Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

SYOK

DISUSUN OLEH:

NAMA : DESI RAHMASARI

NIM : PO.71.20.3.18.013

SEMESTER : V.A

DOSEN PEMBIMBING: SAPONDRA WIJAYA, S.Kep,.Ns,M.Kep

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI KEPERAWATAN KOTA LUBUKLINGGAU
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

SYOK

A. PENGERTIAN

Syok atau renjatan dapat merupakan keadaan terdapatya pengurangan yang sangat
besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi
lainnya secara efektif ke berbagai jaringan Shock tidak terjadi dalam waktu lebih lama
dengan tanda klinis penurunan tekanan darah, dingin, kulit pucat, penurunan cardiac
output.

Syok yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu Syok
Hipovolemik atau oligemik, Syok Kardiogenik, syok obstruksi dan distribusi dengan
manifestasi klinis sesuai dengan derajat syok yang terjadi.Mempertahankan perfusi darah
yang memadai pada organ-organ vital merupakan tindakan yang penting untuk
menyelamatkan jiwa penderita. Perfusi organ tergantung tekanan perfusi yang tepat,
kemudian curah jantung dan resistensi vakuler sistemik. Pasien bisa menderita lebih dari
satu jenis syok secara bersamaan. Penatalaksanaan syok secara umum dapat dilakukan
dengan mengatur Posisi Tubuh, mempertahankan respirasi dan sirkulasi darah.

Sindrom gangguan pathofisiologi berat yang berhubungan dengan metabolisme


selluler yang abnormal, kegagalan sirkulasi Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai
keadaan terdapatya pengurangan yang sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan
pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi lainnya secara efektif ke berbagai jaringan
sehingga timbul cidera seluler yang mula- mula reversible dan kaan syok berlangsung lama
menjadi irreversible.(Isselbacher, dkk, 1999, hal 218)

Secara patofisiologis syok merupakan gangguan hemodinamik yang menyebabkan


tidak adekuatnya hantaran oksigen dan perfusi jaringan. Gangguan hemodinamik tersebut
dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah
balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jangguan faktor-faktor
tersebut disbabkan oleh bermacam-macam proses baik primer pada sistim kardiovaskuler,
neurologis ataupun imunologis. Diantara berbagai penyebab syok tersebut, penurunan
hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor penyebab utama.
B. ETIOLOGI

Penyebab syok ada 2 macam yaitu:

1. Hemoragik/pendarahan (trauma, perdarahan)


2. Non hemoragik (dehidrasi, muntah, diare, luka bakar, asites, peritonitis,
ileusobstruktif, edema, dieresis yang berlebihan)

C. KLASIFIKASI SYOK
1. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemikmerupakan tipe syok yang ditandai dengan penurunan
volume intravaskuler. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intaselular
dan ekstraselular. cairan tubuh ekstraselular ditemukan dalam salah satu
kompartemen intavaskular (didalam pembuluh darah) dan interstisila (disekitar
jaringan). Volume cairan interstisial adala kira-kira 3 sampai 4 kali dari cairan
intravaskuler. Syok hipovolemik terjadi ketika terjadi penurunan volume
inravaskuler 15-25%.Syok hipovolemik disebabkan kehilangan cairan eksternal
seperti hemoragi atau perpindahan cairan internal, muntah, diare, luka bakar, atau
dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan
preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic
ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan
menimbulkan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat.
Syok hipovolemik dapat ditemukan pada pasien dengan gejala dan tanda
seperti :

 Penurunan kesadaran disertai dengan akral yang dingin

 Takikardi
 capillary refill time> 2 detik,

 Dapat diserttai dengan riwayat kehilangan cairan baik berupa muntah, diare,
luka bakar, ataupun riwayat penyakit seperti pankreatitis[1,3]
Patofisiologi :
Patofisiologi syok hipovolemik terjadi akibat kegagalan perfusi jaringan sebagai imbas
dari kehilangan volume cairan dalam jumlah besar yang tidak mampu ditangani melalui
mekanisme kompensasi tubuh. Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada
kondisi syok hipovolemik adalah penurunan kardiak output, penurunan tekanan darah,
peningkatan resistensi vaskular sistemik, dan penurunan tekanan vena sentral.[1,3]

