk mengetahui tujuan yang tercipta bagi kepribadian mahasiswa
dari adanya Pendidikan Kewarganegaraan.
4
Kemudian, Bimo Walgito (2010: 92) berpendapat bahwa studi kasus
merupakan suatu metode untuk menyelidiki atau mempelajari suatu kejadian
mengenai perseorangan (riwayat hidup). Pada metode studi kasus ini diperlukan
banyak informasi guna mendapatkan bahan-bahan yang agak luas.Metode ini
merupakan integrasi dari data yang diperoleh dengan metode lain.
Sedangkan W.S Winkel & Sri Hastuti (2006: 311) menyatakan bahwa
studi kasus dalam rangka pelayanan bimbingan merupakan metode untuk
mempelajari keadaan dan perkembangan siswa secara lengkap dan mendalam,
dengan tujuan memahami individualitas siswa dengan baik dan membantunya
dalam perkembangan selanjutnya.
Dari tiga pengertian diatas mengenai studi kasus, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa studi kasus adalah metode pengumpulan data secara
komprehensif yang meliputi aspek fisik dan psikologis individu, dengan tujuan
memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai suatu kejadian maupun
keadaan.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
1
Dewey, John (1916/1944). Democracy and Education. The Free Press. hlmn. 1–4. ISBN 0-684-
83631-9.
6
Pendidikan kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di
seluruh dunia, meskipun dengan berbagai macam istilah atau nama. Mata kuliah
tersebut sering disebut sebagai civic education, citizenship education, dan bahkan
ada yang menyebut sebagai democracy eduation. Mata kuliah ini memiliki peran
yang strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung
jawab dan berkeadaban. Berdasarkan rumusan “Civic International” (1995),
disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk pertumbuhan civic culture,
untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi
( Mansoer, 2005).
Kesadaran demokrasi serta implementasinya harus senantiasa
dikembangkan dengan basis filsafat bangsa, identitas nasional, kenyataan dan
pengalaman sejarah bangsa tersebut, serta dasar-dasar kemanusiaan dan keadaban.
Oleh karena itu dengan pendidikan kewarganegaraan diharapkan intelektual
Indonesia memiliki dasar kepribadian sebagai warga negara yang demokratis,
religius, berkemanusiaan dan berkeadaban.
Selain itu, adapula pandangan beberapa pakar mengenai pengertian
Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu sebagai berikut:
7
organisasi pemerintahan, badan pemerintahan, hukum, dan tanggung
jawab
3. Edmonson (1958) mengemukakan bahwa civics adalah kajian yang
berkaitan dengan pemerintahan dan yang menyangkut hak dan kewajiban
warga negara.
4. Merphin Panjaitan, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan
demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga
negara yang demokrasi dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang
dialogial. Sementara Soedijarto mengartikanPendidikan Kewarganegaraan
sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik
untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta
membangun sistem politik yang demokratis
5. Muhammad Numan Soemantri, Civic Education adalah kegiatan yang
meliputi seluruh program sekolah.
Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat
menumbuhkan hidup dan prilaku yang lebih baik dalam masyarakat
demokrasi. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang
menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-
syarat objektif untuk hidup bernegara
6. Azyumardi Azra, pendidikan kewarganegaraan, civics education
dikembangkan menjadi pendidikan kewargaan yang secara substantif tidak
saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar
akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, tetapi juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga
dunia, global society.
7. Soedijarto mengartikan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan
politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga
negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem
politik yang demokratis.
Dari definisi tersebut, semakin mempertegas pengertian civic education
(Pendidikan Kewarganegaraan) karena bahannya meliputi pengaruh positif
8
dari pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar
sekolah. Unsur-unsur ini harus dipertimbangkan dalam menyusun program
Civic Education yang diharapkan akan menolong para peserta didik
(mahasiswa) untuk:
a. Mengetahui, memahami dan mengapresiasi cita-cita nasional.
b. Dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas dan bertanggung
jawab dalam berbagai macam masalah seperti masalah pribadi,
masyarakat dan negara.