Patofisiologi syok hipovolemik secara umum dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu

Stadium Kompensasi
Pada stadium ini efek dari kehilangan cairan pada fungsi organ vital dipertahankan melalui
mekanisme kompensasi fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, yang
menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi vaskular sistemik, meningkatkan denyut
jantung untuk meningkatkan cardiac output; dan meningkatkan sekresi vasopresin, renin-
angiotensin aldosterone system (RAAS) di ginjal sebagai mekanisme pertahanan pada
organ yang pertama terdampak pada keadaan hipovolemia dengan cara menahan air dan
sodium di dalam sirkulasi.[3,5]
Gejala klinis pada syok dengan stadium kompensasi ini adalah takikardi, gelisah, kulit
pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat, serta tekanan darah bisa dalam rentang
normal[1,3,5]

Stadium Dekompensasi
Pada fase ini perfusi jaringan memburuk dan menyebabkan penurunan O 2 bermakna,
mengakibatkan metabolisme anaerob sehingga produksi laktat meningkat menyebabkan
asidosis laktat. Selain itu, terdapat gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+
pump di tingkat seluler, menyebabkan integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom
dan mitokondria memburuk yang dapat berdampak pada kerusakan sel.[1,3,5]
Pelepasan mediator vaskuler, seperti histamin, serotonin, dan sitokin, menyebabkan
terbentuknya oksigen radikal serta platelet aggregating factor (PAF). Pelepasan mediator
oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat,
sehingga menurunkan venous return dan preload yang berdampak pada
penurunan cardiac output.[3,5]
Gejala pada stadium dekompensasi ini antara lain takikardi, tekanan darah sangat rendah,
perfusi perifer buruk, asidosis, oliguria, dan kesadaran menurun yang dapat diukur
dengan Glasgow Coma Scale.
Stadium Irreversible
Pada stadium ini terjadi kerusakan dan kematian sel yang dapat berdampak pada
terjadinya multiple organ failure (MOF). Stadium ini merupakan fase akhir syok yang
tidak tertangani. Pada stadium ini, tubuh akan kehabisan energi akibat habisnya
cadangan adenosine triphosphate (ATP) di dalam sel.
Gejala yang dapat dilihat pada stadium ini meliputi nadi tak teraba, tekanan darah tak
terukur, anuria, dan tanda-tanda kegagalan organ.[1,3,5]

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

a. Mempertahankan Suhu Tubuh Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan


selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan
panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat
berbahaya.
b. Pemberian Cairan
1.Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-
mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke
dalam paru.
2.Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau
dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3.Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita
menjadi mual atau muntah.
4.Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan
volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma
atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
5.Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis
cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan,
plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan
hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti
dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan
cairan kristaloid memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang
hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah
yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui
bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
6.Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian
cairan yang berlebihan.
7.Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan
oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8.Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk
(Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih
berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan
analisa gas darah.
9.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik <
80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian
ventrikel kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari
20 ml/ jam, ekstremitas dingin dan sianotik. GASTER, Penyebab paling sering adalah 40%
lebih karena miokard infark ventrikel kiri, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri yang berat, dan kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya
miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan pembedahan
jantung yang lama. Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel. Regurgitasi aorta
atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat menyebabkan
penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar melalui katub aorta
ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya menyebabkan syok kardiogenik.
Patofisologi :
Patofisiologi dari syok kardiogenik adalah adanya penurunan dari kontraktilitas
miokardium yang menyebabkan curah jantung menurun, tekanan darah rendah dan
iskemia arteri koroner, yang semakin memperburuk kontraktilitas jantung. Siklus ini
dapat berakhir pada kematian.[2,3]

Syok kardiogenik bukan hanya akibat disfungsi ventrikel kiri, namun akibat gangguan
pada seluruh sistem sirkulasi. Gangguan ini berupa vasokonstriksi sistemik dan
pelepasan mediator inflamasi.

Vasokonstriksi sistemik merupakan mekanisme kompensasi akibat curah jantung yang


menurun. Vasokonstriksi ini bertujuan untuk memperbaiki perfusi perifer dan koroner,
namun justru meningkatkan beban akhir.