9
a. Indische Bugerschapkunde,disusun oleh P. Tromps dan diterbitkan oleh
penerbit J.B Wolters Maatsschappij N.V. Groningen, Den Haag, Batavia,
1934, yang di bicarakan dalam buku tersebut, masalah masyarakat
pribumi, pengaruh barat, bidang sosial, ekonomi, hukum, ketatanegaraan
dan kebudayaan, masalah pertanian, masalah perburuhan. Kaum
menengah dalam industri dan perdagangan, perubahan ataupun
pertumbuhannya dengan terbentuknya Dewan Perwakilan
rakyat(Volsraad), masalah pendidikan, kesehatan masyarakat, pajak,
tentara dan angkatan laut.
b. Rech en Plich (Bambang Daroeso, 1986: 8-9) karangan J.B.
Vortman yang dibicarakan dalam buku tersebut yaitu : Badan pribadi yang
mengutarakan masyarakat dimana kita hidup, obyek hukum dimana
dibicarakan eigondom Eropa dan hak-hak atas tanah. Masalah kedaulatan
raja terhadap kewajiban-kewajiban warga negara dalam pemerintah Hindia
Belanda. Masalah Undang-Undang, sejarah alat pembayaran dan
kesejahteraaan.2
Adapun tujuan dari dibuatnya buku tersebut, yakni: agar rakyat jajahan
lebih memahami hak dan kewajibannya terhadap pemerintah Hindia Belanda,
sehingga diharapkan tidak menganggap pemerintah belanda sebagai musuh tetapi
justru memberikan dukungan dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu yang
panjang.
Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang
disetujui Volksraad, bahwa setiap guru harus memiliki izin mengajar. Dalam
pertimbangannya adalah banyak guru sekolah partikelir bukanlah lulusan sekolah
guru, dan yang berhak mengajar hanyalah lulusan sekolah guru. Sedangkan
lewat pendidikan non-formal terutama dilakukan oleh para tokoh pergerakan
nasional yakni bung Karno dan Bung Hatta. Pelaksanaan pendidikan politik baik
yang dilakukan oleh guru-guru sekolah partikelir maupun yang dilakukan para
2
Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan. Penaku, Jakarta. 2008 hal. 10
10
tokoh pergerakan nasional, pada prinsipnya dapat di nyatakan sebagai “cikal
bakal” pendidikan politik atau PKn di Jaman Indonesia merdeka.
Kemudian, tahun 1950, dalam suasana Indonesia merdeka, kedua buku
teks tersebut di atas menjadi buku pegangan guru Civics di sekolah menengah
atas, tetapi dalam mata pelajaran yang termuat pada sekolah menengah atas tahun
1950 itu dikatakan bahwa: Kewarganegaraan diberikan di samping tata negara
adalah tugas dan kewajiban warga negara terhadap pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan diri sendiri, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan: (1) Akhlak;
pendidikan, pengajaran, dan ilmu pengetahuan. (2) Kehidupan rakyat, kesehatan,
imigrasi, perusahaan, perburuhan, agraria, kemakmuran rakyat, kewanitaan, dan
lain-lain. (3) Keadaan dalam dan luar negeri, pertahanan rakyat, perwakilan,
pemerintah dan soal-soal internasional. Pelajaran tersebut tidak diberikan secara
ilmu pengetahuan melainkan sebagai dasar yang berjiwa nasional serta
kewarganegaraan yang baik ( good citizenship ).
Pada tahun 1955 terbit buku tentang kewarganegaraan berbahasa
Indonesia dengan judul “Inti Pengetahuan Warga Negara”, disusun oleh J.T.C
Simorangkir, Gusti Mayur, dan Suminarjo. Dalam kata pendahuluan dinyatakan
bahwa tujuan pelajaran tersebut adalah untuk membangkitkan dan memelihara
keinsyafan dan kesadaran bahwa warga negara Indonesia memiliki tanggung
jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, dan negara (good citizenship). Materi
buku ini meliputi Indonesia tanah airku, Indonesia Raya, bendera dan lambang
negara, warga negara beserta hak dan kewajibannya, ketatanegaraan, pajak, dan
perekonomian, termasuk koperasi.