Penatalaksanaan Syok kardiogenik

Penatalaksanaan awal mencakup pemberian oksigen, resusitasi cairan untuk koreksi


hipovolemia dan hipotensi, kecuali adanya edema paru, diikuti dengan pemberian segera
medikamentosa seperti vasopresor dan inotropik untuk mempertahankan tekanan darah dan
curah jantung. Tata laksana awal ini dapat diingat dengan singkatan VIP.

3. Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan penyakit kegawatdaruratan berupa syok distributif yang


menyebabkan penurunan tekanan darah, kegagalan perfusi, dan hipoksia jaringan. Syok
neurogenik terjadi akibat hilangnya tonus otonom oleh kerusakan medula spinalis di atas level
T6, tepatnya pada jalur-jalur simpatetik desenden yang menyebabkan penurunan resistensi
vascular dan vasodilatasi vaskular. Kondisi ini umumnya terjadi setelah cedera pada sistem
saraf pusat, misalnya cedera medula spinalis atau cedera otak traumatik.
Syok neurogenik berbeda dengan syok spinal, walaupun kedua istilah tersebut sering kali
dianggap sama. Pada syok spinal, gangguan terjadi pada fungsi sensoris, motoris, dan refleks,
berbeda dengan syok neurogenik yang justru mengalami perubahan hemodinamik.
Patofisiologi :

Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam syok
distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan
dalam efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone,
pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan
intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard
primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan
penurunan kurva fungsi ventrikel.11,16

Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder terjadi
berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus
simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa
takikardi atau vasokonstriksi kulit.15

Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan


vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi
vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau
nyeri. Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang
memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke
pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional. 5,10

Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik sfingter
prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stress, emosi dan
ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang
menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop

Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat
tersebut. Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed.. (1981; c:1-42) adalah
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat
250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor
kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) : 3
Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa
dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi. 4 Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak
adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu
bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik 5
Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac
output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer

4. Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi yang tergolong berat. Bahkan, kondisi ini bisa
mengancam nyawa seseorang yang mengalaminya karena berkembang sangat cepat.
Seseorang yang mengalami kondisi ini, umumnya merasakan rasa mual dan sakit pada
daerah perut. Syok anafilaktik muncul hanya dalam beberapa menit, setelah pengidap
terkena alergen – benda yang menjadi penyebab terjadinya syok anafilaktik.

Patofisiologi :

Patofisiologi anafilaksis didasari pada reaksi hipersensitifitas tipe I. Anafilaksis adalah reaksi
alergi yang parah dari onset cepat yang memengaruhi kondisi sistemik tubuh. Hal ini
disebabkan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin dari sel mast dan basofil, biasanya karena
reaksi imunologis. Respon fisiologis terhadap pelepasan mediator anafilaksis meliputi kejang
otot polos pada saluran pernafasan dan gastrointestinal (GI), vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular, dan stimulasi ujung saraf sensorik. Peningkatan sekresi lendir dan
peningkatan tonus otot polos bronkial, serta edema jalan nafas, berkontribusi terhadap gejala
pernapasan yang diamati pada anafilaksis.
Dalam mekanisme imunologi, imunoglobulin E (IgE) mengikat antigen (bahan asing yang
memprovokasi reaksi alergi). Imunogen adalah zat yang mampu menimbulkan respon imun
spesifik berupa pembentukan antibodi atau kekebalan selular, atau keduanya. Antigen adalah
zat yang mampu beraksi dengan antibodi atau sel T yang sudah sensitif. Imunogen selalu
bersifat antigenik tetapi antigen tidak perlu imunogenik, misalnya hapten, kecuali kalau
bergabung dengan protein. Alergen adalah antigen khusus yang menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe cepat dan dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu alergen protein lengkap
dan alergen dengan sel molekul rendah (hapten).
Alergen yang terdiri dari protein lengkap mampu merangsang pembentukan IgE tanpa bantuan
zat lain karena mempunyai determinan antigen yang dikenal sel B dan gugus karier yang
merangsang makrofag dan sel T untuk mengembangkan aktivasi sel B. IgE terikat antigen
kemudian mengaktifkan reseptor FcεRI pada sel mast dan basofil. Hal ini menyebabkan
pelepasan mediator inflamasi seperti histamin. Mediator ini kemudian meningkatkan kontraksi
otot polos bronkus, memicu vasodilatasi, meningkatkan kebocoran cairan dari pembuluh darah,
dan menyebabkan depresi otot jantung.