Pada tahun 1957 saat pemerintahan Sukarno, Pendidikan
Kewarganegaraan dikenalkan dengan istilah civics. Kemudian di tahun 1961 mata
pelajaran Civic digunakan untuk memberi pengertian tentang Pidato Kenegaraan
Presiden ditambah dengan Pancasila, sejarah pergerakan, dan hak serta kewajiban
warga negara. Buku pegangan resminya adalah Manusia dan Masyarakat Baru
Indonesia, disusun oleh Supardo, M. Hutauruk, Suroyo Warsid, Sumarjo, Chalid
Rasyidi, Sukarno, dan J.T.C Simorangkir. Di tahun yang sama istilah
“Kewarganegaraan” diganti dengan istilah “Kewargaan Negara” atas prakarsa Dr.
11
Sahardjo S.H. Alasan penggantian itu guna menyesuaikan dengan Pasal 26 Ayat
(2) UUD 1945 dan menekankan pada warga, yang mengandung pengertian atas
hak dan kewajiban terhadao negara. “Warga” berarti anggota, jadi warga negara
berarti anggota suatu negara, sehingga dengan demikian ada perbedaan hak dan
kewajiban antara warga negara dan orang asing. Istilah “Kewargaan Negara” baru
digunakan secara resmi pada tahun 1967 dengan Instruksi Direktur Jenderal
Pendidikan Dasar Nomor 31 Tahun 1967 tertanggal 28 Juni 1967.
Pada tahun 1966 setelah peristiwa G-30-S/PKI, buku karangan Supardo,
dkk. dilarang dipakai. Untuk mengisi kekosongan materi civics, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan instruksi bahwa materi civics
(kewargaan negara) adalah :
a. Pancasila
b. UUD 1945
c. Ketetapan-ketetapan MPRS
d. Perserikatan Bangsa-Bangsa
e. Orde Baru
f. Sejarah Indonesia
g. Ilmu Bumi Indonesia.
Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan resmi masuk dalam
kurikulum sekolah di Indonesia pada tahun 1968. Pelajaran civics diberikan di
tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Di perguruan tinggi terdapat mata kuliah
”Kewiraan Nasional” yang intinya berisi pendidikan pendahuluan bela negara.
Sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan RI tahun 1972, belum ada kejelasan
pengertian tentang apakah kewargaan negara atau pendidikan kewargaan negara.
Baru pada tahun 1972 setelah Seminar Nasional Pengajaran dan Pendidikan
Civics (Civic Education) di Tawangmangu Surakarta, mendapat ketegasan dan
memberi batasan bahwa :
1. Civics diganti dengan ”Ilmu Kewargaan Negara,” yaitu suatu
disiplin ilmu dengan obyek studi tentang peranan para warga
negara dalam bidang spiritual, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan
kebudayaan, sesuai dan sejauh diatur dalam UUD 1945;
12
2. Civic education diganti dengan ”Pendidikan Kewargaan Negara,”
yaitu suatu program pendidikan yang tujuan utamanya membina
warga negara yang lebih baik menurut syarat-syarat, kriteria, dan
ukuran ketentuan-ketentuan UUD 1945. Bahannya diambil dari
ilmu kewargaan negara termasuk kewiraan nasional, filsafat
Pancasila, mental Pancasila, dan filsafat pendidikan nasional.
13
Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Di dalam operasionalnya ketiga mata kuliah
wajib tersebut dihimpun ke dalam kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) sebagai bagian kurikulum inti yang berlaku secara nasional.
Pelaksanaan PPBN melalui dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal diberikan kepada peserta didik di tingkat Sekolah Dasar sampai
dengan menengah dan dalam kegiatan pendidikan luar sekolah, yang dilaksanakan
antara lain melalui kepramukaan dan diintegrasikan dalam mata pelajaran di
sekolah sesuai dengan tingkatannya. Pada tahap lanjutan, diberikan kepada peserta
didik tingkat Perguruan Tinggi dalam bentuk “Pendidikan Kewiraan”.3
Pendidikan Kewiraan sebagai pendidikan yang membekali mahasiswa
berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat diandalkan menjadi
seorang warga yang membela bangsa dan NKRI. Pendidikan Kewiraan saat itu
bersifat intrakulikuler dan wajib, menitikberatkan kepada kemampuan penalaran
ilmiah dalam rangka ketahanan nasional.
Kemudian, keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 056/U/1994,
yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990, menetapkan
status Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan
Kewarganegaraan dalam kurikulum Pendidikan Tinggi sebagai mata kuliah wajib
untuk setiap program studi dan bersifat nasional. Garis-garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) Pendidikan Kewiraan ditetapkan dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 32/DJ/Kep/1983 dan disempurnakan kembali
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 151/Dikti/2000.
Selanjutnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor
267/Dikti/Kep/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.
Selanjutnya, Pendidikan Kewiraan diintegrasikan dan menjadi bagian dari
Pendidikan Kewarganegaraan. Ini didasarkan oleh Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Nomor 38/Dikti/Kep/2002 yang membentuk kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi. Pembentukan
MPK, didasarkan atas pertimbangan:
3
(Lemhannas RI, 1996)
14
1. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa telah
ditetapkan bahwa Pendidikan Agama. Pendidikan Pancasila, dan
Pendidikan Kewarganegaraan, merupakan kelompok MPK yang
wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi atau
kelompok program studi.
2. Bahwa sebagai pelaksanaan butir 1 di atas, dipandang perlu
menetapkan rambu-rambu pelaksanaan MPK di Perguruan Tinggi.
15
kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945
(Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2004). Pendidikan Kewarganegaraan
mengalami perkembangan sejarah yang sangat panjang, yang dimulai dari Civic
Education, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, sampai yang terakhir pada Kurikulum 2004 berubah namanya
menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Landasan PKn adalah Pancasila dan UUD 1945, yang berakar pada nilai-
nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, tanggap pada tuntutan perubahan
zaman, serta Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2004 serta Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Kewarganegaraan yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional-Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Menengah-Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
16
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta
bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk
diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar
dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia
secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
2. Djahiri (1994/1995:10)
(Secara umum)
(Secara khusus)
17
kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan
sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi
melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
3. Sapriya (2001)
4. Somantri (2001:279)
Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk
warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan
negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD RI 1945.
Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja,
maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi:
a) Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.
18
b) Keterampilan intelektual:
1. Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang
kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;
2. Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan
bertanya dan mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan
hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan
menafsirkan dan menganalisis data, (e) keterampilan menguji
hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g)
keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.
c) Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung
soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat
dijabarkan.
d) Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam
keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan
kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas
serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari,
19
d) Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri
dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.
20
Pembukaan alinea kedua tentang cita-cita mengisi kemerdekaan dan alinea
keempat khusus tentang tujuan negara, yaitu keamanan dan kesejahteraan.
21
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
22
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD1945 sebagai strategi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar
negara.
23
samping lima bidang kehidupan nasional tersebut yang merupakan aspek
sosial pancagatra didukung pula adanya dasar pemikiran aspek alamiah
trigatra yang merupakan geostrategi Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
24
Dari pembahasan yang telah penulis paparkan mengenai Pendidikan
Kewarganegaraan, baik itu sejarah Pendidikan Kewarganegaraan yang secara
khusus menjadi bahasan makalah, serta bahasan lain mengenai Pendidikan
Kewarganegaraan yang penulis sampaikan. Maka, dapat kita simpulkan bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi dalam kehadirannya sebagai
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), sangat lah vital dan juga
berperan dalam memberikan pedoman kepada mahasiswa agar menjadi
mahasiswa yang berkepribadian luhur serta memiliki kearifan lokal. Disamping
itu, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata kuliah yang mengajarkan
mahasiswa agar memiliki rasa cinta tanah air, mengamalkan dan merefleksikan
cara berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai – nilai yang terdapat dalam
Pancasila dan UUD 1945
3.2 Saran
25
26
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Kewarganegaraan