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW (1989, hal


993-1002) adalah Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau
zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah. b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru,
yaitu:

a. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
b. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda
bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau
parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan
obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
c. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan
penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai
dengan protokol resusitasi jantung paru. Thijs L G. (1996 ; 1 – 4)
d. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15
menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus
kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
e. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–
0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
f. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5–10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik
atau syok yang membandel.
g. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama
dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah
dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan
kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20– 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan
volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau
dextran juga bisa melepaskan histamin.
h. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai
dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi
waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
i. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit
semalam untuk observasi.

5. Syok septik
Syok septik adalah hasil induksi hipotensi oleh sepsis yang menetap walaupun tata
laksana cairan secara adekuat telah diberikan.[1] Perilaku tidak normal pada sirkulasi
darah dan metabolisme tubuh yang disebabkan oleh syok septik dapat mengakibatkan
kematian.[2]

Patofisiologi :

Patofisiologi syok septik tidak sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui bahwa peran kunci
dalam perkembangan sepsis berat dimainkan oleh respons imun dan koagulasi terhadap
infeksi. Respons pro-inflamasi dan anti-inflamasi berperan dalam syok septik. [3] Syok septik
melibatkan respons peradangan luas yang menghasilkan efek hipermetabolik. Hal ini
dimanifestasikan oleh peningkatan respirasi seluler, katabolisme protein, dan asidosis
metabolik dengan alkalosis pernapasan kompensasi. [8]

Sebagian besar kasus syok septik disebabkan oleh bakteri gram positif, [9] diikuti oleh bakteri
gram negatif penghasil endotoksin, meskipun infeksi jamur merupakan penyebab syok septik
yang semakin lazim. [8] Toksin yang diproduksi oleh patogen misal pada bakteri gram negatif
yaitu endotoksin, yang merupakan bakteri membran lipopolisakarida (LPS).

Penatalaksanaan syok septik

Perawatan utamanya terdiri dari:

1. Memberikan cairan intravena


2. Pemberian antibiotik dini
3. Terapi tertarget awal
4. Identifikasi dan kontrol sumber cepat
5. Mendukung disfungsi organ utama

D. DERAJAT SYOK

Berat dan ringannya syok menurut Tambunan Karmel, dkk, (1990, hal 2).

a. Syok Ringan Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan prgan non-vital
seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relative dapat
hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan
yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau anya sedikit menurun, asidosis metabolic tidak ada atau ringan.
b. Syok Sedang Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati,
usus, ginjal, dan lainnya). Organ- organ ini tidak dapat mentoleransi
hipoperfusi lebih lama seperti lemak, kulit, dan otot. Oligouria bisa terjadi
dan asidosis metabolic. Akan tetapi kesadaran relative masih baik.
c. Syok Berat Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme
kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ
vital. Pada syok lanjut terjadi vasokonstriksi di semua pembuluh darah lain.
Terjadi oligouria dan asidosis berat, ganguan kesadaran dan tanda- tanda
hipoksia jantung (EKG Abnormal, curah jantung menurun).

E. LANGKAH- LANGKAH PERTAMA MENANGANI SYOK

Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut Alexander R H, Proctor


H J. Shock., (1993 ; 75 – 94)

1. Posisi Tubuh

a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita
tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring)
untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari
sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting
adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari
terjadinya asfiksia.
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau
kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari
bagian tubuh lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita
dibaringkan dengan posisi telentang datar.
f. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih
sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya
kembali.

2. Pertahankan Respirasi

a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
c. Berikan oksigen 6 liter/menit d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan
oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT.

3. Pertahankan Sirkulasi Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi,
tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
DAFTAR PUSTAKA

(Guthrie Mary. M, 1982, hal 1) 593 GASTER, Vol.7 No.2 Agustus 2010 Cemy Nur Fitria,

Mack, E.H., Neurogenic shock. The Open Pediatric Medicine Journal, 2013. 7(1).

Thiele H, Ohman EM, Desch S, Eitel I, de Waha S. Management of cardiogenic shock. Eur
Heart J. 2015;36(20):1223–30.

Anda mungkin juga menyukai